•••
Sudah seminggu berlalu sejak Calla bertemu Cassandra—dan kata-katanya yang tajam itu masih membekas seperti goresan samar di kaca jendela yang dingin. Tak tampak, tapi terasa bila disentuh. Meski begitu, pekerjaan tetap berjalan. Lantai 25 selalu sibuk. Dan Elric Mahendra masih pria yang sama: dingin, efisien, dan tak pernah terlihat kehilangan kendali. Tapi di balik mata tajamnya, Calla bisa menangkap sesuatu yang tak bisa ia definisikan. Kelelahan? Kekosongan? Atau... pertahanan? Hari itu, Calla memasuki ruangan Elric membawa map berisi laporan revisi. Ia mengetuk, lalu masuk setelah mendengar sahutan datar dari dalam. “Elric, revisi untuk presentasi klien dari Tokyo sudah saya cetak dan simpan di bagian paling atas,” katanya sambil meletakkan map di mejanya. Elric mengangguk, masih menatap layar laptopnya. “Bagus. Jadwalnya sudah dikonfirmasi?” “Ya, besok pukul sepuluh pagi.” “Elah.” Suaranya pelan. Nyaris seperti gumaman. Calla mengerutkan kening. “Maaf?” Elric akhirnya menoleh. “Maaf. Bukan untukmu. Aku hanya... belum siap bicara panjang lebar dengan orang Jepang hari Kamis pagi.” Untuk sesaat, Calla melihat sisi manusia yang jarang muncul dari pria itu. Ia tersenyum kecil. “Kalau begitu saya siapkan kopi ekstra kuat besok.” Elric menatapnya, lalu—sedikit mengejutkan—tersenyum tipis. Sangat tipis. Hampir tak terlihat, tapi cukup membuat jantung Calla berdetak lebih cepat. Tapi seperti biasa, momen itu menghilang secepat datangnya. Elric kembali menatap layar. Calla hendak pergi saat suara ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal. Ia menjawab, dan suara perempuan menyapa. “Berapa lama kau pikir kau bisa bertahan di sisinya?” Calla terdiam. Nadanya rendah, lembut, tapi penuh ancaman. “Maaf, ini siapa?” “Kau tahu siapa aku. Dan kau tahu apa yang terjadi dengan yang sebelumnya. Dia bukan pria untuk ‘diselamatkan’, gadis kecil.” Telepon terputus. Calla berdiri membeku. Ponsel masih di tangan, matanya menatap kosong ke arah lantai. Napasnya berat. Elric mengangkat kepala. “Kenapa?” Calla meneguk ludah, menggeleng pelan. “Bukan apa-apa.” Elric berdiri. Langkahnya tenang, tapi mendekat. “Wajahmu berubah. Apa Cassandra meneleponmu?” Calla menatapnya, kaget. “Kamu tahu?” “Aku bisa menebak,” ucap Elric pelan. “Dia punya kebiasaan buruk: selalu mencoba mengendalikan yang sudah lepas.” “Kenapa dia begitu?” Elric menghela napas, matanya menatap ke luar jendela besar di belakangnya. “Karena aku tak pernah memberi alasan jelas kenapa aku memutus hubungan profesional dengannya. Dan mungkin dia pikir... itu bukan hanya profesional.” Calla menggigit bibir bawahnya. “Memangnya bukan?” Elric tak menjawab. Tapi dari ekspresinya, jawaban itu rumit. Terlalu rumit untuk dikatakan sekarang. Calla menunduk. “Aku hanya tidak ingin... dibenci karena hal yang bahkan bukan salahku.” Elric menoleh, menatap langsung ke matanya. “Kamu tidak salah.” Mereka diam cukup lama, sampai suara notifikasi dari