Share

bab 7

Author: Ghoos book
last update Last Updated: 2025-10-07 06:30:45

Pikiranku, yang tadi berkabut oleh rasa lapar, tiba-tiba menjadi sangat jernih. Dingin itu, entah bagaimana, mempertajam inderaku. Aku bisa mendengar bisikan udara dari lorong yang jauh, melihat butiran debu yang beterbangan dalam cahaya redup dengan kejelasan yang menakjubkan. Itu seperti otakku dicelupkan ke dalam air es.

"Bibit"-ku akhirnya berhasil. Dia menemukan cara memecah esensi jamur itu. Energi dingin yang halus itu diuraikan, disaring, dan diserap. Rasa beku yang menyakitkan itu berangsur reda, digantikan oleh perasaan kenyang yang bersih. Berbeda dengan kepuasan berat dari Spirit Ore, ini seperti minum air jernih setelah kehausan sepanjang hari. Lapar spiritualku mereda, dan pikiranku tetap tajam, waspada.

Aku membuka mata yang tidak kusadari terpejam. Aku masih hidup. Bahkan lebih dari itu—aku merasa... baik. Lebih baik daripada setelah menyerap Spirit Ore.

Tua Bangka mengamati dari sudutnya, dan untuk pertama kalinya, kurasa melihat sedikit anggukan penghormatan.

"Kau bertahan," gumannya. "Bibitmu bisa belajar. Itu bagus. Itu berarti dia lebih dari sekadar parasit bodoh." Dia mendekat lagi, suaranya rendah. "Sekarang kau mengerti. Dunia ini penuh dengan energi, Wa Lang. Yang kasar dan yang halus. Yang jahat dan yang... netral. Kebanyakan cultivation hanya mencari yang murni dan kuat. Tapi di tempat kotor seperti ini, kemewahan seperti itu tidak ada. Kita harus bisa memakan semuanya. Tahu cara mencerna racun, dan tahu racun mana yang akan membuatmu kuat, bukan membunuhmu."

Dia memberiku jamur biru utuh itu. "Sembunyikan. Ini akan menjadi jatah daruratmu. Tapi ingat—terlalu banyak, dan kau akan membeku dari dalam. Bibitmu masih belajar."

Aku memegang jamur biru itu, merasakan dinginnya yang nyaman. Ini adalah pelajaran pertamaku dalam seni meracun: terkadang, racun adalah obat. Dan di dunia yang sudah beracun ini, kemampuan untuk membedakannya mungkin adalah keterampilan bertahan hidup yang paling berharga.

Namun, kedamaian itu tidak berlangsung lama.

Pengawas Yan muncul di pintu sel, wajahnya tanpa ekspresi. Matanya yang tajam langsung tertuju padaku, seolah bisa mencium perubahan energiku yang baru saja terjadi.

"Wa Lang," panggilnya, suaranya datar. "Percobaan hari ini lebih ambisius. Aku telah mengamankan sampel 'Kabut Jiwa' dari Terowongan Hantu. Kau akan mencoba menyerapnya."

Kabut Jiwa. Namanya saja sudah membuat darahku membeku, sebuah sensasi yang kini sangat kumengerti.

Tua Bangka menunduk, menyembunyikan ekspresinya. Tapi aku melihat genggaman tangannya yang putih.

Ini bukan lagi tentang bertahan hidup dengan mencari makanan. Ini tentang dipaksa menelan racun yang lebih mematikan, hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu seorang ilmuwan gila.

Aku memandangi jamur biru di tanganku, lalu menatap Pengawas Yan.

Pelajaran meracunku baru saja dimulai, dan ujiannya sudah tiba.

-------

Kabut Jiwa.

Namanya saja sudah membuatku merinding. Bahkan sebelum aku melihatnya, aku bisa merasakan "Bibit" di perutku bergerak gelisah. Bukan antisipasi seperti terhadap Spirit Ore, bukan kehati-hatian seperti terhadap Jamur Bulan Kelam, tapi sebuah getaran ketakutan yang dalam dan purba. Sebuah peringatan naluriah.

Pengawas Yan membawaku ke sebuah ruangan yang belum pernah kulihat sebelumnya, terletak di balik laboratorium pribadinya. Ruangan ini lebih kecil, tanpa jendela, dan dindingnya dilapisi lempengan logam kusam yang terasa dingin saat disentuh. Di tengah ruangan, terdapat sebuah formasi lingkaran yang diukir di lantai batu, dipenuhi dengan karakter-karakter yang berputar dan berkelap-kelip dengan cahaya merah tua yang tidak menenangkan. Di tengah formasi itu, sebuah wadah batu hitam memancarkan kabut.

Bukan kabut biasa.

