Malam harinya Keira sulit tertidur. Matanya terus terbuka di dalam ruangan yang lampunya sudah dimatikan sejak tadi. Dia memikirkan nasib dari kehidupan ke depannya.
Apakah Keira hanya akan terus menjadi pembantu di keluarga monster iblis ini? Membayangkannya saja sudah membuat perutnya mual. Dia jijik dan sama sekali tidak sudi. Mana mungkin Keira rela menghabiskan sisa hidupnya dengan mengabdi kepada orang gila seperti mereka. Pokoknya Keira harus mencari cara agar bisa pergi dari tempat ini. Dari seribu satu ketidakmungkinan yang ada, pasti ada satu cara untuk meloloskan diri. Meski keluarga Hale sudah hancur tak bersisa, Keira yakin di luar sana masih ada seseorang yang dapat dia datangi dan meminta bantuan. Dia bisa pergi ke tempat temannya atau kabur ke luar negeri melalui kapal pesiar milik pria yang menyukainya. Apa pun yang terjadi, dia harus meninggalkan tempat ini secepatnya. Soalnya ayahnya, Keira tidak ingin memikirkan dulu. Dia ingin egois kali ini dan menyelamatkan dirinya. "Keira." Lamunan Keira buyar oleh bisikan Lily dan segera menoleh, menatap wanita itu yang ranjangnya berada di sampingnya. Lily turun dari ranjang dan mengambil keranjang dari kolong kasur. "Ayo makan anggur." "Anggur?" Lily mengangguk menyuruh Keira mengikutinya ke balkon ruangan tersebut. Angin menerpa mereka, menerbangkan gaun tidur dan rambut yang terurai bebas. Mengenai pakaian sehari-hari juga pakaian dalam pembantu semua ditanggung. Menjelang malam tadi, Mia datang dan membawa satu tas untuk Keira dan meminta untuk disusun rapi di dalam lemari kecil dekat ranjang. Semua orang punya masing-masing satu lemari berisi pakaian layak pakai. Bahkan Mia memberitahunya jika ukuran pakaian dalamnya kecil atau kebesaran, silakan memberitahu sesegera mungkin agar dapat dibelikan sesuai ukuran. Sistem mansion ini memang terlalu tidak masuk akal di pikiran Keira, tapi diam-diam mencoba tadi dan untung pas di tubuhnya. Setelah itu Keira melamun memikirkan pakaian mahalnya di lemari-lemari kaca besar yang berjejer di ruang ganti. Semua pasti sudah diamankan, kemungkinan besar dibakar oleh mereka. Keira menghela napas panjang saat memikirkan semuanya. Memegang penyangga balkon. Sementara Lily menutup pintu balkon agar tidak ketahuan karena jika ketahuan tidak tidur di jam malam seperti ini akan dihukum. Untungnya langit bersinar cerah dengan hamparan bintang yang tampak dekat di mata. Cahaya bulan purnama menjadi penerang saat mereka duduk dan menikmati buah anggur. "Hm, enak sekali," Lily begitu bersemangat memasukkan tiga buah anggur ke mulutnya. Keira tidak langsung memakan anggur, malah menatapnya. "Kau dapat ini dari mana?" Lily menutup mulutnya saat hampir tersedak. "Hm itu," dia menelan buah anggur, "salah satu penjaga ladang buah memberinya padaku. Aku dan dia berkenalan tiga bulan yang lalu. Kami cukup akrab." Ada juga yang seperti itu. Keira hanya mengambil satu buah anggur dan sekadar mencicipi tapi rasanya ternyata lezat sekali. Entah kenapa sensasi memakannya berbeda dari anggur yang disajikan di rumahnya dulu. "Kalian saling menyukai?" Pertanyaan Keira mendapat reaksi malu dari Lily. Wajah wanita itu memerah dan tersenyum salah tingkah. "Dion pria yang baik," ujarnya berbisik. Cukup sekali menebak untuk tahu bahwa Lily tengah jatuh cinta. "Kami hanya bertemu secara diam-diam. Kau tahu kan, tidak ada yang bisa ditebak di mansion ini. Lalu saat sudah saling mencintai, apa lagi setelahnya? Apakah kami bisa menikah? Apa kami bisa keluar dari sini?" Ekspresi Lily sendu, menghela napas panjang. Melihatnya sedih, Keira hanya terdiam. Pertanyaan Lily memenuhi pikirannya. Tidak ada masa