Raut wajah Stella memucat mendengar pertanyaan Sean. Bulu kuduknya langsung merinding akibat rasa takut yang menyerang dirinya. Dia menunduk dan bahunya bergetar ketakutan. Terlebih Sean mendekat ke arahnya.
Pria itu menatapnya bagaikan singa kelaparan. Begitu tajam, dingin dan seolah akan menerkam mangsanya. Sepasang mata tajam yang terus terarah padanya, membuat Stella bagaikan seekor kucing yang menciut ketika diburu.
“Kenapa kau hanya diam?” Sean menatap gadis itu yang duduk di hadapannya. “Angkat wajahmu ketika lawan bicaramu berbicara. Aku rasa kau pasti diajarkan bagaimana menjaga sopan santunmu, bukan?” lanjutnya dengan sarkas.
Stella menelan salivanya susah payah. Dia memberanikan mengangkat wajahnya, menatap wajah Sean. Tatapan mata pria itu sangat tajam, akan tetapi memiliki pesona yang luar biasa kuat. Sean memiliki tubuh tegap, tinggi, dan gagah membuat Stella mendongakkan wajahnya ke atas.
Stella mengakui pria di hadapannya ini sangat tampan. Matanya yang tajam bagaikan mata elang. Rahang tegas yang ditumbuhi bulu-bulu membuat pria itu tampak jantan. Sorot mata arogannya terpancar. Pria di hadapan Stella bagaikan seorang Dewa Yunani yang mampu menyihir semua gadis yang melihatnya.
“Kau belum menjawab pertanyaanku.” Pria itu berkata begitu dingin, sontak membuat Stella menghentikan lamunannya.
Stella membeku tampak bingung tidak tahu harus menjawab apa. Pria itu menanyakan imbalan apa yang didapatkan jika memenuhi permintaannya. Tidak mungkin Stella menawarkan uang. Dia pun tidak memiliki uang untuk membayar. Namun apa yang dia bisa tawarkan?
“Tuan, a-aku tidak memiliki apa pun. T-tapi, jika Anda ingin memintaku untuk membayar, maka aku akan bekerja dan membayarnya dengan mencicil, Tuan,” jawab Stella dengan gugup.
Dalam hati Stella terdalam, dia berharapa Sean mengabulkan keinginannya. Entah dia bekerja apa demi membayar uang, tapi yang pasti Stella akan berjuang keras, membayar ganti rugi pada Sean.
Sean tersenyum misterius mendengar jawaban Stella. “Stella Regina. Aku tidak membutuhkan uang. Aku yakin kau tahu akan hal itu.” Dia memasukan tangannya ke saku celananya. Tatapannya terpaku melihat wajah gadis yang berada di depannya semakin pucat.
“Jika bukan uang yang Anda inginkan, apa yang bisa aku lakukan agar Anda tidak menggusur panti asuhan kami, Tuan?” Manik mata abu-abu Stella menatap Sean penuh dengan permohonan. Berharap Sean mengubah keinginannya.
Sean mengikis jarak di antaranya dengan gadis itu. Tampak jelas kegugupan di wajah Stella ketika Sean mengikis jarak di antara mereka. “Kau tahu, Stella? Ada pepatah mengatakan, tidak ada makan siang yang benar-benar gratis di dunia ini. Apa kau pernah mendengar pepatah itu?”
Tenggorokan Stella seakan tercekat. Lidahnya begitu kelu ketika dia mendengar apa yang dikatakan oleh Sean. Tanpa harus Sean mengatakan, dia tentu mengetahui pepatah itu. Hanya saja pepatah ‘Tidak ada makan siang yang benar-benar gratis di dunia ini’, membuat Stella berpikir, apa imbalan yang harus dia berikan pada pria itu.
“Tuan Sean, sungguh aku tidak tahu apa yang bisa aku berikan padamu. Penawaran uang yang aku tadi berikan telah Anda tolak. J-jujur, a-aku tidak memiliki apa pun, Tuan.” Bibir merah jambu Stella terlihat bergetar ketakutan ketika mengatakan itu.
Sean menaikan sebelah alisnya. Dia terdiam sejenak dan tak henti menatap gadis yang berada di hadapannya. Hal yang membuat Sean terpaku pada penampilan gadis itu adalah manik mata abu-abu dan rambut hitam tebal miliknya. Kebanyakan gadis berdarah Asia yang memiliki rambut hitam legam. Meski penampilan gadis di hadapannya ini sedikit berantakan, terutama dress yang dipakainya sudah robek akibat terjatuh tadi, tapi gadis itu tetap menunjukkan daya tariknya tersendiri.
“Sebenarnya, aku tahu apa yang kau bisa tawarkan padaku agar aku bisa mengabulkan permintaanmu.” Suara dingin dan arogan Sean terdengar di telinga Stella, membuat raut wajah gadis itu berubah. Terlihat kilatan secercah harapan dimanik mata abu-abu Stella.
