Jonathan memperlakukan Adam dengan sangat baik. Tidak hanya melunasi hutang peninggalan ayahnya, biaya pengobatan ibu dan pendidikan kedua adik perempuannya, ditanggung oleh Jonathan.
"Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Maaf, Tuan."
"Saya menggajimu untuk bekerja, bukan untuk melamun, ingat itu!"
"Baik, Tuan."
Jonathan telah duduk di kursi kebesarannya. Kantor Smith Corporation berada di puncak gedung tertinggi di kota Rivera. Siapapun pasti tahu jika perusahaan milik Jonathan adalah perusahaan nomor satu di negara ini. Tidak heran jika banyak orang seperti Alfonso ingin menjatuhkan pebisnis nomor satu itu.
"Tuan," panggil Adam.
"Ada, Apa?"
"Nona Moris …."
"Ada apa dengan, gadis itu?" Magdalena Morris putri tunggal dari Perdana mentri yang sejak lama jatuh cinta kepada Jonathan. Gadis muda berumur 23 tahun itu mengagumi Jonathan yang berakhir jatuh hati kepadanya. Pertemuannya dengan Jonathan lima tahun yang lalu, saat ia hendak mengajukan surat izin usaha untuk anak cabang perusahaannya di kota lain.
Saat itu, Magdalena yang sedang dikejar oleh segerombolan pemabuk ditolong oleh Jonathan ketika dalam perjalanan ke rumah Perdana mentri Abraham Morris.
Magdalena yang menangis ketakutan langsung menghambur memeluk, Jonathan. Setelah anak buahnya menghajar para pemabuk itu hingga babak belur. Saat ditanya rumahnya, gadis itu mengatakan alamat yang sama dengan tujuannya malam itu.
"Nona?"
"Magdalena Morris."
"Putri dari Tuan Abraham Morris?" tebak Jonathan.
Magdalena mengangguk.
Jonathan memandangnya tanpa ekspresi. Gadis itu sangat cantik, berambut pirang, bermata biru terang, berkulit putih dan mempunyai postur tubuh yang ideal. Model impian dari semua laki-laki. Namun Jonathan tidak pernah tertarik dengan wanita. Dalam hatinya hanya ada bisnis dan kekuasaan. Kehidupan suram di masa lalu karena hidup susah, membuat hatinya mengeras tanpa perasaan.
Jonathan akhirnya mengantar Magdalena pulang ke rumahnya, sejurus dengan tempat yang akan ia kunjungi malam itu. Mereka duduk berdampingan di jok mobil belakang. Jonathan duduk tegak menghadap ke depan dengan ekspresi wajah yang dingin. Sedangkan Magdalena, mencuri pandang, melirik dengan ekor matanya kepada dewa penolongnya. Rasa takjub dan kagum sudah ia rasakan sejak dari awal melihatnya. Cara Jonathan memerintahkan anak buahnya untuk melumpuhkan gerombolan pemabuk tadi, membuat gadis itu ingin mengenal lebih jauh laki-laki berwajah tampan namun sangat dingin itu.
"Nona Morris, sudah sampai."
"I-iya," Magdalena tersentak kaget karena sedang melamunkan orang yang berada di sebelahnya.
Mobil Rolls-Royce berwarna hitam milik Jonathan itu sudah berhenti tepat di depan pintu mansion Perdana mentri Abraham Morris. Penjaga gerbang yang sudah diberitahu oleh asisten pribadinya, Abraham, langsung membuka pintu setelah membaca plat nomor mobil Jonathan yang sangat identik, RR 100. Nomor spesial yang sudah terkenal karena pemiliknya.
"Selamat datang, Tuan Smith. Tuan Besar sudah menunggu Anda di dalam." asisten pribadinya Abraham, menundukkan kepala sebagai tanda hormat dan mempersilahkan laki-laki terkaya di negara Georgia. Namun matanya menyipit setelah melihat gadis cantik yang berdiri di belakangnya Jonathan.