Ini adalah kabut yang hidup, bergerak, dan—menurutku—berpikir. Warnanya abu-abu keperakan, tetapi di dalamnya berkelip-kilap cahaya-cahaya kecil seperti kunang-kunang yang sekarat.

Kabut itu bergulung-gulung perlahan, terkadang membentuk wajah-wajah samar yang memekik dalam kesunyian, terkadang meraih keluar dengan tangan-tangan uap yang putus seketika menyentuh batas formasi. Suara desisnya halus, seperti angin berbisik melalui daun-daun kering, tapi jika kau mendengarkan dengan saksama, kau bisa mendengar teriakan-teriakan kecil yang tertahan di dalamnya.

Jiwa, pikirku dengan ngeri. Ini adalah kabut yang terbuat dari jiwa-jiwa yang dihancurkan dan belum menemukan peristirahatan.

"Bibit"-ku mendesakku untuk mundur. Ini adalah insting bertahan hidup yang paling dasar.

"Konsentrasi energi spiritual murni," ujar Pengawas Yan dengan suara datar, seolah sedang menjelaskan spesimen biasa. "Tersusun dari sisa-sisa kesadaran budak yang telah diproses di Ruang Rendah. Sangat tidak stabil, sangat berbahaya. Tidak ada budak atau kultivator biasa yang bisa menanganinya tanpa mengalami kerusakan mental yang parah." Dia menatapku, matanya bersinar dengan api ilmiah yang dingin. "Tapi 'Bibit'-mu... dia telah menunjukkan kemampuan untuk mencerna yang tidak dapat dicerna. Mari kita lihat batasnya."

Dia tidak memberiku pilihan. Itu bukan sebuah permintaan. Seorang pengawas bersenjata berdiri di pintu, tangannya berada di gagang pedangnya.

"Masuklah ke dalam formasi," perintah Yan. "Duduklah di hadapan wadah itu. Dan... bertahanlah."

Kaki terasa seperti terbuat dari timah. Setiap langkah mendekati lingkaran itu terasa seperti berjalan menuju tiang gantunganku sendiri. Saat aku melintasi batas formasi, suhu udara langsung berubah. Menjadi dingin, tapi dingin yang aneh—dingin yang menusuk jiwa, bukan tubuh. Teriakan-teriakan samar di dalam kabut itu menjadi sedikit lebih keras, lebih putus asa.

Aku duduk, berlutut di depan wadah batu. Dari dekat, wajah-wajah di dalam kabut itu lebih jelas. Aku melihat mata yang melebar penuh kengerian, mulut yang terbuka untuk teriakan yang tak pernah keluar. Mereka adalah sisa-sisa orang-orang seperti aku. Budak. Pupuk.

Tidak, pikirku memberontak. Aku tidak akan menjadi seperti mereka.

"Bibit"-ku sekarang bergetar hebat, seperti anak kucing yang ketakutan. Rasa laparnya hilang, digantikan oleh ketakutan murni. Dia tidak menginginkan ini. Ini adalah makanan yang salah.

"Mulai," perintah Yan dari luar formasi.

Tidak ada cara untuk "mulai". Aku hanya duduk di sana, ketakutan.

Lalu, Pengawas Yan mengucapkan sebuah kata pendek dan tajam. Formasi di lantai menyala merah menyala, dan kabut di dalam wadah itu mendidih. Sebuah tendangan kabut abu-abu yang padat menyembur keluar, membungkus kepalaku, memaksakan dirinya masuk ke dalam hidung, mulut, dan mataku.

Dunia lenyap.

---

Aku tidak lagi berada di ruangan batu. Aku berada di sebuah ruang tanpa batas, berwarna abu-abu dan putih, dipenuhi oleh suara. Bukan suara fisik, tapi gema dari kenangan, emosi, dan rasa sakit yang terpendam.

"...tolong, aku janji akan bekerja lebih keras..." sebuah suara anak-anak merengek.

"...jangan ambil dia, ambil aku saja!"teriakan seorang perempuan.

"...mengapa? Apa dosa kami?"erangan lirih seorang lelaki tua.

"...IBU!"sebuah jeritan yang memilukan.

Ribuan suara. Ratusan ribu. Semuanya berteriak, memohon, mengutuk. Mereka adalah gema dari jiwa-jiwa yang telah dihancurkan di tambang ini, dan sekarang mereka membanjiri pikiranku, mencoba untuk mengikis identitasku dan menjadikannya bagian dari koleksi penderitaan mereka.

Kepalaku terasa akan meledak. Aku berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar. Ini lebih buruk dari rasa sakit fisik mana pun. Ini adalah penyiksaan spiritual murni.

"Bibit"-ku menjerit bersamaku. Dia tenggelam. Energi Kabut Jiwa ini terlalu murni, terlalu sadar. Dia bukanlah sesuatu yang bisa dicerna begitu saja. Dia adalah sebuah lautan penderitaan, dan kami hanyalah setetes air di dalamnya.

