Kekecewaan terasa melingkupi perasaan Lisa. Dia merasa seperti sedang bertepuk sebelah tangan.
“Wah. Sepertinya, aku bukanlah satu-satunya partner ‘cinta semalam’-mu ya?” Lisa berkata sambil menjaga ketenangan suaranya dalam menanggapi ucapan pria itu tentang dia sering mengeluarkan cek.
Terdengar tawa lirih pria itu. “Oh, ini kamu ya? Maaf, waktu itu aku pergi buru-buru karena ada hal mendesak. Tidurmu terlihat nyenyak sekali saat itu, aku—”
“Bisa kita bertemu? Nanti siang. Ini juga mendesak. Penting.” Lisa sengaja memotong ucapan pria itu.
Diam-diam rasa kesal bercampur senang menyelimuti hatinya, setidaknya pria itu masih mengingatnya. Tapi Lisa tak ingin bermain-main perasaan lagi dengannya. Pengalaman semalam bersamanya itu saja sudah cukup.
“Siang nanti jadwalku padat, bagaimana kalau jam 9 pagi saja? Kita ketemu di coffee shop yang ada di lantai dasar Gedung Menara 2 Sutomo Group?”
“Oke.”
“Ada lagi yang ingin kamu sampaikan?”
“Tidak, itu saja. Kita bisa bicara lagi nanti saat bertemu saja.”
“Baiklah, sampai jumpa.”
Kata-kata 'sampai jumpa' pria itu membuat Lisa diam-diam tersenyum. Ada rasa senang yang menyelinap dalam hatinya. Meskipun dia sendiri tak mengerti dalam konteks apa rasa senangnya ini muncul.
“Sampai jumpa,” balas Lisa.
***
Lisa mengejar waktu dengan napas terengah-engah saat berlari menuju halte busway. Dia tahu pertemuan dengan pria itu sangat penting, dan dia tidak ingin membuatnya menunggu terlalu lama. Namun, masalahnya, busway yang dia tunggu sudah penuh sesak dengan penumpang.
Setelah berhasil menembus kerumunan dan masuk ke dalam busway, Lisa segera meraih pegangan untuk berdiri. Dia melihat ke jam tangannya dengan cemas, menyadari bahwa dia harus sampai di Gedung Menara 2 Sutomo Group tepat waktu.
Tetapi perjalanan tidak berjalan mulus. Macet di jalanan membuat busway melambat, dan waktu terus berjalan tanpa ampun. Kepanikan melanda dalam dirinya, ia berharap bus ini bisa meluncur cepat menuju tujuan.
Saat akhirnya bus berhenti di halte yang tepat, Lisa langsung turun dengan tergesa-gesa. “Maaf, permisi,” ujar Lisa ketika berusaha mencari celah untuk membelah kerumunan di depannya. Langkahnya yang terburu-buru berbarengan dengan penumpang lain yang juga terburu-buru menuju tujuan kerja mereka.
Lisa mengamati sekitar, mencari tanda-tanda Gedung Sutomo Group. Dia melihat gedung megah itu menjulang tinggi di tengah keramaian kota Jakarta. Iapun mengikuti arah langkah para pekerja kantoran yang bergegas menuju gedung tersebut.
Saat langkahnya semakin mendekati gedung, Lisa bisa merasakan perasaan gugupnya semakin meningkat. Dia memeriksa penampilannya sejenak, berusaha tampak sebaik mungkin meskipun terengah-engah dan berkeringat akibat perjalanan yang terburu-buru.
“Huft, kayak gini rasanya kerja kantoran ya. Kayak dikejar-kejar setan kalau telat,” gumam Lisa seraya mengamati dengan penuh kekaguman gedung megah Sutomo Group yang menjulang tinggi di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta.
