Seperti dugaan Grita, Siska tidak masuk kerja. Kalau dia berangkat pun sudah pasti ia akan menjadi pusat perhatian dan bahan obrolan orang satu kantor. Malu sudah pasti Siska rasakan, aib nya sudah terumbar kemana-mana. Salah seorang teman Siska mengatakan bahwa nomor ponsel gadis itu tidak bisa dihubungi. Siska juga tidak membalas pesan. Ya tentu saja, jika Grita yang berada di posisi Siska ia juga akan melakukan hal yang sama. Bersembunyi seolah hilang ditelan bumi. "Sumpah sih, Ta. Gue masih kaget banget sama Siska,"ucap Luna. Gadis itu menyempatkan diri menghampiri Grita walaupun pekerjaannya belum ia selesaikan. Hanya untuk membicarakan tentang Siska, Luna sangat penasaran sepertinya. "Rumor itu bener berarti,"ucap Grita sambil menatap layar komputer, fokus pada pekerjaannya tanpa melihat kearah Luna sedikitpun. "Iya sih, tapi gue masih penasaran siapa yang nyebarin foto-foto Siska, "ucap Luna. Grita bersikap tenang, menyembunyikan fakta bahwa ialah orang dibalik menyebarnya
"Ada perkembangan?"Dodi mengangguk, ia duduk di sofa sementara Heru berada di kursi kerjanya. Mereka saat ini tengah berada di ruangan kerja Heru di kantor."Sedikit, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali, "ucap Dodi. Ia menghisap rokok lalu menghembuskan asap nya keluar melalui mulutnya. Ia bebas mau merokok di mana pun. "Gadis itu bagaimana? Kita bisa mengandalkannya? "tanya Heru. Dia masih tidak begitu yakin dengan kemampuan Grita. Apa bisa gadis itu mengikuti semua rencana liciknya untuk menghancurkan perusahaan Anton, tempat dimana gadis itu bekerja. "Tentu, aku yakin kau akan puas dengan hasil kerjanya nanti, "ucap Dodi. Heru tak lantas percaya, ia butuh bukti yang bisa membuatnya percaya pada kemampuan gadis itu. Dodi menghembuskan asap rokoknya sebelum melanjutkan berbicara. "Gadis itu ternyata licik juga. Rencananya lumayan bagus, dan ku ikuti saja semua alur rencananya."Heru mengerutkan keningnya heran. Kenapa Dodi malah membiarkan gadis itu memimpin misi ini den
Siska sudah memakai pakaian rapi siap untuk berangkat ke kantor, tapi langkah kakinya tertahan karena melihat banyak sekali pesan di grup kantor. Siska penasaran, apa yang sebenarnya terjadi hingga grup yang semulanya sepi menjadi sangat ramai.Mata Siska terbelalak, ada seseorang yang mengirim foto-foto nya digrup. Foto saat ia tengah berada diclub bersama seorang pria paruh baya. Tak hanya satu foto, melainkan 4 foto sekaligus. Siska membaca pesan-pesan dibawahnya, kebanyakan dari mereka menghujat Siska dan mengatai gadis itu dengan kata-kata yang tidak pantas. Siska malu, sangat malu hingga rasanya ia ingin menangis sekarang. Siska tidak mengelak ataupun membuat klarifikasi, itulah yang membuat orang-orang yakin bahwa perempuan di foto itu memang benar dirinya. Daripada menjelaskan, Siska memilih untuk langsung keluar dari grup obrolan kantor. "BAJINGAN!"Siska membanting ponselnya hingga terjatuh dilantai lalu pecah. Gadis itu mengacak kamar apartementnya sendiri menjadi sangat