depan di tempat ini. Mereka semua, baik pembantu, penjaga ladang buah, pengawal, bawahan, hanya akan terus mengabdi hingga napas terakhir tanpa merasakan indahnya berkeluarga. "Apa yang kalian lakukan?" Pintu terbuka bersama pertanyaan menyeruak membuat keduanya terlonjak kaget. Mengira mereka tertangkap basah, namun segera bernapas lega saat melihat Daya muncul di balik pintu. "Makan buah anggur," jawab Lily menyodorkan kepada Daya yang bergabung. "Wah! Dari Dion lagi?" Pertanyaan Daya membuat Lily mengangguk. Mereka saling tertawa agak pelan karena takut ketahuan. "Ini bukan pertama kalinya lho Keira, Lily mendapat buah dari Dion. Asal berbuah lebat, Dion pasti memberinya, bahkan sampai bermacam-macam. Blueberry, stroberi, apel merah, apel hijau, persik, dan buah lainnya," Daya menjelaskan dengan serius. "Memang ladang buahnya seluas itu?" "Oh iya, kau belum pernah melihatnya. Bagaimana kalau besok jalan-jalan ke sana? Sekalian Lily bertemu Dion," Daya tersenyum lebar, menyenggol lengan Lily dengan main-main. "Hentikan," wajah Lily memerah. Keira terdiam sejenak, kemudian ide terlintas di pikirannya. "Memang boleh?" "Boleh kok. Asalkan tidak terlalu lama dan paling penting tidak mencuri buahnya," ujar Daya mengambil dua buah anggur dan memasukkan satu per satu ke mulutnya. Keira mengangguk. Mereka kemudian menyusun rencana mengunjungi ladang buah setelah makan siang. Waktu yang strategis karena orang lain jarang berkeliaran di halaman belakang saat sinar matahari lagi terik-teriknya. Mereka lalu menghabiskan waktu satu jam kemudian dengan menghabiskan buah anggur dan mengobrol hal-hal kecil. *** Hari kedua Keira bekerja sebagai pembantu dalam kelompok pencuci baju berjalan agak lancar. Dia masih belum terbiasa menyikat cepat seperti yang lain tetapi dia sudah bisa meski hasilnya jari-jari tangan memerah. Nia belum masuk bekerja karena dirawat di rumah sakit yang bahkan ada di dalam mansion. Dia pingsan saat menjalani hukuman bersama seribu kecoak dan berakhir demam tinggi berserta muntah hebat. Beberapa orang mengatakan Keira beruntung karena tidak mendapat hukuman kotak kaca. Mereka tidak tahu saja kalau dia menerima tindakan kurang ajar dari Jake. Setelah makan siang, seperti rencana mereka secara diam-diam mengunjungi ladang buah yang berada di sisi utara yang bersebelahan dengan taman bunga. Sepanjang perjalanan Keira tidak bisa tidak terpana melihat pemandangan indah. Bertanya-tanya dalam hati berapa sebenarnya luas mansion beserta pekerangannya. "Dion!" Lily berseru kecil saat melihat pemuda berambut coklat itu melintas dengan keranjang besar berisi anggur muskat. Pria itu menoleh. Matanya membelalak dan segera menghampiri mereka. "Lily" dia melirik Daya dan wanita asing yang begitu cantik, lalu menggeleng pelan, "apa yang kalian lakukan di sini?" "Jalan-jalan," senyum mengembang di wajah Lily yang memerah. Dion senang namun agak cemas. "Sebentar saja ya, takutnya ada Tuan yang datang." "Memangnya mereka sering ke sini?" Tanya Keira sedikit penasaran. Dion mengangguk. "Ya, biasanya Tuan Samuel dan Tuan Jake datang untuk meninjau perkembangan buah." "Ya sudah, sepuluh menit saja," Daya memberikan batas waktu yang disetujui. Mereka kemudian memasuki ladang buah yang begitu luas. Buah-buah menggantung sepanjang mata memandang. Semua ranum dan berkilau di bawah sinar matahari. Tampak menggoda sekali untuk dipetik. Dion kemudian membahas beberapa hal bersama Lily dan Daya, sedangkan Keira memperhatikan sekitar dan berharap menemukan sesuatu yang dapat membantunya kabur. Melewati ladang anggur, mereka masuk ke pepohonan persik dan apel yang berjejer rapi dan sangat banyak. Keira benar-benar tidak fokus mendengar apa yang mereka bicarakan. Matanya sibuk memandang ke sana, kemari, dan berakhir pada tangga yang berada di sudut dinding besar yang menjadi gerbang penghalang di halaman belakang. "Itu tangga apa?" Pertanyaan Keira membuat ketiganya berhenti dan menoleh memandang secara bersamaan. "Jangan bertanya," ujar Daya setengah berbisik. Lily mengangguk cemas. Dahinya berkerut samar. "Kenapa?" "Di luar tembok ada hamparan rumput hijau luas dan hutan yang digunakan para Tuan untuk berburu," Dion menjelaskan hati-hati. Keira masih menatap bingung dan penuh tanda tanya. Itu tidak menjawab rasa penasarannya. "Lalu?" "Hamparan hijau menjadi tempat area landas jet pribadi mereka. Jika melihat keluar terdapat puluhan jet yang dapat digunakan. Dan para pekerja seperti kita tidak boleh ke sana," imbuh Dion. Setelah mendapat informasi itu Keira mengangguk paham. Mereka kembali berjalan-jalan di sekitar pohon apel dan persik. Keira sesekali menoleh, memandang tangga tersebut. Jet pribadi .... Ide melintas di pikirannya. Keira tidak asing dalam mengemudi jet, dia sering kali menggunakan sebagai alat transportasi cepat jika ke luar negeri dulu. Celah untuk kabur akhirnya Keira temukan. Dia tinggal menyusun strategi dan waktu untuk kabur.Bagaimana caranya untuk tidur jika pikiran berkecamuk? Memikirkan segalanya yang tiada habisnya. Tubuh Keira meringkuk di atas kasur, helaan napasnya terdengar berat setiap kali menghembuskan napas. Jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari, dan sejak tadi yang dilakukan hanyalah menatap kosong ke arah jendela. Waktu berlalu begitu saja meski dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk tertidur. Memejamkan mata yang hanya berakhir gusar karena semua pikiran tetap bersarang di pikirannya. Tidak kuat dengan pikiran yang menganggu, Keira memilih bangkit dari kasur, dan mengendap keluar dari kamar. Langkah kakinya goyah berjalan di lorong yang sepi. Dia pun tidak tahu ingin ke mana, mencoba mengosongkan pikiran dan berakhir melangkah menuju taman mansion. Kepalanya mendongkak memandang langit malam yang cerah. Bulan bersinar penuh menyinari bumi, membuat bayangan Keira terbentuk sempurna di rerumputan. Suasana begitu sunyi, angin sepoi bertiup cukup kencang menerbangkan helai ram
Seharian Keira menghabiskan waktu di dalam kamar. Sekadar melamun di depan jendela atau menatap ikan di akuarium. Raganya seolah melayang setelah percakapan dengan Cullen berapa jam lalu. Kini Keira kembali memikirkan betapa tidak berguna dirinya yang masih hidup hingga sekarang. Apa waktunya menyusul ayahnya? Pikiran itu terus menganggu, seperti menghasut melakukan sesuatu yang gila. Namun Keira masih berusaha menahan diri, dan memikirkan berbagai macam kemungkinan baik yang ada ke depannya. Siapa yang tahu semua akan berubah nantinya, jika makna di balik surat ayahnya telah terungkap? "Apa yang bisa kulakukan?" Gumamnya malas. Menghela napas panjang, Keira kemudian bangkit, dan berjalan keluar dari kamar. Setidaknya dia ingin mencari angin segar dan menjernihkan pikiran yang berkecamuk. Langkahnya pelan menelusuri koridor, beberapa kali bertemu muka dengan pembantu yang dulu satu kamar dengannya, dan kebanyakan dari mereka menghindar. Saat berbelok di ujung koridor, bertepata
"Untungnya kalian tiba tepat waktu tadinya, jadi mereka berdua masih bisa selamat. Memang terkadang hal gila selalu terjadi sini." Amanda keluar dari ruangan, menghembuskan napas panjang. Keira yang sejak tadi duduk di bangku segera berdiri, entah kenapa dia malah tetap duduk di sana sepanjang waktu, padahal dia bisa saja pergi ke kamarnya. Pikirannya masih linglung, tangannya mengenggam erat liontin tersebut. Dia menatap Amanda agak lama, kemudian bersuara. "Mereka selamat?" "Tentu mereka selamat, ini bukan pertama kali aku menangani hal semacam ini. Dapat dikatakan mereka sudah kebal terhadap peluru?" Amanda mengusap keringatnya, bersandar di dinding. Terlihat jelas jika dia kelelahan setelah mengurus dua orang sekaligus. Skillnya tidak main-main, tetapi Keira menganggap itu tidak masuk akal. Bagaimana bisa seseorang melakukan operasi pengangkatan peluru terhadap dua orang sekaligus? Hal tersebut tidak sampai di otaknya, seperti hal mustahil. Tapi mungkin, Amanda sehebat itu, t
Saat berada di luar ruangan, penjahat itu berhenti, cengkaramannya semakin mengencang. Sebelah tangannya bergerak, menempelkan ujung pistol di pelipis Keira, mulai menekan pelatuk. Keira yang tidak bisa melawan, mulai memikirkan segala kejadian yang pernah terjadi dalam hidupnya. Lebih tepatnya mengenang kehidupan sebelum berakhir di tangan penjahat tersebut. Dalam hidupnya, Keira belum pernah mencapai sesuatu yang betul-betul diimpikan. Dia menjalani kehidupan dengan sangat datar, tanpa ambisi, dan cita-cita. Mungkin inilah hukuman untuk seseorang yang tidak pernah menikmati kehidupan dengan semestinya. "Terimalah kematianmu," bisik penjahat tersebut. "Eh?" Matanya membulat, terkejut. "Samuel?" "Huh?" Cengkraman pada lehernya mengendur, Keira menjadikan itu sebagai kesempatan untuk menjauh dan berbalik, memandangnya dengan keterkejutan yang masih sama. "Kau Samuel, kan?" "Huh?!""Tidak perlu berbohong, aku tahu itu kau," tangan Keira bergerak hendak menarik topeng, tapi pria
"Aku tidak mengira akan bertemu denganmu di sini, Keira. Kau menghilang setelah hari kelulusan, bahkan chatku saja tidak dibalas. Kau ke mana selama ini?"Mereka kini berada di ruangan tanpa pintu tempat penyimpanan barang cadangan. Keira berdiri di depan Evan, memandangnya. Mereka memang sudah lama tidak bertemu, oiya Evan merupakan teman kampus Keira, mereka dulunya satu jurusan dan sering berada di kelas yang sama. Evan adalah pria yang pernah Keira pikirkan sebagai pilihan untuk kabur. Ya, dia pria yang memliki kapal pesiar yang berlabuh mengelilingi dunia. Termasuk dari keluarga kaya raya di dunia. Dia pria tampan berambut pirang, yang baik hati dan sering menolongnya dahulu. Bahkan saat status Keira hanyalah mahasiswa yang mendapatkan bantuan dari sekolah dulunya. Alan sangat tidak ingin jika seseorang mengetahui siapa Keira sebenarnya, maka dari itu, sepanjang hidupnya Keira lebih banyak menyembunyikan dirinya yang sebenarnya. Di kampusnya dia dikenal sebagai gadis miskin ta
Nia memasuki ruangan Cullen dengan setengah hati, ada rasa gugup, takut, sekaligus kesal melihat bagaimana Keira dapat menghindari hukuman begitu mudah. Meski Nia tahu bahwa wanita itu bukan seorang pembantu sepertinya, tapi seharusnya diberi hukuman juga, kan? Keluarga Grant yang dia tahu adalah keluarga yang tidak segan menghukum seseorang yang melakukan keributan atau bertengkar di mansion. Namun di sinilah Nia sekarang, berdiri sembari menahan getaran di kaki, menunduk saat Cullen melayangkan tatapan membunuh ke arahnya. Tatapan Cullen saja sudah seperti hukuman. Nia merasa seolah tatapan itu menembus ke dalam jiwa dan merobeknya secara perlahan. Dia sangat tersiksa hingga menimbulkan sesak di dadanya. Hukuman apa yang akan Nia terima? Selama berada di mansion, dia sudah berapa kali dihukum dan dapat dibilang sudah terbiasa, maka dari itu, dia menenangkan diri dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja saat waktu berlalu nantinya. "Anda memanggil saya Tuan?" Pintu terbuk