Share

Ada Pernikahan, Ada Uang

Lalu angin malam berhembus di parkiran tempat resepsi pernikahan adiknya. Pak Akhtara hanya menghela nafas kesal sambil menyugar rambut berulang kali. Kentara sekali jika manajerku itu memiliki rahasia yang tidak ingin dibagi.

"Sudahlah, nggak usah bahas dia lagi. Bagi saya, hubungan kami udah selesai!"

"Menurut Bapak udah selesai, tapi gimana nasib saya? Gimana ini, Pak? Pokoknya saya nggak mau menikah sama Bapak! Kesepakatan kita hanya jadi pacar sewaan aja! Nggak lebih! Karena saya nggak mau nikah sebelum punya ekonomi yang mapan!"

"Kamu pikir saya mau nikah sama kamu? Yang nggak pernah saya ketahui seluk belukmu kayak apa? Asal kamu tahu, Han, yang pasti saya ngelakuin ini karena terpaksa!"

Dinikahi lelaki mapan dan berkharisma seperti Pak Akhtara itu tidak ada salahnya. Dia menawan dengan kulit eksotisnya yang bersih. Belum lagi bulu-bulu halus yang memenuhi permukaan kulit tangannya. Tubuhnya tinggi dan ideal.

Hanya saja di usianya hampir mendekati kepala empat. Sungguh bukan tipeku sama sekali dan kami benar-benar tidak memiliki rasa cinta.

Itulah minusnya. Siapa yang mau menikah dengan lelaki berumur mendekati tua seperti Pak Akhtara?

Tiga belas tahun!

Aku seperti anaknya saja.

Padahal posisinya sebagai manajer di kantor cukup untuk dijadikan senjata menggaet perempuan idaman. Namun mengapa justru kekasihnya yang bernama Sabrina itu meninggalkan lelaki mapan dan mempesona seperti Pak Akhtara?

"Kalau kamu nolak menikah sama saya, giliran saya yang dijodohin sama perempuan pilihan Papa, Han! Saya nggak mau dengar penolakan dari kamu!" ucapnya kesal dengan kembali berkacak pinggang.

"Lalu? Bapak nggak mikir gimana perasaan saya?!"

"Apa kamu udah punya pacar?"

Gengsi rasanya jika mengakui aku belum memiliki kekasih. Jadi aku hanya diam dengan melipat kedua bibir ke dalam. 

"Kalau pekerjaanmu kayak gini, saya berani tebak kalau kamu masih jomblo, Han."

"Ngapain Bapak ngurusin masalah pribadi saya?! Mending Bapak cari aja Sabrina yang asli lalu ajak nikah sungguhan. Beres! Lalu saya bisa bebas!"

"Andai saya bisa ngelakuin itu, Han."

"Tinggal dicari apa susahnya sih, Pak?!"

"Dia yang pergi ninggalin saya, Han! Masak iya saya harus mengemis cinta ke Sabrina?"

"Kalau gitu Bapak tinggal bilang sama keluarga kalau Sabrina udah ninggalin Bapak demi yang lain. Saya akan bantu minta maaf ke keluarga Bapak soal hubungan pura-pura kita ini. Perjanjian kita untuk meneruskan hubungan ini juga bisa dibatalkan," jelasku panjang lebar.

"Saya kan udah bilang, kalau saya nggak nikah sama perempuan pilihan saya sendiri maka saya dijodohkan, Han! Kamu pikir juga dong gimana nasib saya kalau dinikahkan sama perempuan yang nggak saya sukai! Hidup kayak di neraka, Han!"

"Lalu kalau kita menikah, apa itu artinya Bapak suka sama saya?"

Pak Akhtara mendesah keras sambil menatapku kesal.

"Kamu tuh o'on banget sih, Han?! Kalau saya menikah sama kamu, seengaknya kamu tuh tahu batasan kita yang cuma pura-pura! Lagian kita udah kenal sebagai atasan bawahan. Nggak susah adaptasinya. Nggak akan ada perasaan yang bercampur karena ada perjanjian! Paham?!"

Aku mengerucutkan bibir dinilai bodoh oleh Pak Akhtara yang jenius itu.

Dan pantas saja beliau mengejarku untuk mau menikah dengannya karena akan menawarkan perjanjian dalam pernikahan ini. 