"Nona Muda, apa yang telah terjadi dengan Anda? Kenapa Anda bersama dengan Tuan Smith?"
Tbc
"Paman Peter." panggil Magdalena yang sangat berantakan penampilannya."Nona Morris diganggu pemabuk, kami menemukannya di jalan dan mengajaknya pulang bersama." terang Jonathan yang melihat Magdalena ketakutan."Cepat masuk, Tuan Besar, pasti marah karena Nona, tidak mau menuruti perintahnya agar dijemput sopir saat pulang sekolah." ucap asisten pribadinya Abraham Morris yang bernama Peter."B-baik," Magdalena ketakutan dan ingin cepat masuk kedalam. Namun langkahnya terhenti ketika sosok yang ditakutinya sudah berdiri tegak di hadapannya. Laki-laki berambut putih memakai piyama bathrobe itu menatapnya dengan tajam."Apa yang telah terjadi, Lena?" Suara berat lelaki paruh baya itu terdengar menakutkan.
"Nona Morris telah lulus kuliah, dia akan kembali besok pagi. Apakah Anda tidak ingin menjemputnya?" tanya Adam. Jonathan menghentikan kegiatannya, lalu menatap Adam. "Apakah itu perlu?" "Anda tunangannya, sebaiknya Anda menjemputnya. Nona Morris berada di luar negri selama lima tahun." Adam menghela napas sambil menunggu jawaban bosnya."Tapi dia setiap tahun pulang ke negara ini." jawab Jonathan santai. Seperti dugaan Adam, bosnya menganggap, memoerhatikan pasangan adalah hal sepele."Itu karena Anda, tidak pernah mengunjunginya." Adam ingin sekali memukul kepala Jonathan dengan guci yang berada di dekatnya supaya laki-laki itu punya sedikit kepekaan."Tahun lalu, aku datang memberinya kejutan di hari ulang tahunnya." Jonathan masih mengingat semua momen bersama Magdalena.Adam menghela napas, sungguh bos yang satu ini terlalu dingin dengan wanita. Tapi itu tidak mengurungkan niat para wanita cantik untuk mendekatinya. Termasuk Magdalena Morris, wanita muda yang sudah lima tahun me
"Baik, Tuan." "Lakukan dengan rapi, saya tunggu hasilnya. Sudah lama tidak ada pertunjukan yang menyenangkan." ucap Jonathan dengan senyumnya yang menyeringai. Ia mengibaskan jas mahalnya lalu berjalan menuju ruangannya. Sesampainya di ruangan, Jonathan memanggil sekretaris pribadinya. "Nona Rodriguez, pesankan satu buket bunga mawar merah untuk besok. Dibungkus dengan rapi dan dilingkari pita yang elegan." "Ada lagi, Tuan?" tanya Rebecca."Sekotak cokelat, bungkus warnanya yang senada dengan buket bunganya. Sediakan vas bunga di meja saya." "Baik, Tuan, saya mengerti." Jonathan tersenyum tipis, hanya dengan hadiah itu. Hati Magdalena Morris akan luntur kemarahannya, karena tidak menjemputnya di bandara. Gadis itu sabgat sederhana keinginannya dan Jonathan sangatlah paham. Magdalena si nona muda yang mempunyai sifat sederhana.*** Suasana di salah satu bar elite di pusat kota, terlihat sangat ramai dan meriah. Namun pengunjungnya hanya berisi beberapa orang laki-laki berjas maha
"Sungguh nikmatnya hidup ini, harta, kekuasaan dan wanita." Esteban tertawa di dalam kamar sambil memeluk gadis malam, bayarannya. Ia tidak tahu jika di luar kamar, Adam dan para pengawalnya Jonathan sudah siap untuk menyeretnya keluar dan mempermalukannya."Buka," titah Adam kepada resepsionis yang sudah memegang kartu kunci kamar."Tit," suara kunci terbuka, sang resepsionis mendorong pintu kamar yang ditempati Esteban untuk berbuat maksiat itu terbuka.Esteban masih sibuk, berkubang dengan nafsunya sehingga tidak menyadari jika ranjang yang ditempatinya telah dikelilingi oleh Adam dan pengikutnya. Laki-laki berambut putih itu masih merancau kata-kata kotor sambil menikmati gadis bookingannya.
