Beberapa hari kemudian.Nathan berdiri di dalam ruang kerjanya yang sempit sambil menatap surat yang telah menjadi abu di depannya.Suara pintu diketuk pelan.“Kau dipanggil Yang Mulia ke ruang pertemuan utama,” ujar seorang penjaga.Nathan menunduk cepat dan membereskan abu yang tersisa, lalu melangkah keluar.Di lorong menuju aula istana, Nathan berpapasan dengan Sekar dan Dasman.Mereka tampak berbincang pelan. Sekar tertawa kecil akan sesuatu yang dikatakan suaminya.Nathan sempat terpaku. Jantungnya berdenyut cepat tanpa alasan yang bisa ia terima logikanya.Saat mereka berpapasan, Sekar melihat Nathan lebih dulu.“Oh… tuan,” sapa Sekar ramah.Nathan buru-buru menunduk sopan. “Selamat siang…”Lalu ia menoleh ke Dasman, tubuhnya tegap memberi hormat.“Panglima Dasman. Kehormatan bagi saya bisa bertemu langsung.”Dasman mengangguk singkat. “Ah, kau juru tulis kerajaan yang cerdas itu, ya? Nathan, bukan?”“Benar, Tuan. Terima kasih atas pujian anda,” jawab Nathan, menahan suara teta
Keesokan harinya, jeritan pelayan mengguncang seisi istana.“Mayat! Ada Mayat di dalam sumur!!”Pasukan segera mengepung area itu. Mayat yang membengkak dan pucat ditarik dari dalam air. Gaun lusuh namun masih memperlihatkan motif khas kerajaan.Wajahnya nyaris tak dikenali kecuali oleh satu orang yang langsung berteriak histeris saat melihat anting satu sisi di telinga korban.“Itu… itu milik… Selir Hania!”Suasana langsung kacau. Beberapa selir lain menjerit. Syra menangis, memegangi mulutnya. Bahkan Ruvia yang masih terluka, terdiam terpaku dalam duka.**Beberapa jam kemudian…Di pelataran depan istana, rombongan berkuda dari arah utara tiba dengan debu menggumpal di langit.Di barisan terdepan, seorang pria berjubah lambang burung garuda ganda berhenti di atas kudanya dan berteriak nyaring:“AKU MEMINTA KEADILAN ATAS KEMATIAN PUTRIKU!”Gubernur Provinsi Lortha, ayah Selir Hania, turun dari kudanya, wajahnya memerah karena murka dan tangis tertahan.“Putriku dikirim ke istana untu
CLANGG!!Tiba-tiba suara logam menghantam keras dari sisi kiri.Pedang ditangan prajurit mental dijatuhkan sebelum sempat menyentuh leher Elina.Anak panah menancap kuat di punggung tangan prajurit yang mengayunkannya.Semua mata terbelalak.Dari arah gerbang istana, Raeshan berdiri di atas kudanya, busur masih terarah, matanya menyala marah seperti julukannya sebagai dewa perang.“SIAPA YANG BERANI MENYENTUH RATUKU!!” suaranya mengguncang, memecah seluruh kerumunan.Jubah perangnya berkibar garang ditiup angin. Di belakangnya, Dasman dan puluhan pasukan elit bayangan mengepung istana dengan senjata terangkat tinggi.Amaris menoleh perlahan. Tatapan matanya bertemu dengan mata anaknya.Tapi Raeshan tidak memandangnya sebagai ibu. Tatapannya beku, tajam, dan beracun.Langkah kudanya bergemuruh ke halaman, Raeshan melompat turun, mendekati Elina yang sudah berdarah dan nyaris roboh.“Elina…” bisiknya, mendekap tubuh istrinya yang limbung. Tangannya menyentuh luka di bahu Elina, lalu men
Seorang wanita berjubah ungu tua turun dari kereta emas, rambutnya tersanggul anggun dengan mahkota kecil bertatahkan safir.Wajahnya dingin, tegas, tapi tak kehilangan kewibawaan sebagai mantan ratu.Ratu Amaris telah kembali.Ia berjalan masuk ke istana dengan kepala tegak dan langkah pasti, dikelilingi pengawal-pengawal barunya pilihan sendiri dari para biarawan dan mantan loyalis yang dulu dibuang bersamanya.“Panggil semua penjaga! Aku adalah Ratu Azmeria yang sah! Aku ibu dari Kaisar Raeshan!” suaranya menggema, menggetarkan setiap dinding istana.“Usir wanita licik itu dari tempatku!” serunya dengan nada dingin, menunjuk ke arah kediaman Liara yang selama ini dianggap sebagai Ibu Suri.Para prajurit istana yang terkejut dan bingung, tak berani membantah. Mereka hanya menurut, dan dengan cepat menyeret Liara yang tengah duduk membaca bersama kedua cucunya, Kaesari dan Aryan.Liara menjerit ketika tangannya ditarik kasar, tubuhnya diseret ke halaman istana.“Apa-apaan ini?! Aku h
Raeshan menahan tangan Elina pelan di perjalanan kembali ke paviliuan Harmoni. “Malam ini... jangan tidur dengan anak-anak, ya?”Elina menaikkan alis. “Lalu aku tidur dengan siapa?”“Kau tahu jawabannya.”Elina menyeringai menggoda. “Hmm... Kaesari sedang manja. Aryan pun minta kubacakan cerita. Mungkin aku akan tidur di tengah-tengah mereka, biar hangat.”Raeshan memutar bola matanya dan mencubit lembut pipi Elina.“Elina...” bisiknya seperti anak kecil yang merajuk. “Jangan begitu... aku serius.”Elina tertawa pelan, lalu menepuk pipi Raeshan dengan lembut. “Kau lucu sekali saat memohon seperti itu. Baiklah... tapi hanya kalau kau bisa membujuk Aryan dan Kaesari lebih dulu.”“Sepakat,” ucap Raeshan cepat, lalu menggenggam tangan Elina lebih erat.Dari belakang, Sekar dan Dasman berjalan dengan langkah senyap menjaga jarak sopan, tapi mata mereka tak pernah lepas dari keduanya.“Kalau mereka begini terus tiap malam, kapan kita bisa punya malam sendiri?” gumam Dasman.Tanpa menunggu
Kisti terbaring di dasar tangga batu. Gaun merah mudanya tampak kusut, robek di bagian bahu, dan debu menempel di lengan serta pipinya.Di atas anak tangga, dua sosok berdiri tegang, Selir Kelima Haina dan Selir Utama Syra.Wajah Syra memerah karena emosi, sedang Haina menggigit bibir menahan ucapan. Di antara mereka, pelayan-pelayan menunduk cemas.“Dia... dia mendorongku...!” jerit Kisti tiba-tiba, tangannya menunjuk ke atas, ke arah Syra.Syra menegang. “Apa?! Aku hanya menegurmu karena kau belum menyelesaikan tanggung jawabmu!”Haina buru-buru menimpali, “Kisti, jangan berbohong! Kami hanya bicara, tidak ada yang mendorongmu!”“Bicara?” Kisti memekik sambil mengusap air matanya. “Kalian mempermalukanku di depan pelayan! Padahal aku hanya sedang bersiap menyambut Putri Elina!”“Bersiap?” Suara Syra meninggi, lalu cepat menahan diri. “Kau bahkan belum memeriksa ruang peralatan pelatihan menyulam seperti yang dijadwalkan! Sore ini Yang Mulia Elina akan datang, dan kau... malah duduk