Share

Bab 6

Author: Ghoos book
last update Last Updated: 2025-10-04 23:56:38

Tiga hari.

Tiga hari sejak "matahari" kecil di perutku membangunkan aku dengan rasa lapar yang menggerogoti. Bukan lapar perut biasa, tapi sensasi mengerikan seperti seluruh sel tubuhku merengek untuk diisi bahan bakar. Kantong kulit berisi Spirit Ore dari Pengawas Yan sudah kosong sejak kemarin. Sekarang, yang tersisa hanya kekosongan yang menusuk.

Aku berjongkok di sudut lorong tambang yang sepi, mencoba mengatur napas. Setiap tarikan udara terasa seperti menyedot sisa-sisa energiku. Penglihatanku sedikit berkunang-kunang. "Bibit"-ku, yang sebelumnya hangat dan berdenyut penuh tenaga, sekarang terasa seperti bara yang padam, dingin tapi masih menyimpan sisa kepedihan yang menusuk.

Makan...

Bukan suara. Bukan kata. Tapi sebuah desakan primitif yang muncul dari inti keberadaanku. Sebuah insting buta yang mendesakku untuk mencari, mengambil, menelan. Apapun.

"Lihat dia," sebuah suara mencemooh dari lorong. Borok. Dia berdiri dengan dua budak barunya—dua orang yang tak kukenal, dengan mata kosong dan bahu lebar. "Si Pemakan Batu kelaparan. Mungkin kita harus memberinya batu biasa untuk dia makan."

Tawa kasar mereka bergema. Tapi kali ini, ejekan mereka tidak menyentuh. Hanya ada ruang kosong di kepalaku untuk rasa lapar yang menguasai segalanya.

Tiba-tiba, salah satu budak baru Borok, seorang laki-laki dengan bekas luka bakar di wajahnya, mengambil sekeping Spirit Ore kecil dari kantongnya—jahatannya untuk hari itu. Dia melemparkannya ke arahku, seperti memberi remah pada anjing.

"Ini, Pemakan Batu," katanya dengan hina. "Makanlah."

Batu itu mendarat di debu di depanku. Hijau kusam, energinya lemah. Tapi bagi "Bibit"-ku yang kelaparan, itu seperti seteguk air di gurun.

Tanpa pikir. Hampir tanpa kendali. Tanganku menyambar batu itu. Desakan untuk menyerapnya begitu kuat, hampir membuatku malu. Tapi aku merasakan sesuatu yang lain. Sebuah peringatan samar. Rasa lapar itu bukan lagi hanya dorongan fisik. Dia punya kemauan.

Tidak, aku berpikir, berusaha menahannya. Bukan seperti ini. Bukan seperti binatang.

Aku memaksakan kehendakku, mencoba menciptakan jarak antara diriku dan rasa lapar itu. Aku menggenggam batu itu, tapi tidak langsung menyerapnya. Aku merasakannya. Aku merasakan aliran energi kacau yang lemah di dalamnya, dan aku merasakan "Bibit"-ku menjerit memintanya.

"Lihat! Dia berdoa pada batunya!" teriak Borok, dan mereka tertawa lagi.

Mereka tidak mengerti. Ini bukan doa. Ini adalah perundingan.

Aku memfokuskan sisa kesadaranku, membayangkan sebuah saluran, sebuah katup. Aku tidak akan membiarkan rasa lapar itu menguasai. Aku akan mengizinkannya makan, tapi dengan syaratku. Aku akan mengendalikan alirannya.

Lalu, dengan napas terengah, aku membiarkan katup itu terbuka, sedikit saja.

Energi dari batu itu mengalir, tapi tidak dalam banjir yang menyakitkan seperti sebelumnya. Ini adalah aliran yang lambat, terkontrol. Rasa laparnya mereda, bukan seperti api yang dipadamkan, tapi seperti dijinakkan. "Bibit"-ku merespons, tidak lagi menjarah, tapi menerima. Ada kepuasan, bukan keserakahan.

