Share

Part-10 Persiapan Kanaya

Ketika fiting baju pengantin Thoriq nampak melamun, setiap ditanya komentarnya hanya satu kata, bagus. Ketika diajak diskusi persiapan pernikahan Thoriq tampak datar, pikirannya seperti melayang ditempat lain. Hanya Kanaya dan orang tuanya yang sibuk dengan persiapan pernikahan, Thoriq seperti tak bersemangat bahkan cenderung menghindar. Kanaya bertanya-tanya dalam hati, apakah ini ada hubungannya dengan brand ambasador-nya...? Savanna Halinna Putri, Kanaya pernah memergoki keduanya saling menatap dan tampak akrab saat berbincang. Kanaya melihat raut kebahagiaan saat Thoriq bertemu gadis itu, sangat berbeda saat bertemu dirinya. Sangat formil dan menjaga jarak, Thoriq hanya seperti menggugurkan kewajiban saat bertemu dengannya, mungkin karena gak enak sama Umi-nya.

Akhir-akhir ini Thoriq dan Savanna intens bertemu di yayasan yatim kasih bunda, berapa kali Kanaya memergokinya bahkan di buku tamu yayasan terlihat hampir setiap minggu mereka datang bersama. Kanaya mulai ragu untuk melanjutkan pernikahan ini, seminggu lagi undangan sudah harus disebar. Terkadang cinta bukanlah segalanya dalam pernikahan. Cinta itu hanya seperti pohon, jika disirami dan dipupuk dengan rajin maka akan tumbuh bunga yang cantik. Lagi pula ia datang lebih dulu dihati Thoriq dibanding model itu. Dan kedua orang tua Thoriq sangat menginginkan keduanya segera menikah. Kanaya kembali semangat, pernikahan harus tetap terjadi apapun keadaannya. Ia tak boleh menyerah dan Thoriq harus tahu itu!

"Bagaimana gaun pengantin ini Kakak...?" Kanaya berputar, memperlihatkan detail busana pengantinnya, Asha, Lina dan Ferdi asistenya memuji baju yang sangat luar biasa sementara Thoriq hanya bilang bagus dengan raut muka yang datar. Kanaya hanya mampu menghembuskan bafas panjang.

"Kanaya, aku ada perlu sebentar. Telfon saja jika anda membutuhkan, saya akan datang..." Thoriq pergi tergesa setelah menerima panggilan telepon.

"Kenapa mbak Nay, sepertinya calon mempelai laki-lakinya sibuk sekali..." Ferdi mencium aroma tak wajar dalam sikap Thoriq. Ia laki-laki dan tak terhitung menangani busana pernikahan, biasanya kedua mempelai sangat antusias dan saling mendukung. Ini hanya Kanaya yang sibuk, pasangannya seperti tak perduli harus memakai  busana apa. Diam-diam Ferdi merasa prihatin dengan nasib bosnya yang cantik dan baik ini, hidup memang tidak sempurna dan kadang tak adil.

*****

Thoriq datang kerumah ilham, pemuda itu sedang menikmati kopi pahitnya didepan aquarium kecil di teras kamarnya. Senyumnya melebar melihat siapa tamunya, dipeluknya Thoriq.

"Apa kabar bro..." keduanya beradu kepalan tangan seperti biasanya

"Alhamdulillah baik, seperti yang kau lihat aku sehat walafiat dan baik-baik saja..." Thoriq tersenyum masam, sesuatu bergejolak dalam dadanya dan membutuhkan pelepasan.

"Wah.... jadwal ceramahmu padat ya.." Thoriq melirik jadwal ceramah yang menempel di dinding kamar sahabatnya.

"Belum sepadat ustadz Abdul Somad.." canda Ilham.

"Berarti anda siap di buly dulu di media baru mendapat nama sebesar ustadz Abdul Somad..." Thoriq nyengir kuda.

"Abdul Somad ustadz hebat bro, jika tidak di buly pun tetap akan hebat. Ceramahnya cerdas, lugas dan berani, paket komplit bahkan spesial pakai telur..." keduanya terkekeh.

"Tepat, kau tahu tidak bedanya pintar sama cerdas...?" Thoriq melempar pertanyaan.

"Emang ada bedanya gitu...?" Ilham menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Adalah, suku katanya aja beda.." Thoriq menempelkan telapak tangannya dikaca aqurium, sontak ikan-ikan itu pada menempel di kaca, dikiranya diberi makanan.

"Pintar itu, siapapun yang belajar sungguh-sungguh bisa pintar. Kecerdasan hanya diberikan kepada orang yang bertakwa, cahaya penuntun iman-nya untuk melihat dengan jelas antara yang haq dan yang batil."

"Yes, aku tidak meragukan kecerdasanmu" Thoriq memberikan jempolnya memuji Ilham.

"Apa yang membuatmu bisa melihat...?" kini Ilham ganti mengujinya.

