Dari Meja Kerja ke Hati

Dari Meja Kerja ke Hati

last updateLast Updated : 2025-04-26
By:  RefnNovn Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
Not enough ratings
22Chapters
16views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Calla yang baru saja tiba dikota ini langsung segera mencari pekerjaan, dan ketika hari wawancara tiba dengan tidak sengaja ia menjadi sekretaris di kantor tersebut. Dengan Ceo yang cukup dingin, apakah Calla bisa bertahan? 😉

View More

Chapter 1

Bab 1 - Tawaran yang Tak Terduga

•••

Gedung kaca menjulang tinggi di tengah hiruk pikuk kota pagi itu. Langit cerah, lalu lintas ramai seperti biasa, dan derap langkah orang-orang berdasi membanjiri lobi megah milik Rheinhart Corporation.

Calla Almanda menarik napas dalam-dalam di depan pintu putar. Tangannya menggenggam erat map coklat berisi berkas lamarannya. Ia melamar untuk posisi administrasi biasa, dan tidak pernah membayangkan bahwa panggilan interview-nya akan berlangsung di gedung sebesar ini.

“Tenang, Cal. Kamu bisa,” gumamnya pelan, menyelipkan rambut panjangnya ke belakang telinga.

Dengan tinggi 158 cm, Calla mungkin tampak mungil dibanding orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya. Tapi senyum lembutnya cukup untuk mencairkan suasana, meski hanya sejenak.

Ia mengenakan blouse putih bersih dan rok midi navy. Tidak berlebihan, tapi tetap terlihat rapi dan manis. Aura alaminya memang selalu menenangkan—mungkin itulah yang membuat resepsionis wanita tersenyum tulus saat menyambutnya.

“Selamat pagi. Calla Almanda ya? Silakan naik ke lantai 25. Pak Mahendra akan langsung mewawancarai Anda.”

Calla mengerutkan alis. Langsung oleh CEO?

“Maaf, Pak Mahendra yang dimaksud… CEO perusahaan ini?” tanyanya ragu.

“Iya, benar. Anda beruntung sekali,” jawab resepsionis itu dengan senyum penuh arti.

Setelah mengucapkan terima kasih, Calla pun masuk ke lift sambil memeluk map di dadanya. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia belum siap bertemu CEO. Ia hanya pelamar biasa, bahkan bukan dari universitas top. Tapi ini adalah kesempatan.

Ding!

Pintu lift terbuka. Ruangan di lantai 25 terasa hening, elegan, dan mewah. Langit-langitnya tinggi dengan interior maskulin. Seorang wanita paruh baya dengan riasan sempurna menyambutnya.

“Silakan masuk. Pak Mahendra sedang menunggu,” ujarnya, lalu membuka pintu kaca buram yang terhubung ke ruang kerja utama.

Dan di sanalah dia duduk.

Elric Mahendra.

Tinggi, tegap, dan mengenakan setelan abu-abu gelap yang menjuntai pas di tubuh. Wajahnya tampan dengan garis rahang tegas dan hidung bangir. Tapi yang paling mencolok adalah tatapannya—dingin, datar, nyaris menghukum. Ia menatap Calla seolah sedang menganalisis angka, bukan manusia.

“Duduk,” ucapnya singkat.

Suara itu rendah dan berat, cukup untuk membuat bulu kuduk Calla meremang.

“Te-terima kasih,” jawabnya, buru-buru duduk di kursi di hadapan meja kerjanya yang besar.

Elric membuka berkas di depannya. Jari-jarinya panjang dan rapi. Ia membaca cepat, lalu mengangkat pandangan.

“Kenapa kamu melamar kerja di sini?”

“Saya tertarik dengan lingkungan profesional di perusahaan ini dan ingin belajar banyak, Pak. Saya tahu saya tidak dari universitas besar, tapi saya tipe pekerja keras.”

Ia mengangguk kecil, tapi ekspresinya tetap datar. “Posisi yang kamu lamar terlalu biasa. Sayang.”

