Beranda / Romansa / Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar / Bab 4 : Godaan yang Tak Terelakkan

Share

Bab 4 : Godaan yang Tak Terelakkan

Penulis: Vanilla_Nilla
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-22 18:34:44

Maura mengepalkan tangannya erat-erat hingga buku-buku jarinya memutih, darahnya terasa berdesir cepat seiring matanya yang tak bisa lepas dari pemandangan itu. Suaminya, lelaki yang selalu ia banggakan, yang dulu ia perjuangkan mati-matian, tengah bercinta dengan wanita lain. Dan yang paling menusuk jantungnya, wanita itu adalah adik sepupunya sendiri.

“Sejak kapan mereka bermain di belakangku?”

“Sudah lama,” jawab Revan.

Sontak Maura menoleh, menatap lelaki itu tak percaya. “Kamu tahu?”

Revan menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Aku sudah tahu. Aku tak sengaja memergoki mereka dulu.”

“K-Kenapa kamu tidak pernah bilang padaku?”

“Aku sudah mengingatkanmu berkali-kali, Maura. Tapi kamu selalu mengacuhkan perkataanku. Kamu terlalu percaya pada dia.”

Benar, Revan memang seringkali menasihatinya, mengingatkannya tentang sikap Dimas yang mulai berubah, sering pulang terlambat, terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dan Maura selalu membela Dimas, selalu menolak untuk curiga.

Namun kini, melihat semuanya dengan mata kepala sendiri, ada sesuatu yang hancur di dalam dirinya. Dimas, lelaki yang selama ini ia kagumi, ternyata tidak sebaik yang ia bayangkan.

“Kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak ingin melabrak mereka?” tanya Revan, nada suaranya terdengar tak sabar melihat Maura hanya berdiri terpaku.

“Ini bukan waktunya.”

Revan menatapnya tidak percaya. “Tidak waktunya? Maura, kamu baru saja melihat mereka berdua ….”

“Aku tahu!” potong Maura. “Aku tahu apa yang aku lihat barusan! Tapi kalau aku melabrak mereka sekarang, itu hanya akan membuatku terlihat menyedihkan. Aku tidak ingin mereka berpikir aku datang jauh-jauh hanya untuk memohon belas kasihan.”

“Tapi …”

“Dimas sudah mengkhianatiku. Aku tidak akan menangis dan merengek di hadapannya. Hal yang harus aku lakukan sekarang adalah membuat mereka hancur … sehancur-hancurnya.” Suara Maura terdengar dingin, ada bara amarah yang membara di dalamnya.

Revan terdiam sejenak, terkejut melihat perubahan sikap Maura. “Apa yang ingin kamu lakukan?” tanyanya hati-hati.

Maura menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras kuat. “Aku akan membalasnya.”

“Dengan cara apa?” Revan mendekat, mencoba membaca isi pikiran wanita itu.

Perlahan, Maura menoleh ke arah Revan. Pandangan matanya menusuk, tidak lagi sekadar istri yang disakiti, tapi seorang perempuan yang siap menyerang balik.

***

Setelah kejadian kemarin, Maura memutuskan untuk tidak lagi membiarkan pikirannya dipenuhi bayangan Dimas. Tidak ada lagi air mata yang layak ia jatuhkan untuk seorang pria yang sudah mengkhianatinya. Menangisi seseorang yang tidak pantas hanya akan membuatnya terlihat lemah, dan ia muak merasa lemah.

Yang ada di kepalanya sekarang hanyalah satu hal, membalas semua luka yang Dimas berikan, menghancurkan hidupnya seperti Dimas menghancurkan hatinya. Namun sebelum semua itu dimulai, ia ingin membersihkan diri. Tubuhnya lengket oleh keringat, dan mandi adalah cara terbaik untuk menghapus rasa penat sekaligus menenangkan pikirannya.

Maura melangkah menuju kamar mandi. Tapi begitu memutar kran wastafel, tak ada setetes air pun yang keluar.

“Kok mati?” gumamnya kesal. Ia mencoba memutar kran shower, hasilnya sama. Air benar-benar tak mengalir.

Rasa jengkel bercampur lelah membuatnya mendengkus keras. Dengan handuk masih tersampir di bahunya, ia keluar kamar, niatnya mencari Revan untuk menanyakan kenapa air mati. Langkahnya terburu-buru, rambutnya sudah terikat asal, dan wajahnya masih merah karena emosi yang belum reda.

