•••
Sudah seminggu berlalu sejak Calla bertemu Cassandra—dan kata-katanya yang tajam itu masih membekas seperti goresan samar di kaca jendela yang dingin. Tak tampak, tapi terasa bila disentuh. Meski begitu, pekerjaan tetap berjalan. Lantai 25 selalu sibuk. Dan Elric Mahendra masih pria yang sama: dingin, efisien, dan tak pernah terlihat kehilangan kendali. Tapi di balik mata tajamnya, Calla bisa menangkap sesuatu yang tak bisa ia definisikan. Kelelahan? Kekosongan? Atau... pertahanan? Hari itu, Calla memasuki ruangan Elric membawa map berisi laporan revisi. Ia mengetuk, lalu masuk setelah mendengar sahutan datar dari dalam. “Elric, revisi untuk presentasi klien dari Tokyo sudah saya cetak dan simpan di bagian paling atas,” katanya sambil meletakkan map di mejanya. Elric mengangguk, masih menatap layar laptopnya. “Bagus. Jadwalnya sudah dikonfirmasi?” “Ya, besok pukul sepuluh pagi.” “Elah.” Suaranya pelan. Nyaris seperti gumaman. Calla mengerutkan kening. “Maaf?” Elric akhirnya menoleh. “Maaf. Bukan untukmu. Aku hanya... belum siap bicara panjang lebar dengan orang Jepang hari Kamis pagi.” Untuk sesaat, Calla melihat sisi manusia yang jarang muncul dari pria itu. Ia tersenyum kecil. “Kalau begitu saya siapkan kopi ekstra kuat besok.” Elric menatapnya, lalu—sedikit mengejutkan—tersenyum tipis. Sangat tipis. Hampir tak terlihat, tapi cukup membuat jantung Calla berdetak lebih cepat. Tapi seperti biasa, momen itu menghilang secepat datangnya. Elric kembali menatap layar. Calla hendak pergi saat suara ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal. Ia menjawab, dan suara perempuan menyapa. “Berapa lama kau pikir kau bisa bertahan di sisinya?” Calla terdiam. Nadanya rendah, lembut, tapi penuh ancaman. “Maaf, ini siapa?” “Kau tahu siapa aku. Dan kau tahu apa yang terjadi dengan yang sebelumnya. Dia bukan pria untuk ‘diselamatkan’, gadis kecil.” Telepon terputus. Calla berdiri membeku. Ponsel masih di tangan, matanya menatap kosong ke arah lantai. Napasnya berat. Elric mengangkat kepala. “Kenapa?” Calla meneguk ludah, menggeleng pelan. “Bukan apa-apa.” Elric berdiri. Langkahnya tenang, tapi mendekat. “Wajahmu berubah. Apa Cassandra meneleponmu?” Calla menatapnya, kaget. “Kamu tahu?” “Aku bisa menebak,” ucap Elric pelan. “Dia punya kebiasaan buruk: selalu mencoba mengendalikan yang sudah lepas.” “Kenapa dia begitu?” Elric menghela napas, matanya menatap ke luar jendela besar di belakangnya. “Karena aku tak pernah memberi alasan jelas kenapa aku memutus hubungan profesional dengannya. Dan mungkin dia pikir... itu bukan hanya profesional.” Calla menggigit bibir bawahnya. “Memangnya bukan?” Elric tak menjawab. Tapi dari ekspresinya, jawaban itu rumit. Terlalu rumit untuk dikatakan sekarang. Calla menunduk. “Aku hanya tidak ingin... dibenci karena hal yang bahkan bukan salahku.” Elric menoleh, menatap langsung ke matanya. “Kamu tidak salah.” Mereka diam cukup lama, sampai suara notifikasi dari laptop memecah keheningan. “Kalau begitu saya kembali ke meja,” ujar Calla akhirnya, lalu keluar dengan langkah cepat. Tapi jantungnya masih berdebar tak tenang. ** Menjelang sore, lantai mulai sepi. Sebagian karyawan sudah pulang, hanya beberapa yang masih menyelesaikan laporan akhir bulan. Calla menutup laptopnya, bersiap berkemas. Suara langkah sepatu hak terdengar dari kejauhan. Ketika Calla menoleh, Cassandra berdiri di ujung koridor, menatapnya. “Masih di sini rupanya,” ucap wanita itu sambil berjalan mendekat. Calla berdiri tegak. “Apa Anda perlu sesuatu?” “Bukan darimu.” Cassandra melirik ke arah pintu ruang Elric. “Aku hanya ingin bicara sebentar dengan—” “Kalau ada keperluan, sebaiknya buat janji lebih dulu.” Senyum Cassandra menipis. “Sekarang kamu sudah tahu cara bicara seperti sekretarisnya.” Calla tidak menanggapi. Tapi Cassandra melangkah lebih dekat, suaranya menurun, nyaris berbisik. “Kau pikir dia akan memilihmu?” Calla tak gentar. “Saya tidak sedang bersaing dengan siapa