Home / Romansa / Dari Meja Kerja ke Hati / Bab 6 – Riak yang Tertahan

Share

Bab 6 – Riak yang Tertahan

Author: RefnNovn
last update Last Updated: 2025-04-20 00:35:31

•••

Sudah tiga hari sejak pertemuan Calla dengan Cassandra di depan ruang Elric. Sejak itu, setiap langkah Calla terasa lebih berat. Bukan karena pekerjaannya—yang semakin padat dan menantang—tapi karena rasa was-was yang ditinggalkan oleh wanita itu. Cassandra tak hanya meninggalkan jejak parfum mahal dan suara sepatu hak tinggi. Ia meninggalkan rasa curiga.

Dan hari ini, rasa itu kembali.

Pukul satu siang, lift terbuka, dan seperti déjà vu, Cassandra kembali muncul. Kali ini dengan balutan blazer hitam dan celana panjang putih yang membuatnya terlihat seperti datang dari editorial majalah mode. Langkahnya mantap, percaya diri, dan langsung menuju meja Calla.

“Masih di sini rupanya,” katanya sambil menatap jam tangannya. “Hebat. Aku kira kamu hanya bertahan seminggu.”

Calla berdiri dari kursinya. “Ada yang bisa saya bantu, Bu Cassandra?”

“Aku ada janji dengan Elric,” jawab Cassandra sambil membuka ponselnya. “Dia tidak memberitahumu, ya?”

Calla mengecek agenda. Tidak ada nama Cassandra. Tapi ia menahan diri untuk berkomentar. “Saya akan tanyakan dulu.”

Begitu pintu kantor Elric diketuk dan dibuka, pria itu mengangguk singkat. “Biar dia masuk.”

Cassandra masuk tanpa basa-basi. Tapi sebelum pintu tertutup, ia menoleh ke Calla dan berkata dengan nada sengaja dikeraskan, “Oh, kamu ikut juga? Atau kamu cuma tahu buka pintu?”

Calla menegang, tapi Elric langsung berkata, “Calla, masuk.”

Wanita itu mendengus kecil, lalu masuk lebih dulu.

Calla berdiri di sisi kanan ruangan, mencatat kehadiran, seperti biasa. Tapi atmosfer ruangan terasa lebih berat dari sebelumnya. Cassandra meletakkan map di atas meja Elric.

“Aku dapat bocoran awal data proyek merger itu,” katanya. “Kubawa untuk kamu. Tentu saja, kalau kamu mau mendengarku.”

Elric membuka map itu, matanya bergerak cepat. “Kenapa kamu membantu?”

Cassandra menyandarkan tubuh ke meja, sedikit mencondongkan diri ke arah Elric. “Mungkin aku rindu bekerja dengan orang yang tahu cara berpikir. Atau... mungkin aku hanya terganggu melihat posisiku diisi oleh seseorang yang terlalu... manis.”

Mata Calla terangkat. Cassandra menatapnya sejenak. Senyum liciknya tak bisa disalahartikan.

“Jadi kamu masih punya rasa tidak suka pada penggantimu?” tanya Elric, tanpa basa-basi.

Cassandra tertawa pelan, tajam. “Aku cuma bertanya-tanya... kamu pilih dia karena kemampuannya atau karena kamu mulai suka wajah yang lembut di balik meja itu?”

Calla terkejut, wajahnya memanas. Elric mengeraskan rahangnya.

“Keluar, Cassandra,” ucap Elric dengan suara rendah tapi jelas

Cassandra tidak bergerak. “Dia belum tahu, kan? Tentang alasan kenapa aku keluar dari posisi itu? Atau tentang betapa cepatnya kamu bisa—”

“Cassandra.” Nada suara Elric kini lebih dingin dari sebelumnya. “Saya bilang keluar.”

Hening sejenak.

Cassandra akhirnya berdiri. Tapi sebelum berjalan ke arah pintu, ia menatap Calla.

“Hati-hati, Calla,” katanya dengan nada lembut yang justru menusuk. “Ada alasan kenapa tidak ada satu pun dari kami yang bertahan lama di sisi Elric Mahendra. Termasuk aku.”

Calla tak menjawab. Ia menahan napas sampai pintu menutup kembali dan keheningan jatuh seperti kabut tebal.

Elric duduk kembali tanpa menatap Calla. “Dia tidak penting.”