Di ruang tengah, Revan yang sedang duduk di sofa menoleh cepat begitu mendengar suara pintu terbuka. Alisnya terangkat melihat Maura keluar hanya dengan pakaian rumah dan handuk di bahu.

“Ada apa?” tanya Revan pelan.

“Airnya mati. Aku mau mandi malah nggak bisa. Kenapa sih?” Nada kesal Maura terdengar jelas.

Revan bangkit berdiri. “Mungkin pompa airnya mati. Biar aku cek dulu. Kalau kamu mau mandi, pakai saja kamar mandiku, di sana masih banyak air.”

Maura hanya mengangguk singkat, menyilangkan tangan di dada. Frustrasi yang sedari tadi ia tahan kembali mendesak keluar. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah cepat menuju kamar Revan.

Pintu kamar itu terbuka dengan bunyi kecil. Begitu masuk, Maura sempat tertegun. Meski kamar seorang pria, tempat itu begitu rapi. Seprai ranjang tertata tanpa satu pun kerutan, aroma wangi sabun bercampur harum kayu dari pengharum ruangan menyambutnya. Ia tahu sejak dulu Revan memang tipe lelaki yang suka kebersihan, tapi melihat langsung kamarnya seperti ini membuatnya sedikit kagum.

Tatapannya sempat berhenti pada rak buku di sudut ruangan. Ada beberapa buku tentang bisnis, motivasi, juga satu-dua novel yang membuatnya mengernyit heran. Revan selalu terlihat cuek, tapi ternyata ia punya sisi yang berbeda.

Maura meletakkan handuk di tepi ranjang, lalu masuk ke kamar mandi. Suara air yang mengalir akhirnya menenangkan kepalanya yang riuh oleh amarah dan kecewa.

Beberapa menit kemudian, setelah selesai mandi dan keluar dari kamar mandi, Maura buru-buru melangkah menuju kamarnya. Handuk putih yang melilit tubuhnya menjadi satu-satunya penghalang antara kulitnya dan udara dingin. Ia baru ingat, baju ganti tertinggal di kamar.

Begitu tiba di kamar, langkahnya terhenti mendadak. Napasnya tercekat melihat Revan berdiri di sana, memegang sesuatu yang seharusnya tersembunyi rapat di bawah tempat tidurnya, alat yang selama ini hanya berani ia gunakan di saat kesepian.

“Kak Revan! Apa yang kamu lakukan?” suara Maura terdengar tajam, meski ada nada panik di dalamnya.

Revan berdiri tegak, memegang benda itu dengan heran. “Aku cuma mau pastikan air di kamar kamu sudah nyala ... tapi aku menemukan ini di bawah ranjangmu.”

Tatapan Maura membeku. Wajahnya memanas, bukan hanya karena malu, tapi juga karena merasa privasinya diusik. “Itu ... itu bukan urusan Kakak,” suaranya melemah karena gugup.

Revan melangkah mendekat, matanya menatap lurus ke arah Maura. “Maura ... kamu menggunakan benda ini? Untuk ... memuaskan dirimu?”

Bibir Maura kaku, tak sanggup langsung menjawab. Ia hanya bisa memeluk handuknya lebih erat sambil menunduk.

“A-aku ...” napas Maura memburu. “Kak Revan, tolong kembalikan itu.”

Suasana kamar mendadak hening, hanya terdengar napas mereka yang saling bertabrakan. Revan menatapnya cukup lama, ia ingin membaca semua luka dan kesepian yang Maura simpan sendiri.

“Kenapa kamu sampai harus melakukan ini, Maura?” suara Revan terdengar rendah. “Apa kamu ... sudah sebegitu kesepiannya?”

Mata Maura memerah. Pertanyaan itu menusuk terlalu dalam, tepat di titik rapuh yang selama ini ia sembunyikan. “Ya,” jawabnya pelan. “Aku kesepian. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali Dimas menyentuhku.”

“Kamu tidak pantas merasakan kesepian seperti ini,” ucap Revan lirih.

Revan perlahan menurunkan benda itu, meletakkannya di meja. Pandangannya melembut, ada amarah yang tertahan dalam tatapannya.

“Dimas benar-benar brengsek. Membiarkanmu sendirian di rumah, lalu bersenang-senang dengan wanita lain di belakangmu?” suara Revan terdengar tajam.