pun.” “Sayangnya, dalam dunia ini... segalanya selalu kompetisi, sayang.” Cassandra menatap ke arah ruangan Elric. “Kau tahu? Aku pernah duduk di mejamu. Mendengar detak jam yang sama. Menyusun file yang sama. Bahkan... melihat senyum yang sama.” Calla menggenggam jemarinya erat. “Saya bukan Anda.” “Oh, kau benar. Kau lebih muda. Lebih... segar. Dan dia mungkin sedang bosan dengan keheningannya sendiri.” “Cukup, Cassandra.” Suara itu datang dari arah pintu. Elric berdiri di sana, mata tajamnya menatap lurus ke arah wanita itu. “Kau tidak diundang.” Cassandra berbalik perlahan. “Aku hanya ingin memastikan kau tidak membuat kesalahan yang sama.” Elric melangkah ke depan, berdiri di antara Cassandra dan Calla. “Aku yang menentukan kesalahan apa yang akan kubuat. Dan kamu tidak lagi punya peran di sini.” Cassandra menatap Elric lama, lalu tersenyum. “Kau mulai melunak. Itu baru menarik.” Ia melangkah pergi tanpa pamit. Suara hak sepatunya bergema di koridor. Calla masih berdiri kaku. Elric menatapnya. “Kamu tidak harus menghadapi itu,” katanya pelan. “Tapi saya sudah menghadapinya.” Mata mereka bertemu. “Elric,” bisik Calla, “kalau saya pergi, kamu akan keberatan?” Elric tak langsung menjawab. Tapi setelah jeda panjang, ia berkata, “Ya.” Jawaban itu membuat napas Calla tertahan. “Karena kamu sekretaris yang baik?” Elric mendekat satu langkah. “Karena aku tidak pernah merasa... terbuka, selama ini. Dan kamu satu-satunya orang yang membuatku ingin bicara.” Hening. Lalu Elric kembali ke nada dinginnya. “Tapi kalau kamu ingin pergi, aku tidak akan menghentikanmu.” Calla tersenyum tipis, menatap ke arah jendela. “Aku belum mau pergi. Meskipun... aku masih belum tahu kenapa.” Elric menatapnya lama, lalu kembali masuk ke ruangannya tanpa kata. Dan Calla tahu, apa pun yang sedang terjadi di antara mereka... belum selesai. Bahkan mungkin baru dimulai. •••--- Pagi itu, di rumah Elric, suasana terasa berbeda. Mentari pagi menyelinap perlahan lewat jendela besar, menerangi ruang tamu yang dipenuhi aroma bunga segar. Calla berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana tapi anggun, yang dipilihnya sendiri beberapa hari lalu. Rambut hitamnya dibiarkan terurai lembut, tanpa banyak hiasan, karena baginya, hari ini bukan tentang penampilan sempurna, melainkan tentang keberanian untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Di belakangnya, Elric memperhatikan dengan senyum hangat yang jarang ia tunjukkan secara terbuka. Matanya yang biasanya dingin kini penuh dengan rasa sayang dan kekaguman. Ia tahu perjalanan Calla tidak mudah—terlalu banyak luka dan ketakutan yang harus dihadapi, dan hari ini adalah momen di mana Calla memilih untuk membuka diri dan mempercayainya sepenuhnya. “Calla,” suara Elric tiba-tiba memecah keheningan. “Kamu benar-benar cantik hari ini.” Calla menoleh, wajahnya memerah. “Kamu juga terlihat sangat serius, sep
--- Malam itu, udara dingin menusuk hingga ke tulang. Lampu-lampu jalan di sudut-sudut kota tampak redup dan berkelip, menambah kesan sunyi yang mencekam. Calla berjalan dengan langkah hati-hati di lorong parkir gedung kantor, membawa beberapa map arsip yang harus segera diantar ke ruang kerja. Hatinya masih bergetar, kenangan buruk beberapa minggu lalu tak kunjung lepas dari pikirannya. Setiap suara yang samar di sekelilingnya membuatnya menoleh, waspada. Ia tahu, dunia ini bukan lagi tempat yang aman baginya sejak Vincent kembali muncul di hidupnya. Meski sudah berusaha kuat, ketakutan itu selalu mengintai, mengancam setiap detik tenangnya. Tiba-tiba, dari balik bayang-bayang sebuah mobil yang terparkir, tangan kasar meraih lengannya dengan paksa. Calla terperanjat, tubuhnya kaku karena ketakutan. Tatapannya langsung bertemu dengan sosok yang membuat jantungnya hampir berhenti berdetak. Vincent. Mantan yang tak pernah rela melepaskannya. Wajahnya yang dulu penuh pesona kini beru