Sungguh, Kara sangat bosan sekali sekarang. Tak ada kegiatan selain membaca buku dan memainkan ponselnya. Semua buku yang ada di kamarnya sudah berkali-kali ia baca hingga tamat, lagipula sekarang ia juga sedang malas membaca. Kara ingin melakukan kegiatan lain, yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Tapi dengan segala larangan Anton ditambah kakinya yang masih cedera membuat Kara sulit melakukan sesuatu.Kara sedang berada di balkon kamarnya, ia melihat kegiatan orang-orang dari atas. Tak ada hal yang menarik, hanya terlihat Kaisar dan Pak Adi tengah mengobrol layaknya seorang bapak dan anak, sedangkan para pembantu ada di dalam dan belakang rumah. Dari balkon kamarnya Kara bisa melihat pemandangan sekitar, rumah-rumah tetangga yang tidak ia kenal, serta jajaran pohon-pohon besar di tepi jalan. Mata Kara tak sengaja menangkap sebuah tempat, tempat yang sering ia kunjungi dulu bersama Erlan. Sebuah danau."Danau senja," lirih Kara.Kara menamai danau itu dengan nama danau senja, al
Kondisi rumah sedang kacau saat ini, Anton yang tadinya masih terbaring lemah di kasur sekarang sudah bisa bangkit. Ia sedang memarahi para pekerja di rumahnya. Mulai dari para pembantu, Kaisar, Pak Adi dan tukang kebun juga tak luput dari amukannya. Penyebabnya hanya satu, Kara tak ada di rumah.Semua orang baru menyadari jika Kara tak ada didalam rumah setelah 1 jam semenjak kepergian Kara. Pada awalnya Anton meminta salah satu pembantu untuk memanggilkan Kara, tak disangka pembantu itu memberikan jawaban yang tak terduga, Kara tidak ada di kamarnya.Saat itu Anton masih berpikir positif, ia beranggapan mungkin Kara berada di teras,halaman belakang atau mungkin juga ia sedang bersama Kaisar. Pembantu itu lantas mencari Kara dan juga bertanya kepada pekerja yang lain. 20 menit mencari tapi tak membuahkan hasil, bahkan semua orang ikut andil mencari Kara. Tapi hasilnya tetap sama, Kara tidak ditemukan."Bagaimana? Sudah ketemu?"tanya Bi Ina.Kaisar menggeleng. Walaupun sudah berkali-k
"Maaf semuanya."Anton menatap dengan tatapan dingin, ia berjalan mendekat. Suasana hatinya sedang tidak bersahabat, amarah masih menyelimuti dirinya. Kara tahu apa yang dihadapinya sekarang, ia siap dengan segala resiko yang akan ia terima. Ia sudah berani pergi keluar dan melanggar aturan, itu berati ia juga harus berani menghadapi segala resiko."Tau apa kesalahanmu?" tanya Anton dingin. Kara mengangguk pelan sambil menundukkan kepalanya, ia tak berani menatap Anton. Lelaki itu sedang marah besar dengannya.Dalam hati Anton sebenarnya ia merasa lega karena Kara sudah pulang, tapi ia masih tetap khawatir karena gadis ini pergi tanpa izin dan Kara pulang sendirian. Itu artinya Kara tidak bertemu dengan Kaisar ataupun Pak Adi. "Maaf, Papah."Hening, tak ada jawaban dari Anton. Tiba-tiba tangan Kara ditarik oleh Anton, gadis itu terkejut dengan pergerakannya yang mendadak. Anton membawa Kara masuk kedalam rumah tanpa berkata apapun. Para pembantu yang melihat kejadian itu tidak bis
"Kaisar!"Semua sontak menoleh ke sumber suara. Mengetahui bahwa Anton lah yang memanggil Kaisar, membuat Bi Ina dan Pak Adi terkejut. Mereka sudah tahu apa yang akan Kaisar hadapi sekarang. Pak Adi memegang sebelah pundak Kaisar, "Kau harus siap dengan semuanya, Nak."Kaisar mengangguk, lalu mendekati Anton tanpa rasa takut. Pak Adi dan Bi Ina hanya bisa melihat dari kejauhan, mereka khawatir dengan Kaisar. Pastilah lelaki itu akan dimarahi oleh Anton atau kemungkinan terburuk ia akan dipecat. "Saya sudah memberimu amanah untuk menjaga Kara, tapi kenapa tidak dilakukan?" ucap Anton tegas. Amarahnya sudah sedikit mereda, ia mulai tenang. "Saya sudah melakukan tugas saya, tapi maaf untuk hari ini saya memang sedikit lalai," ucap Kaisar. Ia tahu ini kesalahannya jadi sudah sepatutnya ia meminta maaf. Anton menatap Kaisar dengan tatapan datar, ia memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana yang ia pakai. "Untung saja anak saya tidak terluka, kalau Kara lecet sedikit saja kau yang