“Kamu pantas mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari ini, Maura. Kenapa kamu tidak menceraikannya saja?” lanjut Revan yang dipenuhi oleh emosi. “Kamu juga berhak bahagia. Kamu tidak harus terus bertahan di pernikahan yang hanya membuatmu menderita.”

Maura menunduk. “Aku ... aku belum siap. Semua ini terlalu cepat. Aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana.”

Revan menarik napas panjang, menahan diri untuk tidak mendorong Maura lebih jauh. Pandangannya melembut, tapi nada suaranya tetap tegas.

“Kalau kamu belum siap, setidaknya jangan biarkan dirimu terus disakiti. Jangan biarkan dia merasa bisa memperlakukanmu seperti ini. Maura, kamu juga berhak bahagia. Dan kalau Dimas tidak bisa membahagiakanmu ...” Revan menatap Maura lekat, suaranya pun ikut merendah. “Aku bisa.”

Maura sontak mengangkat wajahnya, matanya melebar menatap Revan. “Dengan ... cara apa?”

Revan melangkah mendekat, perlahan, seakan memberi Maura waktu untuk mundur jika ia mau. Namun Maura tetap tak berkutik, tubuhnya menegang, jantungnya berdegup cepat.

Tangan Revan terangkat, jari-jarinya menyentuh lembut bahu Maura yang terbuka, kulitnya masih lembap oleh sisa air mandi. Sentuhan itu membuat Maura menahan napas.

“Dengan cara ini,” bisik Revan pelan, jemarinya bergerak pelan di sepanjang bahu hingga membuat Maura merinding. “Dengan membuatmu merasa hidup lagi ... membuatmu merasa diinginkan, bukan diabaikan.”

Maura memejamkan mata sesaat, mencoba menahan gejolak perasaan yang campur aduk, ada sebuah rasa asing yang membuat jantungnya berdetak tak terkendali.

“Revan ...” suara Maura begitu lirih, ia memohon. “Jangan ….”

Namun Revan tidak menarik tangannya, hanya menatap Maura dengan sorot mata serius.

“Kamu boleh marah, kamu boleh menolak. Tapi jangan terus-terusan menyiksa dirimu sendiri, Maura. Kamu berhak merasakan apa itu dicintai.”

Saat jarak di antara mereka kian menipis dan bibir hampir bersentuhan, suara bariton Dimas tiba-tiba terdengar dari luar.

“Maura ….”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 5 : Bisikan yang Menggoda

    Sontak Maura mundur beberapa langkah, menjaga jarak dari Revan ketika mendengar suara suaminya dari luar. “Dimas sudah pulang …” gumam Maura gugup, jantungnya berdegup kencang. Revan mengangkat alis. “Kenapa kamu terlihat gugup? Harusnya kamu senang, bukan?” “Kak, cepatlah pergi! Aku tidak ingin Dimas melihat kamu di sini,” bisik Maura panik, jemarinya mencengkeram ujung handuk yang membalut tubuhnya. Revan hanya berdiri diam, senyum tipis muncul di wajahnya. “Kenapa? Bukankah kamu bilang ingin membalas dendam padanya? Aku juga ingin tahu bagaimana reaksi suamimu itu kalau melihat kita begini.” “Tapi, Kak—” Belum sempat Maura menyelesaikan kalimatnya, suara Dimas kembali terdengar, kali ini lebih dekat. “Maura … kamu di mana?” Panik semakin menjadi-jadi. Maura menatap Revan dengan mata memohon. “Kak, tolong pergilah. Aku mohon,” ucapnya setengah berbisik, ia hampir merengek. Namun Revan masih belum beranjak, sengaja menantang keadaan, membuat Maura kian cemas. Pegang

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 4 : Godaan yang Tak Terelakkan

    Maura mengepalkan tangannya erat-erat hingga buku-buku jarinya memutih, darahnya terasa berdesir cepat seiring matanya yang tak bisa lepas dari pemandangan itu. Suaminya, lelaki yang selalu ia banggakan, yang dulu ia perjuangkan mati-matian, tengah bercinta dengan wanita lain. Dan yang paling menusuk jantungnya, wanita itu adalah adik sepupunya sendiri.“Sejak kapan mereka bermain di belakangku?” “Sudah lama,” jawab Revan.Sontak Maura menoleh, menatap lelaki itu tak percaya. “Kamu tahu?”Revan menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Aku sudah tahu. Aku tak sengaja memergoki mereka dulu.”“K-Kenapa kamu tidak pernah bilang padaku?” “Aku sudah mengingatkanmu berkali-kali, Maura. Tapi kamu selalu mengacuhkan perkataanku. Kamu terlalu percaya pada dia.”Benar, Revan memang seringkali menasihatinya, mengingatkannya tentang sikap Dimas yang mulai berubah, sering pulang terlambat, terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dan Maura selalu membela Dimas, selalu menolak untuk curiga.Namun kini,

