"Baik, Tuan." "Lakukan dengan rapi, saya tunggu hasilnya. Sudah lama tidak ada pertunjukan yang menyenangkan." ucap Jonathan dengan senyumnya yang menyeringai. Ia mengibaskan jas mahalnya lalu berjalan menuju ruangannya. Sesampainya di ruangan, Jonathan memanggil sekretaris pribadinya. "Nona Rodriguez, pesankan satu buket bunga mawar merah untuk besok. Dibungkus dengan rapi dan dilingkari pita yang elegan." "Ada lagi, Tuan?" tanya Rebecca."Sekotak cokelat, bungkus warnanya yang senada dengan buket bunganya. Sediakan vas bunga di meja saya." "Baik, Tuan, saya mengerti." Jonathan tersenyum tipis, hanya dengan hadiah itu. Hati Magdalena Morris akan luntur kemarahannya, karena tidak menjemputnya di bandara. Gadis itu sabgat sederhana keinginannya dan Jonathan sangatlah paham. Magdalena si nona muda yang mempunyai sifat sederhana.*** Suasana di salah satu bar elite di pusat kota, terlihat sangat ramai dan meriah. Namun pengunjungnya hanya berisi beberapa orang laki-laki berjas maha
"Sungguh nikmatnya hidup ini, harta, kekuasaan dan wanita." Esteban tertawa di dalam kamar sambil memeluk gadis malam, bayarannya. Ia tidak tahu jika di luar kamar, Adam dan para pengawalnya Jonathan sudah siap untuk menyeretnya keluar dan mempermalukannya."Buka," titah Adam kepada resepsionis yang sudah memegang kartu kunci kamar."Tit," suara kunci terbuka, sang resepsionis mendorong pintu kamar yang ditempati Esteban untuk berbuat maksiat itu terbuka.Esteban masih sibuk, berkubang dengan nafsunya sehingga tidak menyadari jika ranjang yang ditempatinya telah dikelilingi oleh Adam dan pengikutnya. Laki-laki berambut putih itu masih merancau kata-kata kotor sambil menikmati gadis bookingannya.
"Kau …." Esteban mengacungkan tangannya. "Ya, ini saya, Jonathan Smith." Jonathan masih belum merubah posisi duduknya. Berpakaian jas mahal yang masih rapi dan menyilangkan kakinya. Tangan kanannya terdapat rokok yang terselip di jari tengahnya. "Dingin?" tanya Jonathan dengan santai lalu menatap segerombolan pengkhianat itu dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Apa-apaan ini, Jonathan!" teriak Esteban. "Tuan Smith, panggil nama saya, Tuan Jonathan Smith." Jonathan menegaskan. "Apa maksudmu, membawa kami ke sini dalam keadaan telanjang!" hardik Esteban yang berapi-rapi sambil menahan rasa dingin yang sudah menusuk kulitnya sejak tadi. "Adam," panggil Jonathan sambil merentangkan satu tangan kanannya Adam mengambil sebuah cambuk besi, lalu menyerahkannya kepada Jonathan. "Katakan, apa tujuan kalian menjebak kepala manajer bagian produksi di kantor cabang kota barat?" "Apa maksudmu?" tanya Esteban Jonathan mengibaskan cambuknya ke udara, suara lecutan benda lentur itu membua
Esteban menelan ludahnya dengan susah payah. Ia mati kutu, harusnya ia tahu, siapakah Jonathan yang sebenarnya. Seorang pengusaha sukses dengan latar belakang dari keluarga miskin. Anak yatim yang hidup di jalanan bisa berubah nasibnya dalam waktu singkat, pasti ada sesuatu usaha yang mendukungnya. Bodohnya ia tidak berpikir sampai kesitu. Dunia hitam dan anak jalanan sudah seperti daging dan darah, menyatu dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jonathan pasti dengan mudah mengetahui gerak-geriknya yang menyeleweng di perusahaan. "Tuan Smith, Tuan, maafkan saya, saya khilaf, saya tidak sengaja. Ampuni saya, Tuan." Esteban kembali merangkak, meraih kaki Jonathan yang terbungkus sepatu pantofel yang mengkilat. Keenam orang pengikutnya Esteban, juga melakukan hal yang sama. Jonathan tersenyum sinis menatap malas ketujuh lak
Dua jam sebelumnya.Jonathan berdiri di depan pintu ruangan besi bersama Adam. Sebelum pergi ke kantor, ia menyempatkan diri untuk melihat, manusia terakhir yang menjadi pemenang dari perebutan mantel."Buka pintunya," titah Jonathan kepada penjaga pintu."Baik, Tuan." Penjaga itu bergegas membuka pintu untuk Jonathan dan Adam, di belakangnya, beberapa pengawal pribadi ikut masuk ke dalam sebagai pengawal keselamatannya Jonathan.Hawa dingin menusuk kulit Jonathan dan Adam setelah pintu ruangan tersebut dibuka. Tampak seseorang sedang duduk di pojok ruangan sambil memeluk kakinya. Sedangkan tubuh enam orang lainnya tergeletak di lantai dengan keadaan yang mengerikan. Berlumuran darah dan membiru karena beku.