Calla bingung. “Maaf, maksud Bapak?”

Elric menutup berkasnya. “Sekretaris saya mengundurkan diri seminggu lalu. Saya sedang mencari pengganti.”

Calla mengedip. “Oh… saya paham. Apakah Bapak ingin saya bantu merekomendasikan seseorang?”

“Bukan. Saya ingin kamu yang menggantikannya.”

Seketika, ruangan terasa diam. Calla menatap pria di depannya, nyaris lupa bernapas.

“Maaf?” tanyanya pelan, tak yakin apakah tadi ia salah dengar.

“Saya butuh seseorang yang bisa diandalkan, tidak banyak bicara, dan tahu batas. Kamu terlihat cukup… tenang.”

Itu bukan pujian, lebih seperti kesimpulan klinis dari seseorang yang terbiasa membuat keputusan dingin.

“Tapi saya tidak punya pengalaman sebagai sekretaris, Pak.”

“Saya tidak minta pengalaman. Saya minta kesanggupan.”

Calla menggigit bibir. Ia tidak bodoh. Ia tahu posisi itu jauh lebih berat dan dekat dengan atasan, terutama atasan yang seperti... dia. Tapi menolak? Ini bisa jadi pintu menuju kariernya yang sebenarnya.

“Saya bersedia, jika Bapak yakin saya mampu.”

Untuk pertama kalinya, wajah pria itu berubah sedikit. Bukan senyum, bukan juga kekaguman. Tapi mungkin—sedikit, sangat sedikit—pengakuan.

“Baik. Mulai besok jam tujuh. Saya tidak suka keterlambatan. Tidak ada make-up tebal, tidak ada parfum menyengat. Dan jangan bicara kecuali ditanya.”

Calla mengangguk cepat. “Baik, Pak Mahendra.”

Ia berdiri dengan gugup, hendak pamit, tapi langkahnya terhenti saat pria itu berkata tanpa menoleh.

“Dan satu lagi, Calla.”

Suara itu lebih pelan, tapi tajam.

“Sekretaris saya yang sebelumnya berhenti bukan karena pekerjaan ini terlalu sulit. Tapi karena dia terlalu penasaran dengan urusan yang bukan miliknya.”

Calla menoleh perlahan. Mata pria itu masih dingin, seperti danau beku yang menyembunyikan sesuatu di bawah permukaan.

Calla menunduk sopan. “Saya hanya datang untuk bekerja, Pak.”

“Bagus.” Elric kembali menatap layar monitornya. “Sampai besok.”

Calla keluar dari ruangan itu dengan perasaan campur aduk. Jantungnya masih berdetak kencang. Tangan dingin.

Apa tadi... peringatan? Atau ancaman?

Ia tidak tahu. Tapi satu hal pasti—dunia kerja yang ia bayangkan tidak pernah termasuk bekerja langsung untuk seorang CEO muda yang tampan dan… menyeramkan.

Dan entah kenapa, justru itu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak.

