Beranda / Romansa / Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar / Bab 3 : Kenyataan yang Menyakitkan

Share

Bab 3 : Kenyataan yang Menyakitkan

Penulis: Vanilla_Nilla
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-22 18:24:39

“Berapa lama dia cuti?” tanya Maura, suaranya bergetar.

Mila menatap Maura sejenak sebelum menjawab, “Sekitar satu minggu, Bu.”

Maura menahan napas. Seminggu? Jadi selama ini Dimas tidak bekerja sama sekali?

“Kamu tahu dia pergi ke mana?” tanya Maura lagi, kini nada suaranya terdengar lebih mendesak.

Mila menggeleng pelan. “Tidak, Bu. Saya tidak tahu pasti.”

Maura hampir berbalik pergi, tapi saat itu, Mila menambahkan dengan ragu, “Tapi .…”

Langkah Maura terhenti. “Tapi apa?”

Mila terlihat bimbang, seperti takut ucapannya membuat masalah. “Tapi saya pernah dengar Pak Dimas bilang … dia ingin sekali pergi ke Bungku.”

“Bungku?” Dahi Maura berkerut. “Bukankah itu cukup jauh?”

“Iya, Bu. Katanya di sana ada proyek besar yang sedang dia perhatikan. Tapi … setahu saya, belum ada jadwal resmi kunjungan dari kantor.”

Maura menggenggam erat kotak bekal di tangannya, berusaha meredam gejolak di dada. Rasanya semakin sulit bernapas. Jadi, selama ini Dimas tidak di kantor, tidak bekerja lembur seperti yang selalu ia katakan … dan kemungkinan besar ia sengaja menyembunyikan keberadaannya dari Maura.

“Terima kasih, Mila,” ucap Maura akhirnya, mencoba tersenyum walau bibirnya terasa kaku. “Aku pulang dulu.”

Sebelum melangkah pergi, Maura sempat menoleh lagi pada Mila. Wajahnya dipaksakan tersenyum meski hatinya terasa hancur.

“Oh ya,” ucap Maura pelan, “tolong jangan kasih tahu Pak Dimas kalau aku ke sini.”

Mila mengangguk ragu. “B-baik, Bu.”

Maura menatap kotak bekal yang masih ia genggam. Rasanya sia-sia jika dibawa pulang. Ia menarik napas dalam-dalam lalu bertanya pelan, “Kamu sudah makan?”

Mila menggeleng. “Belum, Bu.”

Maura tersenyum tipis, kali ini sedikit lebih tulus. “Ya sudah … ini buat kamu saja. Mungkin kamu bisa makan siang sekarang.”

Mila tampak terkejut, tapi segera menerimanya dengan kedua tangan. “Terima kasih banyak, Bu Maura.”

“Ya, sama-sama.” Maura berbalik, melangkah pergi dengan langkah yang pelan.

Begitu keluar dari gedung, langkah Maura terasa goyah. Udara siang itu tiba-tiba terasa panas dan menyesakkan. Di kepalanya, ribuan pertanyaan berputar, apa yang sebenarnya Dimas lakukan? Mengapa ia harus berbohong? Dan mengapa harus ke Bungku tanpa memberi tahu dirinya?

Tangan Maura gemetar saat meraih ponsel, menekan nama Dimas di layar. Panggilan tersambung, tapi tak ada jawaban. Ia mencoba lagi. Masih sama. Sekali lagi. Tetap hening.

“Kenapa kamu berbohong padaku? Apa yang kamu sembunyikan dariku?”

Dulu, Dimas selalu berbeda. Lelaki itu adalah alasannya melawan semua penolakan keluarga, alasannya tetap bertahan meski dijauhi teman-teman.

Dimas yang dulu … bahkan ketika sibuk bekerja, selalu berusaha menyempatkan waktu pulang lebih cepat. Ia sering mengirim pesan di sela meeting, hanya untuk bertanya apakah Maura sudah makan. Setiap pulang kerja, Dimas selalu tersenyum lebar dan langsung memeluknya erat, seolah rumah hanyalah tempat yang bisa disebut rumah jika ada Maura di sana.

Dan sekarang … semua itu terasa asing.