Anton sudah mulai bekerja hari ini, ia berangkat lebih pagi dari biasanya. Sebelum berangkat ia menyempatkan diri untuk mengecek keadaan Kara. Gadis itu masih tertidur pulas, Anton hanya melihatnya dari pintu lalu menguncinya kembali. Ia juga berpesan kepada Bi Ina untuk mengantarkan Kara makanan menggunakan kunci cadangan. Dan juga memerintahkan agar tidak membiarkan Kara bisa keluar dari kamar. Gadis itu sedang dihukum atas perbuatannya sendiri. Dengan diantar oleh supir pribadi Anton menuju kantor. Sesampainya di kantor sudah banyak karyawan yang datang. Beberapa dari mereka ada yang menyapa dan tersenyum kepada Anton, sedangkan beberapa lainnya hanya menunduk dan bersikap seolah tidak melihat. Anton memang banyak ditakuti oleh sebagian besar karyawannya. Di kantor ia memang dikenal sebagai pribadi yang tegas, bijaksana dan tak banyak omong. Tapi ia bisa berubah 180 derajat saat berada dirumah, namun itu juga tergantung dengan mood dan emosinya. Saat Anton tengah berjalan menuju
Sore itu, langit mulai meredup, mengusir sisa-sisa cahaya mentari yang menggantung di atas kota. Udara mulai sejuk, menyusup ke sela-sela jaket para pejalan kaki yang bergegas pulang. Di antara hiruk pikuk yang perlahan memudar, Kaisar memilih untuk tetap berjalan kaki, menikmati suasana sore yang menenangkan pikirannya.Ia berhenti di sebuah kedai kopi kecil di pinggir jalan, memesan secangkir kopi panas yang mengepul harum. Saat ia menyandarkan tubuhnya ke pagar pembatas trotoar, matanya menangkap iring-iringan kendaraan melintas di jalan seberang. Rombongan mobil dan motor, sekitar dua mobil dan beberapa motor, melaju dalam kecepatan sedang namun jelas memiliki tujuan yang sama. Ada sesuatu dalam mereka yang terasa familiar.Kaisar mengerutkan dahi. Ia meneguk kopinya, tapi pikirannya tak tenang. Tatapannya mengikuti rombongan itu hingga menghilang di tikungan. Dan tiba-tiba, seperti lampu menyala dalam pikirannya, ia teringat. Kendaraan itu adalah milik kelompok Dodi.Ia membuang
Pintu rumah Anton diketuk oleh seseorang di sore harinya. Di luar, langit mulai berubah warna, rona jingga merambat pelan dari ufuk barat, mewarnai dinding-dinding rumah dengan bayangan panjang. Di dalam, Anton tengah duduk di ruang utama, matanya fokus menelusuri baris-baris tulisan dalam berkas yang sudah ia periksa entah berapa kali. Konsentrasinya buyar oleh suara ketukan itu. Ia meletakkan berkas di meja, berdiri, dan melangkah ke arah pintu.Dengan langkah waspada, ia membuka pintu. Terlihatlah seorang pria paruh baya berdiri di sana. Tubuhnya gemuk, kulit kepala mengilap tanpa sehelai rambut, dan sebuah senyum lebar menampakkan kumis tebal yang ikut bergerak-gerak ketika dia berbicara."Selamat sore," sapa pria itu dengan suara berat namun ramah."Sore," jawab Anton singkat. Matanya memindai pria itu dari atas ke bawah.Pria itu tampak mencuri pandang ke dalam rumah. Matanya cepat menjelajah ke arah ruang tamu, rak buku, dan meja kerja Anton seolah ingin merekam segalanya dalam
