Saraswati menatap Raka, lalu mengisyaratkan agar mereka menunggu hingga prajurit itu berbalik. Namun, tepat ketika mereka hampir bisa bergerak lagi, prajurit itu berhenti. Ia menoleh ke arah mereka, matanya menyipit curiga.
“Siapa di sana?”
Jantung Saraswati berdetak lebih cepat. Jika mereka ditemukan sekarang, misi ini akan berakhir sebelum sempat dimulai. Namun, sebelum prajurit itu bisa melangkah lebih dekat, Raka bergerak dengan kecepatan luar biasa. Dalam satu gerakan halus, ia melompat dari bayangan, meraih kepala prajurit itu dan menutup mulutnya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menancapkan belati ke sisi lehernya. Prajurit itu meronta, tetapi hanya sejenak. Setelah beberapa detik, tubuhnya melemas, darah mengalir ke lantai batu yang dingin. Saraswati menatap Raka dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia tah
Benteng Timur berdiri tegak di puncak bukit berbatu, dikelilingi oleh tembok tinggi yang menjulang dengan gerbang besi raksasa yang hanya terbuka bagi mereka yang diizinkan masuk. Cahaya fajar yang pucat
Saraswati menatap Raka, lalu mengisyaratkan agar mereka menunggu hingga prajurit itu berbalik. Namun, tepat ketika mereka hampir bisa bergerak lagi, prajurit itu berhenti. Ia menoleh ke arah mereka, matanya menyipit curiga.“Siapa di sana?”Jantung Saraswati berdetak lebih cepat. Jika mereka ditemukan sekarang, misi ini akan berakhir sebelum sempat dimulai. Namun, sebelum prajurit itu bisa melangkah lebih dekat, Raka bergerak dengan kecepatan luar biasa. Dalam satu gerakan halus, ia melompat dari bayangan, meraih kepala prajurit itu dan menutup mulutnya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menancapkan belati ke sisi lehernya. Prajurit itu meronta, tetapi hanya sejenak. Setelah beberapa detik, tubuhnya melemas, darah mengalir ke lantai batu yang dingin. Saraswati menatap Raka dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia tah
Saraswati memandang Raka sejenak. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatnya merasa lebih tenang, meskipun ia tahu bahwa apa yang mereka hadapi jauh lebih besar dari apa pun yang pernah ia bayangkan.Raksa akhirnya mengangguk, meskipun masih terlihat ragu. “Baik. Tapi jika kalian belum kembali dalam waktu yang ditentukan, kami akan menganggap misi ini gagal dan menyerang dengan kekuatan penuh.”Saraswati memahami ketegasannya. Mereka tidak bisa menunggu terlalu lama jika sesuatu terjadi. Waktu adalah musuh sekaligus senjata mereka saat ini.Wira, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Aku akan memimpin sekelompok prajurit untuk berjaga di titik pertemuan. Jika kalian berhasil mendapatkan informasi yang kita butuhkan, kita bisa langsung bergerak.”
Malam semakin larut, tetapi tidak ada yang beristirahat di perkemahan pemberontak. Cahaya api unggun menari di wajah mereka yang telah lelah, tetapi semangat dalam dada mereka tetap membara. Setelah pengungkapan mengejutkan dari Raka, suasana menjadi lebih serius. Kini mereka bukan hanya sekumpulan orang yang melawan seorang tiran, tetapi mereka adalah bagian dari takdir yang lebih besar—takdir yang telah lama dikubur oleh sejarah.Saraswati masih berdiri di dekat meja batu tempat peta dan strategi mereka dibahas. Udara dingin gunung menusuk kulitnya, tetapi pikirannya lebih sibuk dari sebelumnya. Ia memandangi peta kasar yang menunjukkan jalur menuju ibu kota, serta beberapa titik yang bisa mereka gunakan untuk menyerang. Namun, yang paling penting adalah menemukan celah di pertahanan kerajaan yang bisa mereka manfaatkan.Raksa menunjuk salah satu jalur y
Malam terasa lebih dingin dari biasanya. Di dalam perkemahan tersembunyi di balik Pegunungan Garba, para pemberontak duduk melingkar di sekitar api unggun, wajah mereka penuh ketegangan dan kelelahan. Mereka telah melarikan diri dari Benteng Rimba, namun perang belum berakhir—justru baru saja dimulai. Saraswati berdiri di tengah-tengah mereka, tangannya mengepal di sisi tubuhnya, pikirannya dipenuhi dengan strategi dan keputusan yang harus segera dibuat.Raksa menghamparkan peta kasar di atas sebuah batu besar yang mereka gunakan sebagai meja. Garis-garis merah dan hitam tergambar di atasnya, menunjukkan jalur pergerakan pasukan kerajaan serta kemungkinan titik serangan. “Kita tidak bisa hanya bersembunyi,” katanya dengan nada berat. “Raja tahu bahwa kita masih hidup, dan dia tidak akan berhenti sampai kita semua musnah.”Saraswati
Raka mendekat, matanya masih waspada terhadap bayangan di kejauhan. “Mereka tidak akan menyerah begitu saja,” katanya, suaranya rendah tetapi penuh kepastian. “Adhiraj tidak mundur karena takut. Dia sedang bermain dengan kita.”Saraswati mengangguk pelan, menyadari kebenaran dalam kata-kata Raka. “Dia ingin kita percaya bahwa kita punya kesempatan,” katanya lirih. “Padahal dia hanya memberi kita ilusi kemenangan.”Raksa, yang sejak tadi mengamati dari kejauhan, berjalan mendekat. Wajahnya masih berlumuran darah, bukan darahnya sendiri, melainkan darah musuh yang telah ia bunuh tanpa ragu. “Jika kita tetap di sini, kita akan mati,” katanya tanpa basa-basi. “Benteng ini sudah bukan tempat yang aman lagi.”Wira, yang kini telah kembali setelah memas