Ponsel di genggaman Maura bergetar, menandakan panggilan masuk. Maura buru-buru menghapus air matanya dan menatap layar, tetapi nama yang tertera di layar ponsel bukan Dimas, melainkan Revan.

“Halo, kamu ada di mana?” suara Revan terdengar cemas dari seberang.

“Aku … ada di parkiran kantor,” jawab Maura pelan.

“Jangan ke mana-mana. Aku ke sana sekarang.”

Panggilan terputus. Maura menatap layar ponselnya lama, dadanya semakin sesak. Lagi-lagi, bukan Dimas yang mencarinya. Lagi-lagi, bukan Dimas yang peduli apakah ia baik-baik saja atau tidak.

Seribu kali ia berdoa agar Dimas bisa memperhatikannya seperti dulu, atau setidaknya seperti Revan yang selalu hadir setiap kali ia jatuh. Tapi kenyataannya, harapan itu seperti debu yang ditiup angin, lenyap tak bersisa.

Perlahan Maura menghapus air mata yang mengalir. Rasanya ia lelah, tapi hatinya masih enggan menyerah. Bagaimanapun, ia tetap mencintai Dimas. Namun di sudut hatinya, ada rasa perih yang semakin dalam setiap kali Revan muncul untuk mengisi ruang kosong yang seharusnya menjadi milik suaminya.

Beberapa menit kemudian, suara mesin mobil berhenti tak jauh dari tempatnya kini. Maura menoleh, melihat Revan keluar dari mobil dan berjalan mendekat. Pandangan pria itu langsung mengunci tatapan Maura, dan sejenak dunia terasa hening.

“Kenapa kamu menangis?” tanya Revan begitu melihat air mata yang jatuh satu per satu membasahi pipi Maura. Suaranya terdengar cemas.

“Dimas …” gumam Maura lirih, hampir tak terdengar.

Revan mendekati Maura, menatapnya dalam. “Ada apa dengan dia?”

Maura membuka mulutnya, namun tak ada kata-kata yang keluar. Tenggorokannya tercekat, dadanya terasa begitu sesak. Air mata terus mengalir, membasahi wajahnya, seolah seluruh sakit yang ia pendam selama ini tumpah tanpa bisa ia bendung lagi.

Dia tidak bisa berkata apa-apa, tapi tangisnya seakan menjelaskan segalanya.

Melihat itu, Revan tak kuasa lagi. Dengan cepat ia meraih bahu Maura, membawanya ke dalam dekapan.

“Cukup,” bisik Revan lembut di telinga Maura. “Jangan tahan sendiri seperti ini.”

Maura menutup mata, membiarkan air matanya membasahi kemeja Revan. Tubuhnya bergetar, namun pelukan Revan terasa hangat, seakan memberi ruang aman untukn menangis sepuasnya.

Revan mengusap punggung Maura perlahan, menahan diri agar tidak berkata hal yang membuatnya menyesal. Namun di dalam hati, ada sesuatu yang bergemuruh, perasaan yang selama ini ia pendam, yang kini semakin sulit ia kendalikan setiap kali melihat Maura terluka seperti ini.

***

Setelah berpikir panjang, Maura akhirnya memutuskan untuk pergi ke Bungku menemui suaminya. Hatinya masih berdegup kencang, dipenuhi rasa cemas dan takut, tetapi keinginannya untuk mengetahui kebenaran jauh lebih besar. Ia hanya ingin tahu apa yang sebenarnya dilakukan Dimas di sana, sampai rela berbohong kepadanya.

“Aku sudah memesan taksi, sebentar lagi akan datang,” ucap Revan tenang, ia mengerti kegelisahan yang dirasakan Maura.

Revan juga sudah memesan hotel, memastikan mereka bisa tinggal beberapa hari di Bungku jika diperlukan. Semua dilakukan cepat, karena Maura bilang ia hanya ingin segera bertemu Dimas dan Revan tahu, menunda hanya akan membuatnya semakin gelisah.

“Kamu serius ingin bertemu dengan dia?” tanya Revan lagi, kali ini dengan nada pelan, memberi Maura kesempatan terakhir untuk mundur.

Maura menarik napas panjang. “Kita sudah berada di Bungku, apalagi yang harus ditunggu?” jawabnya tegas.

Revan hanya mengangguk. “Baiklah, taksi sudah di depan. Kita pergi sekarang.”

