Beranda / Romansa / Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar / Bab 5 : Bisikan yang Menggoda

Share

Bab 5 : Bisikan yang Menggoda

Penulis: Vanilla_Nilla
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-22 18:58:07

Sontak Maura mundur beberapa langkah, menjaga jarak dari Revan ketika mendengar suara suaminya dari luar.

“Dimas sudah pulang …” gumam Maura gugup, jantungnya berdegup kencang.

Revan mengangkat alis. “Kenapa kamu terlihat gugup? Harusnya kamu senang, bukan?”

“Kak, cepatlah pergi! Aku tidak ingin Dimas melihat kamu di sini,” bisik Maura panik, jemarinya mencengkeram ujung handuk yang membalut tubuhnya.

Revan hanya berdiri diam, senyum tipis muncul di wajahnya. “Kenapa? Bukankah kamu bilang ingin membalas dendam padanya? Aku juga ingin tahu bagaimana reaksi suamimu itu kalau melihat kita begini.”

“Tapi, Kak—”

Belum sempat Maura menyelesaikan kalimatnya, suara Dimas kembali terdengar, kali ini lebih dekat. “Maura … kamu di mana?”

Panik semakin menjadi-jadi. Maura menatap Revan dengan mata memohon. “Kak, tolong pergilah. Aku mohon,” ucapnya setengah berbisik, ia hampir merengek.

Namun Revan masih belum beranjak, sengaja menantang keadaan, membuat Maura kian cemas.

Pegangan pintu berputar dari luar, membuat Maura tersentak. Jantungnya berdetak kencang seakan ingin melompat keluar.

“Maura!” suara Dimas terdengar tegas dari balik pintu.

“I-iya, Mas … kamu sudah pulang,” jawab Maura terbata, buru-buru mengenakan pakaian apa saja yang tergeletak di kursi. Saat Dimas mendorong pintu dan melangkah masuk, sementara Revan berdiri di sudut kamar mandi, pura-pura memeriksa keran air.

“Aku panggil-panggil dari tadi, kenapa nggak nyaut?” suara Dimas terdengar kesal.

“Maaf, Mas … itu, Kak Revan lagi benerin keran air. Makanya aku nggak dengar,” alibi Maura terdengar begitu dipaksakan.

“Kak Revan?” gumam Dimas, menatap ke arah pria itu.

Revan berdiri tegak, senyum tipis terpatri di wajahnya. “Keran airnya sudah rusak. Mungkin … harus diganti dengan yang baru,” ucapnya, nada suaranya terdengar seperti sindiran yang hanya Maura yang mengerti.

“Oh, makasih, Kak. Nanti biar aku yang urus,” sahut Dimas singkat.

Revan melirik Maura sekilas sebelum menjawab dengan santai, “Kalau kamu tidak bisa mengurusnya, aku juga bisa.”

“Oh ya, terima kasih kalau begitu, Kak. Aku percayakan semua urusan rumah sama Kakak.”

“Kamu tenang saja, aku pasti akan menjaganya dengan baik.” Sebelum keluar, Revan melempar senyum penuh arti ke arah Maura. Senyum itu membuat Maura semakin gelisah, seperti ada pesan tersembunyi yang hanya ditujukan padanya.

“Maura!” seru Dimas sambil menutup pintu kamar.

“Iya, Mas …” sahut Maura, mencoba terdengar tenang meski hatinya masih berdebar.

“Aku punya sesuatu buat kamu.” Dimas mengangkat sebuah paper bag berwarna putih dengan pita emas di pegangannya.

Maura menatap bingung. “Ini apa?”

“Buka saja,” jawab Dimas singkat.

Dengan tangan sedikit gemetar, Maura menarik pita emas itu dan mengeluarkan kotak beludru berwarna hitam dari dalam paper bag. Saat dibuka, matanya langsung menangkap sebuah kalung emas dengan liontin berbentuk hati kecil bertatahkan berlian. Cahaya dari lampu kamar memantul indah, membuat kalung itu tampak mewah.

“Hadiah ini sebagai tanda maaf aku, karena telah meninggalkanmu begitu saja di hari ulang tahun pernikahan kita kemarin,” ujar Dimas, suaranya sedikit melembut.

