Kiria keluar dari laboratorium sambil memijat pundak. Hampir seharian dia berada di depan komputer untuk mengolah data dua pasien yang mengaku keracunan obat uji coba PT. Farma Medikal. Tubuh terasa kaku dan mata berkunang-kunang.Saat melangkah di paving blok, Kiria tak sengaja menendang batu. Dia pun kehilangan keseimbangan. Kiria melakukan gerakan berputar. Sialnya, dia malah menuju got."Shit!" umpatnya."Ketuaaa!" Arlita dan Yanto yang berada di depan pintu kompak menjerit.Keduanya berlarian ke arah Kiria. Namun, mereka malah bertabrakan dan terjerembab. Amira menepuk kening.Sementara itu, Kiria memejamkan mata, bersiap malu. Namun, sepasang tangan kokoh mendadak melingkar erat di pinggangnya. Aroma got dan rasa sakit tidak dirasa."Istriku yang sangat teliti kenapa jadi ceroboh seperti ini? Apa karena terlalu merindukanku?" Bisikan menggoda dari suara familiar membuat Kiria tersentak.Dia membuka mata perlahan. Wajah Arya begitu dekat, hingga napas terasa menampar wajah. Sorot
Setelah memastikan obrolan rahasia dua pasien di dalam telah berganti dengan topik tak penting, barulah Kiria mengetuk pintu. Para wanita itu seketika mengubah ekspresi wajah. Mereka mendadak memasang raut wajah korban teraniaya. Wanita yang berbaring di ranjang bahkan meringis sambil memegangi pipi kanan."Ya, siapa?" tanyanya dengan suara lemas dan sedikit serak.Kiria membuka pintu lebih lebar. Dia memasuki ruang rawat inap dengan langkah-langkah tegas dan berkharisma. Amira dan penanggung jawab pengujian klinis mengekor. Kiria berhenti di samping tempat tidur."Saya Kiria Purnama Sari, Ketua Tim Pengembangan Obat PT. Farma Medikal," ucapnya santun memperkenalkan diri. "Dan ini asisten saya Amira.""Oh, jadi kamu yang bikin obat berbahaya itu? Kami hampir mati gara-gara obatmu! Lihat temanku ini, sampai sekarang pipinya terus menerus sakit! Kalian harus tanggung jawab!" omel wanita yang duduk di kursi."Benar! Pipi saya masih sakit! Saya pasti akan menuntut kalian!" timpal wanita y
"Gawat, Ketua! Gawat!" ulang Yanto lagi.Kiria menghampiri Yanto. "Apanya yang gawat, Yan?""Itu! Itu! Itu! Aduh, itu!" jerit Yanto sambil memukul-mukul Arlita.Meskipun Arlita sudah berkorban menjadi sasaran pukulan manja Yanto, pemuda itu tetap tak bisa melanjutkan kata-kata. Napasnya tersengal. Dia berkali-kali ingin bicara, tetapi hanya suara tak jelas yang keluar dari mulut.Ketika mata Yanto sampai membelalak dan terlihat akan kehabisan napas. Kiria menepuk pundaknya dengan lembut. Dia membimbing pemuda kemayu itu untuk mengatur napas sejenak."Yanto, ambil napas, embuskan pelan-pelan," ulang Kiria hingga tiga kali.Napas Yanto mulai stabil. Kiria meminta Yanto untuk duduk terlebih dulu. Dia juga meminta Amira mengambilkan air minum."Minum dulu, Yan," tawar Kiria saat menyodorkan botol air mineral yang tadi diambilkan Amira.Perlahan, wajah pucat Yanto mulai berwarna. Napasnya juga sudah benar-benar stabil. Kiria menarik kursi terdekat, lalu duduk berhadapan dengan Yanto."Seka
Arya duduk diranjang sambil bersandar. Jemarinya bergerak lincah di atas keyboard. Mata elang terpusat pada layar laptop di pangkuan.Setelah berdiskusi dengan sang ayah hampir seharian, dia tak ingin membuang waktu. Dokumen kontrak kerja sama yang bermasalah harus segera diselesaikan. Untunglah, nyeri akibat cedera di kamar mandi sudah mereda, hanya sedikit berdenyut di beberapa bagian."Arya, makan dulu," tegur Kiria yang baru masuk kamar.Dia mendekat sambil membawa nampan berisi mangkok yang masih mengepulkan asap. Aroma sop ayam membuat perut Arya berbunyi, meminta jatah. Arya menyimpan terlebih dulu dokumen yang tengah digarap dan meletakkan laptop di nakas."Dari aromanya, sepertinya sangat lezat. Ternyata, istriku ini tak hanya piawai di laboratorium, tapi juga di dapur, " celetuk Arya dengan senyuman menggoda.Meskipun pipinya merona, Kiria berpura-pura tak terlalu menanggapi. Dia menata meja lipat di depan Arya. Kemudian, sop ayam pun diletakkan di atasnya."Makanlah dulu ba
Satya memejamkan mata, siap mendapatkan hukuman apapun dari sang ayah. Namun, beberapa menit telah berlalu, hanya keheningan yang menyergap. Entah kenapa, kondisi tersebut membuat Satya merasa semakin tercekik.Helaan napas terdengar sebelum Abimana bergumam dengan nada penuh kekecewaan, " Satya, kamu memang sangat polos seperti mamamu. Kepolosan mamamu memang yang membuat Papa jatuh cinta, tapi jika terlalu polos, kalian bisa saja terjebak bahaya. Tidak semua orang di dunia baik hati seperti kalian, lebih banyak manusia berhati kejam."Satya membuka mata perlahan. Abimana memang tidak terlihat akan menghukum. Sang ayah malah terus bicara tentang kepolosan Rose yang beberapa kali hampir menghancurkan rumah tangga mereka di masa muda."JIka saja Papa tidak secinta itu pada mamamu, mungkin sudah lama Papa tergoda oleh teman mamamu yang dibawanya sendiri ke rumah." Abimana terdiam sejenak. "Dulu, mamamu malah marah karena Papa menyingkirkan temannya sejauh mungkin dari kota ini. Untungla
Ponsel Abimana tiba-tiba berdering. Nama Arya tertera di layar. Abimana menghentikan interogasi dan memilih menerima panggilan. "Ya, halo. Ada apa, Arya?""Maaf menganggu liburan Papa dan Mama. Ada masalah dengan kontrak kerja sama 2 tahun lalu. Jadi, perlu tanda tangan Papa.""Kirim saja file-nya lewat email. Akan Papa pelajari dulu.""Sudah kukirim, Pa.""Oke, Papa cek."Abimana langsung memeriksa kotak masuk email-nya. Benar saja ada pesan dari Arya. Dia cepat membuka file dan melakukan analisis dengan cermat.Abimana terus berdiskusi dengan Arya via telepon sambil memeriksa dokumen kontrak kerja sama. Masalah Satya menjadi terlupakan. Satya diam-diam menghela napas lega. Berbeda dengan Satya, Rose langsung menggerutu, "Lihatlah papamu itu, Satya! Lagi liburan pun bekerja juga. Sebelas dua belas sama kakakmu itu!"Satya merangkul bahu ibunya. "Sudahlah, Ma. Mungkin memang ada hal gawat. Papa dan Kak Arya yang jenius pasti akan menyelesaikannya dengan cepat," hiburnya.Demi mengam