Falri masih menunggu Glen yang sedang berpikir. Oh, kenapa mengingat nama seseorang saja lama sekali. Dasar bang Glen!
"Namanya siapa, Bang?" Sudah dua puluh kali Falri bertanya dengan pertanyaan yang sama.
"Oh, iya! Gue ingat!" teriak Glen mengagetkan Falri.
Falri mengelus dadanya. Sabar, sabar. Orang sabar pantatnya lebar. Kalau orang lari dari tanggung jawab, gimana? Eh!
"Siapa?" tanya Falri, tidak sabaran.
"Jess ---"
"Bang!"
"Jessica Mauren, iya namanya itu!"
Falri menghela nafas lega. Bukan Jeslyn, batin Falri. Dia menatap Glen sejenak. "Katanya dua puluh lima menit lagi mau dimulai castingnya. Terus ngapain kita masih di sini, Bang?"
"Oh, iya juga, ya. Yaudah, sih, santai aja masih lima belas menit lagi," sahut Glen santai.
Falri mengangguk. Berselang lima detik, mereka membelalakkan matanya. "Astaga! Bego!" Umpatan itu terlontar dari dua mulut secara serempak.
Falri segera merapihkan pakaiannya dan Glen menyambar kunci mobil di atas meja. Mereka berdua berlari menuju mobil BMW milik Glen. Sesampainya di depan mobil, mereka masuk lalu Glen melajukan mobil.
Tidak ada raut santai lagi. Yang ada hanya rasa gelisah, takut terlambat casting. Jika terlambat sedetik saja bisa membuat predikat Falri sebagai seorang aktor yang on time akan tercemar.
***
Mereka berdua sudah turun dari mobil. Dan, sekarang berada di pintu gedung matahari. Glen berjalan duluan, diikuti Falri.
Glen dan Falri menyusuri lorong-lorong gedung. Gedung sebagus ini tidak ada lift sama sekali. Yang benar saja!
Saat ditanya kenapa tidak ada lift kepada salah satu pegawai. Yang ditanya malah menjawab, "keinginan dari sang bos besar."
Glen dan Falri mulai menaiki ribuan anak tangga. Sudah lima lantai mereka lewati, tetapi belum juga mencapai tujuan. Beruntung mereka berdua rutin berolahraga, hingga bukan masalah berat berjalan kaki menaiki tangga seperti ini.
"Bang, masih jauh?" tanya Falri di belakang Glen.
"Kagak, dua lantai lagi."
"Ini udah sepuluh lantai tapi belum juga sampai-sampai," gerutu Falri.
"Diem! Jangan banyak kecot."
Falri mencibir tanpa suara. Dia tetap mengikut langkah Glen. Cucuran keringat membasahi tubuh Falri dan Glen. Beruntung mereka bukan tipekal cowok bau badan. Jadi, nggak takut lagi sama keringat yang suka buat bau badan nggak enak! Hihhh.
Lantai dua belas. Mereka sudah menapaki lantai itu. Falri menghela nafas lega. Akhirnya, selesai juga.
Dia mengikuti langkah Glen yang terburu-buru menghampiri sekumpulan orang. Falri hanya mengikuti tanpa banyak omong. Ngomong dikit, dedemit alias Glen bakal ngamuk. Hadeuh!
Glen berbincang sedikit dengan seseorang. Falri hanya diam, berdiri, dan memandangi desain ruangan yang terlihat begitu mengagumkan. Glen menghampiri Falri seraya membawa selembar kertas.
"Ini dialog cast yang harus lo pelajari. Ada waktu lima menit, gue harap sebaik mungkin." Glen menyerahkan lembaran kertas.
Falri mengangguk. Kemudian, menerima kertas dan duduk di salah satu bangku ruangan. Ruangan yang bising dan ramai tidak membuat konsentrasi Falri pecah begitu saja. Falri masih tetap fokus mempelajari setiap dialog cast yang akan dipakainya nanti saat casting film.
"Sorry, gue boleh duduk di sini?"
Falri menengadahkan kepalanya saat mendengar suara perempuan. Suara itu seperti suara Jeslyn. Falri menggeleng cepat, berusaha mengenyahkan segala pikirannya tentang --- Jeslyn.
"Nggak boleh, ya?" tanya gadis di hadapan Falri.
Falri membelalakkan matanya. "Bukan gitu, maksud gue. Boleh, duduk aja. Bukan tempat gue ini."
"Oke." Gadis itu duduk di bangku samping Falri. "Terus kenapa lo geleng kepala tadi?"
"Gue kira tadi bukan ---"
"Iya, gue tau, kok. Aktor film profesional pasti gitu. Konsentrasinya tinggi. Maaf, ya udah ganggu."