Gedung-gedung tersebut, yang diberi nama Menara 1 dan Menara 2 Sutomo Group, terdiri dari struktur modern yang elegan dan mewah. Menara 1 terletak di sebelah kiri, dengan desain arsitektur yang mengesankan keanggunan dan kekuatan. Fasad kaca yang transparan memantulkan sinar matahari, menciptakan kilauan indah di permukaan bangunan. Para pekerja kantoran tampak sibuk di balik jendela-jendela kaca, sementara pohon-pohon hijau di sekitar gedung memberikan sentuhan alam di tengah kemegahan struktur modern.
Sementara itu, Menara 2 berdiri di sebelah kanan, memberikan kontras yang harmonis dengan desainnya sendiri. Gedung ini lebih futuristik dengan garis-garis yang bersih dan minimalis. Lampu-lampu LED di sepanjang tepi gedung memberikan cahaya yang indah saat senja mulai menjelang. Logo Sutomo Group yang besar terpampang dengan bangga di dinding luar gedung, memberikan identitas yang kuat pada bangunan tersebut.
Suasana di sekitar gedung-gedung itu penuh dengan energi sibuk. Para pekerja kantoran yang berpakaian rapi dan profesional berlalu-lalang dengan tergesa-gesa. Mobil-mobil mewah milik para direksi dan tamu diparkir di depan gedung, menciptakan pemandangan yang mencerminkan kekayaan dan kejayaan bisnis Sutomo Group.
Lisa melangkah dengan hati yang berdebar-debar menuju pintu masuk gedung. Terlepas dari gugupnya, dia merasa kecil di hadapan kemegahan dua gedung kantor tersebut. Namun, tekadnya untuk menghadapi pria itu semakin kuat seiring langkahnya mendekati area lobi gedung.
“Bagaimanapun, cek seratus juta itu harus bisa kucairkan,” gumam Lisa penuh harapan ketika ia memasuki satu-satunya coffe shop yang terletak di lantai dasar gedung Menara 2 Sutomo Group.
Lisa memasuki satu-satunya coffee shop yang ada di lantai dasar gedung Menara 2 Sutomo Group. Pintu kaca besar terbuka di depannya, dan aroma kopi yang harum menyambutnya begitu ia melangkah masuk. Ia mencari dengan pandangan mata apakah sosok pria itu sudah berada di sana. Namun, setelah memeriksa sekeliling, dia belum melihatnya.
Ruangan coffe shop ini terang benderang dengan desain interior yang terkesan eksklusif. Barista dengan seragam rapi sibuk di balik meja counter, sedang menyajikan kopi dengan penuh dedikasi. Lisa mengambil napas dalam dan memutuskan untuk memesan kopi. Dia mendekati counter dan Barista yang ramah menyambutnya dengan senyuman.
"Selamat pagi! Ada yang bisa saya bantu?" tanya barista dengan ramah.
Lisa menjawab dengan senyum kecil. "Saya mau kopi Robusta yang lebih ramah untuk lambung saya. Punya rekomendasi?
“Bagaimana kalau Kopi Gayo dari Aceh, Kak? Ini kopi Robusta dengan rasa yang kuat, tetapi keasamannya cenderung lebih rendah dibandingkan beberapa varietas Robusta lainnya.”
“Oke,” angguk Lisa.
“Baik, Kak. Ini ada Espresso untuk cita rasa yang kental, Americano untuk yang lebih ringan, atau kalau Kakak suka, kita bisa buatkan cappuccino?”
“Americano. Dan tidak ada tambahan, tolong.”
“Baik, Americano dari Kopi Gayo tanpa tambahan ya, Kak.” Barista mencatat pesanannya dengan cekatan setelah memberikan rekomendasi untuk Lisa.
“Terima kasih sudah memesan. Silakan dilanjutkan pembayarannya dulu ya, Kak. Nanti akan kami antar kopinya ke meja Kakak.”
“Oke, makasih ya.”
"Terima kasih kembali, Kak," jawab si barista sambil tersenyum.
Lisa menuju kasir dan hatinya sesak saat mendengar si kasir menyebutkan sejumlah harga yang harus dia bayar. "Sial, betapa mahalnya harga secangkir kopi saja!" Lisa mengumpat dalam hati seraya terpaksa merogoh kocek lebih dalam sepagi ini.
Ia merogoh tasnya untuk mengambil dompet dan begitu dompet itu terbuka, kenyataan pahit pun menyergapnya. Hanya ada beberapa helai uang kertas dan sejumlah koin recehan yang tertinggal di dasar tasnya. Dia betulan bokek. Pada saat seperti ini, setiap koin, setiap uang recehan, menjadi begitu berharga.
"Maaf, kekurangan dua puluh ribunya saya bayar pakai koin ya," katanya sambil mengeluarkan uang koin dari dalam tasnya dan mulai menghitungnya.
Tumpukan koin itu seakan menjadi saksi bisu dari situasi keuangannya yang memprihatinkan. Beberapa koin sepertinya sudah melalui berbagai perjalanan dan tangan, sehingga kehilangan kilauannya yang dulu mungkin pernah ada.
“Ini ya kekurangannya: dua puluh ribu,” kata Lisa sambil meletakkan setumpuk koin di meja kasir, tapi saat tangannya hendak bergerak menjauh, tiba-tiba tumpukan koin itu tersenggol oleh ujung jarinya secara tidak sengaja. Koin-koin itupun berjatuhan ke lantai, menciptakan suara riuh kecil yang mengundang perhatian seisi ruangan dan membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
“Ah, sialan …,” gerutunya sambil berjongkok untuk memungut satu per satu koin yang berceceran di lantai. Rasa malu dan kesal menyelimuti dirinya. Setiap koin yang dia ambil seperti menambah beban di pundaknya yang sudah terasa begitu berat.
Tiba-tiba, di tengah kekacauan itu, ada tangan yang mengulurkan dua keping koin miliknya. Lisa menoleh dan terkejut ketika bertatapan dengan sepasang mata indah sewarna karamel seorang pria.
Pria yang membantunya memungut koinnya itupun tersenyum, menciptakan boxy smile yang khas setiap kali dia tersenyum lebar. Dan di balik senyum itu, ada kehangatan dan kebaikan yang membuat hati Lisa berdebar-debar.
“Ini koinmu,” kata pria itu dengan suara baritonnya yang khas, rendah namun jernih.
***
“Tepat jam 9 kan,” pria itu berkata seraya mengangkat dan melirik arloji di tangannya, “aku nggak terlambat, kan? Apa kamu juga baru datang?” ujarnya sambil tersenyum. Pria itu berdiri di hadapan Lisa, tinggi tegap. Balutan jas abu-abu gelapnya memberikan sentuhan elegan yang menonjolkan kegagahan. Meskipun dasinya belum terpasang, pria itu tampak begitu menawan dengan aura maskulin yang melingkupinya. Jasnya dipadukan dengan kemeja putih bersih yang dua kancing bagian atasnya dibiarkan terbuka. Rambut cokelatnya yang teratur menambah kesan tegas pada wajahnya yang tampan. Matanya, yang berwarna karamel, memancarkan kepercayaan diri dan kepribadian yang kuat. Senyum yang menghiasi bibirnya menambah pesona pada setiap gerakan tubuhnya yang elegan. “Yeah,” Lisa mengangguk, “aku baru saja memesan kopi,” lanjutnya. Pria itu kemudian menoleh pada si kasir. “Mbak. Kembalikan uangnya, dia tamu saya, digabung saja dengan tagihan saya. Dan, tolong buatkan kopi saya seperti biasa ya,” katany