Maura hanya terdiam, menatap kalung itu lama-lama. Ada rasa haru, tapi juga sakit. Baginya, benda itu seolah hanya cara Dimas menutupi kesalahannya, bukan benar-benar menebus luka yang sudah ia buat.

“Kamu suka?” tanya Dimas, mencoba membaca ekspresi istrinya.

Maura tersenyum tipis, meski senyuman itu terasa dipaksakan. “Iya … cantik,” jawabnya pelan, lalu meletakkan kotak kalung itu di meja rias.

Dimas menghela napas lega. “Syukurlah kalau kamu suka. Besok kita bisa makan malam berdua, aku janji.”

Maura mengangguk, meski dalam hati ia tak yakin janji itu akan benar-benar ditepati.

Dimas mendekat. Tangannya terulur menyentuh bahu Maura yang masih terasa dingin. “Aku serius. Aku akan usahakan malam besok cuma kita berdua. Aku kangen kamu.”

Maura menoleh pelan, menatap suaminya. Tatapan itu bukan tatapan rindu, melainkan luka dan amarah yang disembunyikan rapat.

Dimas mendekat lebih jauh, mencoba mencium kening Maura. Namun Maura menahan dada Dimas dengan telapak tangannya. “Mas …”

Dimas mengernyit. “Kenapa? Kamu masih marah sama aku, ya?”

Maura menarik napas dalam, menahan segala emosi yang hampir tumpah. “Aku akan menyiapkan makan malam dulu.” Suaranya datar, tanpa sedikit pun kehangatan.

“Baiklah,” jawab Dimas, ia lega mendengar Maura tak lagi menghindar. Bibirnya bahkan melengkung tipis. “Aku juga sudah kangen masakan istriku.”

Tanpa menjawab, Maura segera berbalik dan melangkah cepat keluar kamar. Setiap langkahnya terasa berat, tapi ia menahan agar tubuhnya tidak gemetar.

Di lorong, Maura menggigit bibirnya sendiri. ‘Apa kamu pikir aku akan sudi dicium sama kamu? Bahkan untuk melihat wajahmu saja aku sudah jijik, Mas.’

Ia mengepalkan tangannya erat, menahan amarah yang mendidih.

Maura melangkah masuk ke dapur dengan napas berat. Tangannya langsung meraih celemek dan mengikatnya di pinggang. Pisau dapur ia genggam dengan kuat, benda itu menjadi pelampiasan segala amarah yang mengganjal di dadanya.

Bahan-bahan masakan ia keluarkan satu per satu. Sayuran dicuci, daging dipotong, bumbu ditumbuk. Suara ulekan terdengar keras, lebih keras dari biasanya, seperti mengiringi hatinya yang bergemuruh.

Di kepalanya, bayangan Dimas dengan Nabila kembali muncul. Tawa mereka, pelukan mereka, desahan itu, semuanya berputar seperti film yang diputar ulang. Perutnya melilit, dadanya terasa sesak, tapi air mata tak lagi jatuh.

Ia menghela napas, memaksa dirinya tetap fokus pada wajan yang mulai mengepulkan asap. Malam ini ia akan masak dengan sempurna, seperti biasanya. Tidak ada yang boleh mencurigai apa pun.

Namun di balik ketenangan wajahnya, hatinya berteriak. ‘Nikmatilah makan malammu malam ini, Mas. Karena suatu hari nanti, aku akan membuatmu merasakan rasa sakit yang sama, bahkan lebih.’

Maura terkesiap ketika tiba-tiba ada tangan kekar yang melingkar di pinggangnya. Hampir saja spatula di tangannya terlepas.

“Hah … k–Kak Revan? Kamu—”

Revan mendekat, suaranya rendah di telinga Maura. “Kenapa dari tadi motong sayuran seperti mau melampiaskan amarah?”

Maura menelan ludah, jantungnya berdetak kencang. “Aku … aku hanya sedang memasak,” jawabnya pelan, mencoba tetap tenang.

Revan menarik napas dalam, matanya menatap punggung Maura yang masih tegang. “Kamu bisa bohong sama semua orang, Maura. Tapi jangan bohong sama aku. Aku tahu kamu sedang menahan sesuatu.”

Pegangan tangan Revan di pinggangnya sedikit mengencang, membuat Maura merasakan kehangatan sekaligus rasa bersalah. Ia menggigit bibirnya, menahan gemuruh di dada.

