•••
Pagi itu, Calla merasa udara di kantor terasa lebih berat dari biasanya. Meski langit masih cerah di luar jendela, dan ruangan terasa segar dengan aroma kopi pagi yang khas, hatinya tetap berdebar. Ada yang berbeda, dan itu bukan hanya karena pekerjaan yang semakin menumpuk. Sejak kejadian kemarin sore—ketika Elric berbicara begitu pelan dengan kalimat yang terasa lebih pribadi dari biasanya—ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Apakah itu hanya perasaan sesaat? Ataukah... ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang berkembang di antara mereka? Calla berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya, namun semakin dia berusaha mengabaikan perasaan itu, semakin jelas perasaan itu mencuat. Di meja kerjanya, Calla menatap layar komputer yang berisi dokumen-dokumen yang harus dia pelajari. Tumpukan laporan tentang proyek merger, strategi pemasaran, dan berbagai dokumen lainnya memenuhi layar. Elric benar—dia harus lebih dari sekadar sekretaris yang menyiapkan laporan. Ini adalah tentang menjadi bagian dari tim yang lebih besar, lebih rumit, dan lebih berbahaya. Setiap kata yang dia baca terasa seperti bagian dari teka-teki yang semakin rumit, dan Calla tahu, semakin dia terlibat, semakin besar tanggung jawab yang harus dia emban. Tepat saat itulah, suara interkom memanggilnya. > “Calla. Masuk ke ruanganku.” Calla menelan saliva, merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Tanpa berpikir panjang, dia meraih berkas yang sudah dipersiapkan sejak pagi dan melangkah menuju ruang Elric. Saat dia masuk, Elric duduk di balik meja, mengenakan kemeja hitam tanpa dasi yang selalu membuatnya terlihat formal dan rapi. Tak ada senyum di wajahnya—seperti biasa—hanya tatapan tajam yang langsung mengarah padanya. Di atas meja, beberapa tumpukan dokumen dan laptop yang terbuka memberikan kesan bahwa hari ini, Elric benar-benar fokus pada pekerjaan. Tapi ada sesuatu di balik tatapannya yang terasa... berbeda. Sesuatu yang tak bisa Calla jelaskan. "Calla," kata Elric tanpa menoleh, suara datarnya membuatnya terkejut. "Kamu sudah baca laporan-laporan merger itu?" “Iya, Pak. Saya sudah mulai memahaminya,” jawab Calla sambil meletakkan berkas di atas meja. Elric mengangguk pelan, tapi tatapannya tak pernah meninggalkan layar. “Aku ingin kamu siapkan presentasi untuk rapat besok. Investor asing akan hadir, dan aku butuh mereka terkesan. Jangan sampai mereka merasa ragu tentang keputusan yang sudah kita ambil.” Calla menahan napas sejenak. Meskipun tampaknya Elric sangat percaya padanya, ada rasa cemas yang tak bisa ia hindari. Ini adalah kesempatan besar baginya untuk membuktikan bahwa dia bisa melakukan lebih dari sekadar pekerjaan administratif. Tapi sepertinya, bagi Elric, kesempurnaan adalah satu-satunya hal yang bisa diterima. “Tentu, Pak. Saya akan siapkan dengan baik,” jawab Calla dengan keyakinan, meskipun hatinya sedikit berdebar. Elric menatapnya dengan mata yang sulit dibaca. Ada sesuatu yang tersirat di sana—sesuatu yang membuat Calla merasa dia bukan hanya sekadar sekretaris. Elric tak berkata apa-apa lagi, hanya menunjuk berkas-berkas yang berserakan di meja. “Ini dokumen-dokumen baru yang masuk kemarin. Kamu harus memeriksanya dan memberi aku update mengenai perkembangan terbaru. Aku nggak ingin ketinggalan informasi.” Calla mengangguk, mencoba untuk tetap tenang meskipun ada beban yang tiba-tiba terasa lebih berat. Setiap kata Elric terdengar seperti perintah yang harus dilaksanakan tanpa kompromi. Tetapi kali ini, ada