"Cahaya, mata hanya menerima respon dari cahaya untuk menyampaikan object yang disinari. Semakin terang cahaya semakin banyak object yang bisa dilihat. Semakin tinggi keimanan seseorang membuat penglihatannya lebih terang dari orang biasa."

"Wow, Thoriq sesekali kau harus ikut bersamaku untuk ceramah, jangan kau simpan pengetahuanmu itu hanya untuk dirimu sendiri" puji Ilham kagum.

"Tidak Ilham, itu spesialismu. Baru mengucap salam saja jamaah sudah gempita menyambutmu kalau aku yang ceramah bukannya sambutan yang kudapat tapi sambitan" keduanya tergelak.

"Bisa aja, ngomong- ngomong apa keperluanmu datang kesini" Ilham menatap sahabatnya.

"Savanna masuk rumah sakit..." air muka Thoriq berubah seketika saat menyebut nama gadis itu.

"Gadis dalam mimpimu itu....?" Ilham merasakan hal rumit sedang terjadi menimpa sahabatnya.

"Apakah kau sudah menjenguknya...?"

"Sudah, Savanna malah menyuruhku pergi" wajah Thoriq layu.

"Harusnya hidupmu bahagia bro, dicintai oleh dua gadis istimewa.  Bukan hanya cantik tapi tajir dan populer tapi kulihat hidupmu malah nelangsa. Apa yang salah ya...?" Ilham menggaruk kepalanya. Dicintai banyak gadis pusing, tidak ada yang mau tambah pusing!

"Sejak dulu Kanaya hanya kuanggap sebagai teman baik, tak lebih.." jujur Thoriq.

"Kenapa kau malah melamarnya...?" Ilham menggelengkan kepalanya, tak paham.

"Umi dan Abi sangat menyayanginya, mereka yang menginginkan kami menikah..." Thoriq menatap galau.

"Duh...masalahmu rumit, andai Kanaya menyukaiku...masalah akan segera selesai..." Ilham menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Anda menyukai Kanaya...?" sepasang bola mata Toriq membulat sempurna.

"Hanya lelaki tak normal yang tidak menyukai gadis seperti dia, cantik, pintar, sholehah...paket komplit" lanjut Ilham.

"Jadi, anda menganggapku tak normal?" Thoriq menaikan sebelah alisnya.

"Tidak, orang sepertimu kebanyakan penggemar hingga sulit untuk memilih."

"Aku mencintai Savanna, kami memang banyak perbedaan tapi bersamanya aku merasakan kehidupan yang sesungguhnya. Membayangkan masa depan bersamanya dan membangun sebuah rumah tangga...." mata Thoriq menerawang, mengingat mimpi dan pertemuannya dengan gadis itu.

"Jangan lupa, kita di ijinkan memiliki istri sampai empat, kalau cuma dua bisa sekali jalan..." Ilham nyengir kuda.

"Kau gila Ilham..." keduanya terkekeh.

"Jika pernikahanmu batal dengan Kanaya, kenalkan aku padanya."

"Bukankah aku sudah pernah mengenalkanmu padanya...?"

"Ya, maksudnya buat jalur khusus agar aku bisa dekat dengannya..." Ilham mengedipkan sebelah matanya.

"Baiklah, kita lihat situasinya nanti. Ilham aku pulang dulu, terima kasih untuk semuanya."

"Terima kasih sudah mengunjungiku" keduanya berjabat tangan.

Berbicara dengan Ilham membuat seoaruh beban Thoriq terlepas. Setidaknya jika pernikahannya batal Kanaya tidak terlalu terpuruk, ada Ilham yang akan menemaninya.

****

Umi menghela nafas berat, ia merasa sudah seminggu ini Thoriq menghindarinya. Anak semata wayangnya itu lebih banyak menghabiskan waktu di di pesantren yang akan dibangunnya. Pesantren modern yang memadukan antara sains, teknologi dan imtaq (iman,taqwa). Waktunya terkuras disana hingga melupakan persiapan pernikahannya dengan Kanaya, terlihat tidak antusias dan tidak perduli.

"Thoriq, duduk sini nak  Umi mau bicara.." wanita itu menatap anak semata wayangnya dengan senyum lembut.

"Ya Umi" Thoriq duduk dikursi keluarga menghadap Umi dengan perasaan galau, ia bisa meraba apa yang akan dibicarakan Umi padanya.

"Bagaimana persiapan pernikahanmu Nak..?" tanya Umi.

"Baik Umi...lancar.." Thoriq menjawab datar bahkan terbata.

"Umi lihat anda kurang sepaham dengan Kanaya..." pancing Umi.

"Maksud Umi..?" Thoriq mulai fokus, sepertinya Umi mencium ketidak perduliannya terhadap Kanaya dan persiapan pernikahannya.

"Umi lihat hanya Kanaya yang sibuk..." Umi menatap menyelidik.

"Ya Umi, Thoriq sedang persiapan pembangunan pesantren, jika tidak dikontrol takut jadinya tak sesuai harapan..." dalih Thoriq, dadanya berdebar mendapatkan sindiran Umi.

