Izumi berjalan menuju Shiba Park yang hanya berjarak dua puluh menit dari rumah Ryu. Pemuda itu belum memberi kabar kepada Shuu dan yang lain kalau dia akhirnya pergi. Pikirnya toh nanti mereka bisa jadi bertemu di sana. Sampai di tempat perayaan festival suasananya begitu ramai seperti yang Izumi duga. Memangnya ada festival yang tak ramai? Sesaat Izumi ingin menertawakan kebodohannya sendiri. Pemuda itu berjalan sendirian di antara lautan orang-orang yang mengenakan yukata itu. Iris obsidiannya sesekali tertuju pada kios-kios makanan dan permainan yang berjejer di sepanjang jalan yang dia lalui. Izumi berjalan tanpa tahu ke mana kakinya akan membawanya. Dalam hati dia sedikit menyesal kenapa tadi tak memberitahu Kaito ataupun Shuu kalau dia jadi pergi. Tak ingin kelihatan seperti anak yang kehilangan arah, Izumi memutuskan untuk berhenti di stand permainan kingyo sukui. Paman pemilik kios itu tersenyum ramah menyambutnya. Setelah membayar uang sebanyak t
Kingyo sukui: permainan tradisional Jepang menyendok ikan mas menggunakan sendok kertas Omikuji: fortune teller/ramalan Jepang. Biasanya diambil setelah selesai berdoa di kuil Jepang dan pengunjung harus membayar sekitar dua ratus yen untuk satu ramalan. Musubidokoro: tali besi yang digunakan untuk menggantung omikuji. Pada awalnya musubidokoro menggunakan pohon pinus. Namun karena tidak semua kuil memiliki pohon pinus, maka diganti menggunakan tali besi.
Mengabaikan hujan deras yang masih mengguyur bumi, Izumi berlari menghampiri Nana. Entah bagaimana awalnya, sekitar tiga meter dari halte itu terjadi kecelakaan antara bus dengan mobil. Orang-orang ini kini sibuk membantu korban. Dari kejauhan suara sirine ambulans sayup-sayup mulai terdengar mendekat. Izumi menghampiri Nana yang berdiri menatap ke arah kecelakaan itu dengan wajah tegang. Izumi bisa melihat kalau tubuh gadis itu sedikit bergetar. Dia bahkan tak bergeming ketika Izumi menarik tangannya menjauh dari sana. Meski pada akhirnya Izumi hanya bisa membawa Nana sampai di bagian belakang halte itu saja karena gadis itu sepertinya terlalu shock untuk berjalan lebih jauh lagi. Ditambah hujan yang masih turun dengan deras, membuat Izumi tak ingin membuat Nana dan dirinya basah kuyup. “Nana.” Izumi memanggil Nana. Namun gadis itu tak menjawab. Pandangannya terlihat kosong menatap kejadian kecelakaan itu dari balik dinding kaca halte. Izumi lantas memutar
Pukul sembilan pagi Izumi terbangun dari tidurnya. Pemuda itu menggeliat pelan lalu menyibak selimut yang membungkus tubuhnya semalaman. Ketika beranjak dari tempat tidurnya, rasa pening mendadak menyerang kepala Izumi, membuat pemuda itu kembali duduk di atas kasurnya. Izumi memijit keningnya perlahan, setidaknya untuk mengurangi rasa pusingnya. Tidak biasanya dia merasa pusing seperti ini ketika baru bangun tidur. Apa karena aku tertidur terlalu lama? pikir Izumi. Setelah merasa sedikit mendingan, Izumi kembali berdiri lalu melangkah menuju jendela dan menyibak tirainya. Langit pagi itu terlihat kelabu. Sisa-sisa air hujan semalaman masih menetes dari atas atap. Bahkan jejak air di bagian luar kaca jendela Izumi masih terlihat jelas. Sepertinya hujan berhenti belum lama ini. Berbicara tentang hujan, Izumi kembali teringat kejadian semalam usai festival. Apa dia baik-baik saja? Izumi kembali mengulang pertanyaan yang sama dalam benaknya. Pemuda itu kemudia
Setelah memastikan pintu depan terkunci, Izumi membawa Kuma keluar. Anjing itu kelihatan begitu riang karena ia memang sudah lama tidak keluar rumah. Izumi membawa Kuma jalan-jalan menuju taman yang berbeda dengan yang biasanya mereka tuju. Tempat yang dituju kali ini adalah taman yang sama dengan tempat perayaan festival semalam karena memang tempat itu lebih dekat dari tempat tinggal mereka. Suasana di taman itu berbeda sekali dengan yang tadi malam. Kios-kios makanan yang semalam berjejer memenuhi area taman kini sudah tak terlihat lagi. Izumi memperhatikan area taman itu dengan seksama. Dia baru menyadari kalau di tengah-tengah taman itu ada danau buatan. Semalam dia tak melihatnya ketika datang ke sini karena terlalu banyak pengunjung yang datang untuk menikmati festival. Di tepi pagar pembatas danau Izumi berdiri setengah melamun menatap bayangan langit dan pepohonan yang terpantul oleh air danau. Tanpa tahu kalau Kuma yang semula berada di sampingnya kini sudah hilang