tekanan yang lebih kuat. Bukan hanya tekanan untuk bekerja keras, tetapi juga untuk memenuhi ekspektasi yang semakin tinggi. Akhirnya, setelah beberapa detik hening, Calla memutuskan untuk bertanya. “Apakah ada yang mengganggu Bapak, Pak? Sepertinya... ada sesuatu yang mengganjal.” Elric menoleh, sedikit terkejut oleh pertanyaannya. Wajahnya yang biasanya tenang kini menunjukkan keraguan. Dia menatap Calla sejenak, lalu menghela napas panjang. “Kamu terlalu peka, Calla. Ini bukan masalah pribadi. Aku hanya ingin semuanya berjalan sempurna.” Tapi Calla bisa merasakan ada lebih dari itu. Ada sedikit kelemahan di balik kata-katanya. Sesuatu yang ia sembunyikan, seperti ada bayangan gelap yang mengintai di balik kesempurnaan yang ditampilkan Elric. “Maaf jika saya terlalu ikut campur. Saya hanya ingin membantu,” ujar Calla dengan lembut, mencoba menghindari kesan bahwa dia terlalu berani mengorek lebih dalam. “Aku tahu,” jawab Elric singkat, namun kali ini ada nada yang sedikit lebih lembut. Dia menggerakkan kursinya sedikit, lalu menatap ke luar jendela. “Aku hanya merasa banyak tekanan belakangan ini. Kadang, itu membuatku... sulit berinteraksi dengan orang lain.” Calla terdiam, memikirkan kata-kata Elric. “Saya mengerti, Pak,” jawabnya, walaupun dalam hati dia merasa sedikit bingung. Apakah Elric hanya butuh ruang, ataukah ada hal lain yang lebih dalam yang mengganggunya? Ia merasa seperti berhadapan dengan tembok yang tak bisa ditembus. “Apakah Bapak ingin sedikit istirahat?” tanya Calla hati-hati. “Mungkin bisa membantu Bapak merasa lebih baik.” Elric menoleh ke arahnya, terkejut dengan saran itu. “Istirahat? Aku rasa itu bukan hal yang penting sekarang. Semua ini harus selesai tepat waktu.” Calla tersenyum kecil. “Pekerjaan itu penting, Pak. Tapi kadang, kita juga butuh ruang untuk bernapas.” Elric mengangguk pelan, tetapi matanya kembali berbinar penuh fokus. “Mungkin. Tapi bukan hari ini. Fokuslah pada presentasi itu, Calla. Aku membutuhkan semuanya selesai dengan sempurna.” Calla mengangguk, merasa sedikit lebih tenang dengan pernyataan Elric. Namun, di dalam hatinya, dia tahu ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi. Sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan. Presentasi dimulai keesokan harinya. Elric seperti biasa, tampil sempurna. Namun, Calla tidak bisa mengabaikan perasaan cemas yang menggantung di udara. Investor asing yang hadir tampaknya puas dengan presentasi, dan Elric memukau mereka dengan keahliannya dalam merinci setiap detail. Setiap kalimat yang keluar dari bibirnya terdengar meyakinkan, penuh dengan kekuatan dan kepercayaan diri yang luar biasa. Namun, Calla merasa ada sesuatu yang hilang. Di tengah keberhasilan presentasi ini, ia merasa bahwa ada ketegangan yang lebih besar yang mengganggu dirinya—sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ketika rapat selesai dan semua orang mulai berkemas, Elric hanya memberikan senyum tipis kepada Calla. Senyum yang tak sepenuhnya menggambarkan rasa puas. Hanya senyum tipis yang terasa lebih seperti kewajiban daripada sebuah penghargaan. “Kamu melakukan pekerjaan dengan baik, Calla,” katanya datar. “Presentasi itu berjalan lancar.” “Terima kasih, Pak,” jawab Calla, meskipun ada sedikit kekosongan di dalam dirinya. Senyum Elric, meskipun tampaknya tulus, tetap terasa seperti ada jarak yang membatasi mereka. Seolah-olah Elric menyembunyikan sesuatu. Sore harinya, Calla kembali ke meja kerjanya, tetapi hatinya tak bisa menahan diri untuk berpikir tentang apa yang