"El, tolonglah, bersikap baiklah di depan keluarga." Bram memohon.
"Bagian mana sikapku yang tidak baik di depan keluargamu, Mas?" Elya balik bertanya. Dia menyilangkan tangan di depan dada.Bram mengusap wajahnya kasar. Dia akhirnya mengambil sebotol air mineral yang selalu disediakan di mobilnya. Lelaki itu membuka tutupnya dengan kasar, kemudian menghabiskan isinya dalam sekali tarikan napas.Bram meremas botol air mineral kosong hingga menimbulkan bunyi berisik yang khas. Dia kehabisan kata-kata untuk berdebat dengan Elya. Dia benar-benar lupa siapa Elya dulu sebelum menjadi istrinya. Dia terlalu terlena oleh kelembutan sikap Elya selama sepuluh tahun menjadi istrinya.Elya melayaninya dengan baik dan memperlakukannya dengan lembut hingga membuat Bram terbuai. Membuat Bram lupa, bagaimana bengisnya Elya menyingkirkan lawan bisnisnya belasan tahun lalu, saat mereka masih sering bertemu sebagai rekanan bisnis. Dengan posisi sebagai mediator dan pemilik perusahaan.Elya, bintang terang di perusahaan asing ternama. Mediator yang disegani karena keberaniannya, serta dikagumi karena kecerdasan dan kecantikannya."Tante Adisti yang memulai semua, Mas. Kau tahu sendiri itu. Aku hanya membeli apa yang mereka jual." Elya mengikuti mengambil sebotol air mineral. Tenggorokannya terasa kering.Terasa sejuk menyentuh bibir Elya saat botol air mineral itu menyentuh bibirnya. Dingin terasa di lidahnya. Mengalir ke tenggorokan, untuk kemudian sampai di tempat yang Elya tidak lagi bisa merasakan dingin itu."Kenapa harus kau ladeni dia?" Bram menoleh, menatap Elya."Lalu aku harus diam saja dikatakan mandul? Aku harus diam saja saat harga diriku sebagai wanita dan sebagai seorang istri diinjak-injak?" Suara Elya meninggi. Dadanya naik turun, napasnya terdengar menderu.Bram membisu."Jawab, Mas!" Bram terpana. Untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun pernikahan mereka, Elya membentaknya."El …." Bram menurunkan suaranya. Dia mengambil tangan Elya dan menggenggamnya."Aku sadar aku melakukan kesalahan yang sangat fatal, aku ….""Ya! Syukurlah kalau akhirnya kau sadar, Mas!" Elya memotong ucapan Bram. Dia tersenyum sinis. Membiarkan tangannya berada dalam genggaman Bram."Elya, mungkin kini kau sangat membenciku. Tapi tolong El, tolong. Aku mohon, dalam setiap acara keluarga, kita harus saling mendukung." Bram menatap Elya dengan sendu."Kapan aku tidak mendukungmu, Mas? Selama ini, setiap acara keluarga aku selalu datang mendampingimu, walaupun sebenarnya itu hal yang paling malas untukku lakukan." Elya akhirnya memutuskan mengeluarkan semua bebannya selama ini. Cukup. Cukup dia menahannya selama sepuluh tahun pernikahan mereka."Aku lelah selalu disindir wanita mandul, terutama oleh kedua adikmu! Apa jadinya kalau mereka tahu yang sebenarnya mandul justru Mas mereka yang maha sempurna ini?" Elya tertawa mengejek."Aku juga selalu berdandan yang cantik, agar bisa tampil memukau di depan keluargamu, untuk siapa? Bukan untukku. Tapi untukmu! Agar kau terlihat pantas menjadi penerus estafet perusahaan keluarga. Agar Papa dan Mama bangga mempunyai menantu yang bisa menjaga penampilan dan attitude nya!" Suara Elya melengking memenuhi seisi mobil.Udara tiba-tiba terasa pengap. Hening. Suara Elya seakan masih mengambang di udara. Masih mengambang di sekitar mereka."El … bisakah sedikit saja kau ingat kebaikan yang telah kulakukan selama ini?" Bram akhirnya bersuara, setelah sekian lama mereka terdiam."Kebaikan yang mana?" Elya menarik napas panjang. Dia berusaha mengontrol emosinya."Kau memberiku semua fasilitas maksudmu? Itu sudah kewajibanmu sebagai suami! Aku juga sudah menunaikan kewajibanku sebagai istri. Coba kau sebutkan kurangku dimana?" Emosi Elya kembali menggelegak.Bram menggeleng."Dapur, sumur, kasur. Semua kulakukan dengan sepenuh hati. Semua kukerjakan dengan tanganku sendiri agar kau mendapatkan yang terbaik, Mas." Elya menarik kasar tangannya dari genggaman Bram."Jangan ungkit semua fasilitas yang kau berikan, Mas. Kau yang menyanggupi semua itu, saat dulu kau ajukan syarat resign padaku sebelum kita menikah!""Jangan ungkit semua fasilitas yang kau berikan, Mas. Kau yang menyanggupi semua itu, saat dulu kau ajukan syarat resign padaku sebelum kita menikah!" Elya mengambil ikat rambut kecil berwarna hijau tua di tasnya.Gerah. Padahal AC mobil menyala maksimal."Elya, aku lelah." Bram menengadah. Matanya tertutup rapat.Elya tersenyum."Menyerahlah, Bram. Lepaskan aku." Elya membatin."Bisakah kau bersikap biasa saja saat menghadiri acara keluarga, El?" Bram menatap Elya. Mata itu terlihat lelah."Biasa saja bagaimana maksudnya, Mas?" Suara Elya melemah. Dia Pun sama, lelah dengan semua.Andai bisa memilih, dia lebih baik tidak mengetahui fakta menyakitkan itu. Tapi takdir berkata lain, fakta itu terbuka, tanpa dia memaksa untuk membukanya.Sungguh, Elya tidak dapat hidup bersama lagi dengan lelaki pengecut di sampingnya. Dia merasa hidup dalam dunia penuh tipuan. Luka yang Bram goreskan sudah terlalu dalam, sehingga tidak mungkin lagi bisa disembuhkan. "Tidak perlu kau ladeni semua omonga
Bram termenung di dalam mobil. Dia Menghela napas berat. Wangi Elya masih tertinggal, kursi penumpang yang tadi didudukinya bahkan masih terasa hangat. Dia benar-benar lelah dengan semua. Lelah dengan sikap Elya, lelah dengan keluarga besarnya.Dia sepenuhnya menyadari, hanya soal waktu Elya akan membuka rahasia terbesarnya itu. Hanya soal waktu juga, posisinya akan digantikan di perusahaan.Bram tidak rela, perusahaan yang jatuh bangun dibesarkan Papa Lin jatuh ke tangan keluarga lain. Dulu, saat perusahaan itu ada di bawah, Papa Lin dan Kakek Harimurti yang jatuh bangun membesarkannya kembali. Keluarga lain hanya menonton, bahkan mengusulkan agar aset perusahaan dijual saja. Perusahaan itu sudah tidak ada harapan.Bram baru berumur tujuh tahun saat itu, tapi memorinya masih mengingat dengan jelas. Bagaimana saat perusahaan itu berhasil bangkit, berhasil menanam tajinya dengan kuat, menjadi bisnis yang menggurita, saat itulah anak-anak Kakek Harimurti menuntut bagian.Salahnya. Dulu
Bram meremas kemudi. Ingin rasanya dia berteriak. Dia tidak ingin kerja keras Papa Lin dan Kakek Harimurti sia-sia. Dia tidak ingin tampuk pimpinan perusahaan berpindah ke Randy, anak Tante Adisti.Bram mengembuskan napas kasar. Dia melirik ke jam mewah di tangan kanannya, hampir tengah malam. Lelaki itu menarik kunci mobil, kemudian membuka pintu dan membantingnya dengan kasar. Bram memasuki kamar yang temaram. Elya telah mematikan lampu utama. Wanita itu tertidur dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Bram tersenyum. Dia sudah sangat hafal kebiasaan Elya. Bahkan di cuaca panas pun, Elya tetap tidur seperti itu.Bram memutuskan untuk mandi. Badannya lengket, gerah. Seharian meeting menemui rekanan bisnis, kemudian dilanjut dengan acara lamaran Kenny –anak Om Ridho–. Badannya belum tersentuh air sama sekali.Saat membuka pintu kamar mandi, Bram disambut dengan wangi aromatherapy yang sangat disukainya.Dua buah lilin berukuran besar menyala, sa
Aroma wangi duo bawang berpadu dengan gurihnya aroma mentega, semerbak memenuhi dapur.Bram tersenyum. Dia meletakkan tas kerjanya di meja makan, lalu menghampiri Elya yang sedang sibuk berkutat dengan wajan dan printilan lainnya.Bram meraih pinggang Elya. Wanita menoleh, merasakan pipinya bertemu dengan pipi Bram."Iiih … cukuran sana! Gatel tau." Elya meringis terkena bulu-bulu halus di sekitar jambang Bram.Bram tertawa. Biasanya tiap hari dia mencukur bulu halus di sekitar jambangnya, tapi ini sudah tiga hari dia tidak bercukur. Terlanjur pusing dengan banyak hal, sehingga sedikit melupakan penampilan. Tapi sebenarnya, Bram terlihat lebih jantan dengan tampilan bulu halus menghiasi wajahnya."Masih lama, Nyonya Elya?" Bram mengintip ke wajan.Elya mendorong Bram agar duduk di kursi."Stay!" Elya mengacungkan sutil ke dada Bram.Bram tertawa. Dia mengambil segelas jus buah jambu biji merah yang telah disiapkan Elya. Segar. Minuman favoritnya di pagi hari.Tak lama sepiring nasi g