“Lepaskan aku, Kak. Kalau Dimas melihat—”

“Biarkan dia melihat.” Suara Revan terdengar dingin, tapi juga penuh emosi. “Biarkan dia tahu, dia bukan satu-satunya yang bisa menyentuhmu.”

Maura memejamkan mata, mencoba menenangkan napasnya. Amarah dan ketakutannya bercampur menjadi satu. Tapi entah kenapa, sebagian dari dirinya merasakan sedikit kelegaan, seolah Revan benar-benar satu-satunya orang yang melihat luka di hatinya.

Revan tidak langsung melepaskan pelukannya, bahkan semakin mendekatkan bibirnya ke telinga Maura.

“Kamu tahu, Dimas itu bodoh,” bisik Revan pelan, membuat bulu kuduk Maura meremang. “Dia bodoh karena mengabaikanmu begitu saja. Kalau aku yang jadi dia, aku tidak akan pernah melepaskanmu, bahkan sedetik pun.”

Maura menelan ludah, jantungnya berdetak tak karuan. “Kak, jangan bicara begitu …”

Revan justru tersenyum tipis, tangan kekarnya kini sudah mulai mengelus rambut Maura. “Kenapa? Apa kamu takut aku serius?”

“Kamu tahu ini salah.” suara Maura hampir tak terdengar, tapi tubuhnya tak kunjung bergerak menjauh.

“Salah?” Revan menatap dari belakang, napasnya hangat di leher Maura. “Atau kamu hanya takut mengakui kalau kamu juga menginginkannya?”

Maura membeku. Ia ingin menyangkal, tapi kata-kata Revan menancap terlalu dalam. Sejenak, wajah Dimas yang bersenang-senang dengan wanita lain terlintas di kepalanya, dan entah kenapa, amarah yang mendidih dalam dirinya membuatnya tak segera menolak.

Suasana mendadak sunyi, hanya terdengar detak jantung mereka berdua.

“Katakan, Maura …” bisik Revan lagi. “Apa kamu juga menginginkan aku?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 5 : Bisikan yang Menggoda

    Sontak Maura mundur beberapa langkah, menjaga jarak dari Revan ketika mendengar suara suaminya dari luar. “Dimas sudah pulang …” gumam Maura gugup, jantungnya berdegup kencang. Revan mengangkat alis. “Kenapa kamu terlihat gugup? Harusnya kamu senang, bukan?” “Kak, cepatlah pergi! Aku tidak ingin Dimas melihat kamu di sini,” bisik Maura panik, jemarinya mencengkeram ujung handuk yang membalut tubuhnya. Revan hanya berdiri diam, senyum tipis muncul di wajahnya. “Kenapa? Bukankah kamu bilang ingin membalas dendam padanya? Aku juga ingin tahu bagaimana reaksi suamimu itu kalau melihat kita begini.” “Tapi, Kak—” Belum sempat Maura menyelesaikan kalimatnya, suara Dimas kembali terdengar, kali ini lebih dekat. “Maura … kamu di mana?” Panik semakin menjadi-jadi. Maura menatap Revan dengan mata memohon. “Kak, tolong pergilah. Aku mohon,” ucapnya setengah berbisik, ia hampir merengek. Namun Revan masih belum beranjak, sengaja menantang keadaan, membuat Maura kian cemas. Pegang

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 4 : Godaan yang Tak Terelakkan

    Maura mengepalkan tangannya erat-erat hingga buku-buku jarinya memutih, darahnya terasa berdesir cepat seiring matanya yang tak bisa lepas dari pemandangan itu. Suaminya, lelaki yang selalu ia banggakan, yang dulu ia perjuangkan mati-matian, tengah bercinta dengan wanita lain. Dan yang paling menusuk jantungnya, wanita itu adalah adik sepupunya sendiri.“Sejak kapan mereka bermain di belakangku?” “Sudah lama,” jawab Revan.Sontak Maura menoleh, menatap lelaki itu tak percaya. “Kamu tahu?”Revan menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Aku sudah tahu. Aku tak sengaja memergoki mereka dulu.”“K-Kenapa kamu tidak pernah bilang padaku?” “Aku sudah mengingatkanmu berkali-kali, Maura. Tapi kamu selalu mengacuhkan perkataanku. Kamu terlalu percaya pada dia.”Benar, Revan memang seringkali menasihatinya, mengingatkannya tentang sikap Dimas yang mulai berubah, sering pulang terlambat, terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dan Maura selalu membela Dimas, selalu menolak untuk curiga.Namun kini,