laptop memecah keheningan. “Kalau begitu saya kembali ke meja,” ujar Calla akhirnya, lalu keluar dengan langkah cepat. Tapi jantungnya masih berdebar tak tenang. ** Menjelang sore, lantai mulai sepi. Sebagian karyawan sudah pulang, hanya beberapa yang masih menyelesaikan laporan akhir bulan. Calla menutup laptopnya, bersiap berkemas. Suara langkah sepatu hak terdengar dari kejauhan. Ketika Calla menoleh, Cassandra berdiri di ujung koridor, menatapnya. “Masih di sini rupanya,” ucap wanita itu sambil berjalan mendekat. Calla berdiri tegak. “Apa Anda perlu sesuatu?” “Bukan darimu.” Cassandra melirik ke arah pintu ruang Elric. “Aku hanya ingin bicara sebentar dengan—” “Kalau ada keperluan, sebaiknya buat janji lebih dulu.” Senyum Cassandra menipis. “Sekarang kamu sudah tahu cara bicara seperti sekretarisnya.” Calla tidak menanggapi. Tapi Cassandra melangkah lebih dekat, suaranya menurun, nyaris berbisik. “Kau pikir dia akan memilihmu?” Calla tak gentar. “Saya tidak sedang bersaing dengan siapa pun.” “Sayangnya, dalam dunia ini... segalanya selalu kompetisi, sayang.” Cassandra menatap ke arah ruangan Elric. “Kau tahu? Aku pernah duduk di mejamu. Mendengar detak jam yang sama. Menyusun file yang sama. Bahkan... melihat senyum yang sama.” Calla menggenggam jemarinya erat. “Saya bukan Anda.” “Oh, kau benar. Kau lebih muda. Lebih... segar. Dan dia mungkin sedang bosan dengan keheningannya sendiri.” “Cukup, Cassandra.” Suara itu datang dari arah pintu. Elric berdiri di sana, mata tajamnya menatap lurus ke arah wanita itu. “Kau tidak diundang.” Cassandra berbalik perlahan. “Aku hanya ingin memastikan kau tidak membuat kesalahan yang sama.” Elric melangkah ke depan, berdiri di antara Cassandra dan Calla. “Aku yang menentukan kesalahan apa yang akan kubuat. Dan kamu tidak lagi punya peran di sini.” Cassandra menatap Elric lama, lalu tersenyum. “Kau mulai melunak. Itu baru menarik.” Ia melangkah pergi tanpa pamit. Suara hak sepatunya bergema di koridor. Calla masih berdiri kaku. Elric menatapnya. “Kamu tidak harus menghadapi itu,” katanya pelan. “Tapi saya sudah menghadapinya.” Mata mereka bertemu. “Elric,” bisik Calla, “kalau saya pergi, kamu akan keberatan?” Elric tak langsung menjawab. Tapi setelah jeda panjang, ia berkata, “Ya.” Jawaban itu membuat napas Calla tertahan. “Karena kamu sekretaris yang baik?” Elric mendekat satu langkah. “Karena aku tidak pernah merasa... terbuka, selama ini. Dan kamu satu-satunya orang yang membuatku ingin bicara.” Hening. Lalu Elric kembali ke nada dinginnya. “Tapi kalau kamu ingin pergi, aku tidak akan menghentikanmu.” Calla tersenyum tipis, menatap ke arah jendela. “Aku belum mau pergi. Meskipun... aku masih belum tahu kenapa.” Elric menatapnya lama, lalu kembali masuk ke ruangannya tanpa kata. Dan Calla tahu, apa pun yang sedang terjadi di antara mereka... belum selesai. Bahkan mungkin baru dimulai. •••••• Hari itu, seperti biasa, Calla berjalan menuju meja kerjanya