“Done. Seratus juta. Bukti transfernya sudah kukirim ke nomormu,” kata Vincent sambil tersenyum santai, seakan seratus juta hanya angka yang biasa baginya. Lisa, di sisi lain, merasakan kelegaan saat melihat saldo rekeningnya bertambah, meskipun masih jauh dari total tunggakan utang yang membebani pikirannya. Tapi setidaknya, dengan kondisinya yang bokek berat dan tak punya pekerjaan tetap, dia bisa bertahan hidup dengan uang ini. ‘Dia pasti tajir mampus,’ pikir Lisa dalam hatinya, sambil menutup aplikasi m-banking. “Oke. Makasih,” ucapnya lirih. “Nah. Urusan kita sudah selesai, kan?” Suara bariton Vincent memecah lamunan Lisa. “Eh, i-iya. Sudah. Terima kasih,” angguk Lisa. Bersamaan dengan itu, seorang pramusaji datang membawa nampan yang berisi kopi pesanan mereka. “Tak perlu berterima kasih, aku yang harusnya berterima kasih. Juga, maaf karena aku betul-betul tak sengaja tidak menandatanganinya,” kata Vincent sambil mengangguk sopan. Lisa tersenyum sejenak pada si pramusaji y
Vincent melangkah tegap memasuki lobi gedung Menara 2 Sutomo Group. Seorang petugas keamanan, yang tampak telah terlatih dengan baik, dengan sigap membuka jalan. "Permisi, tolong beri jalan, Pak Vincent mau lewat," ucapnya tegas. Kerumunan karyawan di sekitar lift pun dengan patuh membuka jalan, memberikan penghormatan yang nyata pada sosok pimpinan tertinggi yang tengah melewati mereka. Petugas keamanan itu dengan cekatan menekan tombol di sisi lift VIP. Lift pun membuka pintunya. "Silakan, Pak," ucapnya penuh hormat. Vincent melangkah memasuki lift, aura kharismatiknya mengisi ruangan seketika. Seakan lantai lift menjadi panggung bagi kharismanya yang tak tertandingi. Para karyawan tak bisa menyembunyikan decak kagum, terpesona oleh sosok CEO mereka yang seperti magnet, selalu menarik perhatian dan rasa hormat. Ketika pintu lift tertutup, Vincent menunduk menatap lantai. Gemerincing koin milik Lisa yang berjatuhan di lantai coffee shop tadi seperti menariknya kembali pada sebu
Walaupun ada seratus juta di rekeningnya, tapi Lisa sadar tak boleh boros dengan uang yang dimilikinya itu. Dia tetap memilih warteg sebagai tempat makan siangnya. Baginya, membeli makanan matang terasa lebih hemat dan praktis, terutama karena dia tak begitu mahir memasak. Lisa telah merencanakan pengeluarannya dengan ketat, memastikan setiap belanjaan atau pembayaran yang dilakukannya memiliki nilai tambah sesuai dengan kebutuhan yang benar-benar diperlukan. Apalagi pendapatannya dari menulis masih belum stabil. Persaingan penulisan di tengah menjamurnya pertumbuhan aplikasi novel online yang menawarkan beragam cerita unik, membuat Lisa harus bekerja keras melahirkan ide-ide cerita yang kreatif, tapi sesuai dengan selera pasar. Sejenak kemudian, Lisa terhanyut dalam imajinasinya, memvisualisasikan momen-momen intim antar karakternya. _______________________________ Api gairah menyebar cepat dalam dirinya. Tubuh Alessandra menggelinjang ketika jemari Damien bergerak lincah memb
“Kamu kerja di sini?” tanya Lisa mengabaikan sikap ketus Ardi. Dia lelah meladeni sikap Ardi yang selalu menganggapnya sebagai musuh. Padahal mereka pernah memiliki hubungan baik di masa lalu, karena itulah Lisa dulu mau saja dijodohkan dengannya.“Kenapa tanya-tanya? Mau pinjam duit kalau tahu gajiku sekarang jauh lebih besar? Ckckck, kita udah selesai. Masalah finansial kamu bukan lagi—”“Aku tahu, nggak usah dilanjutin.” Lisa sengaja memotong ucapan Ardi yang sudah dia hafal betul arahnya bakal menuju ke mana. Apalagi kalau bukan untuk mengungkit betapa Lisa selama ini telah menjadi parasit baginya.‘Bahkan nafkah bulanan yang seharusnya kuterima sebagai istri saja, dia anggap sebagai beban keuangan yang bukan merupakan kewajibannya,’ gumam Lisa merasa miris. Tangannya terkepal erat, menahan diri agar jangan sampai memukul Ardi yang membuatnya merasa ingin menjerit marah sepagi ini gara-gara kasus rumahnya.“Aku harap kamu selalu ingat, Ar, bahwa kamu menantu idaman mamaku. Tapi k
