Aku memang menyewa jasa seorang mata-mata untuk mengawasi segala tindak tanduk Hans. Tujuannya hanya untuk memastikan hidupnya susah. Akan kupastikan tidak satu pun perusahaan atau orang yang memperkerjakan dia. Aku ingin hidupnya terlunta-lunta seperti gembel.Namun, laporan yang kuterima hari ini sangat mengejutkan. Kupikir si Meti tidak akan mau menerima Hans, lelaki kere yang tak punya harta sepeser pun. Akan tetapi mereka malah hidup satu atap di sebuah kontrakan yang telah disewa si j*lang. Kudengar si Meti menjadi buruh cuci-setrika di daerah sana.Kupastikan, mereka tidak akan bertahan lama. Sebuah rumor segera ditabur. Aku tinggal menunggu hasilnya.Seminggu kemudian."Bu Bos, Hans dan Meti sudah terusir dari kontrakan," lapor mata-mataku."Good job!" Terus sekarang mereka tinggal dimana?""Mereka menginap di rumah temannya Meti.""Berapa lama mereka akan menginap?""Belum tahu, Bu Bos.""Terus selidiki!""Siap."***Sore hari aku hanya duduk sendiri di teras sambil menikmati
"Bu Bos, karena biaya tes DNA janin dalam kandungan mahal, jadi Meti belum melakukannya," lapor mata-mataku."Terus bagaimana si Hans?""Hans sepertinya masih marah, sebelum Meti membuktikan anak siapa yang dikandungnya.""Teruskan tugasmu sampai tes DNA itu gagal!""Siap, Bu Bos."Aku masih bisa bernapas lega karena Meti belum bisa melalukan tes DNA. Pokoknya perempuan tidak tahu diri itu harus merasakan sakit karena tidak dipedulikan orang yang dicintainya.Selanjutnya, aku akan mengatur pertemuan yang seolah tak sengaja dengan Hans. Segala sesuatunya sudah kupersiapkan.Sore hari, mobilku sudah terparkir di salah satu pasar. Kususuri tempat dimana orang-orang berlalu lalang. Diedarkan pandangan ke segala pelosok. Sosok yang kucari akhirnya ditemukan. Ia sedang memanggul satu karung kecil dari mobil bak terbuka.Ekhm, action!Jebred!"Aw! Aduh, maaf!" Aku tersungkur seraya memegangi kepala."Mbak, tidak apa-apa?" tanyanya belum menyadari siapa yang barusan beradu. Kemudian diturunka
"Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu hamil? Sudah berapa bulan?""Satu bulan.""Jadi benar kamu hamil? Aku akan jadi seorang ayah. Ya ampun! Alhamdulillah," serunya senang sampai matanya berkaca-kaca.Tangannya hampir saja memelukku. Akan tetapi, ia ingat kalau aku tidak akan mengizinkan."Kenapa aku harus hamil di saat seperti ini?" Kujatuhkan air mata palsu."Kalau aku tahu, aku tak akan pergi meninggalkanmu.""Enak saja! Aku tak sudi satu atap denganmu lagi.""Sal, sebenci apa pun kamu kepadaku, aku mohon izinkan aku merawatmu, menjagamu, demi anak kita. Aku mohon. Aku janji akan memperlakukanmu sebaik mungkin. Apa pun keinginanmu, akan aku turuti," tuturnya sungguh-sungguh. Hands terus bersimpuh di kedua kakiku sampai kukabulkan. Sejak itu, dia rajin sekali berkunjung. Dia tak ubahnya pembantu yang selalu bereskan rumah. Kadang dia juga datang membawa makanan yang aku inginkan. Dalam sehari dia bisa bolak-balik ke rumah berkali-kali. Dia juga membelikannya dengan uang hasil jari
"Hans, stop!" teriakku kala dia akan mendorong lagi tubuh Meti yang tak berdaya.Pergerakan Hans terhenti. Akan tetapi, ia belum melepaskan cengkraman tangan dari leher bajunya. Sehingga tubuh wanita yang tengah hamil muda sedikit terangkat dari pijakan."Bang, lepaskan, kumohon!" pinta Meti mengiba bercampur takut.Cengkramannya malah semakin kuat dan tubuh Meti semakin terangkat."Hans, tolong! Demi anak kita. Kuyakin anak kita tidak mau memiliki ayah yang seperti ini," bujukku mengatasnamakan anak agar dia luluh.Benar saja, bujukanku tak sia-sia. Perlahan cengkeraman terlepas. Hans mengusap kasar wajahnya. Lambat laun sorot matanya meredup. Begitu pun wajah Meti yang tadi sudah pucat pasi bagai mayat, kini mulai tampak bernyawa."Kalau bukan karena Salma, mungkin darah sudah mengalir dari betismu. Pergilah! Jangan pernah tunjukkan dirimu lagi di depanku!" geram Hans."Aku tidak akan melupakan kejadian hari ini. Akan kupastikan kamu menyesalinya!" Meti berucap sebelum pergi.**"Ha
