Aku menggigit bibir bawah sambil berpikir keras menanggapi permintaan manajerku ini. Karena aku berani bertaruh, gajinya yang tidak sedikit itu pasti telah menghasilkan pundi-pundi rupiah yang tebal di dalam rekening tabungannya.
Bagai menemukan harta karun!
Namun, mengapa hatiku berteriak tidak siap jika satu atap dengannya juga peraturan seperti apa yang ditawarkan dalam pernikahan kontrak ini?
"Saya ... bingung, Pak," jawabku teramat polos.
Pak Akhtara berdecak kesal lalu manatapku kesal, "Katanya kamu butuh uang. Sekarang udah saya tawarkan uang lima puluh juta, kamu bingung. Gimana sih kamu ini, Han?!"
"Wajar lah saya bingung, Pak. Tiba-tiba disuruh menikah sama Bapak padahal kita nggak pernah kenal akrab. Cuma satu kantor jadi atasan bawahan."
"Namanya juga nikah kontrak, Han. Nggak perlu pakai acara kenalan atau apa lah. Ini tuh nikah palsu istilahnya. Nggak ngapa-ngapain. Nggak ada bulan madu atau malam pertama. Kamu tetap utuh kayak semula saya nyewa kamu. Paham?"
Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal lalu menatap Pak Akhtara malu-malu.
"Gimana kalau saya mau seratus juta, Pak? Kalau setuju, saya siap nikah sama Bapak."
Kedua bola mata Pak Akhtara melebar sempurna dengan mulut sedikit terbuka, "Kamu mau meras saya, Han?!"
"Bu ... bukan gitu, Pak. Saya ... eh ... saya punya banyak tanggungan soalnya, Pak."
"Tetap lima puluh juta dan kita nikah kontrak! Kamu jangan ngelunjak!"
Akhirnya aku mengangguk dengan perasaan takut selepas dibentak Pak Akhtara.
"Gitu kan cepat deal-nya. Nggak usah muter-muter."
"Lalu gimana sama perjanjiannya, Pak?"
"Perjanjian nikah kontrak maksudnya?"
"Iya lah, Pak."
Pak Akhtara kemudian mengulir layar ponselnya sesaat untuk mencari sesuatu di dalam sana. Kemudian ia mengulurkan ponselnya padaku.
"Baca, Han. Itu adalah poin-poin dalam perjanjian nikah kontrak secara garis besar. Selebihnya bisa kita tambahi sendiri lalu tanda tangan di atas kertas bermaterai."
Mataku membaca cepat isi pasal perjanjian nikah kontrak itu. Mulai dari kamar tidur yang terpisah, tidak mencampuri urusan masing-masing, tidak ada hubungan intim, batasan gaji yang diberikan tiap bulannya, dan kapan pernikahan ini akan usai.
Kemudian kepalaku mengangguk paham seraya mengembalikan ponsel itu pada Pak Akhtara.
"Saya setuju sama pasal-pasalnya, Pak."
"Kamu bisa pikirin lagi mau nambah kesepakatan apa. Yang penting dalam satu minggu kedepan isi perjanjian udah harus fix dan kita saling sepakat."
"Iya, Pak. Akan saya pikirkan nanti kalau udah di kosan."
"Yang penting bagi saya kamu bisa memerankan tugas sebagai seorang istri yang benar ketika berhadapan dengan keluarga besar saya. Untuk pasal yang lain-lain itu nggak terlalu penting."
"Kenapa tidak penting buat Bapak?"
"Karena orang tua saya biasa berkunjung ke rumah seminggu tiga kali. Jadi yang terpenting adalah kamu bisa memerankan tugas dengan baik, Han."
Kepalaku mengangguk paham lalu terlintas sebuah hal di benak. Ini sedikit krusial dan butuh untuk dibicarakan jika orang tua Pak Akhtara sering bertandang ke rumah manajerku itu.
"Pak, saya mau tanya."
"Apa?"
"Ini tentang profesi sampingan saya sebagai pacar sewaan. Ehm ... karena saya sudah menandatangani kontrak perjanjian dengan manajemen pacar sewaan, itu artinya saya diharuskan untuk melayani klien yang membutuhkan jasa saya meski kita udah nikah, Pak. Bagaimana jika orang tua Bapak datang tapi saya posisi di luar rumah?"