“Tapi dia mantan sekretaris Bapak. Dan… sepertinya bukan hanya itu.”

Elric menatap Calla. Sorot matanya tajam. Tapi bukan marah. Lebih seperti... luka yang disembunyikan.

“Dia orang yang tahu caranya menyakitimu dengan elegan,” katanya datar. “Kamu tidak perlu jadi seperti dia untuk bertahan.”

Calla menatap pria itu, mencoba membaca lapisan-lapisan rumit dalam dirinya. “Saya bukan dia, Pak. Saya juga tidak berniat menirunya.

“Elric.” Pria itu meliriknya. “Kalau kamu akan tetap di sini… jangan panggil saya ‘Pak’. Setidaknya, tidak saat kita sedang sendirian.”

Calla mengangguk pelan. “Baik... Elric.”

Untuk pertama kalinya, senyum kecil muncul di sudut bibir pria itu. Sangat tipis, hampir tak terlihat. Tapi cukup untuk membuat dada Calla bergetar sedikit.

'Elric?' Batin Calla, rasanya dingin bukanlah sifat asli Elric, Luka mengubahnya menjadi orang dingin seperti awal Calla datang di kantor ini.

Mungkin Cassandra benar—ada badai di balik pintu ini.

Tapi mungkin, Calla sudah siap menari di tengahnya.

•••

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 32 - Elric dan Calla

    --- Pagi itu, di rumah Elric, suasana terasa berbeda. Mentari pagi menyelinap perlahan lewat jendela besar, menerangi ruang tamu yang dipenuhi aroma bunga segar. Calla berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana tapi anggun, yang dipilihnya sendiri beberapa hari lalu. Rambut hitamnya dibiarkan terurai lembut, tanpa banyak hiasan, karena baginya, hari ini bukan tentang penampilan sempurna, melainkan tentang keberanian untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Di belakangnya, Elric memperhatikan dengan senyum hangat yang jarang ia tunjukkan secara terbuka. Matanya yang biasanya dingin kini penuh dengan rasa sayang dan kekaguman. Ia tahu perjalanan Calla tidak mudah—terlalu banyak luka dan ketakutan yang harus dihadapi, dan hari ini adalah momen di mana Calla memilih untuk membuka diri dan mempercayainya sepenuhnya. “Calla,” suara Elric tiba-tiba memecah keheningan. “Kamu benar-benar cantik hari ini.” Calla menoleh, wajahnya memerah. “Kamu juga terlihat sangat serius, sep

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 31 - Akhir dan Awal

    --- Malam itu, udara dingin menusuk hingga ke tulang. Lampu-lampu jalan di sudut-sudut kota tampak redup dan berkelip, menambah kesan sunyi yang mencekam. Calla berjalan dengan langkah hati-hati di lorong parkir gedung kantor, membawa beberapa map arsip yang harus segera diantar ke ruang kerja. Hatinya masih bergetar, kenangan buruk beberapa minggu lalu tak kunjung lepas dari pikirannya. Setiap suara yang samar di sekelilingnya membuatnya menoleh, waspada. Ia tahu, dunia ini bukan lagi tempat yang aman baginya sejak Vincent kembali muncul di hidupnya. Meski sudah berusaha kuat, ketakutan itu selalu mengintai, mengancam setiap detik tenangnya. Tiba-tiba, dari balik bayang-bayang sebuah mobil yang terparkir, tangan kasar meraih lengannya dengan paksa. Calla terperanjat, tubuhnya kaku karena ketakutan. Tatapannya langsung bertemu dengan sosok yang membuat jantungnya hampir berhenti berdetak. Vincent. Mantan yang tak pernah rela melepaskannya. Wajahnya yang dulu penuh pesona kini beru

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 30 – Bayangan yang Semakin Dekat

