Kondisi Daniel berangsur membaik. Setiap harinya Callista selalu menjaga Daniel. Bahkan Callista akan selalu menginap di ruang rawat Daniel, hanya demi memastikan Daniel baik-baik saja.
Namun, meski Callista sudah membuka hatinya untuk Daniel, dia meminta Daniel untuk tidak langsung memberitakan pada media tentang hubungan mereka. Bukan tidak ingin, tapi Callista hanya ingin menyiapkan waktu yang tepat. Terlebih, jika media sudah mengetahui hubungannya dengan Daniel, maka mau tidak mau Callista harus mengenalkan Daniel pada kedua orang tuanya.
Saat i
Daniel menatap Callista yang tengah memasukan pakaian miliknya ke dalam tas. Sudah sejak tadi Daniel mengatakan cukup pelayan saja yang memasukan bajunya ke dalam tas. Tapi tetap saja Callista memaksa. Wanita itu ingin sendiri merapihkan baju Daniel. Ya, hari ini Danuel sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Hanya saja, Callista masih tidak memperbolehkan Daniel untuk bekerja.“Selesai,” ucap Callista ketika sudah merapihkan pakaian Daniel. “Sayang kemarilah..” Daniel menepuk pelan pahanya, me
Daniel menatap Callista yang tengah tertidur dalam pelukannya. Dia mengelus lembut pipi Callista. Bulu mata lentik, hidung mancung dan mungil milik Callista, membuat Daniel tidak henti menatap kagum wanita yang telah menjadi miliknya itu. Senyum di bibir Daniel terukir kala mengingat pertemuan pertamanya dengan Callista. Berkali-kali wanita itu menolak dirinya. Namun, kenyataanya kini wanita itu telah menjadi miliknya. Daniel menarik dagu Callista, mencium dan melumat lembut bibir ranum wanita itu. Bibir yang selalu menjadi candu baginya. Perlahan, Callista mulai membuka matanya, ketika merasakan ada yang menyentuh wajahnya.
“Daniel, kau kenapa? Apa kau melakukan kesalahan?” Callista menghentakan kakinya, saat masuk ke dalam penthouse milik Daniel. Tatapannya menatap kesal Daniel yang sejak tadi mendiaminya.“Tidak, aku hanya lelah,” jawab Daniel dingin. Dia melangkah masuk ke dalam kamarnya. Callista langsung mengikuti Daniel masuk ke dalam kamar pria itu. “Kau tidak pernah seperti ini, katakan padaku ada apa?” Callista menahan lengan Daniel. Kesabarannya sudah habis. Sepanjang perjalanan, Daniel te
Perlahan Callista mulai membuka matanya, dia merintih kesakitan pada bagian bawahnya. Namun, dia berusaha untuk menahan rasa sakit di bagian bawahnya. Tatapan Callista kini teralih melihat sosok pria yang masih tertidur pulas di sampingnya. Seketika senyum di bibir Callista terukir mengingat kejadian tadi malam. Sentuhan Daniel, tatapan pria itu yang begitu memuja tubuhnya. Bahkan sepanjang malam, Daniel selalu terus menginginkannya. Pria itu tidak henti memuji dirinya. Tadi malam, adalah hal terindah dalam hidup Callista. Dimana dia memberikan hal yang paling berharga dari dirinya, untuk pria yang dia cintai.Callista membawa tangannya menyentuh dengan lembut wajah Daniel. Rahang t
“Nanti sore aku akan menemputmu,” ucap Daniel saat tiba di lobby rumah sakit. Rasanya begitu berat melepas kekasihnya itu. Padahal sebelumnya, Daniel sudah meminta Callista untuk tidak bekerja. Tapi tentu Callista menolaknya. Bisa saja Daniel memaksa Callista untuk tidak bekerja, tapi Daniel memilih untuk menuruti keinginan kekasihnya itu. Ini lebih baik, demi menghindar berdebat dengannya.Callista mendesah pelan. “Apa kau itu tidak bekerja? Kau selalu menjemputku. Bukan tidak ingin dijemput, tapi aku tidak ingin kau kelelahan harus menjemputku.”
Callista melangkah keluar dari ruang operasi. Setelah berada di ruang operasi hampir tiga belas jam berada di ruang operasi, membuatnya begitu lelah. Callista melirik arloji, kini sudah pukul delapan malam. Tanpa menunda, Callista langsung menuju ruang kerjanya, mengganti pakaiannya dan bersiap-siap untuk pulang. Sebelumnya, dia mengirimkan pesan pada Daniel, untuk tidak menunggunya. Bukan tidak ingin dijemput, tapi Callista hanya tidak ingin Daniel kelelahan harus menjemputnya. Tentu Callista mengerti, kesibukan Daniel sudah menyita banyak waktu kekasihnya itu. Dia tidak ingin merepotkan kekasihnya. Terlebih jarak dari perusahaan Daniel ke Queen Hospital tidaklah dekat.
Daniel turun dari mobilnya, dia membanting kasar pintu mobilnya, kemudian melangkah masuk ke dalam penthousenya. Callista turun dari mobil, dia berlari mengejar Daniel yang sudah lebih dulu masuk ke dalam penthousenya. “Daniel, tunggu, kita harus bicara..” Callista menahan lengan Daniel, hingga membuat langkah kaki Daniel terhenti. “Callista, aku lelah. Lebih baik kau langsung istirahat.” Daniel melepaskan tangan Callista yang menyentuh lengannya itu.
Daniel menyandarkan punggungnya di kursi. Dia memejamkan mata lelah. Sudah tiga hari ini, dia tidak berkomunikasi dengan Callista. Sebenarnya, dia ingin sekali menghubungi Callista, tapi ego yang ada di dalam dirinya mengalahkan keinginannya. Tidak bisa dipungkiri, dia masih begitu marah melihat Callista dekat dengan Mike. Ya, meski dia sudah mendapatkan informasi, jika benar Callista menggantikan Viktor menangani pasien yang mengalami kerusakan jantung, tapi tetap saja Daniel tidak suka Callista harus dekat dengan Mike. Hal yang membuat Daniel marah, adalah ketika saat Callista membiarkan Mike menemaninya di lobby, padahal sejak awal, Daniel sudah mengatakan jangan pernah dekat dengan Mike.