"Hm, gak apa-apa. Salam kenal, gue ---"
"Falri, kan? Gue, Jessica Mauren."
Falri berdecak tanpa suara. Merasa kesal juga saat bicaranya dipotong begitu saja. Sebentar, tadi siapa nama gadis di sampingnya? Jessica Mauren? Berarti --- dia gadis yang cikal bakal jadi pasangan Falri di film? Oh astaga! Apa sutradara-nya tidak salah pilih pemeran?
"Hai, Jessi. Glad to meet you." Falri mengucap itu dengan hati yang terus berteriak, "Jijik, anjir!"
Jessica tersenyum. "Ya, too. Oh, ya, lo bakal jadi pasangan gue nanti di film ini, kan? Wah! Seneng banget gue."
Falri tertawa hambar. "Haha ..., iya."
Glen datang menghampiri Falri. "Falri, bagian lo abis ini."
Falri mengangguk. Kemudian bangkit dan mengikuti langkah Glen, setelah berpamitan dengan Jessica. Makasih abang Glen, gue jadi nggak deket-deket sama si menor itu lagi!
"Lo deket sama Jessica?"
"Kagak, dih. Make-up tebel kayak tante-tante gitu, astaga. Cantik dari mana coba?"
"HAHAHA! Cantik, cewek itu relatif cantik," sahut Glen, sok bijak.
Falri memutar bola matanya malas. "Iya-in."
"Tuh, buruan bagian lo! Awas aja sampai gagal." Glen memperingati.
"Iya, Bang." Falri memberikan selembar kertas kepada Glen. Kemudian berjalan melangkahkan kaki ke tempat casting dengan percaya diri.
"Oke, bagian Falri," teriak si tukang komando talent.
Falri sudah berada di belakangnya. Mereka berdua saling menatap. Tatapan mereka bertemu dan saling mengunci. Tatapan yang membawa mereka ke jurang kerinduan.
"Naufal?" Gadis pengomando talent itu menyebut nama panggilan lama Falri.
Falri tertegun. Mulutnya tidak bisa mengeluarkan suara. Mendadak tubuhnya kaku. Begitu juga dengan gadis di hadapannya yang membeku seketika setelah mengucapkan nama Naufal.
***
Falri, Glen, Satya, Fani, dan Jessica sontak berlari masuk ke rumah. Mereka terkejut mendengar suara teriakan dari Jeslyn dan Deslyn di dalam rumah.Jeslyn dan Deslyn menghampiri mereka. Membuat Falri, Glen, Satya, Fani, dan Jessica menatap khawatir keduanya."Jes, tadi kenapa?" tanya Falri.Jeslyn dan Deslyn saling tatap. Kemudian mereka berdua tertawa renyah. Hal itu lagi, lagi membuat mereka berlima menatap bingung keduanya."Kok ketawa?" cengo Jessica."Kita nggak apa-apa," ulas Jeslyn, "kita tadi cuma mau ngagetin aja. Eh taunya bener-bener kaget."Deslyn tertawa kecil. "Muka kalian lucu kayak Shaun The Sheep, hihi ....""Kita dikerjain?" culas Glen yang diangguki semangat oleh Deslyn dan Jeslyn."Pengen ngomong kasar tapi ada bocil," ucap Satya mengelus dada."Bocil siapa, Papa?" tanya Deslyn bingung."Bocil ya lo, Deslyn," ceplos Glen."Bocil emang apa, Om?" tanyanya lagi.Glen mendesah frustasi. "Bocil y
Seminggu kemudian ...Jeslyn sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Sontak hal itu membuat Falri dan Deslyn begitu antusias membawa pulang Jeslyn.Dibantu Satya, Glen, Fani, dan Jessica, Jeslyn akhirnya keluar dari rumah sakit. Falri masih menggendong Deslyn sampai di depan mobil.Glen duduk di kursi pengemudi. Fani di sebelah sisi Glen. Sedangkan Falri, Jeslyn, dan Deslyn duduk di bangku tengah. Hanya Satya yang duduk di belakang bersama Jessica."Lo bener udah sehat, Jes?" tanya Satya."Iya, Kak.""Jes, pokoknya ntar harus makan banyak ya!" seru Jessica begitu semangat, "ntar gue masakin, deh. Serius!""Gue ikutan masak, dong," timpal Fani ikut nimbrung."Skuy, lah. Yang penting bahannya udah ada di dapur. Ya, nggak, Yara?" Jessica menaik-turunkan kedua alisnya sembari menatap Satya."Gue belum belanja, astaga.""Gampang, Sat. Lo tinggal beli aja ntar sama Glen." Fani memberi solusi.Kedua lelaki yang dititah
