Share

3. Syarat dari Abraham

"Paman Peter." panggil Magdalena yang sangat berantakan penampilannya.

"Nona Morris diganggu pemabuk, kami menemukannya di jalan dan mengajaknya pulang bersama." terang Jonathan yang melihat Magdalena ketakutan.

"Cepat masuk, Tuan Besar, pasti marah karena Nona, tidak mau menuruti perintahnya agar dijemput sopir saat pulang sekolah." ucap asisten pribadinya Abraham Morris yang bernama Peter.

"B-baik," Magdalena ketakutan dan ingin cepat masuk kedalam. Namun langkahnya terhenti ketika sosok yang ditakutinya sudah berdiri tegak di hadapannya. Laki-laki berambut putih memakai piyama bathrobe itu menatapnya dengan tajam.

"Apa yang telah terjadi, Lena?" Suara berat lelaki paruh baya itu terdengar menakutkan.

"Papa," Magdalena menunduk takut.

"Anak muda selalu begini, Tuan Morris." suara Jonathan menengahi keduanya.

"Smith." panggil Abraham datar. Siapa yang tidak mengenal Jonathan Smith, laki-laki terkaya di negri ini. Tapi dengan sifat keras kepalanya Abraham, ia tidak akan tunduk begitu saja ataupun menghormatinya seperti penjilat di luar sana. Banyak orang berbondong-bondong untuk mendekati Jonathan, untuk meminta pekerjaan atau menjalin bisnis yang bisa menguntungkan bagi mereka. Namun bagi Abraham, status sosial seseorang tidak dapat mempengaruhi eksistensinya. 

"Selamat malam, Tuan Morris. Saya mempunyai kepentingan bertemu Anda malam ini, asisten pribadi saya telah membuat janji dengan asisten Anda dan menurut laporannya, Anda menyetujuinya." ucap Jonathan tegas. Sebagai pebisnis handal, ia sudah terbiasa berbicara lancar dengan orang yang mempunyai sifat keras seperti Abraham. 

"Peter," panggil Abraham kepada asistennya.

"Tamu malam ini yang akan bertemu Anda, adalah Tuan Jonathan Smith, Tuan." Peter menunduk.

"Hmm …," Abraham menatap Jonathan lalu beralih kepada  putrinya, Magdalena. Ia melihat jika gadis itu sedang menatap Jonathan dengan kagum. Sedangkan laki-laki terkaya yang menjadi tamunya malam ini tidak memperhatikan sedikit pun kepada pandangan pewaris utama keluarga Morris itu. Abraham menarik napas dalam.

"Lena, masuk!" titah Abraham.

Magdalena tersentak kaget, lalu menundukkan kepalanya. baik, Pa." ucap Lena patuh. Gadis itu melirik sekilas kepada Jonathan sebelum melangkah masuk kedalam mansion mewah keluarga Morris.

"Masuklah, Smith." Abraham berlalu meninggalkan Jonathan dan Peter di belakang. Peter memberi tanda kepada Jonathan untuk mengikuti langkah tuannya.

Mansion keluarga Morris sangat megah, bangunan lama dengan arsitektur bergaya Romawi yang sangat kental. Sangat cocok dengan pembawaan sifat Abraham yang dingin dan keras. Mansion ini berada di atas bukit, mempunyai halaman yang sangat luas di belakang mansion, di pojok bagian kiri terdapat sebuah barak yang berisikan beberapa kuda pilihan. Terlihat juga rumah kaca yang berisikan aneka bunga bersebrangan dengan barak kuda.

Masuk kedalam, Jonathan melihat desain interior yang sangat klasik. Nampaknya Abraham bukan tipe orang yang suka mengikuti trend kekinian. Terlihat jelas, segala pernak-pernik dalam ruangan itu terlihat model lama tapi sangat antik.

"Tidak semewah rumahmu, tapi tidak kalah mahal jika dibandingkan harganya." suara Abraham menyentak Jonathan yang sedang memperhatikan seisi barang dan desain ruang tamunya mansion keluarga Morris.

"Tuan, makan malamnya sudah siap." Peter datang melapor.

"Heem," Abraham menuju meja makan tanpa menoleh kepada Jonathan.

"Mari, Tuan Smith." Peter menggantikan majikannya, mempersilahkan Jonathan.

Abraham duduk di ujung meja makan. Meja berbentuk persegi panjang itu hanya terdapat tiga buah kursi. Jonathan dipersilahkan Peter untuk duduk di ujung yang bersebrangan dengan Abraham. Mereka terpisah dengan letak meja yang memanjang. Sesaat kemudian, pelayan keluar membawa hidangan makan malam. Satu melayani Abraham, satu lainnya melayani Jonathan. Peter berdiri di sampingnya Abraham.

"Mari, makan." ucapan singkat dari Abraham disambut Jonathan dengan mengambil gelas yang berisi champagne ke atas lalu meneguknya sebagai rasa hormat. Sedangkan Abraham melakukan hal yang sama lalu makan dalam diam. Tidak berapa lama, Magdalena turun dari lantai atas dengan penampilan yang sudah rapi dan bersih. Rambut pirangnya dibiarkan digerai, terlihat cantik untuk usia gadis yang berumur 18 tahun.

"Duduk," Abraham memerintahkan Magdalena untuk duduk di kursi yang berada di dekatnya. Biasanya, kursi meja makan berjumlah dua kursi saja. Satu untuk Abraham dan satu lainnya untuk Magdalena.  Namun malam ini, dengan kedatangan Jonathan, Abraham menyuruh pelayannya untuk menyediakan kursi tambahan.

"Selamat makan, Papa." Magdalena sudah terbiasa dengan sikap dingin ayahnya. Ia langsung makan dalam diam.

Selesai makan malam, Abraham menyuruh Magdalena naik ke atas. Sedangkan dirinya bersama dengan Jonathan masuk kedalam ruang kerja. Abraham duduk di kursi kebesarannya sambil menatap tajam kepada Jonathan.

"Katakan, apa kepentinganmu bertemu dengan saya, malam ini." ucap Abraham tanpa basa-basi.

"Saya menginginkan surat izin usaha di kota lainnya, tepatnya di kota Virginia. Berapa pun kemauan, Tuan. Akan saya sanggupi." tawar Jonathan.

"Harta kami, turun temurun, tidak akan habis untuk dihamburkan. Saya tidak memerlukan uang seperti orang di luar sana yang suka menjilatmu."

"Lalu … syarat apa yang Anda minta?"

"Minggu depan, temani putriku makan malam."

Tbc

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status