“Masnya mau di bawa kemana, Tuan muda?" tanya Queen ragu-ragu. Ia takut jika saja lelaki yang belum ia tahu namanya ini berniat berbuat hal lebih parah dari ini. Queen takut terlibat.
“Jangan khawatir, saya tidak sejahat itu!" Di sela kesusahan memampah Biyan, lelaki itu menoleh. Jawabannya seakan paham akan kekhawatiran yang Queen rasakan.
Mendengar itu Queen bisa bernapas lega. Ia kembali fokus memampah laki-laki itu. Tubuhnya terlihat ramping dan tak berisi tapi beratnya bisa seluar biasa ini. Ia kewalahan, untung saja tuan muda di sebelah kanan itu memiliki tubuh lebih kekar sehingga mereka bisa memiliki kekuatan untuk memampahnya.
Queen menyerngit saat Tuan muda malah membawa lelaki itu duduk di sofa yang ada di lobby. Belum sempat Queen berdiri dan kembali. Lelaki itu sudah kembali berkata.
“Tunggu disini!"
Queen yang mengira tugasnya selesai sampai disini harus menghembuskan napas kasar lagi.
Lelaki yang disebutnya Tuan muda itu berjalan ke arah resepsionis. Sedangkan dari arah sofa Queen tak menghiraukan apa yang akan dilakukannya, dia lebih memilih memerhatikan pemuda yang tengah tak sadarkan diri di sampingnya. Ia merasa iba melihat wajah tak bersalah itu.
“Maafin saya!" lirih Queen.
Matanya sama sekali tak beralih dari sosok yang tak kalah tampannya dengan lelaki yang memberikannya tugas itu.
“Saya gak tahu apa yang terjadi di antara kalian, saya terpaksa melakukan ini untuk biaya ibu saya!" lirih Queen lagi.
“Hey, ayo bantu saya!"
Queen yang tengah bermonolog dalam hati sambil menatap pemuda itu pun langsung menoleh saat lelaki yang satu itu sudah kembali dari meja resepsionis.
“Mau di bawa kemana lagi?"
“Ke kamar!"
Queen yang sama sekali tak menaruh curiga pun kembali membantu meski di tengah lelah yang mendera. Mereka melangkah menuju lift.
“Butuh bantuan?" Dari arah meja resepsionis menawarkan bantuan. “Kalau butuh biar saya panggilkan bellboy"
“Gak usah, saya bisa sendiri!"
Queen yang sudah senang karena tawaran resepsionis harus menelan kecewa saat lelaki itu malah menolak. Membuat Queen kesal dan menggerutu dalam hati.
“Bisa sendiri apaan! Ini kita berdua loh!" Queen mendongkol tidak suka.
Selang beberapa menit akhirnya mereka sampai di sebuah kamar yang ada di lantai 3. Queen lagi-lagi tercengang melihat kemewahan kamar itu.
Begitu selesai membaringkan lelaki tak berdaya itu, mata Queen beralih menatap laki-laki pemilik rencana ini. Ia terlihat menatap ke arah tempat tidur. Senyum smirk yang terulas membuat Queen mengerutkan kening, lelaki itu seperti tengah menemukan ide brilian sampai menjentikkan jari.“Kamu baring di sampingnya!"
“Hah?" Queen melongo tak mengerti dengan wajah bingung.
“Iya, kamu!"
“Kamu baring di sampingnya!"
Queen menggeleng, tangannya menyilang di depan dada. Refleks melindungi tubuh saat pikirannya membayangkan hal yang tidak-tidak.
“Ah, nggak! Buat apa baring bareng dia!?"
“Saya nggak mau!" Queen menolak dengan gelengan tegas.
“Ini di luar kesepakatan!" Tambah Queen menolak. “Tugas saya cuma naruh obat tidur, bukan?" ujar Queen.
Membuat lelaki itu berdecak kesal. “Tinggal baring aja, nggak ngapa-ngapain!"
“Nggak mungkin nggak ngapa-ngapain, kamu pasti punya niat jahat kan!?" sergah Queen yang tak lagi bicara dengan nada penuh hormat. Sungguh ia dibuat kesal, lebih tepatnya ia takut terseret lebih jauh jika terjadi sesuatu.
“Ck, gak ngapa-ngapain, cuma buat foto!"Laki-laki itu menatap dengan sorot memohon persetujuan.
“Nanti bayaran kamu saya tambah 2 kali lipat!"
“Sekali ini aja! Cuma tidur, setelah itu saya foto dan kamu bisa dapat uang berjumlah besar!"