Batu itu hancur menjadi debu di tanganku, tapi kali ini, tanganku tidak hangus. Hanya terasa hangat. Kelemahan yang menggerogoti tubuhku mereda, meski hanya sedikit. Pikiranku menjadi lebih jernih.

Aku membuka mataku dan menatap Borok dan anak buahnya. Mereka sudah berhenti tertawa. Mereka melihat kepadaku, lalu pada debu di tanganku, dan kembali padaku. Ada sesuatu yang berbeda dalam caraku menyerap energi kali ini. Lebih halus. Lebih... disengaja.

Borok mendecakkan lidah, wajahnya keruh. "Dasar怪物 (monster)," geramnya, lalu berbalik dan pergi, diikuti oleh kedua anak buahnya yang sekarang terdiam.

Aku berdiri, tubuhku masih lemah tapi tidak lagi goyah. Aku melihat debu batu di tanganku. Sebuah kemenangan kecil. Sangat kecil. Tapi itu membuktikan sesuatu: aku bisa bernegosiasi dengan kelaparanku sendiri. Aku bisa, sedikit demi sedikit, menjadi tuan atasnya.

Tapi kemenangan kecil ini tidak mengisi perutku yang keroncongan. Rasa lapar itu hanya terdiam untuk sementara, bukan hilang. Aku butuh lebih banyak. Jatah batuku dari Pengawas Yan sudah habis. Aku harus mencari sumber lain.

Mataku beralih ke dinding tambang, ke akar-akar tanaman aneh yang menjalar di antara bebatuan, menyala dengan cahaya redup. Nirnroot. Tanaman yang tumbuh dengan memakan jiwa budak. Tanaman yang kuhindari karena itu adalah simbol mengerikan dari sistem ini.

Tapi sekarang, saat kelaparan berbicara lebih keras daripada moral, aku mulai bertanya-tanya... bisakah energi mereka diserap juga?

Aku mendekati salah satu akar Nirnroot, yang menjalar di dinding dekat selku. Aku mengulurkan tanganku, hampir menyentuhnya. "Bibit"-ku bereaksi, berdenyut penuh antisipasi. Sepertinya dia tidak peduli dari mana energinya berasal.

Tiba-tiba, sebuah tangan yang dingin dan keriput memegangi pergelangan tanganku.

Aku berbalik. Tua Bangka.

"Jangan," bisiknya, matanya tajam. "Energi mereka... itu berbeda. Itu adalah energi jiwa yang sudah dicerna. Itu akan... mengubahmu. Membuatmu semakin mirip dengan mereka." Dia menunjuk ke arah para pengawas di kejauhan.

Dia melepaskanku. "Kau belajar mengendalikan laparmu. Itu bagus. Tapi sekarang, kau harus belajar membedakan apa yang kau makan. Beberapa hal, sekali kau telan, akan selamanya mencemari jiwamu."

Dia membungkuk dan mengambil sesuatu dari balik batu—sebuah jamur kecil berwarna biru pucat yang bersinar lemah. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya.

"Ada sumber lain di kegelapan ini," katanya, memberikannya padaku. "Yang tidak memakan jiwa. Tapi mereka tersembunyi, dan seringkali beracun. Kau dan 'tamumu' harus belajar mencernanya."

Jamur biru itu terasa dingin di tanganku. Energinya aneh, seperti es yang menyala. "Bibit"-ku merespons, tapi dengan hati-hati, penuh rasa ingin tahu, bukan kelaparan buta.

Aku memandangi jamur itu, lalu ke akar Nirnroot, dan akhirnya ke Tua Bangka. Dunia ini penuh dengan pilihan-pilihan beracun. Untuk bertahan hidup, aku harus belajar tidak hanya bagaimana makan, tapi juga apa yang layak dimakan.

Dan pelajaran selanjutnya, sepertinya, adalah dalam seni meracun. Atau mungkin, seni bertahan dari racun.