"Rumah ibunya Anton, di mana?"Obrolan pesan singkat itu berakhir begitu saja. Hening. Seolah menyisakan gema di benak Dodi yang terus-menerus memutar pertanyaan itu dalam kepalanya. Ia memandangi layar ponsel yang kini sudah padam. Tak ada balasan lagi dari Grita. Hanya itu yang bisa ia dapat. Rumah Anton kosong, sepi, tak ada satu pun tanda kehidupan. Dan ketika Dodi mencoba menekan Grita untuk bicara, satu-satunya informasi yang keluar dari bibir perempuan itu hanyalah bahwa Anton pergi ke rumah ibunya, nenek dari Kara.Masalahnya, Dodi tidak pernah tahu Anton masih memiliki seorang ibu. Ia bahkan tak tahu apakah ibu itu benar-benar masih hidup. Selama ini, latar belakang Anton seperti misteri yang tak pernah bisa dibuka, bahkan oleh orang-orang yang cukup dekat dengannya. Dan kini dengan keadaan yang semakin genting, semua informasi menjadi penting. Termasuk silsilah keluarga.Dodi mendongak dari layar ponselnya dan menatap salah satu anak buahnya yang duduk di kursi sebelah. Tata
Pagi itu juga, dengan berbondong-bondong, Dodi dan antek-anteknya kembali datang ke rumah Anton. Mobil-mobil mereka berderet di halaman depan, mengepulkan debu kering. Dodi yang pertama kali turun dari mobil, mengerutkan kening curiga. Begitu melangkah masuk ke halaman, langkahnya berhenti.Ia mengernyitkan kening. Tidak ada siapa pun di sana. Sunyi.Dodi menyuruh anak buahnya menyebar ke seluruh penjuru rumah untuk mencari keberadaan Anton dan yang lainnya. Suasana terasa aneh. Pintu rumah terkunci rapat, pos satpam kosong tak berpenghuni, bahkan rumah depan untuk karyawan pun tampak sepi."Tidak ada siapapun di sini," lapor salah satu anak buah dengan wajah tegang.Dengan kasar, Dodi menendang sebuah pot bunga yang ada di teras sampai pecah berantakan. Pecahan tanah dan keramik beterbangan, mencerminkan betapa amarah menguasai dirinya."Sialan! Kemana mereka!" Dodi menggeram, suaranya menggetarkan halaman kosong itu.Ia tidak bisa berpikir jernih. Pikirannya dipenuhi rasa frustrasi
Keadaan markas menjadi bak kapal pecah saat Sean kembali pada keesokan harinya. Botol-botol alkohol kosong berserakan di lantai, puntung rokok tersebar di mana-mana, serta orang-orang yang ada di sana tepar di segala penjuru markas. Bau menyengat alkohol, asap rokok basi, dan keringat memenuhi udara, membuat Sean harus menahan napas sejenak sebelum melangkah lebih jauh.Ia berdiri di ambang pintu, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Suara dengkuran dan gumaman orang mabuk terdengar bersahut-sahutan. Beberapa tubuh tergolek di sofa, lantai, bahkan ada yang tidur setengah bergelantungan di atas meja.Sean mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Dodi. Ia tak menemukannya di ruang utama, jadi ia beralih mencari ke ruangan Dodi, sebuah ruangan kecil di sudut markas yang biasanya selalu ramai dengan aktivitas. Kini, lorong menuju ruangan itu sepi, hanya langkah sepatu Sean yang terdengar menggema.Begitu pintu dibuka, tak terlihat siapapun ada di sana. Ruangan itu kosong, hanya
Sean memutuskan untuk pulang ke apartemennya. Meninggalkan markas yang kini penuh dengan orang-orang yang mabuk, termasuk Dodi. Sean tidak suka keramaian penuh bau alkohol seperti ini, jadi dia memutuskan untuk pulang saja.Sean menaiki motornya dan melaju di jalanan kota yang sepi. Pikirannya terus terpusat pada peristiwa tadi. Ia khawatir dengan kondisi Kara, ia takut gadis itu kenapa-napa, tapi sekali lagi tak ada yang bisa ia lakukan.Motor Sean melaju kencang hingga sampai ke apartemennya. Ia ingin segera mengistirahatkan tubuhnya yang lelah, lelah secara fisik dan mental.Di kota yang sama namun di tempat yang lain, kediaman Anton masih ramai karena kepindahannya. Malam itu juga Daniel mengantarkan Grita ke rumah Rei, sambil membawa pria yang ada di ruang bawah tanah tadi. Tentu saja dengan tali terikat dan mata ditutup kain. Leo tidak bisa membawanya karena dia memakai sepeda motor, jadi dia meminta Daniel untuk membawannya. Sementara yang lain tetap kembali ke pekerjaannya mem