Melihat Queen yang masih saja menampakkan wajah ditekuk penuh selidik membuat laki-laki tersebut menghela napas kasar sambil berdecak. Sulit mwmbujuk gadis yang diliputi kecurigaan dan cemas itu.
“Fotonya gak akan saya sebar, cuma buat ancam dia aja!"
“Kenapa diancam?" Sergah Queen nyalang.
“Dia punya masalah sama saya, ini satu-satunya cara biar dia tunduk sama saya!"
“Masalah apa?"
Huhh. Laki-laki itu kembali mendesah kesal sambil meremas rambut frustasi. Misinya selangkah lagi akan berhasil, tapi wanita ini begitu sulit dibujuk.
“Bukan ranah kamu buat tahu!"
“Saya berhak tahu karena kamu mau pakai foto saya!" Queen masih mencoba mencari tahu.
“Ck, mau uang atau nggak?"
“Kapan lagi dapat uang sebanyak ini?"
Laki-laki itu tersenyum miring melihat betapa mudahnya kalangan bawah bungkam jika sudah menyangkut masalah uang.
“Mau gak?" tanya lelaki itu sekali lagi.
Membuat Queen menelan ludah kasar, kesal karena jiwa miskinnya terlalu mudah goyah jika menyangkut uang. Keadaan Ibuk di kampung membuat ia bimbang, misi utamanya merantau memanglah untuk biaya kesembuhan ibuk. Mendapatkan tawaran menarik seperti ini bagai mendapat jackpot, sangat menggiurkan tapi ia takut dan hatinya seakan menolak untuk itu.
“Heh, mau atau tidak? Jangan kelamaan!"
“Sa-saya...”
To be continued...
Di dalam mobil menuju jalan pulang, Queen hanya banyak diam. Ia tak menyangka tindakan dan keputusannya tempo hari harus berakhir pada pernikahan dengan orang yang tak diharapkan. Jangankan baginya, bagi Biyan pun jelas ia bukanlah hal yang ingin dituju, sama sekali tak masuk dalam kriteria lelaki itu, Queen sangat sadar akan hal itu. Pernikahan bukanlah akhir yang mereka harapkan, tapi mau dikata apa, nasi benar-benar sudah menjadi bubur dan ini semua karena ulahnya. Queen menoleh mencuri pandang pada Biyan yang nampak diam menahan emosi. Jika tak ada supir dan orang kepercayaan daddy-nya mungkin Queen benar-benar dihabisi sejak tadi. Kilatan emosi nampak terpancar nyata di raut wajah pria muda itu. “Gimana caranya minta maaf sama dia.” Gadis itu menunduk, meremas ujung dressnya. Air matanya menetes saat itu juga. Sungguh ia merasa menjadi orang yang paling jahat, sudah menghancurkan kehidupan seseorang. Tanpa sadar, suara napas Queen yang berusaha menahan tangis agar tak dide
Di bagian bumi yang lain, tepatnya di negara yang kerap dijuluki sebagai Negeri Paman Sam. Seorang wanita tampak syok ketika mendapat kiriman sebuah foto berupa sang kekasih yang tengah tidur bersama wanita lain. Ia yang baru hendak mengistirahatkan tubuh malam itu langsung bergegas meraih benda pipih miliknya yang sedang tercharger. Namun, sayangnya nomor yang dituju malah tidak aktif. “Tega kamu, Bi!” lirihnya sembari menutup mulut tak percaya. Hatinya benar-benar sakit dan merasa dikhianati. Padahal hubungan mereka sudah berjalan setahun, dan selama ini ia begitu percaya pada Biyan. Namun, apa ini sekarang? Dari nomor tak dikenal, ia mendapat foto tersebut. “Aku pikir kamu akan setia sampai aku selesai menyelesaikan pendidikan di sini, tapi apa ini?" lirih wanita itu, ia luruh ke lantai dan bersandar di sisi tempat tidur. Tak kuasa membendung air mata, ia menangis sesenggukan seorang diri sambil mengirim rentetan pesan pada sang kekasih. Belum juga reda, ia kembali mendapat pes