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 3 : Kenyataan yang Menyakitkan

    “Berapa lama dia cuti?” tanya Maura, suaranya bergetar.Mila menatap Maura sejenak sebelum menjawab, “Sekitar satu minggu, Bu.”Maura menahan napas. Seminggu? Jadi selama ini Dimas tidak bekerja sama sekali?“Kamu tahu dia pergi ke mana?” tanya Maura lagi, kini nada suaranya terdengar lebih mendesak.Mila menggeleng pelan. “Tidak, Bu. Saya tidak tahu pasti.”Maura hampir berbalik pergi, tapi saat itu, Mila menambahkan dengan ragu, “Tapi .…”Langkah Maura terhenti. “Tapi apa?”Mila terlihat bimbang, seperti takut ucapannya membuat masalah. “Tapi saya pernah dengar Pak Dimas bilang … dia ingin sekali pergi ke Bungku.”“Bungku?” Dahi Maura berkerut. “Bukankah itu cukup jauh?”“Iya, Bu. Katanya di sana ada proyek besar yang sedang dia perhatikan. Tapi … setahu saya, belum ada jadwal resmi kunjungan dari kantor.”Maura menggenggam erat kotak bekal di tangannya, berusaha meredam gejolak di dada. Rasanya semakin sulit bernapas. Jadi, selama ini Dimas tidak di kantor, tidak bekerja lembur sep

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 2 : Hangat yang Salah

    “Itu … dia pergi,” jawab Maura sambil menunduk.“Pergi?” Revan memicingkan mata. “Meninggalkanmu sendirian di sini?”Maura menelan ludah, berusaha menahan suara gemetar di tenggorokannya. “Dia … pergi untuk bekerja, Kak.”“Bekerja? Malam-malam seperti ini? Meninggalkanmu sendirian? Apa pekerjaannya lebih penting daripada kamu?”Suara Revan yang tegas membuat Maura semakin terdiam. Lelaki itu kemudian menatap wajah polos Maura yang basah kuyup oleh hujan, bukan hanya wajahnya, tapi seluruh tubuhnya yang kini menggigil kedinginan.Tak terasa air mata Maura mengalir begitu saja, bersamaan dengan hujan yang menetes di wajahnya. Maura hanya berharap Revan tidak tahu bahwa dirinya sedang menangis.“Kak, aku ingin pulang,” ucap Maura lirih.“Hm, baiklah.”Mereka berdua pun berjalan menuju arah di mana mobil Revan terparkir.Sesampainya di dalam mobil, Revan melirik ke arah Maura yang duduk diam di sampingnya. Rambut gadis itu masih lembab, beberapa helaian menempel di wajah pucatnya. Revan m

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 1 : Masa Subur?

    “Ah, Mas~ Aku sedang masa subur. Apa kamu nggak mau makan aku aja?”Tubuh Maura membeku. Tiba-tiba perutnya terasa mual.Ia baru saja akan mengejutkan suaminya dengan sebuah pelukan dari belakang, tapi batal setelah mendengar suara dari ponsel sang suami. Seketika ia kaku, tidak mampu berpikir jernih.Suara siapa itu? Kenapa terdengar familier?Apakah suaminya selingkuh?“Lho, Ra. Sejak kapan di sini?” Dimas, suaminya, tampak terkejut. “Nggak ada suaranya.”Maura menggigit bibir. “Itu tadi siapa, Mas?”“Siapa maksudmu?”“Perempuan,” kejar Maura. “Yang kamu telepon.”“Telepon…? Oh!” Dimas menghela napas. “Tadi pesan suara teman kerjaku. Salah kirim dia, harusnya ke suaminya.”Maura mengernyit. Benarkah demikian? “Sudahlah. Kan kita mau makan malam. Duduk.”Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang kedua. Karenanya, mereka menjadwalkan makan malam bersama.Maura berangkat sendiri, karena Dimas langsung datang ke restoran langsung dari kantor. Ia berpikir, Dimas akan memberinya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status