baru saja terjadi. Presentasi itu memang berjalan lancar, namun ia merasakan ada lebih banyak yang tersembunyi di baliknya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan secara terbuka. Saat ia menatap layar komputernya, mendalami laporan-laporan yang masih belum selesai, tiba-tiba ia melihat Elric keluar dari ruangannya. Matanya menangkap tatapan pria itu yang sedikit berbeda—lebih dalam, lebih rumit. Tetapi begitu dia melihat Calla, ekspresinya kembali terkendali. “Aku ingin kamu lanjutkan pekerjaan itu sampai selesai. Jangan terburu-buru,” kata Elric, sebelum berjalan menuju lift. Calla menatapnya, kemudian kembali menunduk ke layar komputernya. Hari ini bukan hanya tentang pekerjaan. Ini adalah tentang memahami Elric lebih dalam—tentang membuka pintu yang terkunci rapat dalam dirinya, dan mencari tahu siapa sebenarnya pria itu. Namun, Calla tahu, semakin dalam dia masuk, semakin besar risiko yang harus dihadapi. Tidak hanya dalam pekerjaan, tetapi juga dalam hubungan mereka yang semakin rumit. •••--- Pagi itu, di rumah Elric, suasana terasa berbeda. Mentari pagi menyelinap perlahan lewat jendela besar, menerangi ruang tamu yang dipenuhi aroma bunga segar. Calla berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana tapi anggun, yang dipilihnya sendiri beberapa hari lalu. Rambut hitamnya dibiarkan terurai lembut, tanpa banyak hiasan, karena baginya, hari ini bukan tentang penampilan sempurna, melainkan tentang keberanian untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Di belakangnya, Elric memperhatikan dengan senyum hangat yang jarang ia tunjukkan secara terbuka. Matanya yang biasanya dingin kini penuh dengan rasa sayang dan kekaguman. Ia tahu perjalanan Calla tidak mudah—terlalu banyak luka dan ketakutan yang harus dihadapi, dan hari ini adalah momen di mana Calla memilih untuk membuka diri dan mempercayainya sepenuhnya. “Calla,” suara Elric tiba-tiba memecah keheningan. “Kamu benar-benar cantik hari ini.” Calla menoleh, wajahnya memerah. “Kamu juga terlihat sangat serius, sep
--- Malam itu, udara dingin menusuk hingga ke tulang. Lampu-lampu jalan di sudut-sudut kota tampak redup dan berkelip, menambah kesan sunyi yang mencekam. Calla berjalan dengan langkah hati-hati di lorong parkir gedung kantor, membawa beberapa map arsip yang harus segera diantar ke ruang kerja. Hatinya masih bergetar, kenangan buruk beberapa minggu lalu tak kunjung lepas dari pikirannya. Setiap suara yang samar di sekelilingnya membuatnya menoleh, waspada. Ia tahu, dunia ini bukan lagi tempat yang aman baginya sejak Vincent kembali muncul di hidupnya. Meski sudah berusaha kuat, ketakutan itu selalu mengintai, mengancam setiap detik tenangnya. Tiba-tiba, dari balik bayang-bayang sebuah mobil yang terparkir, tangan kasar meraih lengannya dengan paksa. Calla terperanjat, tubuhnya kaku karena ketakutan. Tatapannya langsung bertemu dengan sosok yang membuat jantungnya hampir berhenti berdetak. Vincent. Mantan yang tak pernah rela melepaskannya. Wajahnya yang dulu penuh pesona kini beru
