LOGIN"Matahari" kecil di perutku itu adalah seorang tiran.
Dia tidak lagi hanya diam dan dingin, atau sekadar berdenyut lemah. Sekarang, dia adalah pusat dari segala hal. Setiap napas, setiap detak jantung, terasa seperti mengorbit pada kehangatannya yang menggigit. Kekuatan yang kurasakan usai menghancurkan Spirit Ore itu belum juga reda. Otot-ototku tegang, penuh dengan energi yang tidak bisa kutumpahkan. Pikiranku jernih, tajam, tapi di balik kejernihan itu ada desisan halus—bisikan dari sang tiran. Lapar. Kata itu bukan lagi sebuah perasaan. Itu adalah sebuah perintah yang terpatri di setiap sel tubuhku. Tua Bangka memandangiku dari seberang sel, matanya seperti dua lubang hitam di wajahnya yang keriput. "Dia bangun, dan sekarang kau harus memberinya makan. Atau dia akan memakanmu dari dalam." Ucapannya bukan ramalan, tapi pernyataan fakta, seperti menyebut bahwa air itu basah. Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap tanganku yang hangus. Kulitnya menghitam dan mengelupas, tapi di bawahnya, kulit baru sudah terbentuk dengan cepat, berwarna merah muda dan terlalu halus untuk kulit seorang budak. Proses penyembuhan yang tidak wajar. Hadiah sekaligus pengingat akan harga yang harus dibayar. Pintu sel dibuka. Bukan Borok, tapi salah satu pengawas rendahan. "Wa Lang.Pengawas Yan memanggil." Aku diantar bukan ke ruangan batu, tapi ke sebuah tempat yang belum pernah kulihat: sebuah laboratorium kecil yang terletak di belakang pos penjagaan. Ruangan ini dipenuhi dengan rak-rak berisi botol kaca berisi cairan aneh, organ-organ hewan yang diawetkan, dan fragmen tulang manusia yang diukir dengan simbol-simbol gelap. Di tengah ruangan, ada sebuah meja batu dengan tali pengikat. Jantungku berdebar kencang. "Bibit"-ku bereaksi terhadap lingkungan ini, berdenyut-denyut penuh antisipasi. Pengawas Yan berdiri di depan sebuah papan tulis kulit, penuh dengan coretan rumus dan diagram yang tidak kupahami. Dia menoleh saat aku masuk. "Laporan kondisi," perintahnya, sambil membersihkan tangannya dengan sehelai kain. "Kekuatan... masih terasa, Tuan," jawabku, berhati-hati. "Tapi ada rasa lapar. Sangat kuat. Dan tangan saya..." Aku menunjukkan tanganku yang setengah sembuh. Dia mendekat, memeriksa tanganku dengan teliti tanpa menyentuhnya. "Penyembuhan dipercepat. Efek samping dari penyerapan energi murni, meski beracun." Matanya berbinar. "Dan rasa lapar itu adalah hal yang wajar. Parasit yang telah merasakan darah segar tidak akan pernah puas dengan sisa-sisa lagi." Dia menunjuk ke meja batu. "Berbaring." Perintah itu dingin dan tanpa ampun. Aku patuh, rasa takut dan harapan bertarung di dalam dadaku. Dia mengambil sebuah pisau bedah yang tipis dan mengkilap, serta sebuah piring batu. "Ini adalah pengukuran," katanya, saat dia mengikat pergelangan tanganku. "Aku perlu tahu seberapa besar kapasitas 'Bibit'-mu, dan seberapa dalam hubungan simbiosis yang telah terbentuk." Sebelum aku bisa protes, ujung pisau itu menyayat lengan bawahku. Sakitnya tajam. Darah mengalir, menetes ke piring batu. Tapi itu bukan hal yang paling mengejutkan. Yang paling mengejutkan adalah reaksi "Bibit"-ku. Dia meledak. Rasa lapar itu berubah menjadi amukan. Sebuah tarikan yang kuat dan ganas muncul dari ulu hatiku, menyedot sesuatu dari dalam diriku. Bukan darah, tapi