"Pantas aja kamu nggak naik-naik golongan. Ternyata kamu kurang cerdas!" imbuhnya lagi dengan suara kesal.

"Ya sudah, Bapak nggak usah ngajak saya nikah! Buat apa nikah sama perempuan o'on kayak saya?!"

"Ya ampun, Jihan! Kamu bikin saya sakit kepala! Saya bilangnya apa kamu mahaminnya apa. Dimana sih otakmu?" tanya Pak Akhtara kesal sekali dengan menunjuk pelipisnya sendiri.

"Pokoknya saya nggak mau nikah sama Bapak! Terserah gimana perasaan Bapak! Karena saya juga punya perasaan! Dan bagi saya penikahan itu bukan main-main! Selamat malam!"

Ketika aku baru dua langkah pergi, Pak Akhtara kembali menarik tanganku lebih erat hingga aku kesulitan melepasnya.

"Jangan bikin saya malu di depan keluarga! Saya nggak siap diomelin orang tua karena tahu kamu pacar sewaan saya, Jihan! Harga diri saya bisa hancur!"

"Kalau sama keluarga masih bisa dimaafkan, Pak. Asal bukan orang lain yang tahu."

"Apa kamu lupa ada Tante saya juga di meja tadi, heh?! Intinya, tolong kamu bantu saya. Kita tetap harus menikah."

"Pak, saya ini punya tanggungan hidup yang banyak! Kalau saya menikah, gimana sama urusan pribadi saya?"

"Maka dari itu, kita tegaskan hubungan kita pakai perjanjian pra nikah. Biar kamu dan saya sama-sama tahu batasannya. Lagian untuk urusan kayak gini, saya berani jamin kamu pasti pandai menempatkan diri. Pengalamanmu jadi pacar sewaan udah lama 'kan?!"

"Perjanjian apa yang Bapak maksud?" tanyaku penasaran. 

"Penjanjian pra nikah dan nikah kontrak. Jadi di dalam perjanjian itu, kita bisa mengutarakan apa yang menjadi kesepakatan bersama. Saya nggak akan nuntut banyak ke kamu, hanya bertugas menjadi istri pura-pura sampai saya bisa menemukan perempuan yang tepat lalu kita berpisah baik-baik."

"Tidak mau, Pak. Ribet!"

"Jihan!" Pak Akhtara membentakku dengan mengeratkan cengkeramannya di pergelangan tangan.

Aku hanya meringis lalu mengambil satu langkah menjauh darinya. Tapi beliau mengimbangi dengan maju selangkah.

"Saya tanya, apa yang paling kamu butuhkan sampai mau menggeluti pekerjaan menjadi pacar sewaan?"

Lalu aku memberanikan diri menatap wajah Pak Akhtara yang sangat serius itu.

"Uang lah, Pak," jawabku jujur dengan suara pelan.

"Berapa?"

"Banyak, Pak. Dikasih satu milyar juga oke."

"Jihan!" Pak Akhtara kembali membentakku.

Aku beringsut takut lalu kembali menatap wajahnya yang berubah garang seperti Tyranosaurus.

"Lima puluh juta, Pak," ucapku lirih.

"Untuk apa uang sebanyak itu?"

"Beli rumah, Pak. Cicilannya tinggal sedikit lagi."

Tangan Pak Akhtara masih memegang erat pergelangan tanganku. Lalu beliau kembali berucap.

"Ada uang lima puluh juta tapi kamu harus mau jadi pengantin saya. Nggak ada aturan ribet apapun. Kamu tetap bebas asal hidup seatap sama saya. Karena nggak lucu kalau orang tua saya datang ke rumah tapi kamu nggak ada sama saya."

Aku menatap Pak Akhtara dengan mata membelalak tidak percaya.

"Hidup seatap sama Bapak?"

Kepala Pak Akhtara mengangguk tegas.

"Menikah sama saya dan lima puluh juta itu langsung saya kirim ke rekeningmu. Nggak pakai lama."

Ah ... bodoh!

Jika Pak Akhtara bisa memberiku lima puluh juta dengan mudahnya, mengapa aku tidak meminta lebih saja?

Seratus juta sekaligus misalnya. Untuk melunasi cicilan rumah dan membuka usaha.

"Gimana, Han? Ada pernikahan kontrak, ada uang."

Juniarth

enjoy reading ...

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status