--- Suasana di apartemen Calla berubah. Dulu tempat itu terasa hangat—penuh bunga, warna-warna lembut, dan aroma lilin aromaterapi yang biasa ia nyalakan. Tapi kini, setiap sisi dipenuhi kamera pengawas, sensor gerak, dan alarm diam. Elric tak ingin mengambil risiko sedikit pun. “Calla gak boleh sendirian, bahkan untuk ke dapur,” katanya tegas pada dua pengawal yang ditugaskan berjaga di dalam unit. “Kalau dia tidur, salah satu kalian tetap berjaga dekat pintu.” Calla yang duduk di sofa hanya diam menatap lantai. Pelipisnya masih dibalut, dan tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Tapi luka yang sebenarnya jauh lebih dalam ada di dalam pikirannya. Malam hari menjadi ujian terberat. Ia sering terbangun dengan napas memburu, tangis tertahan, dan tubuh berkeringat. “Mimpi buruk lagi?” tanya Elric suatu malam, saat ia memeluk Calla yang menggigil. “Dia ada di sana. Selalu. Kadang dia diem aja di pojokan. Kadang dia pegang tanganku,” suara Calla bergetar. “Aku gak tahu cara ngelupain semu
--- Sudah lebih dari seminggu sejak penembakan itu, tapi dunia seakan belum kembali normal bagi siapa pun. Terutama bagi Calla. Luka fisik yang ditinggalkan peluru Vincent mulai pulih secara perlahan, tapi luka batin—itu cerita lain. Ia masih sering mendadak terdiam, matanya kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa-masa gelap yang ia coba kubur. Dan setiap kali Elric mencoba menyentuh tangannya, Calla akan tersentak seolah baru saja disetrum. “Maaf… aku… aku cuma terkejut,” katanya suatu malam ketika Elric menyelimuti tubuhnya. Suaranya kecil, nyaris tak terdengar. “Calla…” Elric berlutut di samping ranjang, menatap wajahnya yang pucat. “Kamu gak harus pura-pura kuat di depanku.” Calla hanya menunduk, jari-jarinya bermain dengan ujung selimut. “Aku cuma… takut semua ini gak akan pernah selesai. Aku mimpi dia datang lagi. Di mimpi itu, aku lari, tapi langkahku terasa berat, kayak tubuhku gak bisa gerak…” Elric mengusap lembut rambutnya. “Aku janji. Dia gak akan per
--- Bau obat-obatan menusuk di setiap sudut lorong rumah sakit malam itu. Lampu-lampu putih menyilaukan, tapi rasanya seperti dunia sedang runtuh. Elric duduk membungkuk di bangku luar ruang operasi, wajahnya tertunduk dalam-dalam, telapak tangan berlumur darah Calla yang mulai mengering. Waktu terasa beku. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Setiap detik berlalu seperti pengingat bahwa ia bisa saja kehilangan Calla—wanita yang selama ini ia jaga dengan seluruh hatinya. Nikolas datang membawa dua cangkir kopi, menaruh satu di sebelah Elric. Tapi Elric tidak menyentuhnya. “Dokter bilang pelurunya bersarang dekat arteri,” suara Nikolas pelan. “Tapi dia masih muda, masih kuat. Kita harus percaya dia bisa bertahan.” Elric menoleh, matanya merah dan basah. “Aku… seharusnya nggak membiarkan dia pergi sendiri.” “Jangan salahin diri sendiri.” “Tapi aku tahu dia masih trauma. Aku tahu Vincent masih membayangi pikirannya, dan aku tetap membiarkan dia sendiri. Aku… aku lengah.” Nikolas hanya
--- Sore mulai turun, langit di atas gedung pameran Convention Center New York terlihat kelabu. Hujan rintik-rintik membasahi jendela besar di lantai dua tempat booth Marvin Corp berdiri. Keramaian mulai berkurang, namun antusiasme masih terasa. Pameran hari itu berjalan sukses—setidaknya sampai Calla memutuskan untuk pergi ke toilet seorang diri. Elric sempat ingin mengantar, tapi Calla meyakinkannya dengan senyum tenang. “Aku cuma ke toilet. Jangan khawatir, ya? Aku akan cepat kembali.” Elric mengangguk, meski hatinya terasa tak nyaman. Calla berjalan menelusuri lorong yang sepi, menghindari pusat keramaian. Suara langkah sepatunya bergema pelan. Belum sampai ke toilet, bahunya tiba-tiba ditarik kuat dari samping. Sebelum sempat berteriak, sebuah tangan membekap mulutnya dengan sapu tangan basah. Dunia seketika kabur. Cairan menyengat menusuk hidungnya, membuat kesadarannya goyah. Saat matanya terbuka kembali, Calla sudah berada di dalam ruangan kosong berlampu temaram, d