Pintu telah terbuka sempurna, menampilkan pertunjukkan memalukan di sofa.Tangisan histeris Riana seketika memenuhi udara. Agung merangsek masuk, menyeret Aldino dan menghajarnya. Mira bergegas mengejar, mencegah Agung bertindak lebih jauh.
"Agung, jangan kau pukul calon cucu menantuku!" "Bu! Dia sudah melecehkan putriku!" "Belum tentu, bisa saja mereka suka sama suka!" Agung dan Mira terus berdebat. Riana hanya bisa terduduk di lantai sambil terisak-isak. Kiria menghela napas berat. Dia menutup pintu dan menguncinya sebelum aib keluarga mereka menjadi konsumsi para penghuni apartemen lain. Kiria mengambil pakaian yang berserakan di lantai dan melemparkannya kepada Kanania. Selanjutnya, dia mendekati Riana dan memeluk erat sang ibu. Sementara itu, Kanania yang mendapat lemparan pakaian pun tersadar. Gadis itu menangis histeris. "Ayah, jangan pukul Kak Al! Ini bukan salah Kak Al!" jeritnya dengan air mata bercucuran. Tinju Agung menghantam tembok. Dia mengalihkan pandangan pada putri bungsunya. Tatapan dengan sorot mata penuh kekecewaan tergambar jelas. "Apa ayah seburuk itu mendidikmu, Nia?" tanyanya dengan suara berat yang bergetar hebat. Tangisan Kanania dan Riana mendadak terhenti. Keheningan menyergap membuat suhu udara terasa turun drastis. Lama mereka semua terjebak dalam kesunyian yang mencekam, hingga akhirnya Agung menghela napas berat. "Ayo kita bicarakan masalah ini sampai tuntas," desahnya berat. "Ayah, kami dijebak! Kami hanya korban," cerocos Kanania setelah melihat ayahnya sudah tak seemosi sebelumnnya. Tatapan Agung sedikit melunak. Kanania melihatnya sebagai kesempatan. Selanjutnya, dia pun mulai menjelaskan tentang jebakan yang dimaksud. Kanania mengaku telah diberikan obat oleh teman-teman Aldino yang jail hingga mereka terperangkap dalam situasi memalukan itu. "Dengar itu! Mereka hanya dijebak. Tidak mungkin cucuku menggatal!" seru Mira berapi-api. "Tadi, katanya suka sama suka, tapi sekarang tidak mungkin menggatal. Dasar nenek tidak konsisten!" gerutu Kiria dalam hati. Agung menghela napas dan mengusap wajah lelahnya. Sementara itu, Riani kembali terisak, lalu memeluk Kanania, mengeluhkan nasib putrinya yang malang. Kiria melirik sinis Aldino, dia mengumpati lelaki itu dalam hati. "DIjebak teman Aldino? Mana mungkin! Pasti si Aldino berengs*k ini juga turut serta dalam rencana! Adikku ini benar-benar lugu atau bodoh?" "Saya akan bertanggung jawab, Om," celetuk Aldino tiba-tiba memecah keheningan. Agung mendelik tajam. Riani menatap Kiria dengan sorot mata bersalah. Kanania tampak kebingungan. Sementara itu, senyuman samar terukir di bibir Mira, membuat Kiria sampai menggeleng pelan. "Bagaimana dengan Kiria, hah?" cecar Agung. "Ya, mereka tinggal putus tho!" sergah Mira. "Bu!" Kiria berdeham menghentikan pertengkaran sia-sia antara ayah dan neneknya. Walaupun Aldino tidak ingin bertanggung jawab pada Kanania, dia juga tidak mungkin melanjutkan hubungan dengan pria berengsek yang tega menjebak adiknya. Bahkan tanpa ada kejadian ini, Kiria belum terpikir untuk menjalin hubungan lebih serius mengingat sepak terjang si playboy. "Mau ngomong apa kamu? Pokoknya, kamu harus mengalah sama adikmu! Nak Al juga lebih serasi dengan Nia," cerocos Mira hampir tanpa jeda. Riana yang tadi memeluk Kanania mendekati Kiria dan mengenggam tangan si putri sulung dengan erat. " Nak, Nia sudah ternoda seperti ini. Ibu mohon kali ini mengalahlah untuk adikmu," pintanya dengan mata berkaca-kaca. Kiria menghela napas berat, lalu menatap Kanania. "Nia, kamu yakin ingin menikah dengannya? Bahkan dia berani menyentuh adik dari pacar sendiri. Entah apa lagi yang bisa dilakukannya." "Kak Al juga dijebak, Kak." Kiria tersenyum sinis. "Yakin? Bukan dia otak rencananya?" "Halah, kamu cuma tak terima Nak Aldino sama Nia! Kamu masih ingin jadi Nyonya keluarga Mahendra. Kamu itu mana pantas!" sergah Mira. Kiria seketika tertawa lepas. "Nyonya di Keluarga Mahendra? Nenek mikirnya kejauhan. Aku bahkan tidak pernah berpikir untuk menikah. Ikatan seperti itu rasanya akan menganggu penelitianku saja. Aku tidak cinta-cinta amat sama Aldino." Mira melotot. Kata-kata Kiria kali ini juga membuat Agung dan Riana ikut mendelik tajam. Namun, sebelum suami istri itu mengomel, Aldino yang tadinya meringkuk tak berdaya setelah dipukuli malah meradang. Pemuda itu melangkah cepat ke hadapan Kiria. "Tidak cinta! Kamu cuma berkilah karena cemburu, 'kan? Kalau tidak cinta, mana mungkin mau pacaran denganku." Kiria menyahut dengan tenang, "Dulu, aku menerima pernyataan cintamu karena keadaan saat itu tidak memungkinkan untuk menolak. Lagipula juga bisa jadi tameng jika ada pertanyaan kapan nikah." Kiria terkekeh. Adino semakin meradang dibuatnya. Kiria mendekat dan menepuk pelan bahu Aldino. Tindakan ini membuat Kanania yang masih menangis di sofa ketar-ketir. Dia sudah mengobankan segalanya. Jika Kiria berhasil merebut kembali Aldino, semua usahanya akan sia-sia. Kiria tersenyum sinis dan berbisik, "Kalau terpaksa harus menikah, daripada sama kamu, bosku yang galak itu masih jauh lebih baik." Aldino mengepalkan tangan. "Kiria, kamu!" "Rani, Shanti, Melia, Tiara, Shasa." Wajah Aldino mendadak pucat saat sederet nama perempuan diucapkan Kiria. Gadis-gadis itu memang selingkuhannya selama mereka berpacaran. Tak Aldino tahu, para selingkuhannya menghubungi Kiria untuk menghancurkan hubungan mereka. "Apakah aku harus memperlihatkan video yang mereka kirimkan padaku?" desis Kiria tajam. Aldino memucat. "Kamu ngomong apa, hah? Jangan banyak alasan!" sergah Mira, membuat Aldino diam-diam menghela napas lega. "Jangan harap kamu bisa menggagalkan pernikahan Nak Al dan Nia!" Mira terus saja mengomel. Kiria tak diberi kesempatan untuk membuka kedok si playboy Aldino. Akhirnya, Kiria memilih mengurungkan niatnya. Dia terpikir neneknya juga tidak akan percaya dengan video bukti. Bisa-bisa Kiria dituduh mengedit viedo itu. "Ya sudahlah, terserah kalian saja." "Bagus kalau kamu tahu diri," ejek Mira. Mereka pun kembali membicarakan masalah aib yang telah terjadi. Akhirnya, kesepakatan dibuat. Aldino akan menikahi Kanania dalam waktu tiga bulan. Kiria mengepalkan tangannya diam-diam. Sebuah rencana gila melintas di benaknya. ***"Obat itu sebenarnya ....""Tuan Bayu Rahardja, saya pikir Anda masih ingin kerja sama dengan PT. Farma Medikal berjalan dengan baik bukan?" sergah Arya cepat.Bayu terkekeh. "Waduh, Pak Arya yang sangat profesional ini tumben sekali melibatkan masalah pribadi," sindirnya."Kumohon ...," gumam Arya lirih.Arya menatap Bayu dengan mata memelas. Bayu sangat menikmati momen itu. Bayangkan saja seorang presiden direktur arogan yang selalu mendominasi kini bergantung padanya karena perkara obat penawar dan takut ditinggal istri tidur sendiri malam ini. Bayu yakin jika Kiria tahu kebenarannya, pasti akan pindah ke kamar lain untuk sementara.Kiria menggerakkan tangan di depan wajah Bayu. "Yu, Bayu? Tadi, kamu mau ngomong apa? Kenapa obat penawar afrodisiaka ini-"Bayu menepuk kening. "Ah, ya, kau benar Kiria. Sepertinya, aku salah liat. Kemasannya sedikit mirip." Dia mengambil kembali obat dari Kiria dan memberikan obat nyeri dengan kemasan mirip.Kiria terkekeh. "Untung saja, aku memeriksa
Brak!Kiria membuka mata. Dia memang sempat terpejam karena terlalu tegang. Namun, bunyi keras membuatnya tersentak."Arya!"Kiria keluar dari bathub dan dengan cepat menutupi tubuh dengan handuk. Dia menghampiri Arya yang tergeletak di lantai porselen. Lelaki itu tampak memegangi handuk pinggangnya sambil meringis."Ya ampun, kamu kenapa? Kamu baik-baik saja?" cecar Kiria."Lantainya licin, aku terpeleset," sahut Arya. Dia mencoba memijat panggul dan kakinya. "Padahal, kamar mandi selalu dibersihkan setiap hari, kenapa bisa licin," keluhnya.Kiria melihat aliran sabun bekas tumpahan dari bathub di lantai. Jatuhnya Arya jelas karena kelalaiannya. Dia cepat menghilangkan bukti, mengambil diam-diam keset di luar kamar mandi dan mengelap bekas sabun itu. Untunglah, Arya yang kesakitan tak melihat."Itu karena karma. Kamu mau mengusiliku," ketus Kiria mencoba mengalihkan perhatian Arya sementara dia melempar keset kembali ke luar kamar mandi."Bukan usil, aku serius mau menagih hakku," se