Tapi kemudian, sesuatu yang lain muncul. Sebuah perasaan... pengakuan.

Di tengah badai suara yang menyiksa itu, "Bibit"-ku berhenti melawan. Dia berhenti mencoba untuk menolak atau menelan. Sebaliknya, dia... membuka diri.

Bukan untuk dimasuki, tapi untuk merasakan.

Aku tiba-tiba merasakan keputusasaan seorang ayah yang menyaksikan anaknya dijadikan pupuk. Aku merasakan kemarahan seorang pemuda yang tubuhnya dihancurkan untuk batu. Aku merasakan ketakutan seorang anak yang mati sendirian dalam kegelapan. Semua emosi ini, semua kenangan yang tersisa, mengalir melalui "Bibit"-ku, dan karena dia adalah bagian dariku, mereka mengalir melaluiku juga.

Dan sesuatu yang aneh terjadi.

"Bibit"-ku tidak mencerna mereka. Dia tidak memecahnya menjadi energi mentah. Sebaliknya, dia menyimpannya. Seperti sebuah perpustakaan yang penuh dengan penderitaan. Setiap teriakan, setiap erangan, setiap air mata, diserap dan diberi tempat di dalam ruang hampa yang sebelumnya hanya diisi oleh rasa lapar.

Rasa sakitnya tidak serta merta hilang. Itu masih ada, membakar, mengoyak-ngoyak batas jiwaku. Tapi sekarang, itu tidak lagi asing. Itu menjadi... dipahami.

Kami menderita, bisik suara-suara itu, sekarang lebih koheren, kurang kacau.

Kami marah.

Kami takut....

-------

Author "Halo! apakah saya harus menambahkan judul di setiap bab atau tidak?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dari Budak Menjadi Bencana   bab 7

    Pikiranku, yang tadi berkabut oleh rasa lapar, tiba-tiba menjadi sangat jernih. Dingin itu, entah bagaimana, mempertajam inderaku. Aku bisa mendengar bisikan udara dari lorong yang jauh, melihat butiran debu yang beterbangan dalam cahaya redup dengan kejelasan yang menakjubkan. Itu seperti otakku dicelupkan ke dalam air es."Bibit"-ku akhirnya berhasil. Dia menemukan cara memecah esensi jamur itu. Energi dingin yang halus itu diuraikan, disaring, dan diserap. Rasa beku yang menyakitkan itu berangsur reda, digantikan oleh perasaan kenyang yang bersih. Berbeda dengan kepuasan berat dari Spirit Ore, ini seperti minum air jernih setelah kehausan sepanjang hari. Lapar spiritualku mereda, dan pikiranku tetap tajam, waspada.Aku membuka mata yang tidak kusadari terpejam. Aku masih hidup. Bahkan lebih dari itu—aku merasa... baik. Lebih baik daripada setelah menyerap Spirit Ore.Tua Bangka mengamati dari sudutnya, dan untuk pertama kalinya, kurasa melihat sedikit anggukan penghormatan."Kau be

  • Dari Budak Menjadi Bencana   Bab 6

    Tiga hari.Tiga hari sejak "matahari" kecil di perutku membangunkan aku dengan rasa lapar yang menggerogoti. Bukan lapar perut biasa, tapi sensasi mengerikan seperti seluruh sel tubuhku merengek untuk diisi bahan bakar. Kantong kulit berisi Spirit Ore dari Pengawas Yan sudah kosong sejak kemarin. Sekarang, yang tersisa hanya kekosongan yang menusuk.Aku berjongkok di sudut lorong tambang yang sepi, mencoba mengatur napas. Setiap tarikan udara terasa seperti menyedot sisa-sisa energiku. Penglihatanku sedikit berkunang-kunang. "Bibit"-ku, yang sebelumnya hangat dan berdenyut penuh tenaga, sekarang terasa seperti bara yang padam, dingin tapi masih menyimpan sisa kepedihan yang menusuk.Makan...Bukan suara. Bukan kata. Tapi sebuah desakan primitif yang muncul dari inti keberadaanku. Sebuah insting buta yang mendesakku untuk mencari, mengambil, menelan. Apapun."Lihat dia," sebuah suara mencemooh dari lorong. Borok. Dia berdiri dengan dua budak barunya—dua orang yang tak kukenal, dengan m

