"Nia belum pulang, Nek?" ulang Kiria.
Mira mendecih. "Kalau sudah pulang, untuk apa aku menunggu di depan pintu? Dari tadi kutelepon, tidak menyambung." Kiria mendesah berat. Kepalanya mendadak terasa berdenyut. Pikiran buruk menghantui benaknya, terlebih mengingat kejadian di ruangan klub malam. "Si Aldino sial*n ini, apa lagi maunya? Seharusnya, aku tidak bodoh memercayakan Nia!" desis Kiria tajam. Sayangnya, gerutuannya terdengar Mira. Sang nenek seketika memukul mulutnya dengan remot TV. Kiria menatap protes, tetapi Mira malah mengangkat tangan. Satu tamparan hampir saja mendarat di pipi Kiria. Beruntung, dia berhasil menghindar. "Mulutmu itu seperti tidak sekolah saja! Jaga omonganmu! Bagaimana kalau Nak Aldino sampai tahu pacarnya sekasar ini? Kapan lagi keluarga ini punya kesempatan punya mantu sekaya Nak Al. Kenapa bukan Nia yang manis saja yang pacaran dengan Nak Al? Pasti lebih serasi." Kiria tak mengacuhkan omelan sang nenek. Dia lebih memilih menghubungi nomor Aldino. Lelaki itu harus memberi penjelasan kenapa adiknya belum diantar pulang. Sayangnya, delapan panggilan tak juga terhubung. Kiria mulai menggigiti kukunya. "Hei, anak sial! Kamu dengar tidak? Tuli hah?" "Aduh, Nek! Aku lagi hubungi Aldino. Tadi, Nia itu pergi ke klinik sama Al. Jadi, kalau Nia belum pulang dan hapenya tidak bisa dihubungi, ya, aku hubungi Aldino." Wajah Mira berubah cerah. Senyuman lebar terukir di bibirnya. Kiria sampai merinding. Entah kenapa raut wajah sang nenek mengingatkannya dengan ekspresi penyihir jahat di film fantasi yang tengah merencanakan rencana licik. "Sudah biar saja tak usah dihubungi. Biasa anak muda mungkin ingin menikmati malam." "Sudah selarut ini-" "Halah!" potong Mira. "Kamu cemburu tho?" tuduhnya dengan semena-mena. Kiria hanya mendesah berat. Cemburu pada Aldino tak ada dalam kamusnya. Saat melihat Aldino hendak berciuman dengan Kanania, amarahnya justru lebih disebabkan tak terima adiknya hendak dilecehkan. Bahkan, Kiria juga beberapa kali pernah memergoki perselingkuhan Aldino, tetapi tak terlalu peduli. "Heh? Anak sial! Sudah tidak perlu dihubungi lagi." "Tapi, Nek, bagaimana kalau Nia dalam bahaya-" "Nia kenapa, Kiria?" Suara lembut bernada cemas membuat Kiria dan Mira kompak menoleh. Riana, ibu Kiria yang baru datang dari luar kota berdiri di depan pintu dengan wajah pucat. Tak lama kemudian, Agung, ayah Kiria juga masuk. Lelaki paruh baya itu tampak kebingungan. "Lho, kenapa malah ngumpul depan pintu?" Riani memeluk lengan suaminya. "Tadi, Kiria bilang Nia dalam bahaya, Yah." Agung mengalihkan pandangan pada Kiria. "Apa maksudmu, Nak? Nia sakit?" Kiria menekan kening. Dia sempat menggaruk kepala yang tidak gatal sebelum menceritakan kembali masalah Kanania dan Aldino yang belum juga pulang. Tentu saja, Kiria tak membahas peristiwa di klub malam. "Kamu sudah hubungi mereka?" "Sudah, Yah, hape Nia kayaknya mati. Aldino tidak mengangkat telepon." "Halah, paling mereka cuma keasyikan jalan-jalan," sergah Mira. Dia menatap Kiria dengan sorot mata mengejek. "Wajar, Nak Al lupa waktu. Nia, kan, cantik, ramah, beda sama seseorang yang jelek dan membosankan." Agung menghela napas berat. "Bu, aku tidak pernah mengajari putriku menjadi pelakor. Masa adik merebut pacar kakaknya. Aku malah khawatir kalau mereka kecelakan di perjalanan," tegurnya. Mira tersentak. Kini, dia juga ikut panik. Mira terlalu berambisi menjadikan cucu kesayagannya istri orang kaya. Dia jadi tak terpikirkan kemungkinan buruk lain seperti kecelakaan. "Ayo kita cari Nia!" desak Mira. "Mencari tanpa tujuan jelas akan membuang waktu, Nek." "Lalu, kamu mau adikmu terlambat ditemukan begitu? Tidak usah dicari?" "Bukan begitu, Nek. Aku punya teman yang bisa melacak orang. Selama hape Aldino aktif, kita bisa menemukan lokasinya." "Ayo cepat kamu hubungi temanmu itu!" desak Riana. Kiria mengirimkan pesan ke nomor yang diberi nama Mr. Penguin. Hanya dalam beberapa menit, pesan balasan datang. Bunyi notifikasinya membuat Agung, Riani, dan Mira menatap penuh harap. Kiria membuka pesan dan membacakannya, "Apartemen Angkasa Jaya, tower A, lantai 5, nomor 11." Riana seketika menutup mulut saat mendengar kata apartemen. Sementara Agung refleks meninju dinding. Selama ini, mereka selalu mendidik anak-anak dengan berbagai norma dan aturan ketat. Lelaki itu tentu tak ingin membayangkan putrinya terjerat pergaulan bebas apalagi dengan pacar kakak sendiri. Hanya Mira yang tersenyum simpul. Kiria mencoba menenangkan sang ayah. "Kita jangan berprasangka buruk dulu, Yah. Ini, kan, lokasi Aldino. Bisa saja Nia pergi ke tempat temannya dan Aldino kembali ke apartemennya." Agung mengepalkan tangan. "Sebaiknya begitu atau pacar kamu itu akan ayah buat jadi perkedel!" desisnya tajam. "Kamu jangan asal ngomong, Agung!" protes Mira." "Dia bawa anak perempuan orang ke apartemen pribadi. Beduaan, Bu!" "Biasa saja zaman sekarang. Zaman sudah maju." "Bu!" "Ayo kita pergi saja ke sana, Yah!" potong Kiria cepat sebelum ayah dan neneknya bertengkar lebih jauh. Mereka berpacu dengan waktu. Aldino tak mungkin mengajak Kanania ke apartemen untuk bermain rumah-rumahan. Lelaki itu bahkan pernah memberikan kartu akses ke apartemen berharap Kiria mau diajak tinggal bersama seperti pasangan-pasangan bebas lainnya. Setelah beberapa kali desakan Kiria, mereka pun pergi menuju apartemen Aldino. Perjalanan selama setengah jam terasa mencekam. Riana bahkan langsung menghambur ke luar setelah Agung memarkir mobil. Hanya Mira yang terus menyungingkan senyuman tipis. "Ayo, Ayah, Ibu, Ria, kita harus cepat menemukan Nia!" desak Riana. "Sebentar, Ma, aku nyari kartu aksesnya dulu." Setelah mengacak-acak isi tas, Kiria menemukan kartu akses. Mereka pun bisa memasuki apartemen tanpa perlu berurusan dengan petugas keamanan dan membuat kehebohan. Selama perjalanan menuju kamar Aldino, Riana terus menggigiti bibir sementara Agung susah payah menahan amaranhya. Kiria yang berjalan paling depan merasa tercekik. "Ini kamarnya, Yah," celetuk Kiria setelah berhenti di kamar dengan nomor 11. "Akan kupastikan Aldino mendapatkan pelajaran jika macam-macam," desis Agung yang siap mengebrak pintu. Kiria memegangi tangan ayahnya. "Tunggu, Yah, jangan membuat keributan. Kita bisa diusir keamanan nanti. Aku tahu kata sandinya." "Kenapa kamu bisa tahu? Jangan-jangan kamu sering nginap di sini? Dasar murahan!" maki Mira. Agung menatap tajam si putri sulung. Kiria mengumpat dalam hati. Otak neneknya ini memang