Mereka turun dari lobi hotel, langkah Maura cepat, ia takut jika keyakinannya goyah kalau terlalu lama diam. Taksi membawa mereka melewati jalanan sempit Bungku, rumah-rumah kayu berjajar di kiri kanan jalan. Revan duduk di sampingnya, memberi petunjuk kepada sopir.

Maura tahu tempat tinggal Dimas dari salah satu rekan kerja Dimas yang tidak sengaja ia hubungi beberapa hari lalu. Awalnya hanya ingin memastikan keadaan suaminya baik-baik saja, tapi justru dari percakapan itulah ia tahu alamat lengkap dan jadwal kerja Dimas. Sejak saat itu, hatinya diliputi rasa ingin tahu yang terus menghantui.

Mobil berhenti di depan sebuah rumah kontrakan sederhana. Maura meremas jemarinya sendiri, rasa gugup menyergap. Revan menatapnya, memberi isyarat kalau mereka sudah sampai.

“Kamu siap?” bisik Revan.

Maura menelan ludah, lalu mengangguk pelan. “Iya.”

Mereka pun turun dari taksi dan berjalan perlahan menuju pintu rumah itu. Setiap langkah terasa berat, seakan jarak yang hanya beberapa meter itu adalah perjalanan terpanjang dalam hidupnya.

Langkah Maura terhenti tepat di depan pintu. Tangannya yang terangkat untuk mengetuk mendadak membeku. Suara desahan samar dari dalam rumah berhasil menangkap perhatiannya.

Maura mundur setengah langkah, tubuhnya bergetar hebat. Ia menoleh cepat pada Revan yang berdiri tak jauh di belakangnya. Wajah lelaki itu ikut menegang, seperti tak percaya dengan apa yang mereka dengar.

Lalu, seakan dunia ingin benar-benar menghancurkannya, pintu yang hanya tertutup sebagian itu menyisakan celah kecil. Dari sana, mata Maura tanpa sengaja menangkap pemandangan yang membuat dadanya seperti diretas dari dalam.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 5 : Bisikan yang Menggoda

    Sontak Maura mundur beberapa langkah, menjaga jarak dari Revan ketika mendengar suara suaminya dari luar. “Dimas sudah pulang …” gumam Maura gugup, jantungnya berdegup kencang. Revan mengangkat alis. “Kenapa kamu terlihat gugup? Harusnya kamu senang, bukan?” “Kak, cepatlah pergi! Aku tidak ingin Dimas melihat kamu di sini,” bisik Maura panik, jemarinya mencengkeram ujung handuk yang membalut tubuhnya. Revan hanya berdiri diam, senyum tipis muncul di wajahnya. “Kenapa? Bukankah kamu bilang ingin membalas dendam padanya? Aku juga ingin tahu bagaimana reaksi suamimu itu kalau melihat kita begini.” “Tapi, Kak—” Belum sempat Maura menyelesaikan kalimatnya, suara Dimas kembali terdengar, kali ini lebih dekat. “Maura … kamu di mana?” Panik semakin menjadi-jadi. Maura menatap Revan dengan mata memohon. “Kak, tolong pergilah. Aku mohon,” ucapnya setengah berbisik, ia hampir merengek. Namun Revan masih belum beranjak, sengaja menantang keadaan, membuat Maura kian cemas. Pegang

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 4 : Godaan yang Tak Terelakkan

    Maura mengepalkan tangannya erat-erat hingga buku-buku jarinya memutih, darahnya terasa berdesir cepat seiring matanya yang tak bisa lepas dari pemandangan itu. Suaminya, lelaki yang selalu ia banggakan, yang dulu ia perjuangkan mati-matian, tengah bercinta dengan wanita lain. Dan yang paling menusuk jantungnya, wanita itu adalah adik sepupunya sendiri.“Sejak kapan mereka bermain di belakangku?” “Sudah lama,” jawab Revan.Sontak Maura menoleh, menatap lelaki itu tak percaya. “Kamu tahu?”Revan menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Aku sudah tahu. Aku tak sengaja memergoki mereka dulu.”“K-Kenapa kamu tidak pernah bilang padaku?” “Aku sudah mengingatkanmu berkali-kali, Maura. Tapi kamu selalu mengacuhkan perkataanku. Kamu terlalu percaya pada dia.”Benar, Revan memang seringkali menasihatinya, mengingatkannya tentang sikap Dimas yang mulai berubah, sering pulang terlambat, terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dan Maura selalu membela Dimas, selalu menolak untuk curiga.Namun kini,