“Apa yang Anda inginkan, Tuan?” Stella mendongakkan kepalanya, menatap manik mata cokelat Sean. Sesaat mata mereka saling bertemu, menatap satu sama lainnya. Sebuah tatapan terpancar di mata keduanya yang sulit diartikan.
“Dirimu.” Sean menjeda, raut wajah arogannya terpancar begitu serius. “Kau bisa menawarkan dirimu sebagai imbalan atas apa yang kau inginkan.”
Stella sontak terkejut. Ketegangan menyelimuti. Debaran jantung semakin berpacu kencang. Pancaran secercah harapan di matanya lenyap mendengar perkataan Sean. Tatapan harapan di mata gadis itu seperti layaknya telah menjadi abu.
“A-apa m-maksud Anda, Tuan?” Stella bertanya dengan bibir yang bergetar ketakutan.
“Bukankah perkataanku sudah jelas?” Sean menyeringai penuh arti. “Kau bisa menukarkan dirimu dan imbalan yang aku berikan adalah aku tidak akan menggusur panti asuhanmu. Sebagai pembisnis, tentu aku tidak ingin rugi.”
Stella menelan salivanya susah payah. Pancaran matanya telah meredup tergantikan dengan ketakutan yang telah menulusup ke dalam tubuhnya, menembus hingga ke dalam rongga tubuhnya.
Stella bahkan tidak mengerti apa yang dimaksud oleh pria yang berdiri di hadapannya. Menukarkan dengan dirinya? Apa makna itu? Ribuan pertanyaan muncul dalam benak Stella. Entah apa yang ada dipikiran pria itu, tapi yang Stella tahu pria itu meminta menukar dengan dirinya seperti dirinya ini sebuah barang.
Hingga didetik selanjutnya, Stella mengumpulkan keberanian. Dia kembali mengangkat wajahnya, menatap Sean penuh rasa tegas. “Tuan, bagaimana mungkin Anda memintaku sebagai bayaran yang Anda inginkan?”
Sean tersenyum misterius. “Lahan tempat di mana kalian membangun panti asuhan, bukanlah lahan yang murah. Meski aku memiliki banyak uang sekali pun, aku tidak pernah menginginkan kerugian dalam hidupku. Kau memintaku tidak menggusur panti asuhan kalian, maka harus ada imbalan atas apa yang aku berikan. Seperti yang aku bilang, tidak ada yang benar-benar gratis di dunia ini.”
Stella menggeram. Tangannya terkepal begitu kuat. Mata yang mulai berkaca-kaca mendengar perkataan kejam pria yang ada di hadapannya. “Kenapa Anda memperilakukan seorang manusia seperti layaknya barang?!”
“Aku tidak memaksamu. Arti kata menukar dengan dirimu sangat luas. Lebih tepatnya, kau telah menyerahkan hidupmu padaku. Kau harus menuruti setiap permintaanku. Bagiku, aku masih jauh lebih baik memperilakukanmu dari pada hanya sebuah barang.” Sean berkata begitu tajam dan menusuk.
“Aku tidak mau! Aku tidak mungkin memberikan diriku padamu!” Bulir air mata Stella menetes, membasahi pipinya. Kobaran amarah telah membendung dan hanya menunggu waktunya untuk meluap. Dia sudah tidak lagi menjaga perkataannya. Tidak peduli siapa pria yang ada di hadapannya ini.
Sean menganggukkan kepalanya dengan santai. “Baiklah, kalau kau tidak mau. Detik ini juga kau dan seluruh saudara pantimu harus keluar. Lahan yang kau injak ini adalah milikku. Aku berhak mengusir siapa pun orang yang menginjakan kakinya di tempatku.” Nadanya terdengar sangat arogan.
“Kau benar-benar iblis! Kenapa ada manusia sekejam dirimu di dunia ini!” seru Stella dengan isak tangisnya yang keras, menggema di ruangan itu.
“Terkadang menjadi kejam dalam dunia bisnis itu perlu, Stella Regina. Mungkin kelak kau akan mempelajarinya.” Sean mengukir seringai di wajahnya kala melihat wajah Stella sudah tidak lagi berdaya.
Kini hanya terdengar suara tangisan yang memecahkan keheningan di ruangan itu.
“Aku tidak memiliki waktu berlama-lama di sini. Lebih baik kau dan saudara pantimu segera berkemas.” Sean berbalik, dia hendak meninggalkan ruangan itu. Namun…
“Tunggu!” Suara Stella begitu keras, bercampur tangis, membuat langkah Sean terhenti.
Sean bergeming. Pria itu memunggungi gadis itu. Dia masih hanya mendengar isak tangis gadis itu yang mulai mereda. Dia menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkan oleh gadis itu.
“Aku setuju dengan permintaanmu.” Stella mengatakan itu dengan bibir bergetar bersamaan dengan isak tangisnya.
Sean menyeringai puas dan penuh kemenangan mendapatkan jawab Stella. Dia menoleh, melihat gadis itu dengan sudut matanya dan berucap dingin, “Kau harus ingat, Stella. Apa yang telah kau putuskan, tidak akan pernah bisa kau tarik kembali.”
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau