Share

Bab 4

Author: Ghoos book
last update Last Updated: 2025-09-30 21:50:50

Kegelapan di lorong galian baru ini lebih pekat, lebih personal. Udara berdebu dan sesak, seolah dinding batu itu sendiri yang bernafas dengan berat di sekeliling kami. Bunyi pickaxe dan sekop bergema hampa, diselingi erangan sesekali. Tidak ada yang berbicara. Bahasa di sini adalah bahasa tatapan penuh dendam yang ditujukan padaku.

Borok menugaskanku di ujung lorong, area yang paling rawan. Atapnya rendah, ditopang oleh kayu-kayu penyangga yang sudah reyot dan berderak menahan beban. Butiran-butiran kerikil kecil sesekali berhamburan dari atas, seperti tetesan hujan sebelum badai longsor.

"Gali di sini, 'Jenius'," perintah Borok, menunjuk ke sebuah bidang batu yang keras. "Konon, ada urat 'Spirit Ore' berkualitas di baliknya. Keluarkan."

Dia dan kedua anak buahnya tidak pergi. Mereka hanya mundur beberapa langkah, bersandar di dinding, menonton. Aku tahu apa yang mereka tunggu. Mereka menunggu atap itu runtuh menimpaku.

Tarik napas. Fokus.

Aku mengambil beliung dan mulai memukul batu itu. Setiap hentakan menggetarkan lengan yang sudah pegal. Tapi yang lebih mengganggu adalah "Bibit" di perutku. Di tengah debu dan kekacauan ini, dia tidak diam. Dia seperti binatang peliharaan yang mencium bau makanan. Dia berdenyut-denyut lemah, tertarik pada sesuatu... mungkin pada sisa-sisa energi spiritual yang terkunci dalam batuan.

Apakah batu-batu ini juga bisa memberinya makan? pikirku, sambil terus memukul.

Tiba-tiba, salah satu budak pengawal Borok, seorang lelaki berotot dengan wajah penuh luka, mendekat.

"Dengar katanya kau dicicipi Pengawas Yan,"geramnya, suaranya kasar. "Apa rasanya dijilat anjing mereka?"

Aku mengabaikannya, terus memukul. Tindakanku justru membuatnya marah.

"Diam saja kau, dasar sampah!" Dia menyepak ember berisi batu di dekatku, membuat isinya berhamburan.

Di saat yang sama, "Bibit" di perutku berdenyut lebih kencang. Bukan lagi denyut lapar, tapi peringatan. Sebuah sensasi berbahaya, seperti listrik statis, merambat di udara.

Krik... kreeeak...

Suara itu berasal dari atas. Salah satu kayu penyangga utama di dekatku mulai melengkung, retakannya melebar.

"Atapnya!" teriak seseorang dari belakang.

Borok dan anak buahnya langsung mundur cepat, menjauh dari area itu. Tapi si Laki-laki Berotot itu, yang masih marah padaku, tidak menyadari sepenuhnya bahaya yang sudah di ambang pintu.

BRUUK!

Sebongkah batu besar jatuh dari langit-langit, menghantam tepat di depan si Laki-laki Berotot, membuatnya terjatuh. Debu beterbangan, mengaburkan pandangan. Teriakan panik dan derakan kayu yang mau patah memenuhi lorong.

"Tolong! Aku terjepit!" teriak si Laki-laki Berotot. Kakinya tertimpa puing batu yang lebih kecil, dan dia terjebak di zona yang dikelilingi oleh kayu penyangga yang siap rubuh.

Semua orang membeku, termasuk Borok. Tidak ada yang berani maju. Masuk ke sana berarti undangan untuk mati.

Aku berdiri di tepi zona bahaya, hanya beberapa langkah dari si Laki-laki Berotot. Debu membuatku tersedak. Di kepalaku, dua suara bertikai.

Biarkan saja! Dia akan membunuhmu jika ada kesempatan! Ini adalah jalan keluarmu!

Tapi suara lainnya,suara manusia dari Bumi yang belum sepenuhnya mati, berteriak lebih keras. Dia mungkin sampah, tapi dia masih manusia. Kau bukan pembunuh.

Dan ada suara ketiga, lebih dalam dan lebih ganas. Suara dari "Bibit". Dia mendesakku untuk maju. Bukan untuk menyelamatkan, tapi karena... ada sesuatu di sana. Di balik reruntuhan. Sesuatu yang membuatnya lapar.