"Coba kamu pikir, Han. Apa bisa kamu membelah diri menjadi dua bagian?"
Kepalaku menggeleng dengan menatap ragu Pak Akhtara. Apakah ini artinya aku tidak diberi izin tetap melakoni pekerjaan pacar sewaan itu selama menjadi istri palsunya?
"Kamu udah tahu apa jawabannya."
"Jadi, saya nggak boleh kerja jadi pacar sewaan selama jadi istri pura-pura Bapak?"
"Kalau kamu bisa membelah diri menjadi dua, nggak masalah kamu mengerjakan dua hal sekaligus. Siapa tahu kamu bakat jadi amuba," sindirnya.
Aku hanya bisa menghela nafas panjang dengan menahan amarah. Karena beliau menyamakanku dengan hewan yang tidak memilik sel. Apa-apaan itu?
"Pertanyaan selanjutnya, Pak!"
"Oke," ucapnya santai dengan mengangguk.
"Saya ... kalau tidak diizinkan bekerja di manajemen pacar sewaan, lantas bagaimana dengan ... biaya hidup saya? Karena ... saya juga punya tanggung jawab orang tua dan ... cicilan properti."
Kepala Pak Akhtara mengangguk paham.
"Jadi pacar sewaan itu termasuk bisnis sampingan kamu ya?"
"Iya."
"Kenapa nggak mencoba bisnis lain?"
"Kalau mencoba bisnis lain berarti saya nggak akan jadi istri palsu Bapak! Lagian, emang Bapak mau modalin usaha buat saya?"
"Nggak sih, Han."
Sudah tahu tidak mau mendanai usaha untukku tapi masih saja mengejek profesi sampinganku ini. Dasar Pak Akhtara!
"Lalu, gimana sama biaya hidup saya?"
"Kan kamu kerja di kantor yang sama dengan saya. Apa gajinya kurang?"
"Pak, cicilan properti saya itu mahal. Orang tua saya kedua-duanya juga tidak bekerja! Bapak gimana sih?!"
"Lha ... mana saya tahu, Han."
Aku yang sudah terbakar emosi akhirnya tidak bisa menahan diri untuk melawan manajerku itu.
"Ya sudah, saya batal aja jadi istri palsu Bapak! Dari pada saya nggak bisa bayar cicilan dan orang tua saya nggak makan! Silahkan Bapak cari kandidat lain yang lebih tepat! Permisi!"
Baru dua langkah, Pak Akhtara kembali mencekal pergelangan tanganku.
"Bayar cicilan dan menghidupi kedua orang tuamu pakai bayaran yang saya kasih karena mau jadi istri palsu saya. Selebihnya, saya akan bantu kamu mengatur keuangan biar nggak boros. Karena saya tahu berapa gaji staff kayak kamu."
Aku mendelik tidak habis pikir karena Pak Akhtara akan ikut mengatur penghasilanku.
"Tapi itu kan --- "
"Dulu kamu pasti hidupnya enak, Han. Makanya nggak bisa ngatur keuangan dengan baik dan terjebak dalam dunia pacar sewaan kayak gini. Maaf, bukannya saya menghakimi takdir hidup kamu, tapi saya ingin memberi manfaat dari pengalaman hidup saya yang berawal dari staff juga."
Apa yang dikatakan Pak Akhtara tidak salah sama sekali. Aku ini anak tunggal dari keluarga berada kemudian harus terlunta-lunta seperti ini karena semua aset papa habis untuk mencalonkan diri menjadi anggota legislatif.
"Sekarang, ada masalah yang lebih penting dari itu, Han."
"Apa, Pak?"
Kemudian Pak Akhtara melepas genggamannya dari pergelangan tanganku.
"Saat akad nanti, kamu pasti butuh wali."
Bukankah itu artinya ...
"Hah?! Jadi ... kita nikahnya tetap resmi secara agama dan negara, Pak?" tanyaku tidak habis pikir.
"Kamu jangan ngaco deh, Han. Orang tua saya pasti tanya lah, mana orang tuamu dan mereka pasti nggak mendukung saya nikah siri apalagi nikah kontrak. Bisa dipenggal kepala saya."
Aku membasahi bibir sambil memikirkan solusinya. Ya Tuhan, aku benar-benar awam tentang hal seperti ini.
"Apa kamu punya ide, gimana caranya agar pernikahan kontrak kita tetap berjalan aman dan lancar? Terutama keluarga saya biar nggak ada yang curiga."
"Gimana ya, Pak? Saya juga bingung. Nggak pengalaman soal beginian, Pak."
"Kira-kira, orang tuamu diajak kong kalikong kayak gini, mau nggak ya, Han? Maksudku bersediakah mereka menikahkan kamu dengan saya hanya dalam kurun waktu tertentu? Tapi saya berani jamin, kamu nggak akan saya sentuh sedikit pun."
Aku menghela nafas panjang sambil membayangkan sifat Papa dan Mama.
Jika aku mengatakan hal ini bukankah mereka akan mengerti profesi sampinganku dan setuju kah mereka dengan pilihan hidupku kali ini?
Menjadi istri palsu manajerku demi segepok uang?
enjoy reading....
POV AKHTARA Satu tahun kemudian ... "Selamat, Pak. Bayinya lahir sehat. Perempuan."Aku yang sedang menemani Jihan melahirkan secara sesar itu pun tidak kuasa menahan haru dan bahagia karena kami dipercaya Tuhan untuk merawat cipataan-Nya yang sangat lucu dan menggemaskan.Adiknya Akhtira. Setelah suster membersihkan putri kami tercinta, aku segera menggendongnya. Lalu melafadzkan suara adzan di telinganya. Dengan mata berkaca-kaca, aku mencium pipinya penuh cinta. Lalu memberikannya pada Jihan yang masih terbaring di atas meja operasi. "Mau Ayah kasih nama siapa?""Aksara Badsah Ubaid."Kemudian Jihan terlihat sedikit memanyunkan bibir."Aku yang hamil susah payah, tapi nama kedua anakku mirip Ayah semua." Protesnya. "Ya udah saya ganti.""Diganti apa?""Aksara Febriana Ubaid."Jihan menganggukkan kepala setuju dengan melakukan skin ship bersama putri kami. "Namanya kelihatan ada ceweknya. Kalau yang pertama kayak laki-laki, Yah.""Apapun yang kamu mau, Sayang."Kemudian aku da
POV AKHTARARumah megahku yang berada di Bogor terasa begitu sepi, dingin, dan mati. Tidak ada suara tawa atau celotehan Akhtira.Dulu aku mendiami rumah ini hanya untuk menaruh lelap, berganti pakaian, dan berpesta dengan rekan-rekan bisnis. Bukan sebagai tempat untuk melepas kepenatan atau mendulang kebahagiaan.“Dulu saya suka pulang ke rumah ini karena ada kamu, Han,” ucapku.Sambil bergelung dengan satu selimut yang sama dengan Jihan. Di kamar yang ia tempati dulu.“Gombal. Nyatanya Bapak juga masih keluar sama Merissa padahal ada saya di rumah.”Kemudian aku membawanya dalam pelukan hingga kulit kami saling bersentuhan.“Saya nemenin Merissa belanja doang. Dan sengaja pulang agak malam biar kamu cemburu.”Tangan Jihan kemudian memukul dadaku.“Jahat!”Aku tersenyum lalu mencium kening dan memeluknya.“Saya jahat sama kamu dan jahat sama diri saya sendiri. Saya pengen cepat pulang, ketemu kamu, lalu mendapatkan hak saya. Tapi saya sengaja ngulur-ngulur waktu biar kamu cemburu. Soa
POV AKHTARA“Pa, aku sama Ayahnya Tira mau ke Bogor,” ucap Jihan ketika kami semua duduk di kursi meja makan.“Ngapain ke Bogor?!” Tanya Papanya Jihan ketus.Jihan yang sedang menyuapi Akhtira kemudian menatapku yang duduk di sebelah putraku itu.Kemudian Papanya Jihan langsung menatapku dengan ekspresi tidak suka.“Mau merencanakan apa lagi kamu, Akhtara?! Nggak usah bawa-bawa Jihan pergi jauh dari kami! Kami nggak percaya sama kamu!”Inilah alasan kuat mengapa Jihan dan Akhtira tidak diperbolehkan untuk tinggal seatap saja denganku. Mereka berpikir jika aku masihlah jahat seperti dulu. Dan sudah pasti aku harus sabar dan kuat menghadapi sikap mereka.“Aku khawatir kamu udah bikin rencana di Bogor lalu Jihan sama Tira nggak pulang-pulang! Kalau kamu mau ke Bogor, pergi aja sendiri sana!”“Meski Jihan udah kembali jadi hakmu, tapi aku sebagai Papanya nggak mau kejadian buruk itu kembali terulang!”Usai menelan makanan, aku menatap Papanya Jihan, mertuaku.Aku menyadari mengapa amarah b
POV AKHTARA Dengan jarak sedekat ini sambil menatap wajah cantik Jihan, aku benar-benar terlena. Wanita yang ada di hadapanku saat ini telah resmi menjadi istriku, pendamping hidupku. Tidak ada kata terlarang untuk menyentuh wajahnya dengan kedua tanganku. Bahkan aku dihalalkan untuk menyentuhnya lebih dari ini. Andai tidak lupa akan janjiku untuk membuatnya nyaman terlebih dahulu, mungkin aku bisa memilikinya saat ini juga.Kemudian aku menurunkan kedua tangan dari wajahnya lalu berdiri dari bersimpu dan mundur dua langkah. Sungguh, berdekatan dengan Jihan membuat naluriku sebagai seorang pria tergugah sepenuhnya.Kini aku benar-benar tahu mengapa saat bersama Merissa, aku tidak pernah sukses menjadi pria sejati. Jawabannya sudah pasti karena aku tidak mencintai dia sama sekali dan hatiku benar-benar menginginkan Jihan seorang. "Kenapa, Pak?" Aku menggeleng sembari tersenyum. "Saya cuma mau kamu nyaman dulu, Han. Saya takut kalau nggak menjaga sikap, justru kamu yang terpaksa."
POV AKHTARA Usiaku hampir menyentuh angka empat puluh lima tahun. Sedang Jihan masih berusia tiga puluh tahun. Perbedaan usia kami membuat ia lebih cocok menjadi keponakanku. Dan sebagai pria yang sudah berumur, siapa yang tidak senang jika memiliki istri yang masih muda, cantik, dan solehah?Inilah yang disebut dengan perhiasan dunia. Apalagi dia telah melahirkan keturunanku yang sehat dan tampan, Akhtira."Khilaf?" Tanya Jihan keheranan.Dengan bersedekap sambil menyandarkan punggung pada pintu kamar hotel yang kami tempati, aku fokus menikmati wajah cantik Jihan yang penuh dengan riasan pengantin dari kejauhan.Sungguh cantik!Lalu aku mengangguk sekilas. "Maksudnya?""Kalau kemarin saya cuma bisa mencintai kamu tanpa bisa memiliki, maka berbeda dengan sekarang. Saya boleh mencintai kamu sedalam apapun karena kamu resmi hanya akan menjadi milik saya aja, Han."Jihan nampak sedikit salah tingkah dengan ucapanku lalu dia membuang muka. Imut dan menggemaskan sekali.Andai aku tidak
POV AKHTARA Aku sudah tidak merasa asing lagi dengan sebutan 'perjanjian pra nikah'. Karena ketika aku akan menikahi Jihan untuk kedua kalinya dan memberinya madu dengan menikahi Merissa, aku menggunakan perjanjian pra nikah dengan alasan untuk melindungi harta bendaku. Saat itu, aku mencampuradukkan hal yang disebut cinta dan sayang dengan racun bernama dendam. Hingga aku menganggap Jihan dan Merissa adalah sama-sama perempuan yang harus kuwaspadai mana kala akan mengeruk hartaku semata.Tapi ternyata, aku keliru besar. Karena saat menikahi Jihan untuk kedua kalinya, dia benar-benar sudah berubah. Hanya aku saja yang tidak menyadari. Hingga tega menduakannya dengan Merissa. "Aku restui niat baikmu kembali menikahi Jihan untuk ketiga kalinya, Akhtara."Aku langsung tersenyum lega dengan perasaan bahagia tiada terkira mendengar ucapan Papanya Jihan. Meski beliau mengatakannya dengan ekspresi yang datar dan acuh. "Agama cuma ngasih kamu batas menikahi Jihan hanya tiga kali. Dan jang