“Izumi.” Mendengar seseorang memanggil namanya, Izumi membuka mata. Ah, suara ini. Suara lembut yang Izumi rindukan. Suara yang sudah lama hilang dari hari-harinya. Namun tetap terekam dalam memorinya. Suara ini, suara yang hanya dimiliki oleh satu orang—Yoshino Takumi. Laki-laki itu kini berdiri di hadapannya, menatap Izumi dengan seulas senyuman di wajahnya. “Hisashiburi.” Izumi tahu ini tak nyata. Dia tahu ini hanya bagian dari mimpinya. Tetapi tetap saja, dia tak bisa menahan perasaan bahagia yang meluap dalam dirinya, karena itu Izumi menghampiri dan langsung memeluk sosok Yoshino Takumi dengan erat. “Aku merindukanmu … Tou-san,” bisik Izumi dengan suara bergetar. “Tou-san juga merindukanmu,” balas Yoshino Takumi mengusap kepala Izumi dengan lembut. Selalu, setiap kali Izumi bermimpi tentang ayahnya maka dia akan kembali ke tempat ini—balkon rumah mereka di Kota New York. Izumi memandang matahari yang
Hari Senin pagi, Izumi menikmati sarapannya bertiga dengan Ryu dan ibunya karena Makoto yang biasanya ikut bergabung dengan mereka masih belum kembali dari Kyushu. “Izumi-kun, daijoubu?” tanya Tsubaki yang sedikit khawatir melihat sorot iris obsidian putranya yang terlihat kosong pagi itu. Izumi mengangkat wajahnya dan mengangguk singkat menjawab pertanyaan Tsubaki. Setelah itu dia kembali menyuapkan potongan tamagoyakinya dan mengunyahnya perlahan. Setelah tamagoyakinya habis Izumi meletakkan sumpitnya, mengakhiri sarapan paginya. “Gochisousama. Aku ada jadwal piket hari ini, jadi aku berangkat duluan,” pamit Izumi beranjak dari ruang makan. “Eh? Chotto, Izumi-kun? Padahal masih pagi begini, dia harusnya tak perlu terburu-buru. Sarapannya bahkan tak dihabiskan,” ujar Tsubaki melihat porsi makanan Izumi yang masih tersisa setengahnya dari yang dia siapkan untuk pemuda itu. Apa ad
Pulang sekolah Izumi biasanya selalu menghabiskan waktunya tetap di dalam kelas atau di perpustakaan hingga sekolah ditutup. Namun kali ini pemuda itu lebih memilih untuk langsung pulang. Awan hitam tebal yang menutupi langit sedari siang menjadi salah satu alasan mengapa Izumi memilih untuk langsung pulang. Sore ini hujan sepertinya akan turun lagi dan kebetulan dia tak membawa payung. Maka daripada terjebak di sekolah jika hujan turun, Izumi lebih memilih pulang sebelum hal itu terjadi. Sekitar dua puluh menit berjalan dari sekolah benar saja hujan mulai turun membuat Izumi harus berlari untuk mencari tempat terdekat untuk berteduh. Namun sayangnya di kompleks perumahan yang dilewatinya sama sekali tidak ada tempat untuk berteduh. Satu-satunya pilihan yang dimiliki oleh Izumi hanyalah terus berlari agar bisa segera tiba di rumah. Hujan turun semakin deras. Meski Izumi sudah berlari secepat yang dia bisa ternyata hal itu tak banyak membantu. Pada akhirnya dia tiba di rumah
“Arigatou, aku senang menghabiskan waktuku hari ini mengobrol denganmu. Kalau begitu, sampai bertemu besok di sekolah. Ja ne!” Nana mengakhiri obrolannya lalu meletakkan ponselnya sembarangan di atas tempat tidur. Gadis itu berjalan keluar meninggalkan kamarnya. Keheningan langsung menyambutnya begitu pintu kamarnya dibuka. Suasana tempat tinggal Nana sore itu tampak lengang karena memang hanya dia sendiri yang tinggal di rumah saat itu.Langkah Nana terhenti sebentar di depan meja tempat foto kedua orang tuanya dipajang. Gadis itu meraih salah satu figura itu dan mengusap pelan wajah ayah dan ibunya sambil tersenyum. Meski begitu raut wajahnya sedikit sendu dan sorot kerinduan terpancar dengan jelas dari kedua iris coklatnya. Puas memandang potret kedua orang tuanya, Nana kembali meletakkan figura itu pada tempatnya semula lalu berjalan menuju pintu yang menghubungkan rumahnya dengan halaman belakang. Pandangan Nana langsung tertuju ke arah taman yang ditanami oleh berbagai jenis bung
Tsubaki menatap Izumi yang tengah menikmati makan malamnya dengan santai. Mood pemuda itu terlihat sangat berbeda dengan saat sarapan tadi. Entah mengapa ekspresi di wajah Izumi terlihat lebih cerah dari biasanya. Bahkan Tsubaki sempat menangkap basah putranya yang sesekali tersenyum tipis di tengah acara makan malam mereka. Tak bisa menahan rasa penasarannya, Tsubaki langsung saja bertanya. “Izumi-kun, apa yang terjadi?” “Eh?” Izumi mengangkat wajahnya begitu mendengar pertanyaan Tsubaki. Ryu yang duduk di sebelah ibunya juga ikut mengangkat wajah. “Iie, hanya saja malam ini kau kelihatan sangat senang. Jadi, Mama sedikit penasaran apakah ada sesuatu yang terjadi,” ujar Tsubaki. “Nandemonai desu, tidak ada apa-apa,” elak Izumi. Pemuda itu kembali menghabiskan makan malamnya dengan cepat lalu pamit duluan ke kamarnya dengan alasan ada tugas yang harus dia selesaikan. “Pasti ada sesuatu yang terjadi hingga me