Rasa lapar mungkin berbicara, tapi aku, Wa Lang, akan belajar untuk membalasnya. Bukan dengan tunduk, tapi dengan pilihan.

Jamur biru itu terasa dingin bagai es di telapak tanganku, namun cahaya redupnya memancarkan energi yang sama sekaligus asing. Bukan kekacauan Spirit Ore, bukan pula keseraman Nirnroot. Ini seperti angin malam—halus, menusuk, dan penuh rahasia.

"Bibit"-ku bereaksi dengan sikap hati-hati yang tak biasa. Bukan rakus, melainkan rasa ingin tahu yang waspada, seperti kucing yang mengendus mangsa baru.

"Jamur Bulan Kelam," bisik Tua Bangka, matanya mengamati setiap perubahan pada diriku. "Tumbuh di celah-celah yang tidak tersentuh cahaya kristal, menyaring racun dari udara dan tanah untuk diubah menjadi esensinya sendiri. Mematikan bagi yang tidak terbiasa. Tapi bagi kita... bisa jadi makanan."

Makanan. Kata itu terasa aneh di telinga. Bagaimana mungkin sesuatu yang "memutihkan batu" bisa menjadi makanan?

"Bagaimana cara mengetahuinya? Bagaimana cara memakannya tanpa mati?" tanyaku, suaraku masih serak oleh sisa rasa lapar.

Tua Bangka mendecakkan lidahnya yang hampir ompong. "Dengan mencoba. Seperti semua hal di tempat ini. Ada yang mati. Ada yang bertahan. Ada yang... berubah." Dia menatapku dalam-dalam. "Kau dan 'tamumu' sudah menunjukkan bisa menelan yang kotor. Sekarang, kita lihat apakah kalian bisa mencerna yang halus."

Dia tidak memberitahuku caranya. Hanya memberiku jamur itu dan sebuah pandangan penuh arti sebelum berbalik dan kembali ke sudutnya yang gelap, meninggalkanku sendirian dengan pilihan beracun di tanganku.

Aku memandang jamur biru itu. Ini adalah tebakan yang jauh lebih berbahaya daripada Spirit Ore. Setidaknya dengan batu, aku tahu rasa sakitnya langsung. Dengan ini... siapa yang tahu?

Tapi rasa lapar yang masih menggerogoti dasar perutku adalah cambuk yang kejam. Aku tidak punya pilihan lain.

Dengan hati-hati, aku mematahkan sepotong kecil tepi jamur itu. Sangat kecil, seperti kepingan kuku. Aku membawanya mendekat ke hidung. Tidak berbau. Hanya hawa dingin yang membuat hidungku sedikit kebas.

Ini gila, pikirku, tapi tetap kumasukkan potongan kecil itu ke mulut.

Dia tidak meleleh. Dia menyublim. Berubah dari padatan menjadi kabut dingin langsung di lidahku. Sensasinya aneh—seperti menghirup udara pegunungan yang sangat dingin sampai membakar. Kabut itu turun ke kerongkongan, membekukan segala sesuatu yang disentuhnya.

Lalu sampai di perut.

"Bibit"-ku bereaksi seketika.

Bukan dengan keserakahan, tapi dengan semacam kewaspadaan yang lapar. Dia menyambut kabut dingin itu, bukan dengan menelannya bulat-bulat, tapi seolah-olah mengelilinginya, memeriksanya. Aku bisa merasakan pertarungan halus di dalam diriku—entitas parasit itu berusaha memecah esensi asing ini, memahami strukturnya.

Rasa sakitnya datang tidak seperti dari Spirit Ore. Bukan rasa terbakar, tapi rasa beku. Seperti es yang menyebar melalui pembuluh darahku, membekukan segala sesuatu di jalurnya. Napasku membentuk kabut putih. Ujung jariku kebas.

Tapi di balik rasa sakit yang membeku itu, ada sesuatu yang lain... *kejernihan_.

......

