“Sebuah berita kamu sedang tidur dengan perempuan tersebar!" dengan samar Daddy menunjukkan layar tablet berlogo apel itu pada semua.
Mulut Biyan menganga mendengar berita yang Daddynya bacakan. Bahkan itu membuatnya langsung beranjak dari duduk.
Pemuda yang mengenakan baju mandi itu dengan tegas menyangkal berita tidak benar tersebut. Berita sampah, hoax yang disebarkan oleh oknum tak bertanggung jawab membuatnya murka. Di sisi lain tetap harus menahan diri dan membela diri di depan keluarga.
“Berita macam apa itu, Daddy!"
“Aku sama sekali tidak pernah melakukan hal seperti itu!"
Bahkan semua yang mendengar langsung bergegas mendekati daddy Al, melihat sebuah berita yang tersebar disertakan dua foto yang memperlihatkan Biyan tengah terlelap dengan seorang gadis, bahkan dada Biyan dan bahu mulus gadis itu nampak terekspos.
Semua menggeleng kecewa, kecuali Opa Surya, Ia masih berusaha berpikir jernih jika bisa saja foto itu hanya editan
“Astagfirullah, Bi!" Mommy menoleh dengan mata berkaca-kaca sambil menutup mulut tak percaya.
Wanita paruh baya itu seketika jatuh tak sadarkan diri, syok melihat berita tersebut. lebih tepatnya tak menyangka jika anak bungsunya yang sangat ia sayangi dan didik dengan baik tega berbuat hal seperti itu di luar pernikahan.
“Jessica!" pekik oma Fera dan sang suami.
Sam segera bergegas meraih tab ketika Tuan Alfin menyodorkannya tanpa menoleh. Sorot mata lelaki paruh baya itu nampak begitu marah dan kecewa. Seakan mengatakan 'Lihat apa yang kamu lakukan, Bi! Perbuatanmu membuat Mommymu sampai seperti ini!'
Sorot mata Daddy Al beralih pada sang istri, lalu bersama yang lain mengangkatnya menuju kamar.
Sedangkan Biyan yang melihat itu merasa dunianya benar-benar berhenti. Dari belakang ia mengikuti langkah semua yang tengah membawa Mommynya ke kamar. Untuk pertama kalinya Ia melihat wanita yang begitu dihormati jatuh pingsan, selama ini Mommnya begitu sehat bugar dan sekarang drop hanya karena berita yang tidak benar itu.
Biyan bingung pada apa yang terjadi, ia bahkan tak bisa berpikir jernih bagaimana foto dan berita itu bisa muncul. Ia bahkan belum sempat melihat gambar tersebut dengan jelas.
“Telepon dokter Dewi!" seru Oma Fera memberikan arahan agar segera menelpon dokter langganan keluarga besar.
Tak butuh waktu lama, dokter Dewi segera datang dan langsung melakukan pemeriksaan, di dampingi dengan oma Fera dan beberapa pelayan.
”Sam, kita ke ruang tamu!"
"Bi, Opa tunggu di ruang keluarga ya!!" setelah melihat sang menantu ditangani dokter. Opa Surya menepuk bahu Biyan, ia beranjak keluar di susul oleh Sam.
Tak lama setelah itu Daddy Alfin pun menyusul ke ruang keluarga dan bergabung bersama Ayahnya dan Sam. Saat melangkah ia sempat menoleh pada Biyan yang juga sedari tadi mengikuti kemana langkahnya, hatinya teriris melihat raut wajah bersalah pada sang anak. Tapi rasa kecewa dan amarah lebih menguasai. Sehingga tak ada belas kasih yang bisa ditunjukkan.
“Sam, suruh media menghapus berita itu sebelum 1x24 jam!" suara Bariton khas kakek-kakek terdengar memberi instruksi pada Sam, bersamaan dengan Alfin yang baru duduk bersandar di sofa
“Cari penyebarnya dan minta foto tersebut untuk diselidiki keasliannya sebelum mengadakan conferensi pers besok!"