Falri menatap gundukan tanah di hadapannya. Hatinya terasa sakit. Seperti ditikam beribu belati tajam.Falri menangis. Meratapi nasibnya. Ia direngkuh hangat oleh Fani, kakaknya.Falri mengecup pelan batu nisan. Tak lupa ia memanjatkan beribu doa."Fal," panggil Fani mencoba menahan isak tangis.Falri menghentikan tangisnya. Ia menatap sang kakak, kemudian memeluknya begitu erat."Fal, kita harus sabar," lirih Fani."Tapi kenapa harus Mama dan Papa yang tiada?" tanya Falri. Ia menitikkan air mata untuk kesekian kalinya. "Gue ngerasa kalau gue ...." Falri menjeda ucapannya sebab terhalang oleh suara isakan tangisnya."Gue nggak bisa banggain Mama dan Papa. Gue nyesel, Kak."Memang benar, Dira dan Bran dinyatakan meninggal dunia akibat kecelakaan. Kemarin, tepat di saat usai Jeslyn tertembak. Dira dan Bram berinisiatif membawa mobil sendiri, karena mobil ambulance sudah penuh.Naas, di jalan menuju rumah sakit, mobil ya
Falri diambang kebingungan. Di satu sisi, ia tidak ingin menerima tawaran Alda. Namun, di sisi lainnya ia tidak bisa berlama-lama menyelamatkan orang-orang yang dikenali.Falri mengusak rambutnya frustasi. Ia menatap Alda dengan tatapan lelah bercampur gusar."Lo udah buat drama banyak banget di hidup gue. Apa lo nggak cape juga?" Falri berujar, seolah-olah ia ingin bernegoisasi dengan Alda.Alda menggeleng cepat. "Aku nggak akan pernah cape! Sebelum kamu jadi pacarku, Fal.""Lo cinta sama gue?" Alda menggeleng sekali lagi. Membuat Falri mengernyit heran."Aku nggak cinta sama kamu.""Terus kenapa lo seolah-olah maksa gue untuk jadi pacar lo?""Kepo! Jadi, cowok gak usah kepo!" tukas Alda.Falri berdecih pelan. "Ngeselin lo jadi cewek!""Gak ngejek aku buta lagi?" tantang Alda.Falri menggeram marah. Bagaimana ia mengejek Alda buta jika Alda sendiri saja sudah bisa melihat. Ada-ada saja perempuan sialan itu!"Fal, per
***Dengan perasaan mantap, Falri menaiki satu per satu anak tangga. Ia harus berhati-hati karena lantai tangga juga tak kalah licin. Nyatanya rasa penasaran Falri masih mampu mengalahkan rasa takutnya.Celana Falri sudah basah kuyup. Diakibatkan oleh genangan air dan air ngompol yang tanpa disengaja. Falri tetap berteriak, meneriaki si perempuan misterius. Namun, semakin waktu berjalan sudah tidak lagi terdengar suara perempuan menggema."Duh, ini gue milih pilihan yang tepat, kan?" tanya Falri jadi bimbang sendiri.Falri menggeleng seraya berdecak. "Bodo, ah. Siapa tau ntar di lantai dua ada harta karun gitu. Kan, nggak ada yang tau."Falri terus menggerutu. Begitu juga dengan hatinya yang terus meneriaki kalimat, "Demi gue, Jeslyn, dan Deslyn!"Falri menghela nafas lelah saat sudah berada di lantai dua. Matanya menelisik sekitar, banyak pintu kamar di sepanjang tembok hingga ujung tangga.Falri mengusap kasar keringat. Ia kembali berteriak,
Falri memutuskan untuk masuk ke gedung seram itu. Mau bagaimana lagi? Ini sudah cara terakhir mendapatkan petunjuk tentang drama di hidupnya.Saat Falri membuka pintu utama gedung. Tiba-tiba air dari dalam gedung meluruh keluar, sehingga kedua kakinya terpaksa basah karena air itu. Falri hanya bisa berdecak kesal.Matanya berkeliaran melihat sisi-sisi di dalam gedung. Tidak ada yang spesial. Hanya ada lorong-lorong gelap di sisi kanan, kiri, depan. Tak hanya itu, lorong-lorong itu digenangi banyak air.Bahkan juntaian rumput liar ikut menghiasi pemandangan dalam gedung. Falri bergidik ngeri. Dia menatap kedua kakinya, takut ada ular yang tiba-tiba melilitkan diri di kakinya. Jangan sampai, deh!Falri mencoba maju tiga langkah. Di saat itu juga sibakan air menggema di seluruh gedung. Falri mengumpulkan keberanian. Meskipun dia lelaki, tetapi jangan salah jika ia juga punya takut. Apa lagi kegelapan adalah salah satu phobianya."Please, ya ... di sini ada