Sementara itu, di sebuah pemukiman padat penduduk. Tepatnya di sebuah bangunan berukuran enam kali lima yang dijadikan kostan oleh pemiliknya itu nampak seorang gadis mengenakan daster dengan rambut dicepol asal terlihat gusar. Ia terus mondar mandir dari ujung teras kost, ke ujungnya lagi.Gadis itu adalah Lili. Jam menunjukkan hampir 10 malam, tapi Queen belum juga pulang. Membuat rasa khawatirnya memuncak memikirkan kondisi gadis si pemilik nama cantik yang hidupnya tak secantik dan seberuntung namanya itu.Ya, gadis lugu berwajah datar, namun menggemaskan itu bahkan bisa membuatnya iba saat pertama kali melihat sorot mata menyedihkan dari Queen yang pada saat itu bertemu dengannya saat di toilet rumah makan."Pasti ini kali pertamanha lo pergi merantau, kan?" Begitu pertanyaan yang Lili layangkan sambil mulai memutar keran air untuk membasuh tangan. Saat itu ia melihat sosok gadis menyedihkan yang sedang membasuh wajah tepat di sampingnya.Bertemu dengan Queen membuat Ia teringat d
“Queen, tolong jawab pertanyaan saya yang tadi!"Suara itu membuat Queen yang tengah menitihkan air mata langsung mendongakkan kepala. Ia kemudian menyusut bulir bening yang masih menetes menggunakan tisu yang disodorkan oleh sosok pria yang duduk di kursi roda.“Saya gak disuruh siapapun Pak, sa-saya, malam itu saya hanya ingin membantu anak Bapak menuju ke kamar. Ta-tapi kejadian itu.. hikss." Queen menghentikan ucapannya. Air mata yang menetes kian deras dan rasa sesak atas kebohongan yang baru saja ia ungkapkan membuatnya tak mampu meneruskan kata-kata.Sementara Biyan yang mendengar ucapan Queen hanya bisa mengusap rambutnya secara kasar. Pemuda itu benar-benar dibuat frustasi oleh semua keterangan yang Queen buat.Sedangkan Pak Alfin, ia hany terlihat menggeleng seraya mengangguk mengerti. Pria paruh baya itu beranjak setelah saling tatap dengan Pak Ferdy dan Papanya, Opa Surya. “Baik, saya paham posisi kamu." ucapan Pak Alfin membuat Queen yang masih menangis hanya bisa menatap
"Azalea Queenara?" ucap Daddy Biyan membuka suara. Tadi sebelum menemui Queen ia sempat menyuruh Sam untuk mencari informasi tentang Queen. Dengan mudah ia mendapatkan semua dari pihak restoran hotel tempat gadis itu bekerja. Mendengar nama lengkapnya disebut membuat jantungnya sekan berhenti berdetak. Ia menoleh pada sosok pria paruh baya yang menatapnya dengan ekspresi datar. Lihatlah kekuasaan orang kaya, Ia bahkan bisa mengetahui nama lengkapku dengan mudah. Ntah apalagi yang berhasil ia dapatkan setelah ini. Lirih Queen sambil mengangguk mengiyakan. “Kamu di Jakarta belum cukup sebulan, kerja sebagai pelayan di salah satu resto yang ada di Angkasa Land Hotel." Queen mengangguk membenarkan, jantungnya berdegub dua kali lebih kencang dari detang jantung normal. “Iya pak, eh, i-iya Tuan." lirih Queen membenarkan sebutannya ketika melirik semua mata itu menatapnya dengan tajam tanpa berkedip. “Langsung ke intinya saja, Al!" ujar seorang pria paruh baya yang kepalanya dipenuhi ub
Mobil yang Queen tumpangi bersama dua orang laki-laki yang menjemputnya itu terus melaju memecah jalan ibu kota di bawah langit sore yang kian kemerahan. Sepanjang jalan Pikiran gadis biasa, pemilik bulu mata lentik yang tak terlalu panjang itu terus dipenuhi dengan berbagai tanya dan kekhawatiran tentang hal apa saja yang akan ia hadapi setelah ini. "Huhh.” Ia mendesah pelan sambil melempar pandangan ke arah luar kaca mobil. Menatap kendaraan yang berlalu lalang dan jejeran gedung yang ada. “Seandainya malam itu aku gak menerima tawaran dari tuan muda itu, mungkin sekarang hidupku akan tetap normal dan bisa bekerja dengan tenang," lirih Queen dalam hati. “Tapi ....” Ia mendesah kesal meratapi ketidak berdayaan. Bahkan uang dari hasil pekerjaan yang ia sesali itu sudah ia berikan pada Agung untuk biaya pengobatan ibu. Jika sudah begini, rasanya segala perandaian yang ia sebutkan tadi tak lagi berguna. Ia bagaikan orang munafik yang menyesal tapi tetap menggunakan uang hasil me