“Siap Tuan! Kalau begitu saya pergi dulu!" pamit Sam lalu bergegas pergi setelah mendapat anggukan.
Alfin merasa sangat terbantu dengan keputusan dan solusi yang Papanya berikan. Pikirannya saat ini terasa sangat buntu akibat masalah yang terjadi. Ia hanya bisa memejamkan mata sambil memijat pelipis.
“Huh!" keluh Daddy Al.
“Tenang dulu, kita selesaikan baik-baik! Jangan pakai emosi!" ucap Opa surya yang duduk sambil memegang tongkat, sedangkan satu tangannya beralih menepuk bahu anak semata wayangnya yang kini juga mulai menua.
Daddy Alfin menghembuskan napas gusar, ia melipat kedua tangan lalu menyelipkan di bawah tengkuk yang bersandar pada sofa.
“Bagaimana mau tenang, Pa. Ini memalukan, mencemarkan nama baik! Kalau sudah tersebar begini, banyak rival bisnis yang akan mudah menjatuhkan kita dengan masalah ini."
“Belum lagi ini adalah aib, keluarga kita tidak ada yang begini ...”
“Seenaknya tidur dengan perempuan di luar ikatan yang tidak sah"
“Memalukan, cih!" Dady Al berdecih sambil menoleh pada Biyan yang masih berdiri.
Mata pemuda itu terasa panas mendengar ucapan menohok Daddynya. Ini bahkan kali pertama ia diperlakukan dmikian. Membuat Biyan merasa sangat rendah. Dengan kedua jari ia mengusap sudut matanya yang terasa dipenuhi cairan bening.
Tangan Opa Surya mengelus bahu sang anak, menenangkan sambil melirik Biyan. Memberi isyarat sambil mengedipkan mata lembut, berusaha menenangkan sang cucu dengan anggukan.
“Sabar!"
“Kita selidiki dulu, bisa saja kan foto itu hasil editan dan disebarkan oleh orang yang ingin menjatuhkan kita atau bahkan orang yang punya dendam terhadap Biyan!" pungkas Opa dengan kepala dingin.
“Editan apanya?" sergah Daddy Al tak setuju, ia beralih duduk tegak. Menatap Biyan dengan sorot mata tajam. “Aku tabu itu bukan editan, Pah!"
“Lagi pula semalam Biyan mengadakan party, dia juga tidak pulang. Bisa dipastikan kalau kejadian itu pasti terjadi semalam." Lagi-lagi Alfin melirik Biyan sengan sinis, membuat Biyan kembali menggeleng dalam diam.
Walau sebenarnya Biyan cukup keras kepala tapi jika di hadapan orang tuanya ia sama sekali tak pernah melawan.
Ucapan Daddy membuat Biyan makin penasaran ingin melihat foto tersebut.
“Sudah, intinya kita tenang dulu, semoga tidak terjadi apa-apa!" Tangan Opa tergerak memanggil Biyan untuk duduk di sampingnya.
Dengan ragu Biyan pun segera menuju sofa, duduk tepat di samping opanya. Beruntung ia memiliki opa yang baik dan sangat menyayanginya, sayang sekali kedua kakek nenek dari Mommy sudah meninggal. Jika masih ada mungkin mereka juga akan mensuportnya di saat seperti ini.
“Bi, coba jujur semalam kamu kemana saja?" Opa Surya menoleh pada Biyan yang jadi lebih banyak diam, pusing memikirkan apa yang terjadi.
“Semalam memang ada party. Mela ulang tahun, aku memang minum abis itu aku gak ingat apa-apa lagi, pas sadar udah ada di ruang kamar. Itupun Aku sendiri!" Biyan menjelaskan secara rinci sesuai ingatan dan apa yang terjadi.
“Sudahlah Pa, percuma bertanya pada orang yang melakukan kesalahan, dia tidak akan jujur!" seru Daddy Al dengan mata yang masih terpejam.
“Kita tunggu saja kabar dari Sam." Daddy Al kembali duduk tegak, menatap Biyan dengan tatapan tajam.
“Kalau sampai foto itu bukan rekayasa atau editan, itu benar kamu lakukan. Lihat saja Bi, kamu harus dihukum dan mempertanggung jawabkan perbuatanmu!"
“Tapi Dad, aku sama sekali tidak melakukan itu! Percaya sama aku!" ucap Biyan memohon dengan setengah meringis. Merasa frustasi dengan apa yang Daddy ucapkan.
Namun, Daddynya sama sekali tak menghiraukan. Dengan acuh tah acuh membuat muka sambil beranjak menerima telepon
“Sudah ya, kita tunggu kabar dari om Sam! Kamu harus tenang, kalau tidak salah untuk apa takut, kalaupun salah kamu tinggal mempertanggung jawabkan perbuatanmu seperti kata Daddy barusan!"
To be continued...
Di dalam mobil menuju jalan pulang, Queen hanya banyak diam. Ia tak menyangka tindakan dan keputusannya tempo hari harus berakhir pada pernikahan dengan orang yang tak diharapkan. Jangankan baginya, bagi Biyan pun jelas ia bukanlah hal yang ingin dituju, sama sekali tak masuk dalam kriteria lelaki itu, Queen sangat sadar akan hal itu. Pernikahan bukanlah akhir yang mereka harapkan, tapi mau dikata apa, nasi benar-benar sudah menjadi bubur dan ini semua karena ulahnya. Queen menoleh mencuri pandang pada Biyan yang nampak diam menahan emosi. Jika tak ada supir dan orang kepercayaan daddy-nya mungkin Queen benar-benar dihabisi sejak tadi. Kilatan emosi nampak terpancar nyata di raut wajah pria muda itu. “Gimana caranya minta maaf sama dia.” Gadis itu menunduk, meremas ujung dressnya. Air matanya menetes saat itu juga. Sungguh ia merasa menjadi orang yang paling jahat, sudah menghancurkan kehidupan seseorang. Tanpa sadar, suara napas Queen yang berusaha menahan tangis agar tak dide
Di bagian bumi yang lain, tepatnya di negara yang kerap dijuluki sebagai Negeri Paman Sam. Seorang wanita tampak syok ketika mendapat kiriman sebuah foto berupa sang kekasih yang tengah tidur bersama wanita lain. Ia yang baru hendak mengistirahatkan tubuh malam itu langsung bergegas meraih benda pipih miliknya yang sedang tercharger. Namun, sayangnya nomor yang dituju malah tidak aktif. “Tega kamu, Bi!” lirihnya sembari menutup mulut tak percaya. Hatinya benar-benar sakit dan merasa dikhianati. Padahal hubungan mereka sudah berjalan setahun, dan selama ini ia begitu percaya pada Biyan. Namun, apa ini sekarang? Dari nomor tak dikenal, ia mendapat foto tersebut. “Aku pikir kamu akan setia sampai aku selesai menyelesaikan pendidikan di sini, tapi apa ini?" lirih wanita itu, ia luruh ke lantai dan bersandar di sisi tempat tidur. Tak kuasa membendung air mata, ia menangis sesenggukan seorang diri sambil mengirim rentetan pesan pada sang kekasih. Belum juga reda, ia kembali mendapat pes
Sementara itu, di sebuah pemukiman padat penduduk. Tepatnya di sebuah bangunan berukuran enam kali lima yang dijadikan kostan oleh pemiliknya itu nampak seorang gadis mengenakan daster dengan rambut dicepol asal terlihat gusar. Ia terus mondar mandir dari ujung teras kost, ke ujungnya lagi.Gadis itu adalah Lili. Jam menunjukkan hampir 10 malam, tapi Queen belum juga pulang. Membuat rasa khawatirnya memuncak memikirkan kondisi gadis si pemilik nama cantik yang hidupnya tak secantik dan seberuntung namanya itu.Ya, gadis lugu berwajah datar, namun menggemaskan itu bahkan bisa membuatnya iba saat pertama kali melihat sorot mata menyedihkan dari Queen yang pada saat itu bertemu dengannya saat di toilet rumah makan."Pasti ini kali pertamanha lo pergi merantau, kan?" Begitu pertanyaan yang Lili layangkan sambil mulai memutar keran air untuk membasuh tangan. Saat itu ia melihat sosok gadis menyedihkan yang sedang membasuh wajah tepat di sampingnya.Bertemu dengan Queen membuat Ia teringat d