Dengan kutukan dalam hati, aku melompat ke depan.

"Wa Lang, gila kau!" teriak Borok dari kejauhan, suaranya penuh ketidakpercayaan.

Aku tidak peduli. Aku mendorong batu kecil yang menimpa kaki si Laki-laki Berotot. Dia memandangku dengan mata terbuka lebar, campuran rasa sakit, takut, dan syok.

"G...goblok! Pergi sana!" raungnya.

"Diam!" hardikku, mengerahkan seluruh tenaga. Batu itu bergeser, dan aku menariknya keras-keras, menyemburkannya ke area yang lebih aman tepat saat salah satu kayu penyangga patah dengan suara menggelegar.

BOOM!

Sebagian atap runtuh, menimbun area tempatnya tadi terjebak. Debu begitu pekat hingga aku tidak bisa melihat apa-apa. Tapi aku merasakannya.

Di balik reruntuhan itu, ada sebuah "Sumber".

Sebongkah "Spirit Ore" murni seukuran kepalanku terbuka, memancarkan energi spiritual mentah yang kuat, berwarna hijau tua. Tapi energinya tidak murni. Itu tercemar, beracun, penuh dengan kekerasan geologis bumi. Persis seperti racun di terowongan.

Dan "Bibit"-ku menjerit memintanya.

Tanpa pikir panjang, hampir seperti orang kesurupan, aku merangkak mendekati batu itu. Tanganku yang tanpa sarung menyentuhnya.

Sensasi yang meledak-ledak.

Energi yang kacau, keras, dan beracun itu membanjiri lenganku seperti sungai lahar. Rasa sakit yang membakar, sepuluh kali lebih kuat dari lumpur racun, menyambar seluruh sarafku. Aku berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar.

Lalu, "Bibit"-ku bergerak.

Dia seperti corong yang membuka lebar. Dia tidak hanya menyerap; dia menelan. Energi beracun yang membakar itu disedotnya masuk, mengalir deras ke ulu hatiku. Rasa sakitnya masih ada, tapi sekarang disertai dengan sensasi kekuatan yang memabukkan. Seperti menyuntikkan adrenalin murni langsung ke jantung.

Pancaran hijau pada batu itu memudar dengan cepat, berubah menjadi abu-abu kusam dan retak. Batu itu hancur menjadi debu.

Aku terduduk, terengah-engah. Seluruh tubuhku bergetar. Tanganku yang menyentuh batu itu hangus, hitam, tapi... tidak sakit lagi. Sebaliknya, terasa penuh dengan tenaga yang tertahan. "Bibit"-ku sekarang terasa seperti matahari kecil yang berputar di perutku, memancarkan kehangatan yang hampir menyakitkan. Lapar yang pertama kali terpuaskan.

"Setan... kau adalah setan," bisik si Laki-laki Berotot, memandangiku dengan wajah pucat penuh kengerian. Dia telah menyaksikan semuanya. Bagaimana batunya menyala, lalu mati. Bagaimana tanganku yang hangus tapi aku masih bisa bergerak.

Borok dan yang lain mendekat dengan hati-hati, menatapku seperti melihat hantu.

"Ada... ada iblis dalam dirinya!" teriak salah satu budak, lalu berbalik dan lari.

Borok tidak lari. Dia memandangku, lalu ke batu yang sudah menjadi debu, dan kembali padaku. Ejekan dan kebencian di matanya telah digantikan oleh rasa takut yang primordial. Takut pada sesuatu yang tidak dia pahami.

Aku berdiri, tubuhku masih gemetar, tapi tidak lagi karena kelemahan. Ini karena kelebihan energi. Aku memandangi Borok, dan untuk pertama kalinya, dia adalah orang yang menunduk.

Aku tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya berjalan melewatinya, kembali ke arah pintu keluar lorong. Budak-budak lain membuka jalan untukku, ketakutan.

Pengawas Yan menunggaku di luar, wajahnya seperti biasa.

"Laporan?"tanyanya singkat.

"Bibit-nya... bisa menyerap energi langsung dari Spirit Ore yang terkontaminasi," jawabku, suaraku serak. "Tapi itu menyakitkan. Dan itu membuatku... kuat."

Dia mengangguk, puas. "Bagus. Kemampuan untuk mengonsumsi yang tidak murni adalah langkah pertama menuju kekuatan sejati di tempat kotor seperti ini." Dia melemparkanku sebuah botol kecil berisi cairan merah. "Oleskan pada luka bakar-mu. Besok, kita akan uji kapasitasmu."

Saat aku kembali ke sel, semua orang membisikkan satu nama: "Pemakan Batu."

Tua Bangka duduk di sudutnya, memandangiku lama dan dalam.

"Kau telah membangunkan dia,"bisiknya, suaranya bergetar. "Dan sekarang, dia akan memberitahumu harganya."

Aku berbaring di lantai, merasakan "matahari" kecil di perutku yang masih berputar. Rasa lapar itu terpuaskan, tapi sekarang digantikan oleh kehausan yang lebih dalam. Kehausan akan lebih banyak.

Aku tersenyum dalam kegelapan. Senyum yang tidak seperti diriku.

Bibit-ku telah "memberi tahu". Dan pesannya jelas: Lapar.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dari Budak Menjadi Bencana   BAB 75: GERBANG DARI KESEIMBANGAN BARU

    Ketenangan pasca-Festival adalah jenis yang produktif, penuh dengan getaran energi yang fokus dan tenang. Pusaran Penyesalan yang telah berubah menjadi Danau yang Tenang, dan The Silence yang kini menjadi Pengamat, telah membuka lapisan realitas yang sebelumnya tertutup oleh konflik mereka.Yang Terkubur adalah yang pertama merasakannya."Ada... pintu yang terbuka,"bisiknya di dalam kesadaranku, suaranya penuh rasa kagum yang dalam. "Jalur-jalur yang terputus sejak Pemilihan Purba... kini bergetar kembali. Mereka memanggil."Peta realitas kami, yang sebelumnya berfokus pada dimensi-dimensi "yang aktif" dan terhubung melalui jaringan Rhizome, kini menunjukkan titik-titik baru—node-node yang samar dan berusia sangat tua, berkedip seperti bintang yang baru bangun. Ini adalah Dimensi-Dimensi Primordial, tempat asal mula dari banyak kekuatan dan ras, termasuk kemungkinan asal usul Yang Terkubur sendiri."Energinya sangat stabil, namun sangat berbeda," lapor Feng, menganalisis data dari sal

  • Dari Budak Menjadi Bencana   BAB 74: SIMFONI YANG KEMBALI

    Kembali dari tepian ketiadaan terasa seperti terlahir kembali. Setiap sensasi—desis udara yang disaring melalui kristal ruang komando, berat tubuhku sendiri, bahkan kelelahan mental yang mendalam—terasa begitu tajam dan berharga. Untuk beberapa saat, kami, Kolektif Lima, hanya duduk dalam kesunyian, menikmati kemewahan sederhana berupa menjadi ada.Perubahan di realitas terasa segera. "Laporan dari semua sektor," ucap Feng, suaranya untuk pertama kali dalam kurun waktu yang lama terdengar hampir lega. "Anomali 'penolakan' telah berhenti total. Jejak Air Mata di kolam pusat... bersinar lebih terang dari sebelumnya."Memang benar. Kolam Jejak Air Mata kini memancarkan kelembutan yang hangat, bukan kesedihan yang menusuk. Seolah-olah dengan berdamainya Sang Penjaga dan diamnya Sang Bayangan, luka kosmis itu akhirnya mulai sembuh dengan benar.Tapi pencapaian terbesar datang beberapa hari kemudian.Seorang sejarawan Mycelia, yang sebelumnya gagal mengingat nama pendiri kerajaannya, tiba-t

  • Dari Budak Menjadi Bencana   BAB 73: BAYANGAN YANG TERSISIH

    Danau Penyesalan yang kini tenang bukanlah kemenangan mutlak. Itu adalah gencatan senjata yang rapuh, sebuah luka yang akhirnya berhenti berdarah namun belum sepenuhnya sembuh. Energinya yang dahulu histeris kini berubah menjadi dukacita yang dalam dan hening, bagai sebuah nisan raksasa bagi sebuah pilihan yang mustahil. Getarannya masih terasa di seluruh realitas yang terhubung, tapi kini lebih mirip detak jantung yang sedih daripada jeritan kematian. Namun, dengan tenangnya Danau Penyesalan, sesuatu yang lain justru bangkit. "Laporkan anomali baru," suara Feng terdengar di pusat komando, datar namun mengandung ketegangan. "Bukan penghapusan memori. Ini... sesuatu yang lain. Seperti 'penolakan'." Laporan-laporan serupa berdatangan dari para Penjaga di berbagai dimensi. Di wilayah-wilayah yang sebelumnya terjangkit Amnesia, di mana ingatan telah dipulihkan, kini muncul fenomena aneh. Benda-benda membuang bayangannya sendiri. Suara kehilangan gaungnya. Cermin tidak lagi memantulkan