"Ck … dia tidak ada di sini," gumam Magdalena setelah masuk ke ruangan direktur milik Jonathan."Tuan Smith sedang rapat, Nona." jawab Adam."Lalu? Kenapa kau masih ada di sini?""Maksud, Nona?""Kau asisten pribadinya, seharusnya kau berada di sampingnya saat ini. Apalagi dalam keadaan rapat penting."Adam menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Bosnya menyuruhnya untuk menjemput tunangannya. Dan kini orang yang dijemputnya menyalahkannya karena tidak mendampingi bosnya. Serba salah, bagaikan buah simalakama."Tunggu apalagi?" Magdalena gemas karena asisten tunangannya yang cerdas itu mendada
Setelah satu jam berlalu, Magdalena terbangun dari tidurnya. Gadis itu mengerjap, merasakan hangat karena selimut. Bau parfum yang segar menyeruak dalam hidungnya. Magdalena tersenyum, bau khas parfum itu adalah milik Jonathan, tunangannya. Rasa hangat yang menyelimuti tubuhnya ternyata berasal dari jas mahal laki-laki itu. Ada rasa bahagia yang ia rasakan dengan hal simple tersebut."Nathan," panggil Magdalena. "Oh, kau sudah bangun?" Jonathan melepas kaca matanya dan menghentikan ketikan jarinya di keyboard laptop. "Kau sangat sibuk?" tanya Magdalena basa-basi. Ia ingin Jonathan menyambutnya dengan sikap yang hangat, walaupun itu adalah hal yang tidak mungkin. Karena sedari awal Magdalena tahu jika Jonathan adalah laki-laki dingin tak tersentuh. Sama seperti ayahnya. Dua laki-laki yang hampir mirip sikapnya, tapi Magdalena menyukainya."Sudah waktunya makan siang, aku lapar." Jonathan mematikan laptopnya. "Ayo kita pergi makan di luar." perkataan yang tidak diharapkan oleh Magdale
Pegangan tangan Magdalena mengendur, saat Jonathan menyapa balik wanita itu. Sungguh di luar dugaan. Jonathan mau berhenti dan meluangkan waktu untuk berbicara dengan wanita yang tak pernah dilihatnya itu."Halo juga Maria, kabarku baik." Wanita itu mengulurkan tangannya dan Jonathan melepaskan pegangan tangannya dari Magdalena. Mereka berjabat tangan lalu wanita itu melempar senyumnya lagi. Pemandangan yang sangat menyebalkan.Magdalena seperti orang ketiga di antara mereka. Ekor matanya melihat jika wanita itu terlihat berkelas dan dewasa. Kalau dilihat … sepertinya ia lebih cocok bersanding dengan Jonathan dibanding dirinya. Wanita itu berpakaian kantoran, sangat rapi dan berkelas. Magdalena menghela napas, rasanya ia ingin berteriak dan mencegah mereka untuk ngobrol. 'Hentikan! Menjauh dari Jonathan!' tapi itu hanya bisa diucapkan Magdalena dari dalam hatinya."Kenalkan, Magdalena Morris, tunanganku." suara Jonathan seperti angin segar yang berembus. Seketika Magdalena menoleh k