•••

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
22 Chapters
Bab 1 - Tawaran yang Tak Terduga
••• Gedung kaca menjulang tinggi di tengah hiruk pikuk kota pagi itu. Langit cerah, lalu lintas ramai seperti biasa, dan derap langkah orang-orang berdasi membanjiri lobi megah milik Rheinhart Corporation. Calla Almanda menarik napas dalam-dalam di depan pintu putar. Tangannya menggenggam erat map coklat berisi berkas lamarannya. Ia melamar untuk posisi administrasi biasa, dan tidak pernah membayangkan bahwa panggilan interview-nya akan berlangsung di gedung sebesar ini. “Tenang, Cal. Kamu bisa,” gumamnya pelan, menyelipkan rambut panjangnya ke belakang telinga. Dengan tinggi 158 cm, Calla mungkin tampak mungil dibanding orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya. Tapi senyum lembutnya cukup untuk mencairkan suasana, meski hanya sejenak. Ia mengenakan blouse putih bersih dan rok midi navy. Tidak berlebihan, tapi tetap terlihat rapi dan manis. Aura alaminya memang selalu menenangkan—mungkin itulah yang membuat resepsionis wanita tersenyum tulus saat menyambutnya. “Selamat pagi. C
last updateLast Updated : 2025-04-20
Read more
Bab 2 - Jam Tujuh Pagi
••• Calla berdiri di depan pintu kantor lantai 25 tepat pukul 06:57. Tangannya sedikit gemetar saat ia menyentuh gagang pintu. Ia mengenakan blouse biru muda dengan rok hitam selutut dan sepatu tertutup. Rambut panjangnya disisir rapi, dikuncir rendah sesuai aturan tak tertulis yang ia tangkap dari pertemuan kemarin. Tak ada make-up mencolok. Tak ada parfum. Bukan hanya pekerjaan ini yang baru baginya. Tapi cara dia dipilih... itu yang membuat semuanya terasa tidak biasa. "Tenang, Calla. Ini cuma hari pertama." Ia masuk perlahan. Kantor masih sunyi. Lampu-lampu belum semua menyala, hanya cahaya redup dari dinding kaca timur yang perlahan tertembus matahari pagi. Namun ruang kerja Elric Mahendra sudah terang. Pintu kacanya sedikit terbuka, dan bayangan pria itu terlihat sedang berdiri di dekat jendela, punggungnya menghadap ke dalam. "Sudah datang." Suaranya terdengar tanpa menoleh. Calla terkesiap. Bagaimana dia tahu? “I—iya, Pak. Pagi,” ucapnya sopan sambil berdiri di ambang
last updateLast Updated : 2025-04-20
Read more
Bab 3 - Retak dalam Ritme
••• Pagi hari di lantai 25 berjalan lebih cepat dari biasanya. Calla sudah mulai terbiasa dengan alur kerja di meja kecilnya: membuka jadwal, menyortir email, mencatat perintah, dan—yang paling menegangkan—mengikuti ritme kerja Elric Mahendra yang seperti mesin presisi. Hari ini, Elric belum keluar dari ruangannya sejak jam tujuh. Pukul sembilan lewat dua puluh, suara interkom dari dalam ruangan pria itu terdengar: > "Calla. Masuk sebentar." Calla berdiri dengan map di tangan, menata rambutnya sekali, lalu mengetuk pelan. “Masuk,” jawab suara berat itu. Ia melangkah masuk, menjaga jarak beberapa meter dari meja besar itu. Elric duduk dengan satu tangan menopang dagunya, matanya fokus pada dokumen. Tak langsung menatap Calla. “Ada yang aneh dari laporan keuangan divisi aset,” katanya, menyodorkan map merah marun. “Bandingkan dengan data pengajuan anggaran mereka bulan lalu. Saya mau temuanmu sebelum makan siang.” “Baik, Pak,” jawab Calla sambil menerima map. Tapi se
last updateLast Updated : 2025-04-20
Read more
Bab 4 - Bayangan dari ruang lama
••• Hari keempat, dan Calla sudah hafal suara langkah kaki Elric Mahendra. Bukan karena suaranya keras. Justru sebaliknya. Tapi ada pola. Irama. Konsistensi yang tak pernah berubah. Setiap langkahnya seperti memiliki tujuan, waktu, dan tekanan yang dihitung. Mungkin itu sebabnya dia selalu sampai tepat waktu, meskipun terkadang—seperti pagi ini—sedikit terlambat. Pagi itu, Elric datang lebih siang dari biasanya—sekitar jam delapan lewat sepuluh. Calla yang sudah berada di meja sejak pukul tujuh empat puluh lima, langsung berdiri ketika melihatnya lewat dari arah lift. Namun, kali ini Elric tampak berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya lebih sunyi dari biasanya, meski aura ketegasan dan keangkuhannya tetap kuat. Dia tidak segera menyapa, hanya berjalan menuju ruangannya dengan langkah yang lebih berat. Beberapa menit kemudian, suara interkom dari dalam ruangan pria itu terdengar: > "Calla. Bawa kopi hitam, tanpa gula. Dan... tolong, jangan tanya kenapa hari ini saya terlambat
last updateLast Updated : 2025-04-20
Read more
Bab 5 – Dalam Kepungan Waktu
••• Pagi itu, Calla merasa udara di kantor terasa lebih berat dari biasanya. Meski langit masih cerah di luar jendela, dan ruangan terasa segar dengan aroma kopi pagi yang khas, hatinya tetap berdebar. Ada yang berbeda, dan itu bukan hanya karena pekerjaan yang semakin menumpuk. Sejak kejadian kemarin sore—ketika Elric berbicara begitu pelan dengan kalimat yang terasa lebih pribadi dari biasanya—ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Apakah itu hanya perasaan sesaat? Ataukah... ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang berkembang di antara mereka? Calla berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya, namun semakin dia berusaha mengabaikan perasaan itu, semakin jelas perasaan itu mencuat. Di meja kerjanya, Calla menatap layar komputer yang berisi dokumen-dokumen yang harus dia pelajari. Tumpukan laporan tentang proyek merger, strategi pemasaran, dan berbagai dokumen lainnya memenuhi layar. Elric benar—dia harus lebih dari sekadar sekretaris yang menyiapkan laporan. Ini adalah tentang
last updateLast Updated : 2025-04-20
Read more
Bab 6 – Riak yang Tertahan
••• Sudah tiga hari sejak pertemuan Calla dengan Cassandra di depan ruang Elric. Sejak itu, setiap langkah Calla terasa lebih berat. Bukan karena pekerjaannya—yang semakin padat dan menantang—tapi karena rasa was-was yang ditinggalkan oleh wanita itu. Cassandra tak hanya meninggalkan jejak parfum mahal dan suara sepatu hak tinggi. Ia meninggalkan rasa curiga. Dan hari ini, rasa itu kembali. Pukul satu siang, lift terbuka, dan seperti déjà vu, Cassandra kembali muncul. Kali ini dengan balutan blazer hitam dan celana panjang putih yang membuatnya terlihat seperti datang dari editorial majalah mode. Langkahnya mantap, percaya diri, dan langsung menuju meja Calla. “Masih di sini rupanya,” katanya sambil menatap jam tangannya. “Hebat. Aku kira kamu hanya bertahan seminggu.” Calla berdiri dari kursinya. “Ada yang bisa saya bantu, Bu Cassandra?” “Aku ada janji dengan Elric,” jawab Cassandra sambil membuka ponselnya. “Dia tidak memberitahumu, ya?” Calla mengecek agenda. Tidak ad
last updateLast Updated : 2025-04-20
Read more
Bab 7 – Kabut Tak Bernama
••• Sudah seminggu berlalu sejak Calla bertemu Cassandra—dan kata-katanya yang tajam itu masih membekas seperti goresan samar di kaca jendela yang dingin. Tak tampak, tapi terasa bila disentuh. Meski begitu, pekerjaan tetap berjalan. Lantai 25 selalu sibuk. Dan Elric Mahendra masih pria yang sama: dingin, efisien, dan tak pernah terlihat kehilangan kendali. Tapi di balik mata tajamnya, Calla bisa menangkap sesuatu yang tak bisa ia definisikan. Kelelahan? Kekosongan? Atau... pertahanan? Hari itu, Calla memasuki ruangan Elric membawa map berisi laporan revisi. Ia mengetuk, lalu masuk setelah mendengar sahutan datar dari dalam. “Elric, revisi untuk presentasi klien dari Tokyo sudah saya cetak dan simpan di bagian paling atas,” katanya sambil meletakkan map di mejanya. Elric mengangguk, masih menatap layar laptopnya. “Bagus. Jadwalnya sudah dikonfirmasi?” “Ya, besok pukul sepuluh pagi.” “Elah.” Suaranya pelan. Nyaris seperti gumaman. Calla mengerutkan kening. “Maaf?” Elric akhirn