"Itu ... hanya kesalahanpahaman Arya.""Kesalahpahaman? Sepertinya, tidak sesederhana itu."Tatapan Arya masih tampak menusuk, seperti membongkar kebohongan. Untunglah, Kiria masih mampu mengendalikan ekspresi. Pengamalan menghadapi Kanania yang dulu membuatnya lebih terampil dalam bersandiwara."Benar-benar kesalahpahaman, Arya. Tadi, aku masuk ke dapur diam-diam karena tidak ingin membangunkan yang lain. Ternyata, aku malah bikin kaget Mbok Darmi dan Menik yang lagi bersihin dapur. Aku cuma hampir ditabok pakai panci karena dikira maling," jelas Kiria sambil menunjuk panci yang tergeletak di meja.Beruntung sekali, tadi Menik memang sedang mengeringkan panci. Kiria pun bisa menjadikannya alibi. Arya menyipitkan mata. Kecurigaannya jelas masih terpancar.Kiria cepat mengambil tindakan memeluk lengan Arya. Mendapat dekapan mesra, wajah sang suami pun melunak. Kewaspadaan tampak menurun drastis."Sudahlah, Arya, ayo kita ke kamar dan istirahat. Badanku juga sudah lengket harus cepat ma
Viola menjerit, lalu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Amarah menyeruak dalam dada. Bagaimana tidak? Saat dia membuka pintu, pemandangan dalam kamar membuat hati terbakar api cemburu."Kenapa, Vio? Kamu baik-baik saja?" tanya Satya sambil ikut melongok ke kamar.Wajah Satya seketika memerah. Dia memalingkan wajah. Sementara itu, Kiria yang tengah duduk di punggung Arya sambil memijat bahunya menoleh. Keningnya berkerut melihat raut wajah Satya dan Viola."Ada apa dengan mereka? Seperti habis melihat adegan vul-" Kiria tersentak. "Sial*n!" umpatnya.Dia cepat-cepat turun dari punggung Arya yang hanya mengenakan celana pendek itu. Jika tidak tahu kondisi sebenarnya, adegan memijat bahu terkilir itu akan terlihat begitu sensual. Kiria mengacak-acak rambutnya sendiri."Anu ... maaf, Kak, kami menganggu," tutur Satya dengan canggung."Ya, sangat menganggu," ketus Arya menambah kesalahpahaman, membuat Kiria seketika memelototinya."Maaf, Kak, kami benar-benar tidak sengaja," sahut Sat
"Astaghfirullah!"Tolong! Cepat tolong perempuan itu!""Panggil ambulans! Cepat! Telpon ambulans!"Jeritan panik bersahutan. Kanania bahkan nekat hendak ikut melompat. Beruntung, salah seorang pelayan kafe sempat memeganginya. Adapun Cantika terlalu syok, langsung jatuh pingsan dan tergeletak di lantai kafe. Pengawalnya yang mengawasi sedari tadi segera membawa gadis itu pergi.Sementara itu, Kiria yang menjadi pusat perhatian melakukan salto di udara dua kali. Dia berpijak sebentar pada pembatas balkon di lantai dua. Kemudian, Kiria berputar dengan cantik, sebelum mendarat mulus ...."Aduh!""Arggh!"Erangan dari suara-suara familiar membuat Kiria tersentak. Seharusnya, dia mendarat di semak yang lembut. Namun, kakinya terasa menginjak sesuatu yang keras, seperti tubuh berotot. Kiria mengalihkan pandangan ke arah kanan bawah dan seketika terbelalak."Arya? Bukannya kamu di luar kota? Kenapa malah tiduran di semak? Jadi, keinjak, 'kan?" Kiria menoleh lagi ke kiri bawah. "Pak Raka? And
Pagi itu, Kiria menikmati menu baru di kafe langganan bersama Kanania. Sang adik tiba-tiba mengajak bertemu. Kebetulan, akhir pekan ini Arya tengah ke luar kota, jadi Kiria bisa pergi ke mana saja tanpa diekori. "Bukannya kamu lagi sibuk syuting, Nia? Tumben banget ngajak ketemu.""Syuting dekat sini, take buat akun udah selesai kok, Kak." Kanania bersandar di bahu Kiria. "Sejak Kakak nikah, kita, kan, jadi enggak bisa ketemu tiap hari. Aku kangen tau," rengeknya.Kiria terkekeh. Dia mencubit pipi sang adik dengan gemas. Kanania berpura-pura mengerutkan bibir, padahal jelas sekali matanya memancarkan kebahagiaan. "Kapan lagi coba kakak ipar cemburuan itu tidak menganggu waktuku bersama Kak Ria?" gumamnya dalam hati. Kanania pun memanfaatkan kesempatan itu untuk bermanja-manja pada Kiria. Banyak hal diceritakannya, tentang karir yang semakin membaik, ketegasan Raka pada Atasya yang menyebabkan perang dingin Keluarga Respati dan Keluarga Rahardja. Tak lupa pula Kanania menanyakan pek