“Queen, tolong jawab pertanyaan saya yang tadi!"Suara itu membuat Queen yang tengah menitihkan air mata langsung mendongakkan kepala. Ia kemudian menyusut bulir bening yang masih menetes menggunakan tisu yang disodorkan oleh sosok pria yang duduk di kursi roda.“Saya gak disuruh siapapun Pak, sa-saya, malam itu saya hanya ingin membantu anak Bapak menuju ke kamar. Ta-tapi kejadian itu.. hikss." Queen menghentikan ucapannya. Air mata yang menetes kian deras dan rasa sesak atas kebohongan yang baru saja ia ungkapkan membuatnya tak mampu meneruskan kata-kata.Sementara Biyan yang mendengar ucapan Queen hanya bisa mengusap rambutnya secara kasar. Pemuda itu benar-benar dibuat frustasi oleh semua keterangan yang Queen buat.Sedangkan Pak Alfin, ia hany terlihat menggeleng seraya mengangguk mengerti. Pria paruh baya itu beranjak setelah saling tatap dengan Pak Ferdy dan Papanya, Opa Surya. “Baik, saya paham posisi kamu." ucapan Pak Alfin membuat Queen yang masih menangis hanya bisa menatap
"Azalea Queenara?" ucap Daddy Biyan membuka suara. Tadi sebelum menemui Queen ia sempat menyuruh Sam untuk mencari informasi tentang Queen. Dengan mudah ia mendapatkan semua dari pihak restoran hotel tempat gadis itu bekerja. Mendengar nama lengkapnya disebut membuat jantungnya sekan berhenti berdetak. Ia menoleh pada sosok pria paruh baya yang menatapnya dengan ekspresi datar. Lihatlah kekuasaan orang kaya, Ia bahkan bisa mengetahui nama lengkapku dengan mudah. Ntah apalagi yang berhasil ia dapatkan setelah ini. Lirih Queen sambil mengangguk mengiyakan. “Kamu di Jakarta belum cukup sebulan, kerja sebagai pelayan di salah satu resto yang ada di Angkasa Land Hotel." Queen mengangguk membenarkan, jantungnya berdegub dua kali lebih kencang dari detang jantung normal. “Iya pak, eh, i-iya Tuan." lirih Queen membenarkan sebutannya ketika melirik semua mata itu menatapnya dengan tajam tanpa berkedip. “Langsung ke intinya saja, Al!" ujar seorang pria paruh baya yang kepalanya dipenuhi ub
Mobil yang Queen tumpangi bersama dua orang laki-laki yang menjemputnya itu terus melaju memecah jalan ibu kota di bawah langit sore yang kian kemerahan. Sepanjang jalan Pikiran gadis biasa, pemilik bulu mata lentik yang tak terlalu panjang itu terus dipenuhi dengan berbagai tanya dan kekhawatiran tentang hal apa saja yang akan ia hadapi setelah ini. "Huhh.” Ia mendesah pelan sambil melempar pandangan ke arah luar kaca mobil. Menatap kendaraan yang berlalu lalang dan jejeran gedung yang ada. “Seandainya malam itu aku gak menerima tawaran dari tuan muda itu, mungkin sekarang hidupku akan tetap normal dan bisa bekerja dengan tenang," lirih Queen dalam hati. “Tapi ....” Ia mendesah kesal meratapi ketidak berdayaan. Bahkan uang dari hasil pekerjaan yang ia sesali itu sudah ia berikan pada Agung untuk biaya pengobatan ibu. Jika sudah begini, rasanya segala perandaian yang ia sebutkan tadi tak lagi berguna. Ia bagaikan orang munafik yang menyesal tapi tetap menggunakan uang hasil me