MasukPikiranku, yang tadi berkabut oleh rasa lapar, tiba-tiba menjadi sangat jernih. Dingin itu, entah bagaimana, mempertajam inderaku. Aku bisa mendengar bisikan udara dari lorong yang jauh, melihat butiran debu yang beterbangan dalam cahaya redup dengan kejelasan yang menakjubkan. Itu seperti otakku dicelupkan ke dalam air es.
"Bibit"-ku akhirnya berhasil. Dia menemukan cara memecah esensi jamur itu. Energi dingin yang halus itu diuraikan, disaring, dan diserap. Rasa beku yang menyakitkan itu berangsur reda, digantikan oleh perasaan kenyang yang bersih. Berbeda dengan kepuasan berat dari Spirit Ore, ini seperti minum air jernih setelah kehausan sepanjang hari. Lapar spiritualku mereda, dan pikiranku tetap tajam, waspada. Aku membuka mata yang tidak kusadari terpejam. Aku masih hidup. Bahkan lebih dari itu—aku merasa... baik. Lebih baik daripada setelah menyerap Spirit Ore. Tua Bangka mengamati dari sudutnya, dan untuk pertama kalinya, kurasa melihat sedikit anggukan penghormatan. "Kau bertahan," gumannya. "Bibitmu bisa belajar. Itu bagus. Itu berarti dia lebih dari sekadar parasit bodoh." Dia mendekat lagi, suaranya rendah. "Sekarang kau mengerti. Dunia ini penuh dengan energi, Wa Lang. Yang kasar dan yang halus. Yang jahat dan yang... netral. Kebanyakan cultivation hanya mencari yang murni dan kuat. Tapi di tempat kotor seperti ini, kemewahan seperti itu tidak ada. Kita harus bisa memakan semuanya. Tahu cara mencerna racun, dan tahu racun mana yang akan membuatmu kuat, bukan membunuhmu." Dia memberiku jamur biru utuh itu. "Sembunyikan. Ini akan menjadi jatah daruratmu. Tapi ingat—terlalu banyak, dan kau akan membeku dari dalam. Bibitmu masih belajar." Aku memegang jamur biru itu, merasakan dinginnya yang nyaman. Ini adalah pelajaran pertamaku dalam seni meracun: terkadang, racun adalah obat. Dan di dunia yang sudah beracun ini, kemampuan untuk membedakannya mungkin adalah keterampilan bertahan hidup yang paling berharga. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung lama. Pengawas Yan muncul di pintu sel, wajahnya tanpa ekspresi. Matanya yang tajam langsung tertuju padaku, seolah bisa mencium perubahan energiku yang baru saja terjadi. "Wa Lang," panggilnya, suaranya datar. "Percobaan hari ini lebih ambisius. Aku telah mengamankan sampel 'Kabut Jiwa' dari Terowongan Hantu. Kau akan mencoba menyerapnya." Kabut Jiwa. Namanya saja sudah membuat darahku membeku, sebuah sensasi yang kini sangat kumengerti. Tua Bangka menunduk, menyembunyikan ekspresinya. Tapi aku melihat genggaman tangannya yang putih. Ini bukan lagi tentang bertahan hidup dengan mencari makanan. Ini tentang dipaksa menelan racun yang lebih mematikan, hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu seorang ilmuwan gila. Aku memandangi jamur biru di tanganku, lalu menatap Pengawas Yan. Pelajaran meracunku baru saja dimulai, dan ujiannya sudah tiba. ------- Kabut Jiwa. Namanya saja sudah membuatku merinding. Bahkan sebelum aku melihatnya, aku bisa merasakan "Bibit" di perutku bergerak gelisah. Bukan antisipasi seperti terhadap Spirit Ore, bukan kehati-hatian seperti terhadap Jamur Bulan Kelam, tapi sebuah getaran ketakutan yang dalam dan purba. Sebuah peringatan naluriah. Pengawas Yan membawaku ke sebuah ruangan yang belum pernah kulihat sebelumnya, terletak di balik laboratorium pribadinya. Ruangan ini lebih kecil, tanpa jendela, dan dindingnya dilapisi lempengan logam kusam yang terasa dingin saat disentuh. Di tengah ruangan, terdapat sebuah formasi lingkaran yang diukir di lantai batu, dipenuhi dengan karakter-karakter yang berputar dan berkelap-kelip dengan cahaya merah tua yang tidak menenangkan. Di tengah formasi itu, sebuah wadah batu hitam memancarkan kabut. Bukan kabut biasa. Ini adalah kabut yang