last updateLast Updated : 2025-04-20
Read more
Bab 8 – Cassandra Pengacau
••• Hari itu, seperti biasa, Calla berjalan menuju meja kerjanya dengan langkah ringan, meskipun rasa cemas tak bisa disembunyikan. Pekerjaan di lantai 25 semakin menuntutnya untuk beradaptasi, dan Elric Mahendra—selalu tenang, selalu terkontrol—tak memberi ruang bagi kelemahan. Laporan demi laporan, jadwal yang padat, dan pertemuan-pertemuan yang hampir tak pernah berakhir. Semua itu harus ia kelola dengan presisi. Tapi pagi ini ada yang berbeda. Ada perasaan tak nyaman yang membungkam semangatnya. Elric belum muncul di ruangannya hingga pukul sepuluh. Tidak seperti biasanya, ia selalu sudah duduk di meja, memulai pekerjaan dengan tenggat yang selalu lebih ketat dari yang diinginkan siapa pun. Calla duduk di mejanya, membuka komputer, menyusun beberapa dokumen yang perlu disiapkan, sambil sesekali melirik ke ruangannya. Setengah jam berlalu, dan keheningan itu mulai menekan. Calla tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang mengganggu dalam atmosfer k
last updateLast Updated : 2025-04-20
Read more
Bab 9 : Diantar Senja dan Rahasia
••• Hari itu, kantor sedikit lebih sepi dari biasanya. Beberapa karyawan sudah pulang lebih awal setelah menyelesaikan presentasi besar untuk klien Jepang. Tapi Calla masih berada di meja kerjanya, menyelesaikan sisa laporan yang harus dikirim malam ini. Di dalam ruangannya, Elric tampak seperti biasa—fokus, diam, dan sedikit terlalu tenggelam dalam pikirannya. Namun sejak pagi, ada yang berbeda darinya. Tatapannya tak sekaku biasanya. Nada suaranya lebih tenang. Bahkan, beberapa kali Calla merasa pria itu mencuri pandang. Pukul tujuh lewat sepuluh menit, saat Calla baru saja mematikan laptopnya, interkom berbunyi. > “Calla. Masuk sebentar.” Calla berdiri, sedikit terkejut. Ia pikir hari ini sudah selesai. Tapi seperti biasa, Elric Mahendra selalu tak terduga. Saat ia masuk, Elric sedang berdiri di depan jendela besar, memandangi kota yang mulai diselimuti cahaya malam. Jasnya sudah ia lepas, hanya kemeja putih yang kini melekat rapi di tubuh tingginya. Lengan kemeja tergulung s
last updateLast Updated : 2025-04-20
Read more
Bab 10 – Bara yang Tersembunyi
••• Sudah hampir dua minggu sejak makan malam itu. Sejak malam di mana Elric, meskipun tak mengatakannya dengan gamblang, membiarkan Calla melihat sisi lain dari dirinya—sisi yang tidak semua orang tahu ia miliki. Namun ritme kerja tetap berjalan. Waktu tidak menunggu siapa pun, dan kehidupan kantor kembali pada porosnya: rapat, laporan, revisi, tenggat waktu. Dan Calla? Ia semakin dikenal sebagai sekretaris yang tak hanya efisien, tapi juga tenang, cerdas, dan… punya aura yang sulit diabaikan. Termasuk oleh seseorang. Nikolas Adrian, Manajer Divisi Proyek, salah satu orang kepercayaan perusahaan, mulai menunjukkan ketertarikannya sejak Calla berhasil menyelamatkan presentasi besar minggu lalu. Caranya bicara, matanya yang berbinar saat menyapa Calla di pantry, bahkan seringkali membawakannya kopi tanpa diminta—semuanya terlihat jelas. Dan pagi ini, Nikolas menyambangi meja kecil Calla di luar ruangan Elric dengan senyum ramah. "Selamat pagi, Calla. Sudah sarapan?" Calla menole
last updateLast Updated : 2025-04-20
Read more
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status