Stella menggeliat, saat merasakan silau matahari menyentuh wajahnya. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali, dan mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Beberapa saat, Stella masih tampak asing berada di dalam kamar barunya. Jika biasanya Stella terbangun dengan banyaknya saudara-saudra di panti, kali ini dia terbangun di sebuah kamar megah, dan ranjang yang empuk.
Stella terdiam sejenak mengingat kejadian kemarin. Kejadian di mana dirinya telah menyerahkan hidupnya pada pria kaya yang baru saja dia kenal. Stella telah berada di dalam sangkar emasnya. Stella mengatur napasnya, berusaha untuk menenangkan diri. Dia telah meneguhkan apa yang telah menjadi pilihannya. Perlahan, dia bangkit dari ranjang, dan langsung membersihkan diri, melangkahkan kakinya keluar kamar.
“Selamat pagi, Nona.” Suara pelayan menyapa, sontak membuat Stella yang baru saja keluar kamar terkejut.
“Maaf, Nona jika saya mengejutkan Anda.” Sang pelayan menundukkan kepalanya.
“T-tidak. Kau tidak perlu meminta maaf.” Stella menjawab dengan senyuman yang di wajahnya. “Hm, apa kau tahu di mana Tuan Sean?”
“Tuan Sean sedang berada di ruang kerjanya, Nona. Beliau sedang sibuk. Jika Anda ingin sarapan, Anda bisa ke ruang makan. Saya telah menyiapkan sarapan,” jawab sang pelayan memberi tahu.
“Nanti saja, aku belum lapar. Terima kasih,” balas Stella dengan ramah.
“Kalau begitu saya permisi.” Sang pelayan menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Stella
Stella menatap punggung sang pelayan yang mulai lenyap dari pandangannya. Dia masih bergeming. Raut wajahnya tampak bingung. Jujur saja, hingga detik ini Stella tidak mengerti apa alasan Sean membawanya meninggalkan panti.
Pria itu, tidak mengatakan sepatah kata pun padanya. Awalnya Stella pikir, Sean akan menjadikannya pelayan seumur hidup. Namun kenyataan, dia tidak diberikan perintah sedikit pun sebagai seorang pelayan.
“Lebih baik aku berjalan-jalan saja.” Stella bergumam pelan seraya melanjutkan langkahnya. Rumah ini begitu besar, paling tidak dia harus tahu setiap sudut rumah ini agar tidak tersasar.
Tatapan Stella teralih pada sebuah taman luas di belakang rumah ini. Taman yang begitu besar, dan tampak indah. Banyak bunga-bunga yang tumbuh di sana. Sungguh, Stella mengagumi rumah ini. Megah, luas, dan besar.
“Pria itu benar-benar sangat kaya. Pantas saja, dia bertindak sesukanya.” Stella menghela napas panjang, dia tidak lagi heran jika Sean sangat Arogan, dan tidak memedulikan sekitarnya.
Namun, saat Stella tengah mengitari taman. Tiba-tiba, Stella mendengar suara melolong. Wajah Stella menegang terkejut. Dia tampak begitu ketakutan. Stella berbalik, ke arah suara lolongan. Napas Stella tercekat. Raut wajahnya pucat pasi, melihat sebuah hewan besar melolong ke arahnya. Stella hendak berlari, tapi kakinya begitu berat untuk melangkah. Hingga saat hewan itu hendak menerjang Stella, tubuhnya terjatuh di tanah.
“Akhhh—” Stella menjerit keras, dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Stella menangis histeris, tergugu ketakutan telah menyelimuti dirinya. Namun, Stella tidak merasakan apa pun. Dia langsung kembali membuka matanya—terkejut melihat Sean mengusap hewan buas di depannya.
“T-Tuan Sean? K-kau memelihara serigala?” Stella memeluk lututnya. Bulir air mata terus menetes membasahi pipinya. Tapannya, terus menatap Sean yang memerintah anak buahnya membawa hewan itu.
“Itu bukan serigala.” Sean hendak melangkah mendekat, dengan sigap Stella memundurkan tubuhnya.
“Bohong! Hewan itu melolong. Hewan itu serigala. K-kau pantas saja kejam, dan tidak memiliki hati!” Stella terisak keras, meluapkan ketakutanya. “Aku tidak lagi heran, melihat sifat kejammu!”