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dari Budak Menjadi Bencana   BAB 75: GERBANG DARI KESEIMBANGAN BARU

    Ketenangan pasca-Festival adalah jenis yang produktif, penuh dengan getaran energi yang fokus dan tenang. Pusaran Penyesalan yang telah berubah menjadi Danau yang Tenang, dan The Silence yang kini menjadi Pengamat, telah membuka lapisan realitas yang sebelumnya tertutup oleh konflik mereka.Yang Terkubur adalah yang pertama merasakannya."Ada... pintu yang terbuka,"bisiknya di dalam kesadaranku, suaranya penuh rasa kagum yang dalam. "Jalur-jalur yang terputus sejak Pemilihan Purba... kini bergetar kembali. Mereka memanggil."Peta realitas kami, yang sebelumnya berfokus pada dimensi-dimensi "yang aktif" dan terhubung melalui jaringan Rhizome, kini menunjukkan titik-titik baru—node-node yang samar dan berusia sangat tua, berkedip seperti bintang yang baru bangun. Ini adalah Dimensi-Dimensi Primordial, tempat asal mula dari banyak kekuatan dan ras, termasuk kemungkinan asal usul Yang Terkubur sendiri."Energinya sangat stabil, namun sangat berbeda," lapor Feng, menganalisis data dari sal

  • Dari Budak Menjadi Bencana   BAB 74: SIMFONI YANG KEMBALI

    Kembali dari tepian ketiadaan terasa seperti terlahir kembali. Setiap sensasi—desis udara yang disaring melalui kristal ruang komando, berat tubuhku sendiri, bahkan kelelahan mental yang mendalam—terasa begitu tajam dan berharga. Untuk beberapa saat, kami, Kolektif Lima, hanya duduk dalam kesunyian, menikmati kemewahan sederhana berupa menjadi ada.Perubahan di realitas terasa segera. "Laporan dari semua sektor," ucap Feng, suaranya untuk pertama kali dalam kurun waktu yang lama terdengar hampir lega. "Anomali 'penolakan' telah berhenti total. Jejak Air Mata di kolam pusat... bersinar lebih terang dari sebelumnya."Memang benar. Kolam Jejak Air Mata kini memancarkan kelembutan yang hangat, bukan kesedihan yang menusuk. Seolah-olah dengan berdamainya Sang Penjaga dan diamnya Sang Bayangan, luka kosmis itu akhirnya mulai sembuh dengan benar.Tapi pencapaian terbesar datang beberapa hari kemudian.Seorang sejarawan Mycelia, yang sebelumnya gagal mengingat nama pendiri kerajaannya, tiba-t

  • Dari Budak Menjadi Bencana   BAB 73: BAYANGAN YANG TERSISIH

    Danau Penyesalan yang kini tenang bukanlah kemenangan mutlak. Itu adalah gencatan senjata yang rapuh, sebuah luka yang akhirnya berhenti berdarah namun belum sepenuhnya sembuh. Energinya yang dahulu histeris kini berubah menjadi dukacita yang dalam dan hening, bagai sebuah nisan raksasa bagi sebuah pilihan yang mustahil. Getarannya masih terasa di seluruh realitas yang terhubung, tapi kini lebih mirip detak jantung yang sedih daripada jeritan kematian. Namun, dengan tenangnya Danau Penyesalan, sesuatu yang lain justru bangkit. "Laporkan anomali baru," suara Feng terdengar di pusat komando, datar namun mengandung ketegangan. "Bukan penghapusan memori. Ini... sesuatu yang lain. Seperti 'penolakan'." Laporan-laporan serupa berdatangan dari para Penjaga di berbagai dimensi. Di wilayah-wilayah yang sebelumnya terjangkit Amnesia, di mana ingatan telah dipulihkan, kini muncul fenomena aneh. Benda-benda membuang bayangannya sendiri. Suara kehilangan gaungnya. Cermin tidak lagi memantulkan

