Share

Bab 6 Ruqyah Rumah

"Kita pulang saja, Bone! Sudah jelas ritual ini gagal." 

Bapak berbicara sambil memunggungiku. 

Ia sibuk membereskan bekas dupa dan hanya menyisakan sesajen buat Jin danau.

"Bagaimana dengan Kambing Nadia?" tanyaku getir.

Kutatap kambing yang matanya kini berkaca-kaca. Seakan Nadia di dalam sana sedang menangis. Berharap kami memulihkan kondisinya.

"Tinggalkan saja kambing itu, Bone. Hanya akan menyusahkan kita." Rupanya Bapak tak mau mengambil resiko. 

"Tapi kasihan, Pak." 

"Kasihan? Sudah berapa orang yang kau bunuh tanpa rasa kasihan? Lagian dia bukan mati, cuma berpindah wujud saja. Nadia lebih bahagia jadi kambing, takkan ada lagi orang yang mengatakan wajahnya jelek." 

Benar juga opini Bapak. Biarkan Kambing Nadia bebas di hutan ini. Dia akan leluasa makan rumput dan dedaunan lezat. 

Bukankah ucapan adalah doa. Kita tidak bisa berucap buruk lalu mengharap takdir yang baik.

Semoga kisah Nadia menjadi pelajaran bagi kita semua.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Akibat perasaan yang tak menentu, perjalanan pulang terasa sangat singkat. Tak ada percakapan berarti antara aku dan Bapak. Bahkan lolongan serigala pun terdengar bagai angin lalu. 

Tiba di rumah, kami memilih menuju kamar masing-masing dan beristirahat. Apalagi Bapak sudah lelah bersemedi seharian.

Dengkuran Bapak terdengar berirama. Berbeda denganku yang sulit tidur. 

Masih saja memikirkan Nadia. Walau sudah mengiklaskan, tetap saja kasihan. Nadia kini hidup beralas tanah, beratap langit, berselimutkan angin. Tragis sekali.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Hari merambat pagi. Embun belum sepenuhnya menguap, tapi derap langkah segerombolan orang terdengar menuju rumah kami. Langkah panjang yang terkesan dipaksakan.

Riuh rendah percakapan mereka mensinyalir bahwa sesuatu telah terjadi.

"Mbah Tarso ...."

"Mbah Tarso ...."

"Mang Asep sekarat. Tolongin, Mbah. Dia hampir meninggal."

Deg.

Secepatnya aku bangkit dari kasur, lalu bergegas membuka pintu depan. Belasan pemuda berdiri di halaman dengan raut yang sulit dijelaskan.

"Bone, beri tahu Bapakmu, Mang Asep hampir meninggal. Keluarganya butuh bantuan, andai masih bisa diselamatkan."

"Ya sebentar, kubangunkan Bapak dulu." Aku berlalu ke kamar Bapak.

"Cepetan, Bone. Genting ini!" ujar mereka yang nampak tergesa-gesa. 

Mang Asep adalah kepala dusun di sini. Rumahnya jauh di pinggir jalan raya dan pemuda-pemuda tadi telah melewati tanjakan panjang untuk sampai ke rumah kami. 

Bapak yang kulihat masih ngantuk, meloncat turun setelah kukatakan Mang Asep sekarat. 

Hanya minum segelas air, merapal mantra sebentar, Bapak lalu berangkat bersama para pemuda.

Aku disuruh Bapak mengikut dari belakang. Memproteksi mereka dari hantaman sihir hitam yang membuntuti selama di perjalanan. Rupanya oknum yang menyantet Mang Asep, tak ingin jika Bapak membantu. 

Rumah tembok beratap genteng milik Mang Asep, terlihat ramai pagi ini. Keluarga dan tetangga sudah berkumpul sejak malam.

Aku dan Bapak memasuki rumah itu. Bi Ijah--istri Mang Asep menyambut dengan binar harap. Air mata menumpuk di sudut netranya yang sembab.

"Rumah ini panas sekali!" celetuk Bapak. "Banyak santet bersarang."

"Mohon di-ruqyah, Mbah." Bi Ijah memohon.

"Ya sabar, saya ngecek si Asep dulu. Di mana dia?"

"Ikut aku, Mbah."  

Bi Ijah berjalan menuju ruang tengah. 

Nampak Mang Asep terkulai tak berdaya di atas dipan kayu setinggi 50 senti. 

Tubuhnya kurus kering, tak mampu bangun. Masih bisa bersuara, tapi ngawur. Tatapan kosong, sepertinya Mang Asep hilang akal. 