hidup, bergerak, dan—menurutku—berpikir. Warnanya abu-abu keperakan, tetapi di dalamnya berkelip-kilap cahaya-cahaya kecil seperti kunang-kunang yang sekarat. Kabut itu bergulung-gulung perlahan, terkadang membentuk wajah-wajah samar yang memekik dalam kesunyian, terkadang meraih keluar dengan tangan-tangan uap yang putus seketika menyentuh batas formasi. Suara desisnya halus, seperti angin berbisik melalui daun-daun kering, tapi jika kau mendengarkan dengan saksama, kau bisa mendengar teriakan-teriakan kecil yang tertahan di dalamnya. Jiwa, pikirku dengan ngeri. Ini adalah kabut yang terbuat dari jiwa-jiwa yang dihancurkan dan belum menemukan peristirahatan. "Bibit"-ku mendesakku untuk mundur. Ini adalah insting bertahan hidup yang paling dasar. "Konsentrasi energi spiritual murni," ujar Pengawas Yan dengan suara datar, seolah sedang menjelaskan spesimen biasa. "Tersusun dari sisa-sisa kesadaran budak yang telah diproses di Ruang Rendah. Sangat tidak stabil, sangat berbahaya. Tidak ada budak atau kultivator biasa yang bisa menanganinya tanpa mengalami kerusakan mental yang parah." Dia menatapku, matanya bersinar dengan api ilmiah yang dingin. "Tapi 'Bibit'-mu... dia telah menunjukkan kemampuan untuk mencerna yang tidak dapat dicerna. Mari kita lihat batasnya." Dia tidak memberiku pilihan. Itu bukan sebuah permintaan. Seorang pengawas bersenjata berdiri di pintu, tangannya berada di gagang pedangnya. "Masuklah ke dalam formasi," perintah Yan. "Duduklah di hadapan wadah itu. Dan... bertahanlah." Kaki terasa seperti terbuat dari timah. Setiap langkah mendekati lingkaran itu terasa seperti berjalan menuju tiang gantunganku sendiri. Saat aku melintasi batas formasi, suhu udara langsung berubah. Menjadi dingin, tapi dingin yang aneh—dingin yang menusuk jiwa, bukan tubuh. Teriakan-teriakan samar di dalam kabut itu menjadi sedikit lebih keras, lebih putus asa. Aku duduk, berlutut di depan wadah batu. Dari dekat, wajah-wajah di dalam kabut itu lebih jelas. Aku melihat mata yang melebar penuh kengerian, mulut yang terbuka untuk teriakan yang tak pernah keluar. Mereka adalah sisa-sisa orang-orang seperti aku. Budak. Pupuk. Tidak, pikirku memberontak. Aku tidak akan menjadi seperti mereka. "Bibit"-ku sekarang bergetar hebat, seperti anak kucing yang ketakutan. Rasa laparnya hilang, digantikan oleh ketakutan murni. Dia tidak menginginkan ini. Ini adalah makanan yang salah. "Mulai," perintah Yan dari luar formasi. Tidak ada cara untuk "mulai". Aku hanya duduk di sana, ketakutan. Lalu, Pengawas Yan mengucapkan sebuah kata pendek dan tajam. Formasi di lantai menyala merah menyala, dan kabut di dalam wadah itu mendidih. Sebuah tendangan kabut abu-abu yang padat menyembur keluar, membungkus kepalaku, memaksakan dirinya masuk ke dalam hidung, mulut, dan mataku. Dunia lenyap. --- Aku tidak lagi berada di ruangan batu. Aku berada di sebuah ruang tanpa batas, berwarna abu-abu dan putih, dipenuhi oleh suara. Bukan suara fisik, tapi gema dari kenangan, emosi, dan rasa sakit yang terpendam. "...tolong, aku janji akan bekerja lebih keras..." sebuah suara anak-anak merengek. "...jangan ambil dia, ambil aku saja!"teriakan seorang perempuan. "...mengapa? Apa dosa kami?"erangan lirih seorang lelaki tua. "...IBU!"sebuah jeritan yang memilukan. Ribuan suara. Ratusan ribu. Semuanya berteriak, memohon, mengutuk. Mereka adalah gema dari jiwa-jiwa yang telah dihancurkan di tambang ini, dan sekarang mereka membanjiri pikiranku, mencoba untuk mengikis identitasku dan menjadikannya bagian dari koleksi penderitaan mereka. Kepalaku terasa akan meledak. Aku berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar. Ini lebih buruk dari rasa sakit fisik mana pun. Ini adalah penyiksaan spiritual murni. "Bibit"-ku menjerit bersamaku. Dia tenggelam. Energi Kabut Jiwa ini terlalu murni, terlalu sadar. Dia bukanlah sesuatu yang bisa dicerna begitu saja. Dia adalah sebuah lautan penderitaan, dan kami hanyalah setetes air di dalamnya. Tapi kemudian, sesuatu yang lain muncul. Sebuah perasaan... pengakuan. Di tengah badai suara yang menyiksa itu, "Bibit"-ku berhenti melawan. Dia berhenti mencoba untuk menolak atau menelan. Sebaliknya, dia... membuka diri. Bukan untuk dimasuki, tapi untuk merasakan. Aku tiba-tiba merasakan keputusasaan seorang ayah yang menyaksikan anaknya dijadikan pupuk. Aku merasakan kemarahan seorang pemuda yang tubuhnya dihancurkan untuk batu. Aku merasakan ketakutan seorang anak yang mati sendirian dalam kegelapan. Semua emosi ini, semua kenangan yang tersisa, mengalir melalui "Bibit"-ku, dan karena dia adalah bagian dariku, mereka mengalir melaluiku juga. Dan sesuatu yang aneh terjadi. "Bibit"-ku tidak mencerna mereka. Dia tidak memecahnya menjadi energi mentah. Sebaliknya, dia menyimpannya. Seperti sebuah perpustakaan yang penuh dengan penderitaan. Setiap teriakan, setiap erangan, setiap air mata, diserap dan diberi tempat di dalam ruang hampa yang sebelumnya hanya diisi oleh rasa lapar. Rasa sakitnya tidak serta merta hilang. Itu masih ada, membakar, mengoyak-ngoyak batas jiwaku. Tapi sekarang, itu tidak lagi asing. Itu menjadi... dipahami. Kami menderita, bisik suara-suara itu, sekarang lebih koheren, kurang kacau. Kami marah. Kami takut.... ------- Author "Halo! apakah saya harus menambahkan judul di setiap bab atau tidak?"Ketenangan pasca-Festival adalah jenis yang produktif, penuh dengan getaran energi yang fokus dan tenang. Pusaran Penyesalan yang telah berubah menjadi Danau yang Tenang, dan The Silence yang kini menjadi Pengamat, telah membuka lapisan realitas yang sebelumnya tertutup oleh konflik mereka.Yang Terkubur adalah yang pertama merasakannya."Ada... pintu yang terbuka,"bisiknya di dalam kesadaranku, suaranya penuh rasa kagum yang dalam. "Jalur-jalur yang terputus sejak Pemilihan Purba... kini bergetar kembali. Mereka memanggil."Peta realitas kami, yang sebelumnya berfokus pada dimensi-dimensi "yang aktif" dan terhubung melalui jaringan Rhizome, kini menunjukkan titik-titik baru—node-node yang samar dan berusia sangat tua, berkedip seperti bintang yang baru bangun. Ini adalah Dimensi-Dimensi Primordial, tempat asal mula dari banyak kekuatan dan ras, termasuk kemungkinan asal usul Yang Terkubur sendiri."Energinya sangat stabil, namun sangat berbeda," lapor Feng, menganalisis data dari sal
Kembali dari tepian ketiadaan terasa seperti terlahir kembali. Setiap sensasi—desis udara yang disaring melalui kristal ruang komando, berat tubuhku sendiri, bahkan kelelahan mental yang mendalam—terasa begitu tajam dan berharga. Untuk beberapa saat, kami, Kolektif Lima, hanya duduk dalam kesunyian, menikmati kemewahan sederhana berupa menjadi ada.Perubahan di realitas terasa segera. "Laporan dari semua sektor," ucap Feng, suaranya untuk pertama kali dalam kurun waktu yang lama terdengar hampir lega. "Anomali 'penolakan' telah berhenti total. Jejak Air Mata di kolam pusat... bersinar lebih terang dari sebelumnya."Memang benar. Kolam Jejak Air Mata kini memancarkan kelembutan yang hangat, bukan kesedihan yang menusuk. Seolah-olah dengan berdamainya Sang Penjaga dan diamnya Sang Bayangan, luka kosmis itu akhirnya mulai sembuh dengan benar.Tapi pencapaian terbesar datang beberapa hari kemudian.Seorang sejarawan Mycelia, yang sebelumnya gagal mengingat nama pendiri kerajaannya, tiba-t