dengan langkah ringan, meskipun rasa cemas tak bisa disembunyikan. Pekerjaan di lantai 25 semakin menuntutnya untuk beradaptasi, dan Elric Mahendra—selalu tenang, selalu terkontrol—tak memberi ruang bagi kelemahan. Laporan demi laporan, jadwal yang padat, dan pertemuan-pertemuan yang hampir tak pernah berakhir. Semua itu harus ia kelola dengan presisi. Tapi pagi ini ada yang berbeda. Ada perasaan tak nyaman yang membungkam semangatnya. Elric belum muncul di ruangannya hingga pukul sepuluh. Tidak seperti biasanya, ia selalu sudah duduk di meja, memulai pekerjaan dengan tenggat yang selalu lebih ketat dari yang diinginkan siapa pun. Calla duduk di mejanya, membuka komputer, menyusun beberapa dokumen yang perlu disiapkan, sambil sesekali melirik ke ruangannya. Setengah jam berlalu, dan keheningan itu mulai menekan. Calla tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang mengganggu dalam atmosfer k
••• Hari itu, kantor sedikit lebih sepi dari biasanya. Beberapa karyawan sudah pulang lebih awal setelah menyelesaikan presentasi besar untuk klien Jepang. Tapi Calla masih berada di meja kerjanya, menyelesaikan sisa laporan yang harus dikirim malam ini. Di dalam ruangannya, Elric tampak seperti biasa—fokus, diam, dan sedikit terlalu tenggelam dalam pikirannya. Namun sejak pagi, ada yang berbeda darinya. Tatapannya tak sekaku biasanya. Nada suaranya lebih tenang. Bahkan, beberapa kali Calla merasa pria itu mencuri pandang. Pukul tujuh lewat sepuluh menit, saat Calla baru saja mematikan laptopnya, interkom berbunyi. > “Calla. Masuk sebentar.” Calla berdiri, sedikit terkejut. Ia pikir hari ini sudah selesai. Tapi seperti biasa, Elric Mahendra selalu tak terduga. Saat ia masuk, Elric sedang berdiri di depan jendela besar, memandangi kota yang mulai diselimuti cahaya malam. Jasnya sudah ia lepas, hanya kemeja putih yang kini melekat rapi di tubuh tingginya. Lengan kemeja tergulung s
••• Sudah hampir dua minggu sejak makan malam itu. Sejak malam di mana Elric, meskipun tak mengatakannya dengan gamblang, membiarkan Calla melihat sisi lain dari dirinya—sisi yang tidak semua orang tahu ia miliki. Namun ritme kerja tetap berjalan. Waktu tidak menunggu siapa pun, dan kehidupan kantor kembali pada porosnya: rapat, laporan, revisi, tenggat waktu. Dan Calla? Ia semakin dikenal sebagai sekretaris yang tak hanya efisien, tapi juga tenang, cerdas, dan… punya aura yang sulit diabaikan. Termasuk oleh seseorang. Nikolas Adrian, Manajer Divisi Proyek, salah satu orang kepercayaan perusahaan, mulai menunjukkan ketertarikannya sejak Calla berhasil menyelamatkan presentasi besar minggu lalu. Caranya bicara, matanya yang berbinar saat menyapa Calla di pantry, bahkan seringkali membawakannya kopi tanpa diminta—semuanya terlihat jelas. Dan pagi ini, Nikolas menyambangi meja kecil Calla di luar ruangan Elric dengan senyum ramah. "Selamat pagi, Calla. Sudah sarapan?" Calla menole