--- Suasana di apartemen Calla berubah. Dulu tempat itu terasa hangat—penuh bunga, warna-warna lembut, dan aroma lilin aromaterapi yang biasa ia nyalakan. Tapi kini, setiap sisi dipenuhi kamera pengawas, sensor gerak, dan alarm diam. Elric tak ingin mengambil risiko sedikit pun. “Calla gak boleh sendirian, bahkan untuk ke dapur,” katanya tegas pada dua pengawal yang ditugaskan berjaga di dalam unit. “Kalau dia tidur, salah satu kalian tetap berjaga dekat pintu.” Calla yang duduk di sofa hanya diam menatap lantai. Pelipisnya masih dibalut, dan tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Tapi luka yang sebenarnya jauh lebih dalam ada di dalam pikirannya. Malam hari menjadi ujian terberat. Ia sering terbangun dengan napas memburu, tangis tertahan, dan tubuh berkeringat. “Mimpi buruk lagi?” tanya Elric suatu malam, saat ia memeluk Calla yang menggigil. “Dia ada di sana. Selalu. Kadang dia diem aja di pojokan. Kadang dia pegang tanganku,” suara Calla bergetar. “Aku gak tahu cara ngelupain semu
--- Sudah lebih dari seminggu sejak penembakan itu, tapi dunia seakan belum kembali normal bagi siapa pun. Terutama bagi Calla. Luka fisik yang ditinggalkan peluru Vincent mulai pulih secara perlahan, tapi luka batin—itu cerita lain. Ia masih sering mendadak terdiam, matanya kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa-masa gelap yang ia coba kubur. Dan setiap kali Elric mencoba menyentuh tangannya, Calla akan tersentak seolah baru saja disetrum. “Maaf… aku… aku cuma terkejut,” katanya suatu malam ketika Elric menyelimuti tubuhnya. Suaranya kecil, nyaris tak terdengar. “Calla…” Elric berlutut di samping ranjang, menatap wajahnya yang pucat. “Kamu gak harus pura-pura kuat di depanku.” Calla hanya menunduk, jari-jarinya bermain dengan ujung selimut. “Aku cuma… takut semua ini gak akan pernah selesai. Aku mimpi dia datang lagi. Di mimpi itu, aku lari, tapi langkahku terasa berat, kayak tubuhku gak bisa gerak…” Elric mengusap lembut rambutnya. “Aku janji. Dia gak akan per
--- Bau obat-obatan menusuk di setiap sudut lorong rumah sakit malam itu. Lampu-lampu putih menyilaukan, tapi rasanya seperti dunia sedang runtuh. Elric duduk membungkuk di bangku luar ruang operasi, wajahnya tertunduk dalam-dalam, telapak tangan berlumur darah Calla yang mulai mengering. Waktu terasa beku. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Setiap detik berlalu seperti pengingat bahwa ia bisa saja kehilangan Calla—wanita yang selama ini ia jaga dengan seluruh hatinya. Nikolas datang membawa dua cangkir kopi, menaruh satu di sebelah Elric. Tapi Elric tidak menyentuhnya. “Dokter bilang pelurunya bersarang dekat arteri,” suara Nikolas pelan. “Tapi dia masih muda, masih kuat. Kita harus percaya dia bisa bertahan.” Elric menoleh, matanya merah dan basah. “Aku… seharusnya nggak membiarkan dia pergi sendiri.” “Jangan salahin diri sendiri.” “Tapi aku tahu dia masih trauma. Aku tahu Vincent masih membayangi pikirannya, dan aku tetap membiarkan dia sendiri. Aku… aku lengah.” Nikolas hanya
--- Sore mulai turun, langit di atas gedung pameran Convention Center New York terlihat kelabu. Hujan rintik-rintik membasahi jendela besar di lantai dua tempat booth Marvin Corp berdiri. Keramaian mulai berkurang, namun antusiasme masih terasa. Pameran hari itu berjalan sukses—setidaknya sampai Calla memutuskan untuk pergi ke toilet seorang diri. Elric sempat ingin mengantar, tapi Calla meyakinkannya dengan senyum tenang. “Aku cuma ke toilet. Jangan khawatir, ya? Aku akan cepat kembali.” Elric mengangguk, meski hatinya terasa tak nyaman. Calla berjalan menelusuri lorong yang sepi, menghindari pusat keramaian. Suara langkah sepatunya bergema pelan. Belum sampai ke toilet, bahunya tiba-tiba ditarik kuat dari samping. Sebelum sempat berteriak, sebuah tangan membekap mulutnya dengan sapu tangan basah. Dunia seketika kabur. Cairan menyengat menusuk hidungnya, membuat kesadarannya goyah. Saat matanya terbuka kembali, Calla sudah berada di dalam ruangan kosong berlampu temaram, d