MasukSontak Maura mundur beberapa langkah, menjaga jarak dari Revan ketika mendengar suara suaminya dari luar. “Dimas sudah pulang …” gumam Maura gugup, jantungnya berdegup kencang. Revan mengangkat alis. “Kenapa kamu terlihat gugup? Harusnya kamu senang, bukan?” “Kak, cepatlah pergi! Aku tidak ingin Dimas melihat kamu di sini,” bisik Maura panik, jemarinya mencengkeram ujung handuk yang membalut tubuhnya. Revan hanya berdiri diam, senyum tipis muncul di wajahnya. “Kenapa? Bukankah kamu bilang ingin membalas dendam padanya? Aku juga ingin tahu bagaimana reaksi suamimu itu kalau melihat kita begini.” “Tapi, Kak—” Belum sempat Maura menyelesaikan kalimatnya, suara Dimas kembali terdengar, kali ini lebih dekat. “Maura … kamu di mana?” Panik semakin menjadi-jadi. Maura menatap Revan dengan mata memohon. “Kak, tolong pergilah. Aku mohon,” ucapnya setengah berbisik, ia hampir merengek. Namun Revan masih belum beranjak, sengaja menantang keadaan, membuat Maura kian cemas. Pegang
Maura mengepalkan tangannya erat-erat hingga buku-buku jarinya memutih, darahnya terasa berdesir cepat seiring matanya yang tak bisa lepas dari pemandangan itu. Suaminya, lelaki yang selalu ia banggakan, yang dulu ia perjuangkan mati-matian, tengah bercinta dengan wanita lain. Dan yang paling menusuk jantungnya, wanita itu adalah adik sepupunya sendiri.“Sejak kapan mereka bermain di belakangku?” “Sudah lama,” jawab Revan.Sontak Maura menoleh, menatap lelaki itu tak percaya. “Kamu tahu?”Revan menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Aku sudah tahu. Aku tak sengaja memergoki mereka dulu.”“K-Kenapa kamu tidak pernah bilang padaku?” “Aku sudah mengingatkanmu berkali-kali, Maura. Tapi kamu selalu mengacuhkan perkataanku. Kamu terlalu percaya pada dia.”Benar, Revan memang seringkali menasihatinya, mengingatkannya tentang sikap Dimas yang mulai berubah, sering pulang terlambat, terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dan Maura selalu membela Dimas, selalu menolak untuk curiga.Namun kini,
“Berapa lama dia cuti?” tanya Maura, suaranya bergetar.Mila menatap Maura sejenak sebelum menjawab, “Sekitar satu minggu, Bu.”Maura menahan napas. Seminggu? Jadi selama ini Dimas tidak bekerja sama sekali?“Kamu tahu dia pergi ke mana?” tanya Maura lagi, kini nada suaranya terdengar lebih mendesak.Mila menggeleng pelan. “Tidak, Bu. Saya tidak tahu pasti.”Maura hampir berbalik pergi, tapi saat itu, Mila menambahkan dengan ragu, “Tapi .…”Langkah Maura terhenti. “Tapi apa?”Mila terlihat bimbang, seperti takut ucapannya membuat masalah. “Tapi saya pernah dengar Pak Dimas bilang … dia ingin sekali pergi ke Bungku.”“Bungku?” Dahi Maura berkerut. “Bukankah itu cukup jauh?”“Iya, Bu. Katanya di sana ada proyek besar yang sedang dia perhatikan. Tapi … setahu saya, belum ada jadwal resmi kunjungan dari kantor.”Maura menggenggam erat kotak bekal di tangannya, berusaha meredam gejolak di dada. Rasanya semakin sulit bernapas. Jadi, selama ini Dimas tidak di kantor, tidak bekerja lembur sep
“Itu … dia pergi,” jawab Maura sambil menunduk.“Pergi?” Revan memicingkan mata. “Meninggalkanmu sendirian di sini?”Maura menelan ludah, berusaha menahan suara gemetar di tenggorokannya. “Dia … pergi untuk bekerja, Kak.”“Bekerja? Malam-malam seperti ini? Meninggalkanmu sendirian? Apa pekerjaannya lebih penting daripada kamu?”Suara Revan yang tegas membuat Maura semakin terdiam. Lelaki itu kemudian menatap wajah polos Maura yang basah kuyup oleh hujan, bukan hanya wajahnya, tapi seluruh tubuhnya yang kini menggigil kedinginan.Tak terasa air mata Maura mengalir begitu saja, bersamaan dengan hujan yang menetes di wajahnya. Maura hanya berharap Revan tidak tahu bahwa dirinya sedang menangis.“Kak, aku ingin pulang,” ucap Maura lirih.“Hm, baiklah.”Mereka berdua pun berjalan menuju arah di mana mobil Revan terparkir.Sesampainya di dalam mobil, Revan melirik ke arah Maura yang duduk diam di sampingnya. Rambut gadis itu masih lembab, beberapa helaian menempel di wajah pucatnya. Revan m
“Ah, Mas~ Aku sedang masa subur. Apa kamu nggak mau makan aku aja?”Tubuh Maura membeku. Tiba-tiba perutnya terasa mual.Ia baru saja akan mengejutkan suaminya dengan sebuah pelukan dari belakang, tapi batal setelah mendengar suara dari ponsel sang suami. Seketika ia kaku, tidak mampu berpikir jernih.Suara siapa itu? Kenapa terdengar familier?Apakah suaminya selingkuh?“Lho, Ra. Sejak kapan di sini?” Dimas, suaminya, tampak terkejut. “Nggak ada suaranya.”Maura menggigit bibir. “Itu tadi siapa, Mas?”“Siapa maksudmu?”“Perempuan,” kejar Maura. “Yang kamu telepon.”“Telepon…? Oh!” Dimas menghela napas. “Tadi pesan suara teman kerjaku. Salah kirim dia, harusnya ke suaminya.”Maura mengernyit. Benarkah demikian? “Sudahlah. Kan kita mau makan malam. Duduk.”Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang kedua. Karenanya, mereka menjadwalkan makan malam bersama.Maura berangkat sendiri, karena Dimas langsung datang ke restoran langsung dari kantor. Ia berpikir, Dimas akan memberinya