Danau Penyesalan yang kini tenang bukanlah kemenangan mutlak. Itu adalah gencatan senjata yang rapuh, sebuah luka yang akhirnya berhenti berdarah namun belum sepenuhnya sembuh. Energinya yang dahulu histeris kini berubah menjadi dukacita yang dalam dan hening, bagai sebuah nisan raksasa bagi sebuah pilihan yang mustahil. Getarannya masih terasa di seluruh realitas yang terhubung, tapi kini lebih mirip detak jantung yang sedih daripada jeritan kematian. Namun, dengan tenangnya Danau Penyesalan, sesuatu yang lain justru bangkit. "Laporkan anomali baru," suara Feng terdengar di pusat komando, datar namun mengandung ketegangan. "Bukan penghapusan memori. Ini... sesuatu yang lain. Seperti 'penolakan'." Laporan-laporan serupa berdatangan dari para Penjaga di berbagai dimensi. Di wilayah-wilayah yang sebelumnya terjangkit Amnesia, di mana ingatan telah dipulihkan, kini muncul fenomena aneh. Benda-benda membuang bayangannya sendiri. Suara kehilangan gaungnya. Cermin tidak lagi memantulkan
Visi figur di atas singgasana yang hancur membekas dalam di kesadaran kolektif kami. Itu bukan lagi sekadar ancaman abstrak bernama "Pusaran Penyesalan", tetapi sebuah pribadi dengan narasi tragis. Sebuah jiwa yang terperangkap dalam pilihan mengerikan yang telah mendefinisikan seluruh keberadaannya. "Figur itu... dia bukan sekadar korban," gumam Feng, memproyeksikan rekaman visi kami untuk dianalisis lebih lanjut oleh timnya. "Dia adalah sumbernya. Nada dasar yang Yang Terkubur rasakan. Penyesalan pertamanya begitu kuat, begitu mendasar, sehingga menarik dan menyatukan semua penyesalan lain di kosmos." "Seperti ratu lebah di sarang kesedihan," tambah Hong dengan analoginya yang blak-blakan. "Lumpuhkan sang ratu, seluruh sarang akan kacau." "Atau, sembuhkan sang ratu, dan seluruh sarang akan menemukan ketenangan," balas Mei Ling dengan penuh harap. Tapi bagaimana caranya menyembuhkan seorang entitas yang mungkin setua waktu itu sendiri? Seorang "penguasa" yang memilih untuk dihuk
Kemenangan kecil di depan Pusaran Penyesalan hanyalah sebuah jeda. Seperti luka yang terinfeksi, pusaran itu terus menganga, menelan segala ingatan yang mendekat. Tapi aksi kami membuktikan satu hal: ia bisa dilukai. Bukan dengan pedang atau energi murni, tapi dengan pengakuan akan rasa sakit yang menjadi dasarnya.Kolam Jejak Air Mata di Dataran Netral kini menjadi tempat ziarah. Para utusan dari berbagai penjuru realitas datang tidak hanya untuk menyumbang ingatan, tetapi juga untuk menyaksikan dan merasakan sendiri bukti nyata bahwa penyesalan dan pengampunan memiliki kekuatan nyata. Seorang prajurit dari ras yang ganas, setelah menatap kolam itu lama, tiba-tiba menangis tersedu-sedu, mengingat sebuah pembantaian yang ia pimpin berabad-abad lalu dan belum pernah ia akui. Air matanya, penuh dengan beban yang akhirnya diakui, menetes ke kolam dan menciptakan Jejak Air Mata baru yang bersinar terang.Namun, Feng, si Analis, tidak puas hanya dengan reaksi emosional."Emosi saja tidak c
Proyek Akar berjalan dengan laju yang menakjubkan, didorong oleh rasa urgensi kolektif yang hampir teraba. Rhizome Network bangsa Mycelia tumbuh seperti jamur di musim hujan, menjalar melintasi batas-batas dimensi, menciptakan kanvas penyimpanan memori yang hidup dan bernapas. Setiap hari, ribuan—bahkan puluhan ribu—ingatan dari berbagai ras "ditanam" ke dalam jaringan ini. Aku bisa merasakannya, sebuah permadani energi yang semakin kaya dan kompleks, menenun dirinya sendiri di bawah permukaan realitas.Namun, pekerjaan kami baru dimulai. Algoritma "Pemulihan Memori" Feng brilian dalam teori, tetapi dalam praktiknya, ia seperti mencoba menyusun kembali sebuah lukisan uap air yang indah dari bekas-basahnya saja. Jejak energi yang tertinggal samar dan sulit dipahami.Suatu sore, kami berkumpul di ruang kontrol utama, memantau upaya pemulihan salah satu gulungan yang dikosongkan di Aula Memori—catatan tentang "Perjanjian Mata Air Pertama" antara Kedalaman Harmoni dan sebuah ras gunung be