Angin sepoi-sepoi pantai Lovina menyapu wajah Vincent yang tertawa lepas. Pasir putih pantai menggeliat di bawah kakinya, sepanjang dia berusaha mempertahankan layangannya dari korotan layangan Dennis di angkasa. “Aaah. Sial!” seru Vincent sambil terbahak-bahak ketika Dennis berhasil membuat tali layangannya putus. “Ah, Ayah payah!” Dennis mencebik, meledek Vincent yang selalu saja kalah tiap beradu layangan dengannya. Sedangkan Vincent cuma tersenyum sambil mengusak rambut Dennis dengan tatapan bangga seorang ayah. “Ayo, Dennis, kita istirahat dulu,” ajak Vincent setelah Dennis selesai membereskan layangannya. Dia merangkul Dennis yang tingginya kini sudah hampir menyamai dirinya, padahal dia masih SMP. “Ayah kalah lagi? Kalau soal layangan memang cuma Uncle Jack jagonya ya, Dennis!” ledek Nuning yang menyambut kedatangan mereka dengan dua buah kelapa muda di tangannya. “Tapi kalau soal trading saham dan valas, hmm jangan tanya lagi,” tambahnya sambil mengerling pada Vincent ser
Lisa mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja sepanjang menantikan jawaban dari Vincent. Hatinya kecut karena panggilannya tak langsung diterima begitu saja, tetapi dia mencobanya lagi. Dan pada panggilan yang ketiga, akhirnya Vincent mengangkat teleponnya. “Ya. Halo?” Lisa tersenyum mendengar suara bariton itu. “Ini aku,” katanya. “Ada apa?” Sahutan tanpa basa-basi dari Vincent serasa menghujam jantung Lisa dengan kekecewaan. Mereka seolah menjadi dua orang asing yang hanya akan membicarakan hal-hal praktis. “Ehm, aku—” Lisa merasa gugup, dia menelan ludah sejenak untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak terasa kering. Terdengar helaan napasnya yang berusaha menenangkan diri sebelum melanjutkan. "Aku kemarin ulang tahun," lanjutnya, mencoba menyelipkan keberanian di dalam suaranya. “Oh. Iya. Selamat ulang tahun. Maaf, aku punya utang janji sama kamu. Aku—” Vincent berusaha menjelaskan, namun Lisa segera memotong dengan nada penuh pengertian. “Aku tahu kamu orang yang dipenuhi
“See? Aku punya uang, kan? Bahkan aku bayar cash pakai kartu debet, bukan kartu kredit. Don’t judge a book by its cover,” kata Lisa seraya berjalan dengan sedikit mengangkat dagu ketika melewati para pelayan toko. Dua tangannya membawa tentengan paper bag berisi barang-barang belanjaan mewah senilai puluhan juta. Sikap para pelayan tadi pun serta merta berubah 180 derajat. Kini mereka memberikan senyum dan gesture hormat yang seharusnya Lisa terima sejak pertama kali menapakkan kakinya di gerai fashion dengan brand ternama ini. Lisa melenggang dengan percaya diri sepanjang menyusuri koridor mall. Matanya menoleh ke sekitar, mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa melengkapi penampilannya buat interview besok. Tepat pada saat ia kembali menatap ke depan, dia melihat Ardi yang tengah bergandengan mesra dengan Mina. “Sial. Lagi-lagi ketemu pasangan memuakkan itu,” gerutunya.Ardi dan Mina juga terkejut saat berpapasan dengan Lisa. Di mata mereka, Lisa masih saja tetap terlihat cantik m