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 3 : Kenyataan yang Menyakitkan

    “Berapa lama dia cuti?” tanya Maura, suaranya bergetar.Mila menatap Maura sejenak sebelum menjawab, “Sekitar satu minggu, Bu.”Maura menahan napas. Seminggu? Jadi selama ini Dimas tidak bekerja sama sekali?“Kamu tahu dia pergi ke mana?” tanya Maura lagi, kini nada suaranya terdengar lebih mendesak.Mila menggeleng pelan. “Tidak, Bu. Saya tidak tahu pasti.”Maura hampir berbalik pergi, tapi saat itu, Mila menambahkan dengan ragu, “Tapi .…”Langkah Maura terhenti. “Tapi apa?”Mila terlihat bimbang, seperti takut ucapannya membuat masalah. “Tapi saya pernah dengar Pak Dimas bilang … dia ingin sekali pergi ke Bungku.”“Bungku?” Dahi Maura berkerut. “Bukankah itu cukup jauh?”“Iya, Bu. Katanya di sana ada proyek besar yang sedang dia perhatikan. Tapi … setahu saya, belum ada jadwal resmi kunjungan dari kantor.”Maura menggenggam erat kotak bekal di tangannya, berusaha meredam gejolak di dada. Rasanya semakin sulit bernapas. Jadi, selama ini Dimas tidak di kantor, tidak bekerja lembur sep

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 2 : Hangat yang Salah

    “Itu … dia pergi,” jawab Maura sambil menunduk.“Pergi?” Revan memicingkan mata. “Meninggalkanmu sendirian di sini?”Maura menelan ludah, berusaha menahan suara gemetar di tenggorokannya. “Dia … pergi untuk bekerja, Kak.”“Bekerja? Malam-malam seperti ini? Meninggalkanmu sendirian? Apa pekerjaannya lebih penting daripada kamu?”Suara Revan yang tegas membuat Maura semakin terdiam. Lelaki itu kemudian menatap wajah polos Maura yang basah kuyup oleh hujan, bukan hanya wajahnya, tapi seluruh tubuhnya yang kini menggigil kedinginan.Tak terasa air mata Maura mengalir begitu saja, bersamaan dengan hujan yang menetes di wajahnya. Maura hanya berharap Revan tidak tahu bahwa dirinya sedang menangis.“Kak, aku ingin pulang,” ucap Maura lirih.“Hm, baiklah.”Mereka berdua pun berjalan menuju arah di mana mobil Revan terparkir.Sesampainya di dalam mobil, Revan melirik ke arah Maura yang duduk diam di sampingnya. Rambut gadis itu masih lembab, beberapa helaian menempel di wajah pucatnya. Revan m

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 1 : Masa Subur?

    “Ah, Mas~ Aku sedang masa subur. Apa kamu nggak mau makan aku aja?”Tubuh Maura membeku. Tiba-tiba perutnya terasa mual.Ia baru saja akan mengejutkan suaminya dengan sebuah pelukan dari belakang, tapi batal setelah mendengar suara dari ponsel sang suami. Seketika ia kaku, tidak mampu berpikir jernih.Suara siapa itu? Kenapa terdengar familier?Apakah suaminya selingkuh?“Lho, Ra. Sejak kapan di sini?” Dimas, suaminya, tampak terkejut. “Nggak ada suaranya.”Maura menggigit bibir. “Itu tadi siapa, Mas?”“Siapa maksudmu?”“Perempuan,” kejar Maura. “Yang kamu telepon.”“Telepon…? Oh!” Dimas menghela napas. “Tadi pesan suara teman kerjaku. Salah kirim dia, harusnya ke suaminya.”Maura mengernyit. Benarkah demikian? “Sudahlah. Kan kita mau makan malam. Duduk.”Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang kedua. Karenanya, mereka menjadwalkan makan malam bersama.Maura berangkat sendiri, karena Dimas langsung datang ke restoran langsung dari kantor. Ia berpikir, Dimas akan memberinya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status