"Tapi persiapan pernikahan juga penting nak, itu masa depan kalian" tegur Umi.

"Pernikahannya berbarengan dengan kesibukan Thoriq Umi sehingga sulit untuk fokus."

"Kanaya menunggumu lama sekali nak, sejak SMA dan gadis itu menjaga dirinya untuk-mu" Umi mengingatkan pengorbanan Kanaya.

"Thoriq tahu Umi..." pemuda itu menatap keluar jendela, menghembuskan nafas panjang. Setiap orang berhak memilih pasangan hidupnya tapi tidak untuknya. Melihat Savanna terluka rasanya ia ingin kawin lari saja dengan gadis itu, pergi jauh dan hidup berdua dengan damai. Tapi bagaimana nasib Umi dan Abi-nya...? Ia anak satu-satunya, Thoriq tak mau jadi anak durhaka. Ya Allah hanya tinggal seminggu kebebasannya, setelah itu Thoriq harus melupakan Savanna selamanya!

"Thoriq, Umi bicara denganmu.." wanita itu hanya mampu mengelus dadanya, tubuh anaknya ada disini tapi pikirannya entah kemana. Thoriq terlihat pendiam akhir-akhir ini, meski tak pernah membantah tapi tatapannya kosong. Keceriaan hilang dari wajahnya, Umi merasa kehilangan anak kesayangannya. Apakah ini ada kaitannya dengan model terkenal itu?

"Ya Umi, Thoriq dengar..."

"Apakah kau mencintai Kanaya...?" tanya Umi hati-hati.

"Kata Umi cinta hanya seperti pohon, jika disiram dan dipupuk akan menghasilkan bunga yang cantik..." Thoriq menjawab datar, tak tahu harus menjawab apa.

"Itu bukan jawaban anakku..." Umi menghembuskan nafas berat.

"Maafkan Thoriq yang belum bisa memenuhi harapan umi..." inginnya Thoriq mengatakan bahwa Kanaya hanyalah sahabat baginya tapi mana mungkin? Ia adalah orang pertama yang tak rela melihat Umi terluka tapi apa yang dilakukannya saat ini sama dengan menyakitinya. Jadi harus bagaimana?

"Umi tahu siapa yang kau cintai tapi gadis itu tak baik untukmu nak, foto-foto peragaan busananya di majalah dan medsos akan menghancurkan nama baik keluarga besar kita nak. Umi harus jawab apa jika ada yang tanya profesi menantu Umi..." Umi memperhatikan wsjah Thoriq yang tiba-tiba memerah, mungkin malu.

"Setiap manusia bisa berubah Umi dan kita tak berhak menghakimi masa lalu orang lain..." Thoriq membela Savanna, kata-kata itu terlepas begitu saja dari mulutnya membuat alis Umi terangkat.

"Thoriq, anda lupa sedang bicara dengan siapa..?" Umi meradang, selama ini Thoriq tak pernah membantahnya. Pasti ini pengaruh gadis model itu, dari busana yang diperagakannya sudah bisa ditebak bagaimana perilakunya. Umi mulai naik pitam, ia seperti kehilangan sopan-santun anaknya.

"Wanita yang memakai busana dengan menunjukkan bagian tubuh indahnya dan ditonton oleh banyak orang tak akan mencium bau surga. Apakah anda lupa itu? Umi sayang padamu nak.." Umi berusaha mengendalikan ucapannya.

"Ya Umi, maafkan Thoriq..." pemuda itu berdiri, memeluk wanita yang melahirkannya dengan perasaan bersalah. Anak laki-laki wajib memuliakan ibunya, memberikan perhatian, menyayangi dan memenuhi segala kebutuhannya. Ridha Allah berada di tangan orang tua maka sebagai anak wajib hukumnya menghormati kedua orang tuanya.

Dikamar Thoriq menatap keluar jendela, tak ada warna lain di luar sana kecuali hijau dan putih. Dan disetiap benda yang dilihatnya hanya ada satu wajah, Savanna! Wajah itu menempel di jendela, daun-daun, kaca dan semua tempat. Laki-laki tak boleh menangis tapi  kini setetes air mata luruh dipipinya. Hatinya rapuh, ia tak bisa memilih antara ibu dan kekasihnya. Thoriq hanya menunggu dan berharap waktu bisa merubah keadaan, membawa dirinya, Umi dan Savanna menemukan jalan keluar terbaik.

"Namaku Muhammad Thoriq Al-Farisi, aku tak pernah menghianatimu karena khianat bukanlah sifatku!" 

Tangan Thoriq mengepal, dihantamnya tembok didepannya. Darah mengucur dari sela-sela jarinya. Perih namun yang lebih perih adalah hatinya, menyinggung pwrasaan Umi, menikah dengan orang yang tak dicintai dan membuat kekasihnya masuk rumah sakit! Adakah yang lebih buruk dari semua itu...?

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status