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 3 : Kenyataan yang Menyakitkan

    “Berapa lama dia cuti?” tanya Maura, suaranya bergetar.Mila menatap Maura sejenak sebelum menjawab, “Sekitar satu minggu, Bu.”Maura menahan napas. Seminggu? Jadi selama ini Dimas tidak bekerja sama sekali?“Kamu tahu dia pergi ke mana?” tanya Maura lagi, kini nada suaranya terdengar lebih mendesak.Mila menggeleng pelan. “Tidak, Bu. Saya tidak tahu pasti.”Maura hampir berbalik pergi, tapi saat itu, Mila menambahkan dengan ragu, “Tapi .…”Langkah Maura terhenti. “Tapi apa?”Mila terlihat bimbang, seperti takut ucapannya membuat masalah. “Tapi saya pernah dengar Pak Dimas bilang … dia ingin sekali pergi ke Bungku.”“Bungku?” Dahi Maura berkerut. “Bukankah itu cukup jauh?”“Iya, Bu. Katanya di sana ada proyek besar yang sedang dia perhatikan. Tapi … setahu saya, belum ada jadwal resmi kunjungan dari kantor.”Maura menggenggam erat kotak bekal di tangannya, berusaha meredam gejolak di dada. Rasanya semakin sulit bernapas. Jadi, selama ini Dimas tidak di kantor, tidak bekerja lembur sep

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 2 : Hangat yang Salah

    “Itu … dia pergi,” jawab Maura sambil menunduk.“Pergi?” Revan memicingkan mata. “Meninggalkanmu sendirian di sini?”Maura menelan ludah, berusaha menahan suara gemetar di tenggorokannya. “Dia … pergi untuk bekerja, Kak.”“Bekerja? Malam-malam seperti ini? Meninggalkanmu sendirian? Apa pekerjaannya lebih penting daripada kamu?”Suara Revan yang tegas membuat Maura semakin terdiam. Lelaki itu kemudian menatap wajah polos Maura yang basah kuyup oleh hujan, bukan hanya wajahnya, tapi seluruh tubuhnya yang kini menggigil kedinginan.Tak terasa air mata Maura mengalir begitu saja, bersamaan dengan hujan yang menetes di wajahnya. Maura hanya berharap Revan tidak tahu bahwa dirinya sedang menangis.“Kak, aku ingin pulang,” ucap Maura lirih.“Hm, baiklah.”Mereka berdua pun berjalan menuju arah di mana mobil Revan terparkir.Sesampainya di dalam mobil, Revan melirik ke arah Maura yang duduk diam di sampingnya. Rambut gadis itu masih lembab, beberapa helaian menempel di wajah pucatnya. Revan m

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 1 : Masa Subur?

    “Ah, Mas~ Aku sedang masa subur. Apa kamu nggak mau makan aku aja?”Tubuh Maura membeku. Tiba-tiba perutnya terasa mual.Ia baru saja akan mengejutkan suaminya dengan sebuah pelukan dari belakang, tapi batal setelah mendengar suara dari ponsel sang suami. Seketika ia kaku, tidak mampu berpikir jernih.Suara siapa itu? Kenapa terdengar familier?Apakah suaminya selingkuh?“Lho, Ra. Sejak kapan di sini?” Dimas, suaminya, tampak terkejut. “Nggak ada suaranya.”Maura menggigit bibir. “Itu tadi siapa, Mas?”“Siapa maksudmu?”“Perempuan,” kejar Maura. “Yang kamu telepon.”“Telepon…? Oh!” Dimas menghela napas. “Tadi pesan suara teman kerjaku. Salah kirim dia, harusnya ke suaminya.”Maura mengernyit. Benarkah demikian? “Sudahlah. Kan kita mau makan malam. Duduk.”Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang kedua. Karenanya, mereka menjadwalkan makan malam bersama.Maura berangkat sendiri, karena Dimas langsung datang ke restoran langsung dari kantor. Ia berpikir, Dimas akan memberinya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status