    --- Suasana di apartemen Calla berubah. Dulu tempat itu terasa hangat—penuh bunga, warna-warna lembut, dan aroma lilin aromaterapi yang biasa ia nyalakan. Tapi kini, setiap sisi dipenuhi kamera pengawas, sensor gerak, dan alarm diam. Elric tak ingin mengambil risiko sedikit pun. “Calla gak boleh sendirian, bahkan untuk ke dapur,” katanya tegas pada dua pengawal yang ditugaskan berjaga di dalam unit. “Kalau dia tidur, salah satu kalian tetap berjaga dekat pintu.” Calla yang duduk di sofa hanya diam menatap lantai. Pelipisnya masih dibalut, dan tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Tapi luka yang sebenarnya jauh lebih dalam ada di dalam pikirannya. Malam hari menjadi ujian terberat. Ia sering terbangun dengan napas memburu, tangis tertahan, dan tubuh berkeringat. “Mimpi buruk lagi?” tanya Elric suatu malam, saat ia memeluk Calla yang menggigil. “Dia ada di sana. Selalu. Kadang dia diem aja di pojokan. Kadang dia pegang tanganku,” suara Calla bergetar. “Aku gak tahu cara ngelupain semu

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 29 – Jejak yang Tertinggal

    --- Sudah lebih dari seminggu sejak penembakan itu, tapi dunia seakan belum kembali normal bagi siapa pun. Terutama bagi Calla. Luka fisik yang ditinggalkan peluru Vincent mulai pulih secara perlahan, tapi luka batin—itu cerita lain. Ia masih sering mendadak terdiam, matanya kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa-masa gelap yang ia coba kubur. Dan setiap kali Elric mencoba menyentuh tangannya, Calla akan tersentak seolah baru saja disetrum. “Maaf… aku… aku cuma terkejut,” katanya suatu malam ketika Elric menyelimuti tubuhnya. Suaranya kecil, nyaris tak terdengar. “Calla…” Elric berlutut di samping ranjang, menatap wajahnya yang pucat. “Kamu gak harus pura-pura kuat di depanku.” Calla hanya menunduk, jari-jarinya bermain dengan ujung selimut. “Aku cuma… takut semua ini gak akan pernah selesai. Aku mimpi dia datang lagi. Di mimpi itu, aku lari, tapi langkahku terasa berat, kayak tubuhku gak bisa gerak…” Elric mengusap lembut rambutnya. “Aku janji. Dia gak akan per

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 28 – Luka yang Tak Terlihat

    --- Bau obat-obatan menusuk di setiap sudut lorong rumah sakit malam itu. Lampu-lampu putih menyilaukan, tapi rasanya seperti dunia sedang runtuh. Elric duduk membungkuk di bangku luar ruang operasi, wajahnya tertunduk dalam-dalam, telapak tangan berlumur darah Calla yang mulai mengering. Waktu terasa beku. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Setiap detik berlalu seperti pengingat bahwa ia bisa saja kehilangan Calla—wanita yang selama ini ia jaga dengan seluruh hatinya. Nikolas datang membawa dua cangkir kopi, menaruh satu di sebelah Elric. Tapi Elric tidak menyentuhnya. “Dokter bilang pelurunya bersarang dekat arteri,” suara Nikolas pelan. “Tapi dia masih muda, masih kuat. Kita harus percaya dia bisa bertahan.” Elric menoleh, matanya merah dan basah. “Aku… seharusnya nggak membiarkan dia pergi sendiri.” “Jangan salahin diri sendiri.” “Tapi aku tahu dia masih trauma. Aku tahu Vincent masih membayangi pikirannya, dan aku tetap membiarkan dia sendiri. Aku… aku lengah.” Nikolas hanya

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 27 – Di Ambang Nyawa

    --- Sore mulai turun, langit di atas gedung pameran Convention Center New York terlihat kelabu. Hujan rintik-rintik membasahi jendela besar di lantai dua tempat booth Marvin Corp berdiri. Keramaian mulai berkurang, namun antusiasme masih terasa. Pameran hari itu berjalan sukses—setidaknya sampai Calla memutuskan untuk pergi ke toilet seorang diri. Elric sempat ingin mengantar, tapi Calla meyakinkannya dengan senyum tenang. “Aku cuma ke toilet. Jangan khawatir, ya? Aku akan cepat kembali.” Elric mengangguk, meski hatinya terasa tak nyaman. Calla berjalan menelusuri lorong yang sepi, menghindari pusat keramaian. Suara langkah sepatunya bergema pelan. Belum sampai ke toilet, bahunya tiba-tiba ditarik kuat dari samping. Sebelum sempat berteriak, sebuah tangan membekap mulutnya dengan sapu tangan basah. Dunia seketika kabur. Cairan menyengat menusuk hidungnya, membuat kesadarannya goyah. Saat matanya terbuka kembali, Calla sudah berada di dalam ruangan kosong berlampu temaram, d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status