Keadaan membuat Lisa teramat marah. Ingin rasanya dia pergi menemui Ardi dan melabrak mantan suaminya itu. Tapi dia pikir, kemungkinan Ardi masih berada di Lombok saat ini. Lisa memutuskan untuk meneleponnya.
Dia menempelkan benda pipih itu ke telinganya dengan jantung berdebar-debar, menunggu respons Ardi. Setelah beberapa waktu, suara sang mantan akhirnya terdengar di ujung telepon.
“Halo.”
“Pihak bank menyita rumahku hari ini,” kata Lisa tanpa basa-basi.
“Lalu?” Ardi menyahut dengan entengnya.
“Kamu bilang akan melunasi utang itu. Tapi mana? Mereka menyita rumahku, berarti kau tak pernah membereskan utang itu, kan?” cecar Lisa sambil menangis.
Ardi malah tertawa. “Lucu banget? Padahal kamu yang butuh uang sebanyak itu. Aku cuma membantumu mendapatkan pinjaman dengan mengagunkan rumahmu.”
“Kamu tahu sendiri mamaku saat itu sakit keras, Ar! Aku butuh dana cash dalam jumlah besar, lalu kamu yang mengusulkan agar aku meminjam bank dengan jaminan rumah itu. Dan kamu bilang akan membantuku mengangsur cicilannya. Tapi ka—”
“Kita sudah bercerai, Lisa! Urusan finansialmu bukan urusanku lagi,” ketus Ardi, memotong ucapan Lisa yang belum selesai.
“Tapi kamu tahu itu rumah ibuku, Ar! Kamu tahu bagaimana kami dulu—”
“Sejak awal, pernikahan kita adalah sebuah paksaan yang hanya merugikan aku! Bahkan setelah bercerai dariku pun, kamu masih ingin menggangguku? Kenapa tak minta bantuan saja pada lelakimu itu, kelihatannya dia bukan orang susah kan? Kenapa harus aku, yang bukan lagi siapa-siapamu?” desis Ardi seperti menahan kemarahan.
Ardi rupanya betul-betul mengira Lisa dan ‘pria itu’ memiliki hubungan khusus.
“Jangan macam-macam denganku, Lisa. Aku bisa berbuat lebih bila kamu mengusik hidupku yang sudah tenang ini, bukan hanya membuatmu jadi gelandangan seperti sekarang. Mengerti?”
“A-apa maksudmu? Jadi kamu memang sengaja melakukannya ya? Agar membuatku kehilangan rumahku? Halo? Halo! Aku belum selesai denganmu sialan!”
Lisa menggeram marah karena Ardi sudah memutus sambungan telepon. Dia menelepon Ardi lagi, tetapi tak ada tanggapan. Kemudian dia mengirimi mantan suaminya itu sebaris pesan, tapi ternyata Ardi telah memblokirnya.
“Dasar bajingan tengik!” Lisa memaki sambil meremas ponselnya dengan perasaan kalut sambil menangis. Baru saja dia selesai berlibur untuk menenangkan hatinya, tapi kini dia harus kembali dihadapkan pada kehidupannya yang seperti gumpalan awan gelap yang tak kunjung berlalu.
Air matanya mengalir, dan setiap isak tangisnya menciptakan suara kesedihan yang terus memenuhi ruangan. Dia merasakan perih di dadanya, bukan hanya karena kehilangan rumah, tetapi juga karena janji kosong Ardi yang telah membuatnya seperti ini.
Lisa terduduk di lantai dingin, merangkul tubuhnya sendiri dalam pelukan yang tak mampu menghangatkan. Dia berharap ada seseorang yang bisa mendengar jeritan hatinya, memahami betapa hancurnya dia saat ini. Namun, ruangan itu hanya memantulkan kesepian dan kehampaan.
Esok paginya, Lisa merasa seperti seorang pengembara dalam kota, membawa sejumput kenangan di dalam tasnya dan hati yang berat. Setelah berputar-putar mencari tempat, dia akhirnya menemukan sebuah kos kecil yang terletak di sudut gang sempit. Dengan langkah gontai, dia memasuki kamarnya yang sederhana.
“Ruangan ini kecil, tapi masih saja terasa kosong,” gumam Lisa sambil tertawa miris pada dirinya sendiri.
Dia tak memiliki perabotan yang berharga yang bisa dibawa dari rumahnya. Dia sudah menjualnya untuk membiayai pengobatan ibunya yang menderita kanker. Hanya ada dispenser air panas, kipas angin, dan alat makan secukupnya. Lisa tak mengeluarkan pakaiannya dari dalam kopor karena tak memiliki lemari.