sesuatu yang lebih dalam. Kehidupan. Spiritual. Luka di tanganku tidak kunjung sembuh. Malah, kulit di sekitarnya mulai mengerut dan memudar, seperti bunga layu di terik matahari. Aku merasakan kelemahan yang begitu cepat, begitu mengerikan, menyebar ke seluruh tubuhku. "Matahari" di perutku itu ternyata adalah lubang hitam yang memakan bintang induknya—diriku sendiri. "Tuan... tolong..." erangku, suaraku sudah lemah. Pengawas Yan dengan cermat mengamati proses ini, membuat catatan di atas kulit. "Menarik. Tanpa sumber energi eksternal, dia akan mengonsumsi inangnya dengan laju yang eksponensial. Semakin kuat dia, semakin besar kebutuhannya." Dia menuangkan sedikit "Air Spirit Murni" ke atas lukaku. Aliran energi yang sejuk itu seperti oksigen bagi orang yang tenggelam. "Bibit"-ku menyambar energi itu, dan rasa lapar yang menggila itu mereda untuk sesaat. Proses penyembuhan alami tubuhku pun kembali berjalan, meski lambat. Dia melepas ikatanku. Aku bangkit, gemetar, tubuhku berkeringat dingin. Aku hampir saja mati di meja itu. Bukan oleh pisau, tapi oleh makhluk di dalam diriku sendiri. "Kau mengerti sekarang, Wa Lang?" tanya Pengawas Yan, meletakkan pisau bedahnya. "Ini bukan lagi tentang bertahan hidup dari Borok atau racun. Ini adalah perlombaan melawan waktu. Kau harus terus memberinya 'makanan' yang dia inginkan. Jika tidak, dia akan memakanmu hidup-hidup." Dia memberikanku sebuah kantong kulit kecil yang berisi tiga buah Spirit Ore kecil berwarna hijau kusam. Energinya lemah dan tidak murni. "Ini jatahmu untuk hari ini. Bertahanlah." Aku meninggalkan laboratorium itu dengan pemahaman yang mengerikan. Aku bukan lagi manusia. Aku adalah penjara bagi sebuah makhluk lapar, dan rantai-rantai penjara itu perlahan-lahan mengikis nyawaku. Saat aku kembali ke area tambang, tatapan yang kuterima sudah berbeda. Bukan lagi kebencian atau iri, tapi ketakutan yang bercampur dengan rasa ingin tahu yang suram. "Pemakan Batu." Mereka memberiku jalan. Borok melihatku, dan untuk pertama kalinya, dia tidak mendekat. Dia hanya memandang dari kejauhan, seperti melihat binatang buas yang terluka. Tua Bangka mendekatiku saat aku duduk di sudut, memandangi tiga batu kecil di tanganku. "Sudah kukatakan,"bisiknya. "Sekarang kau mengerti. Dia memberimu kekuatan, tapi kekuatan itu adalah cambuk yang menggerakkanmu menuju liang kuburmu sendiri. Atau..." dia membuat jeda, matanya menyipit, "...menuju sesuatu yang lain." "Atau apa?" tanyaku, suaraku parau. "Atau kau menemukan cara untuk menjinakkan sang tiran. Untuk membalikkan hubungan. Untuk membuatnya tunduk padamu, bukan kau yang menjadi budaknya." Ucapannya terdengar seperti khayalan. Tapi di dunia gila ini, khayalan adalah satu-satunya harapan. Aku menggenggam Spirit Ore yang pertama. "Bibit"-ku mendengus, menciumnya. Aku fokus, bukan pada rasa laparnya, tapi pada koneksi antara kami. Aku mencoba, dengan segenap keinginan untuk hidup, untuk mengarahkan rasa lapar itu. Untuk mengendalikan alirannya. Saat energi yang kacau dan lemah itu mulai mengalir ke tanganku, rasa sakitnya masih ada. Tapi kali ini, aku tidak membiarkannya membanjir begitu saja. Aku mencoba membendungnya, mengaturnya, menyaringnya sebelum "Bibit"-ku menyedotnya habis. Itu seperti mencoba menjinakkan sungai yang deras dengan kedua tangan. Hampir mustahil. Tapi, untuk sesaat yang singkat, sebelum batu itu hancur, aku merasa ada sedikit kendali. Rasa laparnya mereda sedikit lebih teratur, tidak lagi seperti amukan. Aku melihat ke Tua Bangka. Ada sedikit anggukan hampir tak terlihat dari dirinya. Perlombaan waktunya telah dimulai. Aku harus menjadi lebih kuat, lebih cepat dari "Bibit"-ku sendiri. Aku harus belajar menjadi tuan bagi matahari kecil yang haus di dalam diriku, sebelum dia membakar seluruh diriku menjadi abu. Dan pelajaran pertama adalah: kekuatan selalu ada harganya. Dan harganya adalah dirimu sendiri, sedikit demi sedikit. ---Ketenangan pasca-Festival adalah jenis yang produktif, penuh dengan getaran energi yang fokus dan tenang. Pusaran Penyesalan yang telah berubah menjadi Danau yang Tenang, dan The Silence yang kini menjadi Pengamat, telah membuka lapisan realitas yang sebelumnya tertutup oleh konflik mereka.Yang Terkubur adalah yang pertama merasakannya."Ada... pintu yang terbuka,"bisiknya di dalam kesadaranku, suaranya penuh rasa kagum yang dalam. "Jalur-jalur yang terputus sejak Pemilihan Purba... kini bergetar kembali. Mereka memanggil."Peta realitas kami, yang sebelumnya berfokus pada dimensi-dimensi "yang aktif" dan terhubung melalui jaringan Rhizome, kini menunjukkan titik-titik baru—node-node yang samar dan berusia sangat tua, berkedip seperti bintang yang baru bangun. Ini adalah Dimensi-Dimensi Primordial, tempat asal mula dari banyak kekuatan dan ras, termasuk kemungkinan asal usul Yang Terkubur sendiri."Energinya sangat stabil, namun sangat berbeda," lapor Feng, menganalisis data dari sal
Kembali dari tepian ketiadaan terasa seperti terlahir kembali. Setiap sensasi—desis udara yang disaring melalui kristal ruang komando, berat tubuhku sendiri, bahkan kelelahan mental yang mendalam—terasa begitu tajam dan berharga. Untuk beberapa saat, kami, Kolektif Lima, hanya duduk dalam kesunyian, menikmati kemewahan sederhana berupa menjadi ada.Perubahan di realitas terasa segera. "Laporan dari semua sektor," ucap Feng, suaranya untuk pertama kali dalam kurun waktu yang lama terdengar hampir lega. "Anomali 'penolakan' telah berhenti total. Jejak Air Mata di kolam pusat... bersinar lebih terang dari sebelumnya."Memang benar. Kolam Jejak Air Mata kini memancarkan kelembutan yang hangat, bukan kesedihan yang menusuk. Seolah-olah dengan berdamainya Sang Penjaga dan diamnya Sang Bayangan, luka kosmis itu akhirnya mulai sembuh dengan benar.Tapi pencapaian terbesar datang beberapa hari kemudian.Seorang sejarawan Mycelia, yang sebelumnya gagal mengingat nama pendiri kerajaannya, tiba-t
Danau Penyesalan yang kini tenang bukanlah kemenangan mutlak. Itu adalah gencatan senjata yang rapuh, sebuah luka yang akhirnya berhenti berdarah namun belum sepenuhnya sembuh. Energinya yang dahulu histeris kini berubah menjadi dukacita yang dalam dan hening, bagai sebuah nisan raksasa bagi sebuah pilihan yang mustahil. Getarannya masih terasa di seluruh realitas yang terhubung, tapi kini lebih mirip detak jantung yang sedih daripada jeritan kematian. Namun, dengan tenangnya Danau Penyesalan, sesuatu yang lain justru bangkit. "Laporkan anomali baru," suara Feng terdengar di pusat komando, datar namun mengandung ketegangan. "Bukan penghapusan memori. Ini... sesuatu yang lain. Seperti 'penolakan'." Laporan-laporan serupa berdatangan dari para Penjaga di berbagai dimensi. Di wilayah-wilayah yang sebelumnya terjangkit Amnesia, di mana ingatan telah dipulihkan, kini muncul fenomena aneh. Benda-benda membuang bayangannya sendiri. Suara kehilangan gaungnya. Cermin tidak lagi memantulkan
Visi figur di atas singgasana yang hancur membekas dalam di kesadaran kolektif kami. Itu bukan lagi sekadar ancaman abstrak bernama "Pusaran Penyesalan", tetapi sebuah pribadi dengan narasi tragis. Sebuah jiwa yang terperangkap dalam pilihan mengerikan yang telah mendefinisikan seluruh keberadaannya. "Figur itu... dia bukan sekadar korban," gumam Feng, memproyeksikan rekaman visi kami untuk dianalisis lebih lanjut oleh timnya. "Dia adalah sumbernya. Nada dasar yang Yang Terkubur rasakan. Penyesalan pertamanya begitu kuat, begitu mendasar, sehingga menarik dan menyatukan semua penyesalan lain di kosmos." "Seperti ratu lebah di sarang kesedihan," tambah Hong dengan analoginya yang blak-blakan. "Lumpuhkan sang ratu, seluruh sarang akan kacau." "Atau, sembuhkan sang ratu, dan seluruh sarang akan menemukan ketenangan," balas Mei Ling dengan penuh harap. Tapi bagaimana caranya menyembuhkan seorang entitas yang mungkin setua waktu itu sendiri? Seorang "penguasa" yang memilih untuk dihuk
Kemenangan kecil di depan Pusaran Penyesalan hanyalah sebuah jeda. Seperti luka yang terinfeksi, pusaran itu terus menganga, menelan segala ingatan yang mendekat. Tapi aksi kami membuktikan satu hal: ia bisa dilukai. Bukan dengan pedang atau energi murni, tapi dengan pengakuan akan rasa sakit yang menjadi dasarnya.Kolam Jejak Air Mata di Dataran Netral kini menjadi tempat ziarah. Para utusan dari berbagai penjuru realitas datang tidak hanya untuk menyumbang ingatan, tetapi juga untuk menyaksikan dan merasakan sendiri bukti nyata bahwa penyesalan dan pengampunan memiliki kekuatan nyata. Seorang prajurit dari ras yang ganas, setelah menatap kolam itu lama, tiba-tiba menangis tersedu-sedu, mengingat sebuah pembantaian yang ia pimpin berabad-abad lalu dan belum pernah ia akui. Air matanya, penuh dengan beban yang akhirnya diakui, menetes ke kolam dan menciptakan Jejak Air Mata baru yang bersinar terang.Namun, Feng, si Analis, tidak puas hanya dengan reaksi emosional."Emosi saja tidak c
Proyek Akar berjalan dengan laju yang menakjubkan, didorong oleh rasa urgensi kolektif yang hampir teraba. Rhizome Network bangsa Mycelia tumbuh seperti jamur di musim hujan, menjalar melintasi batas-batas dimensi, menciptakan kanvas penyimpanan memori yang hidup dan bernapas. Setiap hari, ribuan—bahkan puluhan ribu—ingatan dari berbagai ras "ditanam" ke dalam jaringan ini. Aku bisa merasakannya, sebuah permadani energi yang semakin kaya dan kompleks, menenun dirinya sendiri di bawah permukaan realitas.Namun, pekerjaan kami baru dimulai. Algoritma "Pemulihan Memori" Feng brilian dalam teori, tetapi dalam praktiknya, ia seperti mencoba menyusun kembali sebuah lukisan uap air yang indah dari bekas-basahnya saja. Jejak energi yang tertinggal samar dan sulit dipahami.Suatu sore, kami berkumpul di ruang kontrol utama, memantau upaya pemulihan salah satu gulungan yang dikosongkan di Aula Memori—catatan tentang "Perjanjian Mata Air Pertama" antara Kedalaman Harmoni dan sebuah ras gunung be







