Share

Bab 3. Gadis Penakut

Penulis: Abigail Kusuma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-08 11:35:57

Stella menatap lirih koper di hadapannya dengan pikiran yang menerawang ke depan. Raut wajah yang tampak muram. Dia terus memikirkan apa yang telah dia putuskan. Stella berharap ini semua adalah mimpi.

Berkali-kali Stella meyakinkan ini tidak nyata. Namun tidak, ini semua kenyataan yang harus dia hadapi. Dia tidak menyangka dirinya berani mengambil keputusan itu. Sebuah keputusan yang pasti akan dia sesali seumur hidupnya. Dia tidak memiliki pilihan lain. Jika Stella egois, akan banyak saudaranya yang akan menderita.

“Aku tidak memiliki waktu berlama-lama di sini. Cepat keluar.” Sean berkata begitu dingin, dan menusuk di indra pendengaran Stella.

“Kau mau membawaku ke mana?” tanya Stella dengan suara pelan, dan lemah.

“Kau masih bertanya aku membawamu ke mana, setelah kau menyetujui apa penawaran yang aku ajukan?” Sebelah alis Sean terangkat, dia tersenyum misterius pada Stella. “Kau tidak memiliki hak untuk bertanya.”

Mata Stella sudah bengkak akibat terus menangis. Entah, dia tidak tahu bagaimana nasibnya. Dia hanya diminta mengemasi barang-barang. Dia tak mengerti ke mana Sean akan membawanya pergi. Akhirnya, yang dilakukan gadis itu hanya patuh. Tidak ada jalan untuk menoleh ke belakang.

“Kita pergi sekarang,” ucap Sean dingin dengan nada yang tidak ingin dibantah.

Stella mengangguk patuh merespon ucapan pria itu. Dia melangkah mengikuti Sean dari belakang. Tepat di kala Sean dan Stella hendak meninggalkan panti, langkah mereka terhenti kala melihat sosok wanita paruh baya menghampiri mereka dengan tergesa-gesa.

“Tuan Sean.” Ibu pengurus panti menunduk, menyapa Sean dengan sopan.

Sean menatap pengurus panti di hadapannya dengan raut wajah dingin, dan tanpa ekspresi. Sorot matanya sangat tegas. “Ada apa?”

“Maaf, Tuan Sean. Apa saya bisa berbicara berdua dengan Stella?” tanya Ibu pengurus panti itu dengan sopan.

Sean hanya mengganggukan kepalanya singkat sebagai jawaban dia menyetujui permintaan Ibu pengurus panti. Lantas, Ibu pengurus panti itu langsung menarik tangan Stella meninggalkan Sean.

“Bu, ada apa?” tanya Stella dengan wajah yang sedikit pucat ketika dia sudah keluar dari ruangan itu.

“Stella, Ibu tidak salah dengar, kan? Kau akan bekerja menjadi pelayan di rumah Tuan Sean?” Raut wajah pengurus panti itu tampak begitu bahagia kala menanyakan hal itu. Terlihat iris matanya, menatap bangga Stella.

Stella menganggukan kepalanya. “Iya, Bu. Aku akan ikut Tuan Sean. Aku akan bekerja dengannya.”

Tidak ada pilihan lain, Stella mengaku pada seluruh saudara di pantinya bekerja sebagai pelayan di rumah Sean. Dia sendiri tidak tahu bagaimana harus menjelaskan pada semua orang. Hanya dengan beralasan sebagai seorang pelayan yang bisa dia katakan.

Ibu pengurus panti meraih kedua bahu Stella. “Aku tidak tahu apa alasan Tuan Sean tidak jadi menggusur panti ini, tapi mendengar kabar kau bekerja pada pria kaya itu, membuatku sangat senang.” 

Stella bingung harus mengatakan apa. Yang dia lakukan hanya tersenyum samar, seolah bahagia, padahal dia dilanda ketakutan hebat. Akan tetapi, dia sudah meneguhkan diri di hadapan ibu panti, dan saudara pantinya—dia akan terlihat tetap baik-baik saja.

“Stella, sebelum kau pergi. Kau harus ingat, sejak kau bayi kau tinggal di panti ini. Banyak uang yang aku keluarkan untukmu dan saudaramu di panti. Kau harus selalu mengirimkan uang pada kami. Kau pasti akan mendapatkan gaji besar. Jadi jangan lupa untuk selalu kirimkan uang.” Ibu panti itu meminta Stella untuk tak lupa padanya.

“Bu, tapi kan Tuan Sean sudah memberikan kompensasi dari panti asuhan ini. Bukankah itu jumlah uang besar?” ujar Stella pelan.

Tadi Stella ingat Sean mengatakan pada anak buahnya, bahwa pria itu tidak jadi menggusur panti asuhan ini, tetapi meski tak jadi—nyatanya tidak membuat Sean mengambil kembali uang kompensasi yang sudah pria itu berikan.

“Ck! Uang itu pasti akan segera habis. Kau pikir kau memiliki saudara panti sedikit?!” sembur ibu panti kesal.

Stella menggigit bibir bawahnya pelan. “B-baik, Bu.” 

“Sudah kau pergi sekarang. Tuan Sean sudah menunggumu di luar. Ingat apa yang ibu katakan tadi. Setiap bulan kau harus mengirimkan uang pada kami! Jangan lupakan tempat di mana kau berasal!” seru ibu panti mengingatkan.

Stella mengangguk dengan raut wajah muram. Detik selanjutnya, ibu panti itu kembali membawa Stella pada Sean—yang sudah menunggunya di depan. Neraka kehidupan Stella bermula di sini.

