Share

6. Terusir

Keadaan membuat Lisa teramat marah. Ingin rasanya dia pergi menemui Ardi dan melabrak mantan suaminya itu. Tapi dia pikir, kemungkinan Ardi masih berada di Lombok saat ini. Lisa memutuskan untuk meneleponnya. 

Dia menempelkan benda pipih itu ke telinganya dengan jantung berdebar-debar, menunggu respons Ardi. Setelah beberapa waktu, suara sang mantan akhirnya terdengar di ujung telepon.

“Halo.” 

“Pihak bank menyita rumahku hari ini,” kata Lisa tanpa basa-basi.

“Lalu?” Ardi menyahut dengan entengnya.

“Kamu bilang akan melunasi utang itu. Tapi mana? Mereka menyita rumahku, berarti kau tak pernah membereskan utang itu, kan?” cecar Lisa sambil menangis.

Ardi malah tertawa. “Lucu banget? Padahal kamu yang butuh uang sebanyak itu. Aku cuma membantumu mendapatkan pinjaman dengan mengagunkan rumahmu.”

“Kamu tahu sendiri mamaku saat itu sakit keras, Ar! Aku butuh dana cash dalam jumlah besar, lalu kamu yang mengusulkan agar aku meminjam bank dengan jaminan rumah itu. Dan kamu bilang akan membantuku mengangsur cicilannya. Tapi ka—”

“Kita sudah bercerai, Lisa! Urusan finansialmu bukan urusanku lagi,” ketus Ardi, memotong ucapan Lisa yang belum selesai.

“Tapi kamu tahu itu rumah ibuku, Ar! Kamu tahu bagaimana kami dulu—”

“Sejak awal, pernikahan kita adalah sebuah paksaan yang hanya merugikan aku! Bahkan setelah bercerai dariku pun, kamu masih ingin menggangguku? Kenapa tak minta bantuan saja pada lelakimu itu, kelihatannya dia bukan orang susah kan? Kenapa harus aku, yang bukan lagi siapa-siapamu?” desis Ardi seperti menahan kemarahan. 

Ardi rupanya betul-betul mengira Lisa dan ‘pria itu’ memiliki hubungan khusus. 

“Jangan macam-macam denganku, Lisa. Aku bisa berbuat lebih bila kamu mengusik hidupku yang sudah tenang ini, bukan hanya membuatmu jadi gelandangan seperti sekarang. Mengerti?” 

“A-apa maksudmu? Jadi kamu memang sengaja melakukannya ya? Agar membuatku kehilangan rumahku? Halo? Halo! Aku belum selesai denganmu sialan!” 

Lisa menggeram marah karena Ardi sudah memutus sambungan telepon. Dia menelepon Ardi lagi, tetapi tak ada tanggapan. Kemudian dia mengirimi mantan suaminya itu sebaris pesan, tapi ternyata Ardi telah memblokirnya.

“Dasar bajingan tengik!” Lisa memaki sambil meremas ponselnya dengan perasaan kalut sambil menangis. Baru saja dia selesai berlibur untuk menenangkan hatinya, tapi kini dia harus kembali dihadapkan pada kehidupannya yang seperti gumpalan awan gelap yang tak kunjung berlalu. 

Air matanya mengalir, dan setiap isak tangisnya menciptakan suara kesedihan yang terus memenuhi ruangan. Dia merasakan perih di dadanya, bukan hanya karena kehilangan rumah, tetapi juga karena janji kosong Ardi yang telah membuatnya seperti ini.

Lisa terduduk di lantai dingin, merangkul tubuhnya sendiri dalam pelukan yang tak mampu menghangatkan. Dia berharap ada seseorang yang bisa mendengar jeritan hatinya, memahami betapa hancurnya dia saat ini. Namun, ruangan itu hanya memantulkan kesepian dan kehampaan.

Esok paginya, Lisa merasa seperti seorang pengembara dalam kota, membawa sejumput kenangan di dalam tasnya dan hati yang berat. Setelah berputar-putar mencari tempat, dia akhirnya menemukan sebuah kos kecil yang terletak di sudut gang sempit. Dengan langkah gontai, dia memasuki kamarnya yang sederhana.

“Ruangan ini kecil, tapi masih saja terasa kosong,” gumam Lisa sambil tertawa miris pada dirinya sendiri.

Dia tak memiliki perabotan yang berharga yang bisa dibawa dari rumahnya. Dia sudah menjualnya untuk membiayai pengobatan ibunya yang menderita kanker. Hanya ada dispenser air panas, kipas angin, dan alat makan secukupnya. Lisa tak mengeluarkan pakaiannya dari dalam kopor karena tak memiliki lemari. 

Sebenarnya Lisa bisa saja pergi ke rumah bibinya yang berada di Depok dan menumpang tinggal di sana. Adik ibunya itu pasti mengizinkan karena di rumah itu ada 2 kamar kosong yang salah satunya bisa dia tempati untuk sementara waktu.  Tetapi, dengan usianya yang sudah 27 tahun ini, Lisa merasa malu dan tak ingin merepotkan keluarganya. Dia harus bisa mandiri apapun yang terjadi.

Belum lagi bibinya kerap menyesalkan perceraiannya dengan Ardi dan sering mengocehkan hal yang sama berulang-ulang. “Dia menantu idaman ibumu, Lisa. Ardi pria yang baik, cobalah kamu membuka hatimu padanya. Usia pernikahan 2 tahun memang belum ada apa-apanya, semua rumah tangga pasti ada saja ujiannya.”

Lisa bosan mendengarnya. Dia juga enggan menjelaskan apa yang terjadi dalam rumah tangganya selama 2 tahun itu, karena baginya percuma. Semua orang selalu bisa memaklumi semua tindakan Ardi, tapi tak ada yang peduli tentang bagaimana dengan perasaan Lisa.

Malam pertama tinggal di kamar kos, Lisa tidur dengan penuh kepahitan di hatinya. Dia bermimpi tentang waktu-waktu bahagia bersama ibunya, tetapi mimpi itu selalu berakhir dengan kehancuran rumah dan senyum ibunya yang pudar. Kejadian-kejadian itu menghantui tidurnya, membuatnya terbangun dengan keringat dingin di dahi. 

“Masih jam 3 pagi,” desah Lisa sambil meletakkan ponselnya kembali setelah memeriksa waktu. Namun ia tak bisa melanjutkan tidurnya lagi.

“Ah, lebih baik aku menulis saja. Besok Ninik pasti cerewet menagih naskah ini,” gumam Lisa sambil duduk memangku laptop terbuka di hadapannya. 

Lisa memandang layar dengan tatapan kosong. Setiap kali dia mencoba untuk menulis, kata-kata tampaknya melarikan diri darinya. Naskah yang harus dia kirimkan pada Ninik terasa seperti beban yang semakin berat di pundaknya. Tapi, dia tahu dia tidak bisa mundur dari tanggung jawab ini. Uang yang dia hasilkan dari pekerjaan menulis itulah yang membantunya bertahan hidup.

Lisa menghela napas dalam-dalam, mencoba memusatkan konsentrasi dan memanggil inspirasi. Dia menutup mata sejenak, berusaha mengumpulkan ceceran pikirannya. Namun, bayangan peristiwa terakhir dengan Ardi dan kesulitannya saat ini terus menghantuinya seperti setan yang tak kunjung pergi.

“Sial. Kenapa ini begitu sulit?” gumam Lisa pada dirinya sendiri. Beban pekerjaan menulis semakin terasa berat, dan kekosongan di depan layar semakin membesar di matanya. Inspirasinya seakan telah menguap begitu saja, meninggalkannya dalam kehampaan kata-kata.

Tanpa harapan, Lisa menutup laptopnya dengan gerakan perlahan. Dia memijiti kepalanya, pusing terasa semakin menggelayutinya. Tidak hanya pekerjaan menulis, tapi semua masalah dalam hidupnya tampaknya menumpuk menjadi satu beban yang tak tertahankan.

Pikirannya mulai melayang, mencari-cari pekerjaan lain yang bisa dilakukannya untuk menghasilkan uang. Namun, setiap ide yang muncul seolah terasa tidak mungkin atau tidak sesuai dengan kemampuannya. Lisa merasa terjebak dalam situasi yang sempit dan tanpa jalan keluar.

Tiba-tiba, sebuah kilatan menyapu pikirannya. “Ah, ... cek itu!” 

Lisa teringat pada selembar cek yang diberikan pria itu padanya. Dengan hati berdegup kencang, dia menggali tasnya dengan cepat. Matanya berbinar lega ketika menemukan cek yang sudah kusut di dalamnya. Sayangnya cek itu tidak bisa dicairkan tanpa tanda tangan si pemilik rekening, alias pria itu.

“Untung saja dia meninggalkan nomor telepon," gumam Lisa seraya mengambil ponselnya dan menelepon pria itu. Setiap kali deringan telepon semakin mendekat, jantungnya berdebar semakin cepat.

“Halo,” suara bariton yang rendah namun jernih akhirnya terdengar setelah beberapa deringan. Perasaan Lisa seketika menghangat. Suara pria itu terasa memberikan kedamaian tersendiri dalam Hatinya.

Lisa menelan ludah, berusaha meredakan ketegangan yang ada di dadanya. 

“Hai, ini aku. Kamu ingat kan ..., pernah memberiku selembar cek?”

Hening sejenak.

“Saya sering mengeluarkan cek. Bisa tolong lebih spesifik sebutkan, cek yang mana ya? Cek untuk keperluan apa? Dan maaf, saya sedang bicara dengan siapa ya?” ujar pria itu dengan nada bicara yang formal, bukan seperti nada bicara pria yang dikenal Lisa sebelumnya.

***

Indy Shinta

Halo teman-teman semuanya, jumpa lagi dalam novel terbaru author ini. Selamat membaca dan boleh tinggalkan komentarnya ya :)

| 3
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Zalina Raib
hii.. cerita yg menarik.. ...️
goodnovel comment avatar
Indy Shinta
Terima kasih, Kak Sophia. Dorongan semangat dari pembaca adalah energiku :)
goodnovel comment avatar
Sophia Setiawan
Halo kak Indy.. senang banget begitu liat notif udh rilis cerita baru.. selalu sehat dan tetap semangat yaa kak ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status