Sebenarnya Lisa bisa saja pergi ke rumah bibinya yang berada di Depok dan menumpang tinggal di sana. Adik ibunya itu pasti mengizinkan karena di rumah itu ada 2 kamar kosong yang salah satunya bisa dia tempati untuk sementara waktu. Tetapi, dengan usianya yang sudah 27 tahun ini, Lisa merasa malu dan tak ingin merepotkan keluarganya. Dia harus bisa mandiri apapun yang terjadi.
Belum lagi bibinya kerap menyesalkan perceraiannya dengan Ardi dan sering mengocehkan hal yang sama berulang-ulang. “Dia menantu idaman ibumu, Lisa. Ardi pria yang baik, cobalah kamu membuka hatimu padanya. Usia pernikahan 2 tahun memang belum ada apa-apanya, semua rumah tangga pasti ada saja ujiannya.”
Lisa bosan mendengarnya. Dia juga enggan menjelaskan apa yang terjadi dalam rumah tangganya selama 2 tahun itu, karena baginya percuma. Semua orang selalu bisa memaklumi semua tindakan Ardi, tapi tak ada yang peduli tentang bagaimana dengan perasaan Lisa.
Malam pertama tinggal di kamar kos, Lisa tidur dengan penuh kepahitan di hatinya. Dia bermimpi tentang waktu-waktu bahagia bersama ibunya, tetapi mimpi itu selalu berakhir dengan kehancuran rumah dan senyum ibunya yang pudar. Kejadian-kejadian itu menghantui tidurnya, membuatnya terbangun dengan keringat dingin di dahi.
“Masih jam 3 pagi,” desah Lisa sambil meletakkan ponselnya kembali setelah memeriksa waktu. Namun ia tak bisa melanjutkan tidurnya lagi.
“Ah, lebih baik aku menulis saja. Besok Ninik pasti cerewet menagih naskah ini,” gumam Lisa sambil duduk memangku laptop terbuka di hadapannya.
Lisa memandang layar dengan tatapan kosong. Setiap kali dia mencoba untuk menulis, kata-kata tampaknya melarikan diri darinya. Naskah yang harus dia kirimkan pada Ninik terasa seperti beban yang semakin berat di pundaknya. Tapi, dia tahu dia tidak bisa mundur dari tanggung jawab ini. Uang yang dia hasilkan dari pekerjaan menulis itulah yang membantunya bertahan hidup.
Lisa menghela napas dalam-dalam, mencoba memusatkan konsentrasi dan memanggil inspirasi. Dia menutup mata sejenak, berusaha mengumpulkan ceceran pikirannya. Namun, bayangan peristiwa terakhir dengan Ardi dan kesulitannya saat ini terus menghantuinya seperti setan yang tak kunjung pergi.
“Sial. Kenapa ini begitu sulit?” gumam Lisa pada dirinya sendiri. Beban pekerjaan menulis semakin terasa berat, dan kekosongan di depan layar semakin membesar di matanya. Inspirasinya seakan telah menguap begitu saja, meninggalkannya dalam kehampaan kata-kata.
Tanpa harapan, Lisa menutup laptopnya dengan gerakan perlahan. Dia memijiti kepalanya, pusing terasa semakin menggelayutinya. Tidak hanya pekerjaan menulis, tapi semua masalah dalam hidupnya tampaknya menumpuk menjadi satu beban yang tak tertahankan.
Pikirannya mulai melayang, mencari-cari pekerjaan lain yang bisa dilakukannya untuk menghasilkan uang. Namun, setiap ide yang muncul seolah terasa tidak mungkin atau tidak sesuai dengan kemampuannya. Lisa merasa terjebak dalam situasi yang sempit dan tanpa jalan keluar.
Tiba-tiba, sebuah kilatan menyapu pikirannya. “Ah, ... cek itu!”
Lisa teringat pada selembar cek yang diberikan pria itu padanya. Dengan hati berdegup kencang, dia menggali tasnya dengan cepat. Matanya berbinar lega ketika menemukan cek yang sudah kusut di dalamnya. Sayangnya cek itu tidak bisa dicairkan tanpa tanda tangan si pemilik rekening, alias pria itu.
“Untung saja dia meninggalkan nomor telepon," gumam Lisa seraya mengambil ponselnya dan menelepon pria itu. Setiap kali deringan telepon semakin mendekat, jantungnya berdebar semakin cepat.