Senyum tipis di bibir Sean terukir mendengar perkataan Stella. Sesaat Sean melipat tangan di depan dada, pria itu membiarkan Stella menangis, meluapkan ketakutanya. Itu benar-benar membuat Sean tertarik. Kini Sean mengetahui, betapa polosnya gadis di hadapannya itu.
“Bangunlah.” Sean mengulurkan tangannya ke arah Stella, berusaha membantu gadis itu yang meringkuk ketakutan.
Stella semakin terisak keras, dia memeluk lututnya tidak mau menerima uluran Sean. “Kau pria kejam! Menjauhkah dariku! Aku tidak mau berada di dekatmu!”
“Jadi hanya karena aku memiliki hewan peliharaan itu, kau mengatakan aku kejam?” Sean menyunggingkan senyuman misterius.
“Pergi! Aku tidak mau berada di dekatmu!” isak Stella.
“Bodoh! Apa kau itu tidak bersekolah? Kau tidak mengetahui apa saja jenis ras anjing?” Kali ini Sean tersenyum mengejek, dan mencemooh Stella.
Stella menengadah kepalanya kala mendengar perkataan Sean. Isak tangisnya, mulai tidak lagi terdengar. “Kau membongiku, kan? Tidak ada anjing yang melolong.”
Sean mengembuskan napas kasar. “Alaskan Malamute. Itu jenis anjing yang aku pelihara. Aku melatihnya khusus melolong ketika pertama kali bertemu dengan orang asing. Alaskan Malamute jarang menggonggong. Mereka melolong seperti serigala. Banyak orang yang mengira itu serigala. Salah satunya seperti dirimu.”
Perlahan Stella bangkit berdiri seraya menghapus sisa air matanya. “Jadi tadi bukan serigala?” tanyanya memastikan. Raut wajahnya tampak begitu pucat akibat ketakutan menyelimuti dirinya.
“Kau ingin memastikannya? Aku akan menunjukanya padamu.” Sean menarik pergelangan tangan Stella, hendak membawa gadis itu menuju anjing peliharaannya yang telah dibawa oleh pengawal.
“T-tidak! A-aku tidak mau bertemu dengannya lagi,” cicit Stella semakin ketakutan.
Sean menggeleng pelan. “Kenapa ada gadis sebodoh dirimu?”
“Aku bukan bodoh, tapi aku tidak tahu. Aku tidak pernah tahu ada anjing yang bisa melolong. Aku juga tidak tahu ada anjing yang memiliki bentuk fisik yang mirip dengan serigala,” ucap Stella dengan suara polosnya. Sebab Stella tidak pernah mengetahui itu. Yang dia tahu seekor anjing akan menggonggong, bukan melolong.
Sean semakin memahami Stella. Rupanya, gadis itu tampak seperti anak kecil yang tidak mengerti apa pun. Sangat polos, dan lugu. “Sekarang lebih baik kau masuk.”
“Tunggu—” Stella mencegah Sean yang hendak meninggalkan tempat itu. Dia menyeka sisa air matanya, yang masih membasahi pipinya.
“Ada apa?” Sean kembali menatap dingin Stella.
“Sebenarnya apa tujuanku membawamu ke rumahmu? Sejak kemarin, aku masih belum memahami maksud permintaanmu menukar diriku sebagai syarat yang kau minta.” Stella memberanikan diri untuk bertanya akan itu. Banyak hal-hal negative yang muncul dalam benaknya.
“Aku rasa dengan menyerahkan dirimu padaku, kau tidak perlu lagi bertanya. Aku bebas memperilakukanmu seperti apa yang aku inginkan,” jawab Sean dengan tatapan tak lepas menatap wajah Stella yang tak berdaya.
Stella takut dan gugup. “S-setidaknya kau ingin menjadikanku sebagai apa? Seluruh saudaraku di panti hanya tahu, aku bekerja sebagai pelayanmu.”
Sean menarik dagu Stella seraya berdesis tajam, “Kau akan segera tahu apa tujuanku membawamu ke sini. Tapi tujuanku itu tidak penting, karena sejak di mana kau telah menyetujui menukarkan dirimu, sebagai ganti atas pembebasan penggusuran panti asuhanmu—maka sepenuhnya kau telah menjadi milikku. Aku berhak menjadikanmu apa yang aku inginkan. Kau tidak bisa menolak apa yang telah aku putuskan, Stella Regina.”
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau