Secara bisnis, Valeria Hudson tidak punya pilihan lain. Dengan tekanan dari para pemegang saham, ancaman pencopotan jabatan, dan fakta bahwa Richard Grentham justru menaruh syarat aneh dalam kesepakatannya, Valeria terpaksa mundur beberapa langkah.Secara publik, dia mendukung keputusan Dante untuk menikah dengan Isabella Monaghan. Dia bahkan menghadiri rapat berikutnya dengan profesional, menyatakan bahwa keluarga Hudson selalu memprioritaskan masa depan perusahaan, bahkan jika itu berarti menerima keputusan yang tidak masuk akal.Tapi dibalik itu, dia tidak pernah benar-benar menerima Belle. Dan wanita seperti itu, bagi Valeria, adalah ancaman lebih besar daripada ribuan saham yang jatuh.Beberapa hari kemudian, di hari yang tenang, Dante datang ke restoran keluarga Monaghan bersama Belle. Patrick menyambut mereka dengan senyum lebar dan canggung. Emily menyeka air mata haru tanpa suara. Liam, meskipun sempat menyeringai geli, akhirnya merangkul Dante seperti seorang kakak ipar yang
Ruang rapat utama Hudson Group dipenuhi ketegangan pagi itu. Di ujung meja oval panjang yang terbuat dari kayu mahoni hitam mengilap, Valeria Hudson duduk anggun dalam balutan setelan biru tua. Wajahnya tidak menunjukkan emosi, tetapi matanya menyala tajam.Dante belum hadir. Namun di sekeliling meja, para pemegang saham utama dan anggota dewan direksi sudah duduk dengan wajah serius. Sebagian membuka laptop, sebagian menunggu dengan tangan bertaut di meja. Presentasi yang barusan ditampilkan memperlihatkan potensi nilai kapitalisasi perusahaan jika akuisisi tanah milik Richard Grentham berhasil dilakukan. Tanah yang sudah bertahun-tahun diincar dan menjadi jantung dari ekspansi Hudson Group di wilayah tengah.Namun sekarang, semua tergantung pada satu hal. Pemilik lahan hanya bersedia menjual tanahnya jika Dante Hudson, pewaris Hudson Group, menikahi Isabella Monaghan.Suara protes mulai terdengar di antara kursi-kursi rapat.“Proyek ini akan menggandakan nilai saham dalam dua kuarta
Kabut tipis menyelimuti jalan menuju mansion keluarga Hudson, rumah megah yang menjulang seperti benteng tak tertembus di antara pohon-pohon cemara tua. Sebuah mobil hitam elegan berhenti perlahan di pelataran depan. Dari dalamnya, Lila Stewart turun dengan langkah tegap namun hati-hati, mengenakan setelan kerja berwarna abu-abu tua dan mantel wol yang melindungi tubuhnya dari udara dingin pagi.Dia menatap bangunan megah di hadapannya. Tempat yang dulu terasa asing, dan kini terasa lebih dingin dari yang dia ingat.Seorang pelayan membukakan pintu besar berlapis ukiran emas, lalu mempersilakan Lila masuk. Suara sepatu hak tingginya bergema di lantai marmer, memantul di lorong megah yang dipenuhi lukisan keluarga dan vas porselen yang terlalu mahal untuk disentuh.Di ujung ruangan, Valeria Hudson telah menunggunya. Duduk anggun di atas sofa beludru, mengenakan gaun biru tua yang sempurna, wajahnya tetap tenang dan tersenyum. Namun sorot matanya tajam seperti biasa.“Lila Stewart,” sap
Keesokan harinya, dunia bisnis Hudson Group dikejutkan oleh kabar yang menyebar lebih cepat daripada proposal investasi apa pun. Di ruang-ruang rapat yang biasanya dipenuhi suara ketikan laptop dan diskusi, kini bisik-bisik beredar seperti badai yang tak terlihat.Nama Richard Grentham kembali disebut-sebut. Bukan karena keengganannya menjual lahan yang telah membuat proyek ekspansi Hudson Group tertahan selama dua tahun terakhir, tapi karena sebuah kabar yang jauh lebih mengguncang.Richard dikabarkan akan menjual tanahnya kepada Hudson Group. Dengan satu syarat, Dante Hudson harus menikahi Isabella Monaghan.Gosip itu pertama kali muncul dari mulut seorang staf keuangan yang mendengar obrolan para konsultan properti dari anak perusahaan. Tak lama, kabar itu menyebar seperti angin. Grup obrolan internal mulai ramai, dan para pemegang saham mulai mengajukan pertanyaan ke manajemen.Namun, tidak ada yang lebih terkejut daripada Valeria Hudson. Dia sedang duduk di kursinya yang megah, m
Mobil hitam milik Dante berhenti di depan sebuah bangunan kaca tua yang berdiri di atas bukit kecil. Rumah kaca itu tampak sepi, namun terawat. Lampu gantung tua di dalamnya memancarkan cahaya kekuningan, membentuk siluet tanaman-tanaman tropis dan meja kayu panjang di tengah ruangan.Dante membuka pintu mobil dan melangkah keluar, jasnya berkibar tertiup angin malam. Udara dingin menusuk kulit, tapi langkahnya mantap. Dia berjalan menapaki batu-batu kecil yang membentuk jalan setapak menuju rumah kaca, lalu mengetuk pintu kaca besar dengan satu ketukan berat.Pintu terbuka sebelum Dante sempat mengetuk kedua kalinya.Richard Grentham berdiri di sana, mengenakan mantel wol tua yang disampirkan asal di bahu. Tangannya menggenggam secangkir teh yang masih mengepulkan uap. Matanya menyipit saat melihat Dante.“Hudson,” sapa Richard dengan nada datar. “Akhirnya datang juga,”“Grentham,” Dante membalas dengan anggukan kaku, lalu melangkah masuk. “Terima kasih… sudah bersedia bertemu,”Rich
Belle menggigit bibir. Dia memejamkan mata, merasakan pelukan itu. “Aku… tidak ingin pernikahan jadi transaksi bisnis, Dante,” ucap Belle akhirnya, pelan, getir. “Aku tidak ingin merasa seperti alat tukar,”Dante menatap ke dalam mata Belle. Kedua tangannya memegang wajah wanita itu dengan hati-hati, seolah wajah itu adalah satu-satunya hal berharga yang dia punya.“Aku paham,” katanya lirih. “Bukankah ini seharusnya… menguntungkan kita? Kau dan aku?,”Belle menggeleng pelan, matanya mulai berembun. “Aku takut, Dante…”“Takut apa?”“Valeria,” Suara Belle nyaris patah. “Aku takut kalau aku bilang ya… kalau aku setuju menikah denganmu… Valeria akan menghancurkanku lagi. Aku takut dia akan menyerangku dengan cara yang lebih kejam. Aku takut dia akan menyakiti keluargaku… atau membuatku kehilangan segalanya,”Dante terdiam. Dia menarik Belle ke dalam pelukannya lagi, lebih erat dari sebelumnya. Satu tangannya menelusup ke rambut gadis itu, menahan kepala Belle agar bersandar di dadanya.“