“Halo,” suara bariton yang rendah namun jernih akhirnya terdengar setelah beberapa deringan. Perasaan Lisa seketika menghangat. Suara pria itu terasa memberikan kedamaian tersendiri dalam Hatinya.
Lisa menelan ludah, berusaha meredakan ketegangan yang ada di dadanya.
“Hai, ini aku. Kamu ingat kan ..., pernah memberiku selembar cek?”
Hening sejenak.
“Saya sering mengeluarkan cek. Bisa tolong lebih spesifik sebutkan, cek yang mana ya? Cek untuk keperluan apa? Dan maaf, saya sedang bicara dengan siapa ya?” ujar pria itu dengan nada bicara yang formal, bukan seperti nada bicara pria yang dikenal Lisa sebelumnya.
***
Halo teman-teman semuanya, jumpa lagi dalam novel terbaru author ini. Selamat membaca dan boleh tinggalkan komentarnya ya :)
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk
Bambang duduk di samping Dennis, merangkulnya dengan lembut sambil memandang jauh ke laut yang tenang di depan mereka. "Dennis, janganlah sedih karena pernikahan ayah Vincent dengan tante Lisa," ucapnya dengan suara lembut.Dennis menoleh ke arah Bambang, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan. "Tapi, Om, aku merasa sedih. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting," gumamnya sambil memandang ke lautan di hadapannya.Bambang tersenyum lembut, memahami perasaan keponakannya. "Dennis, kamu harus tahu bahwa pernikahan adalah bagian dari takdir yang telah diatur oleh Gusti Allah. Ayah Vincent selama ini belum aja ketemu sama jodohnya, makanya nggak nikah-nikah sejak cerai sama bundamu. Jangan kamu sesali juga perceraian bundamu sama ayah Vincent. Itu namanya nggak jodoh.”Dennis mendengarkan, sesekali ia menghela napasnya yang terdengar berat. sepertinya bocah remaja itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bambang. "Nggak usahlah kamu repot-repot mikir kenapa
Suasana makan malam antara keluarga Vincent dan keluarga Lisa dari Italia berlangsung dalam atmosfer kekeluargaan yang hangat dan penuh keakraban. Dante masih terkesima setelah mengetahui tentang kesuksesan Tuan Rain di Indonesia, begitu pula dengan putranya yang akan segera menikahi cucunya, Lisa."Putramu sangat tampan, Rain," puji Dante yang masih merasa terpukau melihat ketampanan Vincent sejak awal mula mereka bertemu. Vincent pun hanya tersenyum mendengar pujian dari calon mertuanya."Cucumu juga sangat cantik, Dante. Mereka sepadan," balas Tuan Rain dengan rendah hati, tersenyum bangga pada Lisa, calon menantunya."Selain cantik, Lisa juga cerdas. Dia bahkan menguasai 6 bahasa asing. Bukankah itu luar biasa?" timpal Nyonya Rose, mengumumkan bakat dan kecerdasan Lisa di hadapan semua orang.Tuan Rain menoleh kepada istrinya, "Sayangku, perlu kamu tahu,” ucapnya seraya mengerling pada Dante yang duduk berhadapan dengan mereka. “Kemampuan Dante menguasai bahasa asing sangat menonj
Hari-H pernikahan Vincent dan Lisa semakin dekat, dengan hitungan hari yang semakin berkurang. Kedatangan keluarga Lisa dari Italia telah menjadi momen yang sangat dinantikan. Di tengah suasana persiapan yang kian sibuk, Nyonya Rose telah menyusun rencana untuk menyambut mereka dengan sebuah jamuan makan malam di sebuah hotel mewah terbaik di Jakarta. Di sana pula tempat menginap bagi para tamu dari keluarga Lisa yang telah tiba dari Italia. Ketika Nyonya Rose dan Tuan Rain memasuki restoran di hotel itu, sorot mata mereka segera tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sebelah Lisa. Tuan Rain, yang pertama kali melihatnya, mendesis pelan. “Dante?” gumamnya dengan suara rendah, matanya menyipit saat mencoba mengidentifikasi sosok tersebut. Semua orang memandang kehadiran Nyonya Rose dan Tuan Rain dengan tatapan hormat disertai senyuman hangat di mata mereka, termasuk pria berambut putih di sana. Pada saat itulah, Tuan Rain mengamati lagi pria tua yang ada di sebelah Lisa itu denga