  • Dari Budak Menjadi Bencana   Bab 5

    "Matahari" kecil di perutku itu adalah seorang tiran.Dia tidak lagi hanya diam dan dingin, atau sekadar berdenyut lemah. Sekarang, dia adalah pusat dari segala hal. Setiap napas, setiap detak jantung, terasa seperti mengorbit pada kehangatannya yang menggigit. Kekuatan yang kurasakan usai menghancurkan Spirit Ore itu belum juga reda. Otot-ototku tegang, penuh dengan energi yang tidak bisa kutumpahkan. Pikiranku jernih, tajam, tapi di balik kejernihan itu ada desisan halus—bisikan dari sang tiran.Lapar.Kata itu bukan lagi sebuah perasaan. Itu adalah sebuah perintah yang terpatri di setiap sel tubuhku.Tua Bangka memandangiku dari seberang sel, matanya seperti dua lubang hitam di wajahnya yang keriput. "Dia bangun, dan sekarang kau harus memberinya makan. Atau dia akan memakanmu dari dalam." Ucapannya bukan ramalan, tapi pernyataan fakta, seperti menyebut bahwa air itu basah.Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap tanganku yang hangus. Kulitnya menghitam dan mengelupas, tapi di bawahn

  • Dari Budak Menjadi Bencana   Bab 4

    Kegelapan di lorong galian baru ini lebih pekat, lebih personal. Udara berdebu dan sesak, seolah dinding batu itu sendiri yang bernafas dengan berat di sekeliling kami. Bunyi pickaxe dan sekop bergema hampa, diselingi erangan sesekali. Tidak ada yang berbicara. Bahasa di sini adalah bahasa tatapan penuh dendam yang ditujukan padaku.Borok menugaskanku di ujung lorong, area yang paling rawan. Atapnya rendah, ditopang oleh kayu-kayu penyangga yang sudah reyot dan berderak menahan beban. Butiran-butiran kerikil kecil sesekali berhamburan dari atas, seperti tetesan hujan sebelum badai longsor."Gali di sini, 'Jenius'," perintah Borok, menunjuk ke sebuah bidang batu yang keras. "Konon, ada urat 'Spirit Ore' berkualitas di baliknya. Keluarkan."Dia dan kedua anak buahnya tidak pergi. Mereka hanya mundur beberapa langkah, bersandar di dinding, menonton. Aku tahu apa yang mereka tunggu. Mereka menunggu atap itu runtuh menimpaku.Tarik napas. Fokus.Aku mengambil beliung dan mulai memukul batu

  • Dari Budak Menjadi Bencana   Bab 3

    Rasa hangat di ulu hati itu tidak kunjung hilang.Berbeda dengan dinginnya lantai sel dan hawa putus asa yang menggigiti tulang. "Bibit Kegelapan"-ku, yang kemarin hanya seperti bongkahan es, sekarang terasa seperti bara kecil yang tertidur. Setiap kali napasku sedikit terengah—kenangan akan uap hijau beracun itu—bara itu seakan berdenyut lemah, merespons sesuatu.Aku tidak bisa tidur. Peringatan Tua Bangka bergema di kepalaku. "Koleksi." Kata itu jauh lebih menakutkan daripada ancaman kasar Borok. Seorang kolektor menginginkan benda yang terpelihara, bukan manusia yang bebas. Apa yang diinginkan Pengawas Yan dariku? Apakah dia ingin mempelajari "tebakanku" sampai habis, lalu membuangku ketika aku tidak lagi berguna?Sirine batu berbunyi lagi. Hari kedua di neraka.Borok sendiri yang membukakan selku, wajahnya keruh seperti langit sebelum badai. "Ayo, 'jenius'. Pengawas Yan menunggumu." Dia menyeringai, tapi ada rasa was-was di balik ejekannya. Aku telah menjadi variabel yang tidak te

  • Dari Budak Menjadi Bencana   Bab 2

    Tidak ada matahari yang terbit di Tambang Jiwa Berdarah. Hanya sirine batu bergetar yang memancarkan cahaya merah menyala, menandakan awal hari kerja yang baru—atau bagi kami, perpanjangan hukuman.Tubuhku masih pegal dan memar setelah benturan dengan dinding batu. Tapi rasa sakit itu tenggelam oleh dinginnya kematian yang menjalar dari ulu hatiku. "Bibit Kegelapan". Sekarang aku menyadari kehadirannya sepanjang waktu, seperti tumor ganas yang perlahan-lahan menghisap esensi diriku."Kau."Suara itu seperti gergaji besi.Budak Kepala—yang kuketahui namanya Borok—sudah berdiri di depan sel berjaringan besi kami. Tangannya memegang semacam papan kayu tipis."Wa Lang. Terowongan Beracun. Sektor 4. Pembersihan saluran utama." Dia menyemburkan kata-kata itu dengan senyum puas. Beberapa budak lain yang mendengar, mengerang simpati atau justru menarik diri, berharap tidak jadi sasaran berikutnya.Tua Bangka, yang tidur di sudut sel, membuka satu matanya. Ada seberkas peringatan di dalamnya se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status