"Sayangnya, aku tidak mau menerimanya." Elya tersenyum. Santai mengelus dada Bram."Elya, tolonglah. Jangan buat rumit masalah ini." Suara Bram terdengar frustasi."Mas kira aku suka dikatakan meng-gan-tung-kan hi-dup padamu?" Elya tertawa kecil. Dia nemberikan penekanan pada beberapa kata. Mengembalikan ucapa Bram beberapa waktu lalu kepadanya."Sudahlah, Mas. Aku malas berdebat. Nanti kita terlambat." Elya mengambil tasnya di meja rias dan bergegas menuju pintu.Bram mendahului langkah Elya. Dia membuka pintu dan menutupnya kembali dengan cepat. Bunyi kunci berputar terdengar.Elya menendang pintu kamar sekeras-kerasnya saat mendengar bunyi mobil Bram menjauh.Elya terduduk, menghapus air matanya yang mengalir begitu saja. Bagaimana bisa selama ini dia tertipu oleh lelaki seperti Bram? Lelaki egois yang hanya memikirkan pandangan orang lain padanya. Lelaki pengecut yang selalu ingin terlihat sempurna, dengan mengorbankan perasaan Elya.Elya tergugu. Sungguh dia lelah dengan semua. S
"Kau yakin aku yang mandul, Ran? Bukan masmu?" Mati-matian Elya menahan diri agar tidak terpancing emosi."Apa maksudmu, Elya?" Mama Vania memegang bahu Elya."Mas Bram yang bermasalah, Ma." Lima kata itu ringan saja meluncur dari mulut Elya.Sementara di pintu, Bram yang kembali lagi karena flashdisknya tertinggal, mematung. Kaku. Jantungnya seakan berhenti. Mulutnya kelu mendengar kalimat Elya.Elya menatap Bram. "Sampai kapan semua kebenaran ini bisa kau simpan, Mas? Bantahlah, patahkan kata-kataku kali ini.Tunjukkan padaku, bagaimana caranya kau menyimpan semua dengan rapi, selama bertahun-tahun yang telah kita lewati."Elya tersenyum. Sementara ketiga orang di depannya mematung. Kaku. Muka-muka pucat. Bibir yang bergetar.Elya bersorak dalam hati. Senyum itu semakin mengembang."Ayo, Mas. Patahkan kalimatku ….""Gila!" Ranti menyandarkan badannya ke sandaran kursi. Dia Memijat kening. Kepalanya mendadak pusing."El?" Mama Vania menggoyang bahu Elya pelan.Elya memejamkan mata. An
"Tadi Mas bertanya tujuanku datang kesini, kan? Tujuanku untuk memberi tahu secara langsung pada wanita ini, agar bersiap-siap dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Didepak dari keluarga Harimurti."Elya menegakkan badan. "Habislah hidupmu, Elya! Perempuan mandul yang dicampakkan suami." Suara Ranti melengking."Jaga mulutmu, Ran!" Muka Bram memerah."Dia Kakakmu. Kau hina dia, sama saja dengan kau menghinaku!" Suara Bram terdengar serakElya terbahak dalam hati. "Dia memang menghinamu, Mas. Lelaki mandul yang dicampakkan istri.""Kenapa kau sangat membenciku, Ran? Apa salahku?" Elya bertanya lembut. Suaranya terjaga, tenang seperti biasa."Kau ingin tahu, El?" Ranti menatap Elya."Karena kau, Mas Bram belum mempunyai keturunan sampai hari ini. Karena kau, Mama dan Papa harus menanggung malu di depan keluarga besar." Mama Vania bergeser, duduk di samping Ranti. Dia mengusap punggung Ranti perlahan. Berusaha menenangkannya."Betapa memalukannya, pimpinan tertinggi perusahaan
Dress semi formal di bawah lutut, dengan bahu sedikit terbuka melekat indah di tubuh Elya. Warna merah menyala, kontras dengan kulitnya yang putih. Dilengkapi dengan sepatu hak tinggi berwarna senada setinggi sembilan sentimeter, membuat kaki jenjang Elya terlihat dengan jelas.Rambut disanggul ala pramugari, membuat leher putih dan mulus Elya terpampang dengan sempurna. Jepitan kecil berbentuk sekuntum bunga dengan lima buah kelopak, menempel manis di rambutnya. Masing-masing kelopak terbuat dari berlian berwarna merah menyala, sama dengan warna dress yang dikenakan Elya.Berkelas dan berani, kesan yang ditampilkan Elya, saat pertama kali orang melihat penampilannya malam ini."El …." Bram menahan tangan Elya saat dia akan membuka pintu mobil.Elya mengurungkan niatnya keluar dari mobil. Dia menoleh pada Bram yang terlihat sedikit kurang baik. Namun, wajah dingin dan tegas itu mampu menutupi kegugupannya.Bram terlihat sangat berwibawa menggunakan setelan j