Kenapa orang-orang selalu memandangku sebelah mata? Padahal aku menikahi Salma murni karena mencintainya. Sebelum menikah, aku memang tahu kalau dia itu seorang wanita karir. Akan tetapi, tidak pernah terpikir berapa gajinya. Setelah menikah, aku sendiri terkejut, ternyata gaji dia lebih besar dariku yang hanya seorang supervisor di sebuah pabrik.Pantas saja orang tua Salma selalu merendahkanku dan bahkan tidak merestui pernikahan kami. Setelah menjadi wali nikah karena terpaksa, ayah Salma pun langsung bertolak pulang ke negaranya--Malaysia. Ibunya pun tentu turut serta pindah ke sana. Maka dari itu, aku memperlakukan Salma dengan sangat istimewa. Dia rela jauh dari kedua orang tua demi hidup bersamaku. Setahun, dua tahun, pernikahan kami bahagia-bahagia saja, meski belum memiliki anak. Sebenarnya Salma sempat hamil, tetapi keguguran. Penyebabnya dokter bilang, Salma terlalu kecapean. Aku pernah meminta dia agar berhenti dari pekerjaannya, tetapi ditolak. Menurut ukuran dia, gaji
"Cctv? Ya, ide yang bagus."Sejak itu Meti resmi kami terima jadi ART. Keberadaan Cctv membuatku tidak leluasa sekalipun Salma tak ada di rumah. Hanya kamar tidur dan kamar mandi saja yang tidak kami pasang. Tentu aku turut andil dalam pemasangannya. Karena untuk mengatur titik-titik mana saja yang tidak terbidik kamera.Hubunganku dengan Meti berjalan aman dan lancar. Membuat hari-hari terasa berwarna dengan kehadirannya. Dia sungguh tahu dan paham bagaimana cara menyenangkanku. Aku merasa bak seorang raja, sebuah pelayanan yang tidak pernah Salma berikan. Sungguh istriku itu hanya bisanya menghasilkan uang saja. Hingga suatu ketika kudapati kabar kalau Salma tengah hamil lagi. Sebuah kabar yang membuatku gembira tiada tara. Pasalnya aku memang merindukan kehadiran anak kecil di rumah ini. Aku bangga bisa jadi seorang ayah. Pikiranku mulai kembali waras. Aku memutuskan akan mengakhiri hubungan terlarang bersama Meti.Belum sempat kuutarakan niat tersebut kepada Meti, aku malah kena
"Ayo, Sal. Mana kunci mobilnya?""Memang, kamu sudah lancar nyetir mobilnya?""Sudah. Kamu tenang saja!""Tapi aku benar-benar enggak perlu ke dokter.""Aku mau lihat anak kita di layar monitor USG.""Nanti saja, kalau hamilnya sudah besar. Jadi kelihatan lebih jelas.""Pokoknya, sekarang juga kita ke dokter kandungan. Ayok!" Aduh, kenapa Hans maksa banget sih? Bisa tamat riwayatku kalau begini. "Aduh, aku kebelet. Mau pup dulu." Aku cari-cari alasan."Iya, hati-hati, Sal," pesan Hans saat aku setengah berlari menuju toilet.Di dalam toilet sudah setengah jam kuhabiskan. Hans sampai menyusul karena khawatir."Iya, aku enggak apa-apa.""Jangan lama-lama di air! Ayok cepat selesaikan."Aku pun terpaksa keluar, berdiam lama di toilet juga tidak enak."Aw!" teriakku saat membuka pintu, mendapati Hans tengah menunggu."Sudah? Yuk, kita berangkat," ajaknya."Hoamn... aku kok, ngantuk ya?" Aku pura-pura lagi."Bisa tidur di mobil. Ayuk, kita berangkat!""Eum ....""Udah, jangan banyak alas
Jam 23.00 Wib.[Aku mau sate] Kulayangkan sebuah pesan malam-malam kepada Hans.[Sate apa?] balasnya tidak lama.[Hah, kamu belum tidur?][Sudah pirasat, dede bayi pasti akan meminta sesuatu 😍][Hehe][Mau sate apa?] ulangnya.[Sate maranggi]Setelahnya tak ada balasan kembali. Bibirku manyun lima senti. Apa dia mengantuk dan tertidur? Yah, padahal ngidam satu-satunya alasan agar bisa bertemu dengan Hans kapan pun. Kutarik selimut kembali dan menelan kecewa.Tiga puluh lima menit kemudian.Tok, tok, tok. Karena rumahku yang sekarang tidak besar, jadi kalau ada yang mengetuk pintu akan langsung terdengar jelas. Kuberingsut dari ranjang hendak membuka pintu. Itu pasti Hans. Ternyata dia datang juga.Ceklek, gagang pintu langsung kutekan dan daun pintu pun terbuka. Akan tetapi, tak kudapatkan sosok Hans di sana. Lalu siapa yang mengetuk barusan?"Hans," panggilku seraya melangkah ragu ke teras."Duar!" Dia mengejutkanku keluar dari persembunyian. "Haha," tawanya puas melihat tubuhku yan