perlu dibawa ke bengkel. Giliran Kanania yang menginap dianggap baik. Kalau Kiria yang melakukannya akan disebut murahan. "Aldino yang memberitahu, tapi ini juga pertama kalinya aku ke sini, Nek. Ciuman saja tidak pernah kuizinkan Aldino melakukannya. "Bagus, kamu memang anak yang baik," puji Agung, membuat Mira mencibir diam-diam. Kiria tak ingin memedulikan sang nenek. Dia cepat memasukkan beberapa nomor. Kunci apartemen terbuka. Kiria menelan ludah saat mendorong pintu perlahan.["Maaf, aku tidak bisa menemuimu hari ini. Aku mendadak harus ke Paris. Kita buat janji lagi lain kali."] Begitulah pesan dari Bram. Arya memilih tidak membalas. Dia mendengkus lalu memblokir nomor Bram dan menghapus semua pesan yang ada. Drrtt drrttPonsel Kiria kembali bergetar. Tulisan Bos Rese memanggil tertera di layar. Arya seketika mengerutkan kening. Makhluk mana lagi di perusahaan yang berani menganggu istrinya? "Halo," ketus Arya setelah menerima panggilan. "Arya, kenapa malah kamu yang kesal? Harusnya aku yang kesal. Kamu salah bawa hapeku!" omel suara familiar dari seberang sana. Arya seketika tersedak. Dia memang menukar ponsel dengan Kiria agar Bram tak terhubung langsung dengan sang istri. Namun, Arya tentu tak menyangka Kiria masih belum mengubah nama kontaknya dari sebelum menikah. "Iya, maaf, aku tadi salah bawa, tapi kenapa nama kontakku di hapemu Bos Rese?" protes Arya. "Dulu, kan, kamu memang rese, Arya," sahut Kiria tanpa rasa bersalah. "Tapi diubahlah, k
Wajah Arya seketika merah padam. Tangan kirinya mengepal kuat. Sementara tangan kanan mencengkeram ponsel Kiria, hampir saja memecahkan layarnya. Arya mengatur napas sejenak. Amarahnya perlahan mereda. Dia tahu sebesar apa cinta Kiria meskipun sang istri kadang terkesan cuek. Sebuah pengkhianatan terasa mustahil. "Apa mungkin Raka pakai nomor baru?" gumam Arya sambil mengelus dagu. "Tidak, gaya tulisannya berbeda, yang ini terkesan jadul."Arya merenung sejenak. Dia melirik pintu kamar mandi. Kiria masih belum keluar dari sana. Sementara orang tua dan adiknya sudah tak lagi berdebat, hanya mengobrol santai. Arya menatap tajam lagi dua pesan masuk di layar ponsel. Dia mendengkus kasar. Setelah mendinginkan pikiran, Arya memutuskan membalas pesan. ["Maaf, ini dengan siapa?"]Pesan baru kembali masuk. ["Ini Bram."]Arya mengerutkan kening. Dia mencoba mengingat-ingat nama tersebut. Namun, tak ada satu pun kenalan mereka bernama Bram. Arya tersentak saat pesan dari Bram kembali masuk
"Opa, aku tidak menyangka seseorang secerdas Opa percaya dengan tahayul murahan seperti itu," sindir Arya. "Arya! Kamu masih bisa bersikap santai setelah apa yang terjadi pada mamamu? Kamu dibutakan wanita ini!" bentak Baskoro sambil menunjuk-nunjuk wajah Kiria. Arya lagi-lagi menghela napas berat. Dia sengaja berdiri di depan Kiria. Sikap tegasnya menunjukkan pada sang kakek dan dua orang licik itu bahwa melindungi sang istri adalah prioritasnya. Arya bahkan rela melepaskan semuanya termasuk status sebagai penerus Keluarga Wijaya demi Kiria. "Arya! Kamu benar-benar menjadi budak cinta yang tol–""Aku bukan bucin tolol, Opa!" potong Arya. "Kejadian yang menimpa Mama sudah kuselidiki dengan jelas. Kecelakaan itu disengaja. Aku sudah menangkap supir yang mencoba menabrak Mama. Dia mengaku dibayar seseorang."Abimana seketika mengepalkan tangan. Tatapannya begitu tajam, seolah bisa membunuh seseorang. Suasana pun berubah mencekam. Sosok tenang dan bijak sepertinya terbakar amarah tent
Arya menatap tajam Kiria. “Jangan-jangan kamu makan pedas lagi, ya? Sudah tahu ada mag kenapa masih bandel?” omelnya.“Aish! Siapa yang makan pedas? Sudah seminggu ini aku tidak makan pedas,” gerutu Kiria.Arya menatap penuh selidik. Tampaknya, dia masih belum percaya. Kiria memang pernah mencuri-curi kesempatan memakan hidangan pedas dan harus menderita berhari-hari akibat penyakit mag yang kambuh.“Hei, aku bicara jujur.”“Benarkah? Lalu kenapa tiba-tiba mual-mual?”Kiria terdiam sejenak. Dia benar-benar tidak memakan makanan pedas. Pekerjaan di laboraorium juga sudah tidak terlalu ketat dan mengharuskan bergadang. Jadi, Kiria jelas juga bukan masuk angin.“Hmm kenapa ya? Mag kambuh bukan, masuk angin juga bukan.” Kiria tak sengaja melihat kalender di nakas. “Kalau dipikir-pikir, yang terakhir sudah dua bulan lalu. Jangan-jangan aku ....”Kiria seketika bangkit dari kasur. Dia menarik laci nakas dan mengeluarkan kantong plastik hitam. Arya hanya bisa terbengong-bengong saat sang ist
Bram membuka mata perlahan. Dia mengerutkan kening. Sebelumnya, Bram masih berada di apartemen. Namun, pria itu kini berada di padang rumput menghijau. Dia mencoba mengedarkan pandangan, hingga sosok wanita yang dicintainya tertangkap pandangan.Wanita itu tengah duduk di tikar piknik. Aneka makanan terhidang di hadapannya. Saat Bram bertemu pandang, dia tersenyum dan menatap penuh cinta, membuat jantung bertalu. Namun, Bram masih termangu, belum bisa memercayai penglihatannya.“Apakah ini mimpi?” gumam Bram."Papa! Papa! Kenapa diam? Ayo kejar aku, Papa!" Suara riang anak kecil membuyarkan lamunan Bram. Dia mengalihkan pandangan. Gadis kecil berkucir kuda tampak cemberut di antara tangai bunga matahari. Bocah yang berwajah mirip dengan wanita yang dicintainya itu melambaikan tangan dengan tak sabaran."Papa! Papa! Ayo!" desak si gadis kecil.Bram tak lagi peduli jika yang dilihatnya mimpi atau bukan. Dia hanya ingin menikmati ini selama mungkin, keluarga kecilnya yang bahagia. Bram
Bram memijat kening yang berdenyut hebat. Rasa panas terasa membakar tubuh. Berkali-kali Bram mengumpat pada aktris lawan mainnya di film terbaru.Wanita itu sudah lama menaruh hati pada Bram. Sebenarnya, aktris-aktris lain juga memendam rasa. Namun mereka tak cukup nekat memaksa naik ke tempat tidur Bram dengan jebakan obat. “Pak Bram, beristirahatlah dulu di sini. Saya akan mencarikan obat penawar dulu,” tutur asistennya sembari membantu Bram berbaring di tempat tidur kamar hotel dengan hati-hati.Waktu sudah cukup lama berlalu, asistennya tak jua kembali. Bram menggeram, mencengkeram sprei. Rasanya dia akan mati dalam beberapa menit lagi. Ketika terdengar suara pintu dibuka, Bram refleks berdiri. Dia sedikit oleng. Namun, tetap melangkah cepat ke arah pintu.Suara pintu yang ditutup terdengar. Satu sosok melangkah dengan sempoyongan ke arah Bram. Mereka bertabrakan, sehingga sosok itu jatuh ke pelukan Bram.“Tolong, aku haus sekali,” keluh sosok yang ternyata seorang gadis muda d