Menurut Bi Ijah, Mang Asep akan panas tinggi kala malam tiba. Lalu siangnya menggigil demam. 

Hanya berbaring tapi napas Mang Asep tersengal-sengal. 

Seakan tengah berjuang agar napasnya tidak putus. 

Banyak dukun sudah turun tangan, bukannya membaik malah makin parah. 

Bapak meminta Bi Ijah membubarkan tetangga yang melawat. Menyisakan keluarga inti agar menyaksi bagaimana sebentar Mang Asep dipulihkan.

Pertama, Bapak menarik paksa ular gaib yang melilit leher Mang Asep. Setelah napasnya berangsur normal, Bapak memberi air mantra dan diminum Mang Asep. 

Suaranya pulih, ia sempat mengucap terima kasih, setelah itu berteriak kesakitan diikuti badan yang merontak.

"Suami saya kenapa, Mbah?!" Bi Ijah yang panik, berniat memeluk Mang Asep. 

"Jangan kau sentuh dulu, Ijah. Air sedang bereaksi membunuh racun dalam tubuh Asep. Dia akan bangun setelahnya." 

Bi Ijah manggut-manggut menuruti. Sementara Bapak memberi kode agar aku me-ruqyah rumah ini. Ruqyah ala perdukunan yang bertujuan menyapu bersih semua kiriman mistis. 

Tak menunggu lama, ditemani keluarga Mang Asep, aku mulai bergerilya. 

Di halaman rumah, kudapati benda perdukunan ditanam tak dalam dari permukaan tanah. 

Jarum dibungkus kain merah. Sejenis sihir api yang jika dipijak, maka dalam kurun waktu tententu mengakibatkan kaki lumpuh total. 

Ada juga potongan tulang dililiti gumpalan rambut. Masih segar, mungkin baru ditanam. Sejenis santet pengisap darah yang dilakukan oleh jin suruhan.Tubuh target akan mengurus hari demi hari.

Aku melangkah menuju taman kecil yang ditumbuhi aneka bunga. Ada tiga telur busuk disisip di balik rumput hias. 

"Kak, aku yang ngerawat taman tapi gak pernah nemu telur itu," ujar anak lelaki sulung Mang Asep.

"Telur ini gak bisa dilihat oleh mata biasa," jawabku masih sibuk menilik telur itu. 

Cangkang telur mendadak pecah ketika kutumpangkan tangan ke atasnya. Bau busuk menguar tajam. 

"Santet apaan tuh, Kak?" tanya adik perempuan Mang Asep. 

"Mereka ingin usaha kalian gagal layaknya telur busuk."

"Kalau kalian nemu kiriman santet artinya kalian aman. Yang bahaya jika ada kiriman tapi gak bisa melihatnya. Seperti benda-benda ini." Aku menunjuk benda-benda santet yang kukumpul di tengah halaman. 

"Makin lama bersarang, ya makin bahaya." 

Keluarga Mang Asep nampak suka dijelaskan. Mereka terpukau kala aku menarik rentetan benda kiriman. Tidak sekali mereka bertanya tentang bagaimana aku bisa sehebat ini. 

Bisa melihat yang tak mereka lihat.

"Mereka memang haus penjelasan, tapi kau juga harus me-ruqyah isi rumahku." 

Mang Asep berdiri di depan pintu, tersenyum hangat pada kami. Di belakangnya ada Bapak dan Bi Ijah yang ikutan tertawa.

"Bapakmu makin sakti, Bone!" ujar Mang Asep. "Lihat, aku sudah sembuh." Ia memamerkan badannya.

Anak-anak Mang Asep berhamburan memeluk Ayah mereka. Nampak bersukacita penuh.

Kucium punggung tangan Mang Asep. Bisa kurasakan badannya telah bebas dari santet. Aliran darah yang sempat tersendat, kini meluncur sempurna. 

Aksi berikutnya, aku me-ruqyah seisi rumah. 

Kutemukan sesosok kuntilanak begitu nyaman menempati ruang tamu. Ia senang jika ada tamu pria berkunjung. Sebaliknya, marah jika ada wanita mondar-mandir.

Ia dikirim guna mengacaukan keluarga Mang Asep. Membuat emosi mereka sulit dikontrol. Cemburu berlebih dan tersinggung tanpa sebab. 

Kuntilanak itu kuikat. Rencana akan kubawa pulang. Kunti merah si betina bawel pasti senang mendapat teman baru.

Di sudut-sudut ruangan, kutemukan kertas mantra berbahasa jawa kuno. Setiap si penyantet membacanya dari jauh, maka Mang Asep jatuh sakit.