  • Dari Budak Menjadi Bencana   BAB 72: MAHKOTA YANG RETAK

    Visi figur di atas singgasana yang hancur membekas dalam di kesadaran kolektif kami. Itu bukan lagi sekadar ancaman abstrak bernama "Pusaran Penyesalan", tetapi sebuah pribadi dengan narasi tragis. Sebuah jiwa yang terperangkap dalam pilihan mengerikan yang telah mendefinisikan seluruh keberadaannya. "Figur itu... dia bukan sekadar korban," gumam Feng, memproyeksikan rekaman visi kami untuk dianalisis lebih lanjut oleh timnya. "Dia adalah sumbernya. Nada dasar yang Yang Terkubur rasakan. Penyesalan pertamanya begitu kuat, begitu mendasar, sehingga menarik dan menyatukan semua penyesalan lain di kosmos." "Seperti ratu lebah di sarang kesedihan," tambah Hong dengan analoginya yang blak-blakan. "Lumpuhkan sang ratu, seluruh sarang akan kacau." "Atau, sembuhkan sang ratu, dan seluruh sarang akan menemukan ketenangan," balas Mei Ling dengan penuh harap. Tapi bagaimana caranya menyembuhkan seorang entitas yang mungkin setua waktu itu sendiri? Seorang "penguasa" yang memilih untuk dihuk

  • Dari Budak Menjadi Bencana   BAB 71: DENGAR BISIKAN YANG TERPENDAM

    Kemenangan kecil di depan Pusaran Penyesalan hanyalah sebuah jeda. Seperti luka yang terinfeksi, pusaran itu terus menganga, menelan segala ingatan yang mendekat. Tapi aksi kami membuktikan satu hal: ia bisa dilukai. Bukan dengan pedang atau energi murni, tapi dengan pengakuan akan rasa sakit yang menjadi dasarnya.Kolam Jejak Air Mata di Dataran Netral kini menjadi tempat ziarah. Para utusan dari berbagai penjuru realitas datang tidak hanya untuk menyumbang ingatan, tetapi juga untuk menyaksikan dan merasakan sendiri bukti nyata bahwa penyesalan dan pengampunan memiliki kekuatan nyata. Seorang prajurit dari ras yang ganas, setelah menatap kolam itu lama, tiba-tiba menangis tersedu-sedu, mengingat sebuah pembantaian yang ia pimpin berabad-abad lalu dan belum pernah ia akui. Air matanya, penuh dengan beban yang akhirnya diakui, menetes ke kolam dan menciptakan Jejak Air Mata baru yang bersinar terang.Namun, Feng, si Analis, tidak puas hanya dengan reaksi emosional."Emosi saja tidak c

  • Dari Budak Menjadi Bencana   BAB 70: Jejak Air Mata

    Proyek Akar berjalan dengan laju yang menakjubkan, didorong oleh rasa urgensi kolektif yang hampir teraba. Rhizome Network bangsa Mycelia tumbuh seperti jamur di musim hujan, menjalar melintasi batas-batas dimensi, menciptakan kanvas penyimpanan memori yang hidup dan bernapas. Setiap hari, ribuan—bahkan puluhan ribu—ingatan dari berbagai ras "ditanam" ke dalam jaringan ini. Aku bisa merasakannya, sebuah permadani energi yang semakin kaya dan kompleks, menenun dirinya sendiri di bawah permukaan realitas.Namun, pekerjaan kami baru dimulai. Algoritma "Pemulihan Memori" Feng brilian dalam teori, tetapi dalam praktiknya, ia seperti mencoba menyusun kembali sebuah lukisan uap air yang indah dari bekas-basahnya saja. Jejak energi yang tertinggal samar dan sulit dipahami.Suatu sore, kami berkumpul di ruang kontrol utama, memantau upaya pemulihan salah satu gulungan yang dikosongkan di Aula Memori—catatan tentang "Perjanjian Mata Air Pertama" antara Kedalaman Harmoni dan sebuah ras gunung be

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status