Seorang wanita berjubah ungu tua turun dari kereta emas, rambutnya tersanggul anggun dengan mahkota kecil bertatahkan safir.Wajahnya dingin, tegas, tapi tak kehilangan kewibawaan sebagai mantan ratu.Ratu Amaris telah kembali.Ia berjalan masuk ke istana dengan kepala tegak dan langkah pasti, dikelilingi pengawal-pengawal barunya pilihan sendiri dari para biarawan dan mantan loyalis yang dulu dibuang bersamanya.“Panggil semua penjaga! Aku adalah Ratu Azmeria yang sah! Aku ibu dari Kaisar Raeshan!” suaranya menggema, menggetarkan setiap dinding istana.“Usir wanita licik itu dari tempatku!” serunya dengan nada dingin, menunjuk ke arah kediaman Liara yang selama ini dianggap sebagai Ibu Suri.Para prajurit istana yang terkejut dan bingung, tak berani membantah. Mereka hanya menurut, dan dengan cepat menyeret Liara yang tengah duduk membaca bersama kedua cucunya, Kaesari dan Aryan.Liara menjerit ketika tangannya ditarik kasar, tubuhnya diseret ke halaman istana.“Apa-apaan ini?! Aku h
Raeshan menahan tangan Elina pelan di perjalanan kembali ke paviliuan Harmoni. “Malam ini... jangan tidur dengan anak-anak, ya?”Elina menaikkan alis. “Lalu aku tidur dengan siapa?”“Kau tahu jawabannya.”Elina menyeringai menggoda. “Hmm... Kaesari sedang manja. Aryan pun minta kubacakan cerita. Mungkin aku akan tidur di tengah-tengah mereka, biar hangat.”Raeshan memutar bola matanya dan mencubit lembut pipi Elina.“Elina...” bisiknya seperti anak kecil yang merajuk. “Jangan begitu... aku serius.”Elina tertawa pelan, lalu menepuk pipi Raeshan dengan lembut. “Kau lucu sekali saat memohon seperti itu. Baiklah... tapi hanya kalau kau bisa membujuk Aryan dan Kaesari lebih dulu.”“Sepakat,” ucap Raeshan cepat, lalu menggenggam tangan Elina lebih erat.Dari belakang, Sekar dan Dasman berjalan dengan langkah senyap menjaga jarak sopan, tapi mata mereka tak pernah lepas dari keduanya.“Kalau mereka begini terus tiap malam, kapan kita bisa punya malam sendiri?” gumam Dasman.Tanpa menunggu
Kisti terbaring di dasar tangga batu. Gaun merah mudanya tampak kusut, robek di bagian bahu, dan debu menempel di lengan serta pipinya.Di atas anak tangga, dua sosok berdiri tegang, Selir Kelima Haina dan Selir Utama Syra.Wajah Syra memerah karena emosi, sedang Haina menggigit bibir menahan ucapan. Di antara mereka, pelayan-pelayan menunduk cemas.“Dia... dia mendorongku...!” jerit Kisti tiba-tiba, tangannya menunjuk ke atas, ke arah Syra.Syra menegang. “Apa?! Aku hanya menegurmu karena kau belum menyelesaikan tanggung jawabmu!”Haina buru-buru menimpali, “Kisti, jangan berbohong! Kami hanya bicara, tidak ada yang mendorongmu!”“Bicara?” Kisti memekik sambil mengusap air matanya. “Kalian mempermalukanku di depan pelayan! Padahal aku hanya sedang bersiap menyambut Putri Elina!”“Bersiap?” Suara Syra meninggi, lalu cepat menahan diri. “Kau bahkan belum memeriksa ruang peralatan pelatihan menyulam seperti yang dijadwalkan! Sore ini Yang Mulia Elina akan datang, dan kau... malah duduk
Elina duduk tegak dengan kepala terangkat tinggi di tengah aula kerajaan.Di sisi kirinya, Ibu Suri Liara duduk dengan tenang, matanya tajam namun penuh harap.Raeshan duduk di sisi kanan, menatap Elina tanpa henti namun tak berani berbicara.Ia tahu, satu kata pun darinya bisa kembali menyakiti hati perempuan itu.Di sisi lain aula, tujuh selir berdiri sejajar dalam barisan. Masing-masing mengenakan pakaian resmi istana.Di antara mereka, Kisti berdiri paling depan, meski sorot matanya tertunduk sejak awal.Liara membuka suara.“Pertemuan ini bukan untuk menghakimi… tapi untuk menjelaskan kebenaran.”Ia menoleh pada Elina yang masih membisu. Lalu pada para selir.“Kaisar tidak pernah berniat mengambil pasangan lain. Pernikahan ini... adalah hasil tekanan dari tujuh provinsi besar yang ingin melihat lambang kestabilan di atas takhta. Tapi semua wanita di sini tahu… bahwa hati Kaisar, sejak awal, hanya milik satu perempuan.”Raeshan akhirnya bicara menambahkan.“Elina, aku tidak pernah
Disisi dunia lain, Elina memejamkan mata perlahan mengingat Azmeria lagi.Tiba-tiba, ruangan berguncang.Dinding putih ruang peralatan berubah menjdi dinding hijau kecoklatan.Dalam sekejap. Matanya terbuka lebar, napas terhempas keras dari paru-parunya. Tubuhnya menggeliat.Disisinya berdiri Sekar yang terus berteriak panik.“Aku kembali ke Azmeria?”“TABIB! TABIB!!! PUTRI ELINA, DIA SADAR!!” Teriakan Sekar pecah dari sayap timur istana, menggema hingga ke taman.Tangannya gemetar saat memegang bahu Elina. “Putri! Putri, lihat aku! Aku Sekar… aku di sini!”Pintu kayu tiba-tiba terbuka lebar.Raeshan berlari masuk ke kamar dengan nafas tercekat, menggendong Aryan di satu tangan dan menggandeng Kaesari di sisi lainnya.Wajahnya tak bisa menyembunyikan keterkejutan bahagia, sekaligus ketakutan akan harapan yang terlalu besar.“Elina…!” serunya.Sekar menyingkir sambil menangis, memberikan ruang bagi Kaisar.Raeshan berlutut di sisi ranjang, menatapnya dalam-dalam.“Elina... sayangku...
Jauh di Azmeri.Dua tahun telah berlalu sejak kudeta besar menggulingkan Aldrick dan mengakhiri tirani. Azmeria mulai membangun kembali sistem kerajaan dari awal, jalan-jalan diperbaiki, pasar kembali ramai, dan tempat belajar didirikan di setiap provinsi. Namun satu hal masih menjadi beban di pundak Kaisar Raeshan.Elina, wanita yang dicintainya… masih terbaring koma.Di dalam istana bagian timur, di sebuah ruangan khusus yang dijaga ketat dan selalu bersih, tubuh Elina terbaring tak bergerak di atas ranjang berkanopi.Di sisi ranjangnya, Sekar sedang merapikan bunga-bunga segar dalam vas, sementara Dasman, yang kini resmi menjadi suaminya, masuk dengan membawa mangkuk bubur hangat.“Putri Elina belum sadar?” tanya Dasman pelan.Sekar menggeleng. “Tidak... tapi tadi jari tangannya seperti bergerak sedikit.”Mereka berdua saling berpandangan, mencoba menyelipkan harapan dalam kesunyian.Mereka kini tinggal di istana, bukan sebagai pelayan biasa lagi, tapi sebagai orang-orang terpercay