***

Sean membawa Stella ke rumahnya. Raut wajah gadis itu kian memucat kala memasuki rumah yang begitu besar dan tampak sepi. Malam yang sudah larut, membuat Stella takut. Pasalnya, jika sudah malam seperti ini para pelayan akan masuk ke dalam bungalow.

“Tuan, apa kau tinggal di sini sendiri?” Stella bertanya dengan suara pelan. Rumah besar itu tampak gelap, dan menakutkan. Ditambah banyak lukisan-lukisan yang menyeramkan, membua nyali Stella menciut.

“Menurutmu?” Sean menatap dingin Stella, membalikkan pertanyaan gadis itu.

“A-apa Anda tidak tinggal dengan orang tua Anda?” Stella menelen salivanya susah payah. Dia bahkan tidak bisa berpikir, bagaimana tinggal di rumah sebesar ini seorang diri. Hanya banyak penjaga di depan rumah.

“Di ujung sebelah kiri, itu kamarmu.” Sean menunjuk kamar yang dimaksud, tanpa menjawab pertanyaan Stella.

Stella hanya menggangguk dan melangkah masuk ke dalam kamar itu. Saat dia memasuki kamar itu, dia tampak kagum melihat kamar begitu besar dengan ranjang yang empuk. Selama ini Stella selalu tidur bersama-sama dengan saudara pantinya. Gadis itu belum pernah memiliki kamar sendiri.

Saat Stella tengah menyentuh setiap pajangan yang ada di kamar itu, tenggorokannya mulai mengering. Dia hendak mengambil teko yang ada di atas meja, tapi teko itu kosong. Tidak ada air di dalam teko.

Stella terpaksa keluar kamar, dia menuruni tangga mencari dapur. Dia ingin sekali memanggil Sean, tapi dia lupa bertanya di mana kamar pria itu. Sementara sekarang dia tidak menemukan satu pelayan pun ada di rumah ini.

Stella berjalan mengendap-endap mencari dapur. Dia ingin menghidupkan lampu, tapi dia bingung di mana letak saklar lampu. Udara malam yang dingin menelusup ke tubuh Stella, membuat gadis itu merinding ketakutan. Jika bukan karena dirinya sangat haus, Stella lebih baik memilih mengunci diri di kamar.

“Dapur ada di sebelah mana?” guman Stella dengan wajah yang memucat karena ketakutannya.

“Lebih baik aku kembali saja.” Wajah Stella memucat, rumah ini begitu menyeramkan. Dia langsung berbalik, dan tiba-tiba…

Brukkk

“Akhh—” Stella menjerit keras kala dia seperti menabrak seseorang. Dia menutup mata dan tidak berani membukanya. Bahunya gemetar ketakutan.

“Buka matamu, Stella.” Suara berat yang Stella kenali, membuat ketakutannya sedikit mereda.

“Tuan Sean?” Napas Stella mulai beraturan melihat Sean yang berdiri di hadapannya. Sungguh, rumah ini benar-benar membuat ketakutan begitu melanda dirinya. Nuansa hitam berkombinasi abu-abu, ditambah dengan banyak lukisan yang terlihat menyeramkan. Stella tidak mengerti, kenapa pria di hadapannya itu mengoleksi lukisan menyeramkan itu.

“Apa yang kau lakukan di sini?” Sean bertanya dengan nada dingin, dan tatapan lekat pada Stella.

“A-aku haus. Aku ingin mengambil minum.” Stella berucap dengan nada gugup. Dia menunduk, tidak berani menatap Sean.

“Angkat wajahmu ketika bicara denganku, Stella,” titah Sean tegas, tak suka di kala Stella selalu menunduk ketika berbicara padanya.

Stella menelan salivanya susah payah, dia memberanikan diri mengangkat wajahnya menatap Sean. Hal yang membuat Stella tidak berani menatap pria yang berdiri di hadapannya itu karena pria itu memiliki sepasang mata yang tegas seperti burung elang—yang membuat nyali Stella menciut setiap kali melihatnya.

“Kau takut dengan gelap?” tanya Sean dingin.

Stella menggeleng cepat. “Tidak, aku tidak takut. Aku hanya terkejut saja.”

“Benarkah?” Alis Sean terangkat, menatap penuh curiga.

 “Iya, aku tidak takut.” Stella menjawab berusaha tidak gugup.

Sean menyeringai dengan senyuman mengejek. Dia melangkahkan kakinya mendekat ke arah Stella. Sesaat, dia menatap wajah Stella yang memucat. Anak rambut gadis itu, menutupi wajahnya.

Sean menarik dagu Stella, menatap manik mata abu-abu gadis itu dengan lekat dan penuh intimidasi. “Sayangnya aku tahu, kau adalah gadis penakut.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dalam Pelukan Sang Billionaire (Sean&Stella)   Bab 356. Ending Scene (Tamat)

    Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t

  • Dalam Pelukan Sang Billionaire (Sean&Stella)   Bab 355. Extra Part Sembilan

    Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell

  • Dalam Pelukan Sang Billionaire (Sean&Stella)   Bab 354. Extra Part Delapan

    “Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn

  • Dalam Pelukan Sang Billionaire (Sean&Stella)   Bab 353. Extra Part Tujuh

    Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan

  • Dalam Pelukan Sang Billionaire (Sean&Stella)   Bab 352. Extra Part Enam

    Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh

  • Dalam Pelukan Sang Billionaire (Sean&Stella)   Bab 351. Extra Part Lima

    “Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status