"Kau …." Esteban mengacungkan tangannya. "Ya, ini saya, Jonathan Smith." Jonathan masih belum merubah posisi duduknya. Berpakaian jas mahal yang masih rapi dan menyilangkan kakinya. Tangan kanannya terdapat rokok yang terselip di jari tengahnya. "Dingin?" tanya Jonathan dengan santai lalu menatap segerombolan pengkhianat itu dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Apa-apaan ini, Jonathan!" teriak Esteban. "Tuan Smith, panggil nama saya, Tuan Jonathan Smith." Jonathan menegaskan. "Apa maksudmu, membawa kami ke sini dalam keadaan telanjang!" hardik Esteban yang berapi-rapi sambil menahan rasa dingin yang sudah menusuk kulitnya sejak tadi. "Adam," panggil Jonathan sambil merentangkan satu tangan kanannya Adam mengambil sebuah cambuk besi, lalu menyerahkannya kepada Jonathan. "Katakan, apa tujuan kalian menjebak kepala manajer bagian produksi di kantor cabang kota barat?" "Apa maksudmu?" tanya Esteban Jonathan mengibaskan cambuknya ke udara, suara lecutan benda lentur itu membua
Esteban menelan ludahnya dengan susah payah. Ia mati kutu, harusnya ia tahu, siapakah Jonathan yang sebenarnya. Seorang pengusaha sukses dengan latar belakang dari keluarga miskin. Anak yatim yang hidup di jalanan bisa berubah nasibnya dalam waktu singkat, pasti ada sesuatu usaha yang mendukungnya. Bodohnya ia tidak berpikir sampai kesitu. Dunia hitam dan anak jalanan sudah seperti daging dan darah, menyatu dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jonathan pasti dengan mudah mengetahui gerak-geriknya yang menyeleweng di perusahaan. "Tuan Smith, Tuan, maafkan saya, saya khilaf, saya tidak sengaja. Ampuni saya, Tuan." Esteban kembali merangkak, meraih kaki Jonathan yang terbungkus sepatu pantofel yang mengkilat. Keenam orang pengikutnya Esteban, juga melakukan hal yang sama. Jonathan tersenyum sinis menatap malas ketujuh lak
Dua jam sebelumnya.Jonathan berdiri di depan pintu ruangan besi bersama Adam. Sebelum pergi ke kantor, ia menyempatkan diri untuk melihat, manusia terakhir yang menjadi pemenang dari perebutan mantel."Buka pintunya," titah Jonathan kepada penjaga pintu."Baik, Tuan." Penjaga itu bergegas membuka pintu untuk Jonathan dan Adam, di belakangnya, beberapa pengawal pribadi ikut masuk ke dalam sebagai pengawal keselamatannya Jonathan.Hawa dingin menusuk kulit Jonathan dan Adam setelah pintu ruangan tersebut dibuka. Tampak seseorang sedang duduk di pojok ruangan sambil memeluk kakinya. Sedangkan tubuh enam orang lainnya tergeletak di lantai dengan keadaan yang mengerikan. Berlumuran darah dan membiru karena beku.
"Ck … dia tidak ada di sini," gumam Magdalena setelah masuk ke ruangan direktur milik Jonathan."Tuan Smith sedang rapat, Nona." jawab Adam."Lalu? Kenapa kau masih ada di sini?""Maksud, Nona?""Kau asisten pribadinya, seharusnya kau berada di sampingnya saat ini. Apalagi dalam keadaan rapat penting."Adam menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Bosnya menyuruhnya untuk menjemput tunangannya. Dan kini orang yang dijemputnya menyalahkannya karena tidak mendampingi bosnya. Serba salah, bagaikan buah simalakama."Tunggu apalagi?" Magdalena gemas karena asisten tunangannya yang cerdas itu mendada