  • Dari Budak Menjadi Bencana   BAB 72: MAHKOTA YANG RETAK

    Visi figur di atas singgasana yang hancur membekas dalam di kesadaran kolektif kami. Itu bukan lagi sekadar ancaman abstrak bernama "Pusaran Penyesalan", tetapi sebuah pribadi dengan narasi tragis. Sebuah jiwa yang terperangkap dalam pilihan mengerikan yang telah mendefinisikan seluruh keberadaannya. "Figur itu... dia bukan sekadar korban," gumam Feng, memproyeksikan rekaman visi kami untuk dianalisis lebih lanjut oleh timnya. "Dia adalah sumbernya. Nada dasar yang Yang Terkubur rasakan. Penyesalan pertamanya begitu kuat, begitu mendasar, sehingga menarik dan menyatukan semua penyesalan lain di kosmos." "Seperti ratu lebah di sarang kesedihan," tambah Hong dengan analoginya yang blak-blakan. "Lumpuhkan sang ratu, seluruh sarang akan kacau." "Atau, sembuhkan sang ratu, dan seluruh sarang akan menemukan ketenangan," balas Mei Ling dengan penuh harap. Tapi bagaimana caranya menyembuhkan seorang entitas yang mungkin setua waktu itu sendiri? Seorang "penguasa" yang memilih untuk dihuk

  • Dari Budak Menjadi Bencana   BAB 71: DENGAR BISIKAN YANG TERPENDAM

    Kemenangan kecil di depan Pusaran Penyesalan hanyalah sebuah jeda. Seperti luka yang terinfeksi, pusaran itu terus menganga, menelan segala ingatan yang mendekat. Tapi aksi kami membuktikan satu hal: ia bisa dilukai. Bukan dengan pedang atau energi murni, tapi dengan pengakuan akan rasa sakit yang menjadi dasarnya.Kolam Jejak Air Mata di Dataran Netral kini menjadi tempat ziarah. Para utusan dari berbagai penjuru realitas datang tidak hanya untuk menyumbang ingatan, tetapi juga untuk menyaksikan dan merasakan sendiri bukti nyata bahwa penyesalan dan pengampunan memiliki kekuatan nyata. Seorang prajurit dari ras yang ganas, setelah menatap kolam itu lama, tiba-tiba menangis tersedu-sedu, mengingat sebuah pembantaian yang ia pimpin berabad-abad lalu dan belum pernah ia akui. Air matanya, penuh dengan beban yang akhirnya diakui, menetes ke kolam dan menciptakan Jejak Air Mata baru yang bersinar terang.Namun, Feng, si Analis, tidak puas hanya dengan reaksi emosional."Emosi saja tidak c

  • Dari Budak Menjadi Bencana   BAB 70: Jejak Air Mata

    Proyek Akar berjalan dengan laju yang menakjubkan, didorong oleh rasa urgensi kolektif yang hampir teraba. Rhizome Network bangsa Mycelia tumbuh seperti jamur di musim hujan, menjalar melintasi batas-batas dimensi, menciptakan kanvas penyimpanan memori yang hidup dan bernapas. Setiap hari, ribuan—bahkan puluhan ribu—ingatan dari berbagai ras "ditanam" ke dalam jaringan ini. Aku bisa merasakannya, sebuah permadani energi yang semakin kaya dan kompleks, menenun dirinya sendiri di bawah permukaan realitas.Namun, pekerjaan kami baru dimulai. Algoritma "Pemulihan Memori" Feng brilian dalam teori, tetapi dalam praktiknya, ia seperti mencoba menyusun kembali sebuah lukisan uap air yang indah dari bekas-basahnya saja. Jejak energi yang tertinggal samar dan sulit dipahami.Suatu sore, kami berkumpul di ruang kontrol utama, memantau upaya pemulihan salah satu gulungan yang dikosongkan di Aula Memori—catatan tentang "Perjanjian Mata Air Pertama" antara Kedalaman Harmoni dan sebuah ras gunung be

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status