Percakapan makan malam dimulai dengan basa-basi tentang politik luar negeri, pergerakan saham, isu lembaga keuangan. Valeria dan Tuan Stewart bergantian memuji masa depan kerja sama strategis antara dua keluarga, sesekali melirik ke arah Lila dan Dante. Seolah mereka sudah pasangan resmi yang tinggal menunggu tanggal pernikahan.Namun bagi Dante, semuanya terdengar seperti dengungan kosong. Matanya hanya fokus pada satu hal, sosok Lila. Wanita itu senyap, elegan, dan terlindung oleh dinding kaca yang tak bisa dia tembus.Suasana makan malam terus bergulir dalam ketegangan. Sendok dan garpu beradu pelan, pelayan mengganti gelas anggur tanpa suara, dan obrolan sopan masih bergulir. Tapi Dante tidak lagi mendengarkan. Tatapannya menajam ke arah Valeria, lalu ke arah Lila yang terus menghindari kontak mata.Dengan gerakan perlahan namun pasti, Dante meletakkan serbet di atas piringnya dan mulai bangkit dari kursi. “Maafkan saya, tapi ada satu hal yang perlu saya sampaikan malam ini,” uca
Belle duduk lebih dulu, mengenakan blouse putih sederhana dan celana jeans. Wajahnya tampak lelah. Tangannya menggenggam gelas berisi lemon tea, yang nyaris tak tersentuh.Lila datang beberapa menit kemudian, tepat waktu, tanpa senyum. Gaun kerja abu-abu yang membalut tubuh rampingnya terlihat elegan, rambutnya digerai rapi. Dan matanya yang dulu selalu hangat saat menatap Belle, kini terasa seperti kaca yang membeku.Dia duduk tanpa basa-basi, meletakkan clutch-nya di meja, lalu bersandar tanpa menyapa. Belle menatapnya dalam diam beberapa saat, mencoba menemukan sisa persahabatan di wajah itu. “Terima kasih sudah datang,” ucap Belle pelan.Lila hanya mengangguk kecil. “Langsung saja. Aku tahu kau tidak mengundangku untuk sekedar ngobrol,”Belle menghela napas, menyusun kata yang telah dia pikirkan sepanjang malam. “Aku cuma ingin tahu... kenapa, Lila?”Lila diam. Menyilangkan kaki.“Kenapa kau tega melakukan ini padaku?” suara Belle nyaris pecah. “Kau tahu aku mencintainya. Kau ta
Belle terbangun perlahan. Kelopak matanya mengerjap pelan, lalu terbuka sepenuhnya saat dia merasakan lengan kuat yang melingkari pinggangnya erat, seolah melindungi.Dia tetap diam beberapa detik, tak ingin bergerak. Tidak ingin membuyarkan momen yang terasa terlalu langka, terlalu damai. Dante masih tertidur, napasnya dalam dan teratur. Dagu dan rahangnya menyentuh sisi belakang kepala Belle, dan dada Dante naik turun perlahan, menyelaraskan napas mereka.Belle memejamkan mata sesaat lagi, membiarkan jantungnya menikmati ketenangan ini. Dunia luar, gala semalam, nama Lila, Valeria—semua terasa jauh. Di detik itu, hanya ada dia dan Dante.Lalu perlahan, tangan besar Dante mengencang sedikit di pinggang Belle. “Kau sudah bangun?”Belle hanya mengangguk kecil. “Mm-hm,”Dante menarik tubuh Belle lebih dekat, menempelkan keningnya ke bahu Belle. “Kalau mimpi semalam buruk, maka aku bersyukur bangun dan mendapati kau masih di sini,”Belle tersenyum pelan. “Kau bicara seperti anak kecil,”
Waktu hampir menunjukkan pukul dua dini hari. Ballroom kini sunyi dan temaram. Para tamu sudah pergi, para pelayan sedang membereskan meja-meja panjang yang dipenuhi sisa anggur dan bunga layu.Di salah satu sudut ruangan, di kursi beludru dekat jendela besar yang menghadap taman hotel, Lila Stewart masih duduk sendiri. Gaun merah marun berkilau itu kini tampak terlalu berat di tubuhnya. Dia menyandarkan kepala ke belakang, menatap lampu gantung megah di langit-langit.Masih terbayang jelas ekspresi Dante. Mata itu penuh murka saat mendengar nama Lila disebut sebagai calon istri pilihan. Rahang Dante mengeras, dan sebelum pria itu sempat melangkah, dia langsung menarik Belle keluar dari ballroom tanpa menoleh ke belakang.Lila menunduk, menatap tangan kosong di pangkuannya. “Bodoh,” bisiknya pada diri sendiri.Dia tidak menyangka Valeria akan mengumumkan semuanya di depan umum malam ini. Bahkan dirinya tidak diberi peringatan. Lila hanya diberitahu untuk “siap” oleh Lawrie. Dan saat s
Lampu-lampu gala masih berkilau, tapi bagi Dante Hudson, malam itu sudah berakhir. Dengan rahang mengeras dan mata menyala penuh amarah, dia berjalan cepat keluar ballroom. Para tamu yang mengenalnya menyingkir diam-diam, tidak berani menghentikan. Tidak ada yang berani mendekat saat pewaris Hudson terlihat seperti bom waktu yang baru saja kehilangan sumbunya.Belle mengejarnya dengan langkah lebih pelan, wajahnya masih pucat. Tapi dia tidak bisa membiarkan Dante pergi sendiri dalam kondisi seperti itu.Begitu sampai di pelataran depan, supir sudah membuka pintu belakang Rolls-Royce mereka. Dante masuk tanpa berkata apa-apa. Pintu dibanting tertutup.Belle menyusul dan sopir hanya mengangguk diam sebelum masuk ke kursi depan, menyalakan mesin, lalu membiarkan kaca pembatas otomatis tertutup.Di dalam, Dante duduk dengan tubuh menegang. Kedua tangannya mengepal di lutut, matanya menatap lurus ke depan. Seperti menahan amarah yang terlalu besar untuk disimpan di ruang sekecil itu.“Dia
Lampu-lampu kristal menggantung megah dari langit-langit ballroom hotel bintang lima, memantulkan cahaya yang berkilau di seluruh ruangan. Karpet merah terbentang, kamera-kamera media sosial kalangan elite berdetak tanpa henti, menangkap setiap tamu penting yang datang malam itu.Pintu besar ballroom terbuka perlahan, mengundang perhatian para tamu saat Dante Hudson melangkah masuk bersama seorang wanita yang tampak sangat asing bagi dunia mereka.Belle berdiri anggun di sisi Dante, mengenakan gaun midnight blue yang membingkai tubuhnya dengan cantik. Tatapannya tenang meski jantungnya berdegup cepat. Di tangan kirinya, jari-jemari Dante menggenggam erat seolah bangga memiliki Belle.Sorot mata dan bisikan mulai bermunculan. Tapi Dante tetap tenang. Dia mengedarkan pandangan dan langsung menangkap dua sosok familiar di antara kerumunan. Lex dan Jamie.Lex, seperti biasa, berdiri dengan postur malas namun penuh percaya diri. Rambutnya agak acak, dasi longgar, dan senyum liciknya muncul