"Berkas tadi, yang kuserahkan begitu saja pada Dodi, itu adalah berkas palsu."Leo menatapnya tak percaya, menahan napas sejenak seolah memastikan apa ia tak salah dengar. Malam itu udara terasa dingin menusuk kulit, dan bayangan pepohonan yang bergerak di bawah cahaya bulan menambah suasana mencekam."Sungguh?" tanyanya dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan.Anton mengangguk pasti. Tatapannya kembali lurus ke depan, seolah menembus gelapnya malam. Dua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya, berusaha menahan dingin yang menggigit. Pohon-pohon di sekitar mereka bergerak pelan mengikuti irama angin, berdesir lembut namun menghadirkan suasana muram."Aku tidak akan pernah menyerahkan apapun yang ku punya pada orang lain. Yang menjadi milikku akan selamanya menjadi milikku," ucap Anton tegas, suaranya berat namun penuh keteguhan.Leo tertawa pelan, nada tawanya lebih mirip helaan napas lega bercampur kekaguman. Anton tetap Anton yang dulu, pikir Leo. Pria yang keras kepala namu
Kara menolak saat Vano mengajaknya ke kamarnya untuk beristirahat. Tubuh mungilnya gemetar, matanya kosong, jelas sekali kejadian mengerikan tadi masih menghantuinya. Vano mengerutkan kening, kebingungan harus bagaimana. Ia tahu dirinya tidak pandai menangani trauma seperti ini, apalagi terhadap seorang perempuan seperti Kara.Kalau saja Bi Ina atau salah satu pembantu perempuan lainnya masih di sini, mereka pasti tahu harus berbuat apa. Sayangnya, tadi pagi Anton memutuskan untuk memulangkan semua staf rumah tangga, agar mereka terhindar dari kemungkinan bahaya. Keputusan yang benar di satu sisi, namun membuat mereka kehilangan sosok-sosok yang biasanya bisa menenangkan Kara."Yaudah, Kara mau di mana?" tanya Vano dengan suara yang dibuat selembut mungkin, berusaha agar gadis itu merasa aman.Kara tidak menjawab. Ia hanya memeluk lututnya sendiri sambil menunduk. Napasnya pendek-pendek, seolah-olah ia berusaha keras menahan ketakutan yang menyeruak dari dalam dirinya.Vano menunggu d
Anton menghela napasnya kasar, ia menoleh pada Raven.”Bawakan berkas di laci mejaku.”Leo menatapnya tak percaya, ia menyentuh bahu Anton."Kau yakin?" tanya Leo."Aku harus menyelamatkan mereka," jawab Anton. Ia lalu kembali menatap Raven, pria itu lalu masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa. Detik-detik berlalu terasa begitu lambat. Jantung Anton berdegup keras, seakan menghantam dadanya dari dalam. Ia mengepalkan tangannya erat, menahan emosi yang berkecamuk hebat.Dodi tertawa puas. Akhirnya setelah sekian lama, berkas itu akan menjadi miliknya, dan Anton akan jatuh sejatuh-jatuhnya. Mata Dodi bersinar-sinar, bibirnya terus menyunggingkan senyum kemenangan. Tak lama, Raven muncul dari dalam rumah, membawa sebuah berkas di tangannya, lalu menyerahkannya pada Anton.Anton menatap berkas itu sejenak, hanya karena tumpukan kertas ini ia harus mengorbankan orang-orang yang disayanginya. Luka di hatinya yang lama pun kembali menganga. Ia tak mau kehilangan lagi, cukup istri dan ana