••• Hari-hari di kantor kembali padat, tapi atmosfernya terasa berbeda. Sejak pertemuan canggung dengan Cassandra dan pernyataan tak terduga dari Elric, Calla merasa ada sesuatu yang berubah—di dalam dirinya, dan di sekitar hubungannya dengan Elric. Namun sebelum ia sempat menata perasaan, Nikolas muncul dengan kehadiran yang sulit diabaikan. Pagi itu, Calla baru saja meletakkan tas di meja ketika suara familiar menyapanya dari sisi kanan. “Calla.” Ia menoleh. Nikolas berdiri di sana dengan senyum hangat dan dua cup kopi di tangan. “Cappuccino tanpa gula. Saya ingat kamu bilang tidak terlalu suka manis.” Calla menerima kopi itu dengan senyum kaku. “Terima kasih, Pak. Tapi Bapak tidak perlu repot.” “Nikolas saja. Dan bukan repot, saya suka melihat senyummu muncul setiap pagi,” ucapnya ringan. Calla tertawa kecil, mencoba menyembunyikan rasa canggung. Ia tahu Nikolas bukan sekadar iseng. Tatapannya terlalu dalam, perhatiannya terlalu konsisten. “Kamu sibuk siang ini?” tanya Ni
••• Pagi hari di kantor terasa lebih hening dari biasanya. Calla datang lebih awal dari jam tujuh, seperti yang Elric minta. Tapi lelaki itu belum juga muncul dari ruangannya. Di meja kecilnya, Calla membuka laptop, mengecek jadwal, dan mempersiapkan dokumen untuk kunjungan ke kantor cabang. Namun, pikirannya masih tersangkut pada dua pesan semalam. Nikolas... Elric... Dua nama, dua dunia. Nikolas membuatnya merasa hangat, dilihat, dimengerti. Sementara Elric… membuatnya bertanya-tanya, berkali-kali. Tentang rasa. Tentang arti perhatian. Tentang dirinya sendiri. Suara langkah terdengar di lorong. Calla mendongak. Elric muncul dengan setelan abu-abu gelap dan dasi hitam. Dingin seperti biasanya, tanpa senyum. Tapi pagi ini ada sesuatu yang berbeda. Cara ia melirik ke arahnya... seperti sedang menyembunyikan badai di balik sorot mata tenangnya. “Makan dulu,” katanya singkat sambil meletakkan satu kotak kecil di mejanya. Calla mengernyit. “Pak?” Elric menatap lurus. “Roti isi, d
••• Calla merasa dadanya sesak pagi itu. Suasana kantor terasa lebih tegang dari biasanya. Begitu banyak hal yang menggelayuti pikirannya—terutama tentang dua orang yang semakin sulit untuk dia abaikan. Nikolas dengan senyum hangatnya, perhatian yang selalu ia berikan, dan kesabaran yang tak terbatas. Elric, dengan sikap dinginnya yang menyelubungi semuanya, namun diam-diam memperhatikannya lebih dari yang ia kira. Di satu sisi, Nikolas membuatnya merasa aman, diterima. Tapi di sisi lain, Elric... membuatnya merasa hidup, dengan ketegangan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, hari itu, masalah lain muncul. Cassandra. Wanita itu sudah datang lebih awal dari biasanya. Calla bisa mendengar langkahnya yang pasti, hak sepatu yang berderap di lantai marmer. Tanpa menunggu, Cassandra langsung masuk ke ruang Elric tanpa izin, seperti dulu—seperti tidak ada perubahan sama sekali. Calla berdiri dari mejanya, mencoba untuk tetap tenang, meski ada ketegangan yang menyelimuti udara.
••• Calla melangkah keluar dari ruang Elric, matanya samar-samar menatap pintu yang baru saja ia tinggalkan. Di luar, suasana kantor tampak tak berubah. Orang-orang sibuk dengan pekerjaan mereka, sama seperti biasa. Namun, hatinya tak pernah sehening itu. Elric, dengan sikap dinginnya yang menembus, telah memancingnya ke dalam kebingungannya lebih dalam. Tadi, saat mereka berbicara tentang laporan yang bermasalah, ada sesuatu yang berbeda dalam cara Elric memandangnya. Ada sesuatu di matanya. Perhatian? Calla tak bisa memastikan. Ia hanya tahu, semuanya mulai terasa lebih kompleks. Tidak hanya tentang pekerjaan lagi. Tidak hanya tentang laporan atau jadwal. Semuanya sepertinya mengarah pada perasaan yang lebih dalam. Perasaan yang ia takutkan untuk diakui. Sementara itu, Nikolas—dengan cara yang lebih terang-terangan—terus mendekatinya. Di setiap kesempatan, Nikolas menunjukkan ketertarikan yang jelas. Setiap senyuman hangat, setiap pertanyaan perhatian, bahkan tatapan mata yang
••• Malam itu, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari yang mulai tenggelam memancarkan cahaya kemerahan yang menyelimuti kota, memberi kesan romantis yang membuat jantung terasa berdegup lebih cepat. Acara BBQ yang diadakan oleh perusahaan di rumah Elric terasa berbeda. Bukan hanya sekedar pertemuan sosial antar kolega, tetapi juga sebuah momen yang akan membuat banyak orang saling berhadapan—baik dalam hal pekerjaan maupun perasaan yang semakin terlarut. Calla berdiri di depan pintu rumah besar Elric, menatap rumah itu dengan campuran rasa cemas dan penasaran. Ia tahu ini akan menjadi acara yang berbeda, bukan hanya untuknya, tapi untuk semua yang hadir. Suasana santai yang diharapkan tak bisa menutupi ketegangan yang ada di antara dirinya, Elric, dan Nikolas. Namun malam ini, ada sesuatu yang tak bisa ia hindari—semua mata akan tertuju padanya. Saat Calla melangkah memasuki halaman belakang rumah Elric, seakan-akan dunia menjadi sejenak terhenti. Banyak kolega dari per
••• Calla memandangi jendela kamarnya yang sedikit terbuka. Udara pagi masuk pelan, membawa aroma khas musim semi yang lembut. Langit masih semburat biru pucat, seakan baru saja bangun dari mimpi panjang. Di pangkuannya, secangkir teh chamomile menghangatkan telapak tangannya yang sempat dingin selama beberapa hari terakhir. Sudah lima hari sejak kejadian itu. Lima hari sejak Elric menemukannya di ambang kehancuran. Lima hari sejak Nikolas datang dan duduk di sisi ranjangnya tanpa berkata apa-apa, hanya menatapnya dengan mata penuh luka. Dan hari ini, ia akan mengambil langkah pertamanya: menghadiri sesi terapi. Seseorang mengetuk pintu. Calla menoleh. “Masuk,” katanya pelan. Pintu terbuka dan Elric muncul, mengenakan setelan kasual—sesuatu yang jarang sekali terlihat darinya. Jaket denim biru tua dan kaus putih sederhana membuatnya terlihat lebih muda, lebih santai... lebih hangat. “Kau siap?” tanyanya. Calla mengangguk pelan. “Aku rasa... ya. Setidaknya, aku akan coba.” Elri
••• Suasana kamar rawat itu hening. Hanya suara detak alat monitor jantung yang terdengar, pelan dan teratur. Cahaya matahari sore masuk dari sela tirai jendela, menciptakan garis-garis emas di atas lantai putih. Calla masih terbaring, matanya terpejam, tapi air matanya terus mengalir pelan. Elric masih duduk di sisi ranjang, tangannya menggenggam erat tangan Calla. Rasanya seperti baru kali ini ia benar-benar menyentuh gadis itu sepenuh hati—tanpa rasa posesif, tanpa rasa cemburu, hanya rasa takut kehilangan dan rasa bersalah yang menggerogoti setiap detik dalam diamnya. Tiba-tiba, pintu kamar diketuk. Elric menoleh, dan pintu terbuka perlahan. Sosok tinggi berjas hitam muncul, dengan wajah tegang dan sorot mata yang tajam. Nikolas. Sejenak, pandangan mereka bertemu. Tegang. Diam. Ada sesuatu yang tak terucap, tapi membara di udara di antara mereka. “Elric,” sapa Nikolas singkat, suaranya dalam. Elric berdiri perlahan, tanpa melepaskan genggaman tangan Calla. “Apa yan
••• Sudah tiga hari berlalu sejak Calla terakhir kali masuk kerja. Tidak ada pesan. Tidak ada kabar. Telepon dari Nikolas tak diangkat. Puluhan panggilan dari Elric tak pernah dijawab. Pesan hanya centang satu—seperti Calla menghilang dari dunia. Tak ada yang tahu, bahwa dunia Calla memang sedang runtuh... dalam diam. Pagi itu, awan kelabu menggantung rendah di atas kota. Cuaca yang sejuk justru terasa menusuk. Dan di sebuah apartemen kecil di sudut Brooklyn, seorang perempuan sedang terkubur dalam keheningan yang mengikis napasnya sendiri. Vincent semakin berani. Hari ini, dia datang langsung ke depan pintu apartemen Calla. Suaranya membentak dan memaksa. Tangannya mengguncang gagang pintu, mencoba mendobrak. “CALLA! AKU TAHU KAU DI DALAM! JANGAN BUAT AKU GILA!” Gedoran keras menggema, membuat dinding seolah bergetar. Tapi Calla tak bergerak. Dari balik sofa, ia meringkuk. Napasnya tercekat. Tubuhnya gemetar hebat. Tangannya memeluk lutut, wajahnya tertunduk dalam, menahan
••• Suasana di kantor pagi itu terasa lebih berat daripada biasa. Calla merasa seakan ada beban yang menggantung di setiap langkahnya. Meskipun ia berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada pekerjaannya, rasa cemas itu terus menggerogoti pikirannya, seolah tidak ada satu pun hal yang bisa mengalihkan perhatiannya dari ketakutan yang makin mendalam. Ketakutan akan masa lalu, ketakutan yang kini semakin nyata, karena Vincent kembali mendekat. Ia merasa terperangkap di antara dua dunia, dua pria yang keduanya ingin ia percayai, tapi hatinya tidak bisa memilih. Pagi itu, seperti biasa, Calla berjalan ke pantry untuk mengambil secangkir kopi. Namun, saat ia membuka pintu, matanya langsung bertemu dengan sosok yang sudah ia coba hindari beberapa hari terakhir. Elric berdiri di sana, memandangnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Ada rasa khawatir yang terpancar dari matanya, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang. Calla tahu Elric peduli padanya, namun ia merasa bahwa semakin dekat p
••• Hari-hari berlalu dengan lambat namun menyesakkan. Calla bangun setiap pagi dengan rasa berat di dadanya, seolah tubuhnya menolak bergerak. Pekerjaan di kantor tak lagi menjadi pelariannya—malah menjadi tempat di mana ia harus berpura-pura kuat, tersenyum saat pikirannya dikepung ketakutan. SMS dari Vincent masih terus berdatangan. “Jangan pikir kamu bisa menyembunyikan diri. Aku tahu tempat tinggalmu sekarang.” “Aku sudah melihatmu pulang malam itu. Kamu tidak pernah berubah, Calla. Masih suka pura-pura bahagia.” Pagi itu, ia duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang tak mampu difokuskan. Tangannya gemetar saat menggenggam mouse, dan matanya terus berpaling ke arah ponsel yang diletakkan terbalik. Ia takut jika membalikkannya, akan ada pesan baru—sebuah kalimat yang bisa meruntuhkan benteng yang sudah rapuh. Elric, seperti biasa, memperhatikannya. Ia mulai melihat bagaimana Calla tak lagi seramah sebelumnya. Gadis itu lebih sering melamun, sering salah menget
••• Sudah beberapa hari berlalu sejak perjalanan ke villa. Namun, bagi Calla, waktu seakan melambat. Kebahagiaan yang sempat ia rasakan di sana—kebersamaan hangat bersama rekan kerja, detik-detik penuh makna bersama Elric—semuanya terasa seperti mimpi indah yang terlalu cepat berlalu. Kini ia kembali ke rutinitas, tetapi ada sesuatu yang berubah. Kegelisahan. Kecemasan. Ketakutan yang menyesap perlahan, seperti kabut yang menyusup melalui celah-celah pikiran. Awalnya, ia mengira itu hanya bayang-bayang kekhawatiran akan hubungan barunya dengan Elric. Perasaannya sendiri masih belum bisa ia definisikan—ia menyukai perhatian Elric, menyukai bagaimana pria itu perlahan membuka diri, menyukai bagaimana ia merasa aman di dekatnya. Tapi ada juga ketakutan yang bersembunyi, mengintai dalam diam. Dan lalu datanglah pesan pertama. “Aku lihat kamu bahagia sekarang. Tapi kamu lupa aku masih di sini.” Calla menatap layar ponselnya lama. Matanya membeku, dan jari-jarinya perlahan mengencang
••• Liburan yang dijanjikan oleh perusahaan itu akhirnya tiba, dan suasana di antara para karyawan terasa berbeda dari biasanya. Keputusan untuk mengadakan acara reward dengan liburan di villa bintang 5 di kawasan pegunungan membawa rasa antusiasme yang berbeda, apalagi bagi Calla. Keindahan alam yang menjulang tinggi di hadapan villa itu, pemandangan hutan hijau yang membentang sejauh mata memandang, serta udara pegunungan yang segar seolah memberikan janji akan waktu istirahat yang sangat dinantikan. Namun, bagi Calla, liburan ini juga berarti waktu yang penuh dengan kecemasan dan ketegangan. Keputusan untuk pergi bersama para kolega dan bosnya, Elric, tentu membawa banyak perasaan yang belum jelas. Perasaan tentang Elric yang kian membingungkan, tentang Nikolas yang tidak pernah berhenti mencoba mendekatinya, dan tentang dirinya sendiri yang masih berusaha menemukan siapa yang benar-benar ia inginkan. Semakin hari, perasaan itu semakin berkembang, dan Calla tahu, liburan ini mung
••• Malam itu, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari yang mulai tenggelam memancarkan cahaya kemerahan yang menyelimuti kota, memberi kesan romantis yang membuat jantung terasa berdegup lebih cepat. Acara BBQ yang diadakan oleh perusahaan di rumah Elric terasa berbeda. Bukan hanya sekedar pertemuan sosial antar kolega, tetapi juga sebuah momen yang akan membuat banyak orang saling berhadapan—baik dalam hal pekerjaan maupun perasaan yang semakin terlarut. Calla berdiri di depan pintu rumah besar Elric, menatap rumah itu dengan campuran rasa cemas dan penasaran. Ia tahu ini akan menjadi acara yang berbeda, bukan hanya untuknya, tapi untuk semua yang hadir. Suasana santai yang diharapkan tak bisa menutupi ketegangan yang ada di antara dirinya, Elric, dan Nikolas. Namun malam ini, ada sesuatu yang tak bisa ia hindari—semua mata akan tertuju padanya. Saat Calla melangkah memasuki halaman belakang rumah Elric, seakan-akan dunia menjadi sejenak terhenti. Banyak kolega dari per
••• Calla melangkah keluar dari ruang Elric, matanya samar-samar menatap pintu yang baru saja ia tinggalkan. Di luar, suasana kantor tampak tak berubah. Orang-orang sibuk dengan pekerjaan mereka, sama seperti biasa. Namun, hatinya tak pernah sehening itu. Elric, dengan sikap dinginnya yang menembus, telah memancingnya ke dalam kebingungannya lebih dalam. Tadi, saat mereka berbicara tentang laporan yang bermasalah, ada sesuatu yang berbeda dalam cara Elric memandangnya. Ada sesuatu di matanya. Perhatian? Calla tak bisa memastikan. Ia hanya tahu, semuanya mulai terasa lebih kompleks. Tidak hanya tentang pekerjaan lagi. Tidak hanya tentang laporan atau jadwal. Semuanya sepertinya mengarah pada perasaan yang lebih dalam. Perasaan yang ia takutkan untuk diakui. Sementara itu, Nikolas—dengan cara yang lebih terang-terangan—terus mendekatinya. Di setiap kesempatan, Nikolas menunjukkan ketertarikan yang jelas. Setiap senyuman hangat, setiap pertanyaan perhatian, bahkan tatapan mata yang