Di gudang, tiga ekor tikus jadi-jadian ditempatkan guna merusak stok hasil panen. Padi dan jagung selalu habis dibabat.

Tikus-tikus itu kusiksa dulu, lalu kukembalikan ke pengirimnya dan berpesan agar berhenti mengganggu keluarga Mang Asep. 

Dapur menjadi bagian terakhir yang kubereskan.

Terdapat empat gentong air bersih untuk keperluan memasak. Kusuruh mereka membuka penutupnya, serta melihat ke dasar gentong.

"Gak ada apa-apa kok di dalamnya. Cuman air doang!" Bi Ijah si penguasa dapur melaporkan. 

Yang lain pun ikutan mengecek.

"Iya, Kak. Gak ada apa-apa."

Aku tak menjawab. Melainkan bersiap untuk menciduk sesuatu yang samar, dan menjadikan nyata di hadapan mereka.

"Cedok semua airnya. Buang dan jangan dipakai lagi."

Mereka menuruti. Menguras isi gentong hingga kering.

"Sekarang lihatlah. Apa ada sesuatu di dalamnya?" tanyaku yang tak sabar menanti ekspresi mereka.

"Astafirullah ...."

"Astafirullah ...."

Bi Ijah mengusap dada. Tak menyangka ada saja botol di dasar gentong.

Botol coca-cola berbahan kaca. Berisi akar kayu dan cairan mantra. Cairan itu memerah pekat akibat  bersimbiosis dengan akar kayu.

"Jangan disentuh, biar aku saja," pintaku kemudian menarik botol itu ke luar dari gentongan.

 "Pengirimnya gak pernah masuk ke dapur ini. Ini dikirim lewat bantuan Jin." 

Keluarga Mang Asep terperangah mendengar tuturanku. 

"Nah sudah beres ruqyah-nya. Semua akan kita bakar di halaman." Aku mengajak mereka kembali ke halaman rumah.

Anak sulung Mang Asep membawakan satu jerigen minyak tanah. Anak perempuannya membawa korek api. 

Pada sulutan pertama, benda-benda itu tak mempan dibakar. Begitu juga pada sulutan ke-dua. Padahal, banyak minyak tanah sudah kusiram.

"Lumayan kuat ilmu si penyantet," gumamku pelan.

"Bacakan doa baru dibakar!" Bapak yang duduk di teras bersama Mang Asep, memberi instruksi. 

"Sekarang Bone sudah bisa kau andalkan, Tarso!" Kudengar Mang Asep memuji Bapak.

"Hmm, anakku itu menonjol dalam hal ruqyah." Bapak tertawa kecil.

"Apa Bone sudah tahu siapa orang tua kandungnya?" Suara Mang Asep sengaja dipelankan.

Kulihat Bapak berbisik ke telinga Mang Asep.

Entah apa yang dikatakan si Tarso, Bapakku itu.

Aku merapal sebaris mantra sakti. Mantra pribadi yang kuperoleh melalui berpuasa 30 hari di atas karang lautan.

"Coba bakar lagi," ujarku pada anak lelaki Mang Asep. Sementara yang lainnya tak sabar menyaksi.

Korek api dipetik. Menyala dan dibuang ke atas perbendaan santet. 

Berhasil. Benda benda itu sukses terbakar. Botol dan jarum menghitam legam. Kertas, kain dan rambut hangus tak bersisa.

"Penyantet-nya sudah kalah sekarang!" Aku berucap datar. "Perhatikanlah sekitaran kalian selama seminggu ini!"

"Sekitaran kami kenapa, Nak?" Bi Ijah mendekat setelah tahu benda-benda sukses dibakar.

"Penyantetnya tinggal di dusun kita. Makanya tadi Bapak meminta para tetangga pulang."

"Jahat banget. Padahal orang sini juga!" Bi Ijah tampak mengomel sedih.

"Satu minggu ke depan, akan ada yang jatuh sakit. Sakitnya sama persis dengan yang diderita Mang Asep. Kiriman mereka telah kukirim balik. Ya, biar tahu gimana rasanya senjata makan tuan." 

Bi Ijah memelukku erat. Sesenggukan dengan air matanya membasahi lengan bajuku. 

"Nak, ke mari minum teh sambil makan ubi," panggil Mang Asep dan Bapak dari teras rumah. 

"Aku yakin kalian datang belum sempat sarapan!" tambahnya lagi. 

Aku menunduk malu. Baru sadar bahwa sedari tadi perutku berbunyi keroncongan dan didengar oleh semua orang. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status