Saat wajah Arya dan Kiria hanya berjarak beberapa senti, Arya kembali berbisik lembut, "Aku sangat merindukanmu, Ri-"
Belum habis ucapan Arya, Kiria menggunakan sedikit celah untuk membalikkan posisi. Arya malah terkekeh dan menatapnya dengan sorot mata nakal. Kiria merinding dibuatnya. Kemudian, dia dengan paksa membuka mulut sang atasan dan meminumkan air mineral berisi obat penawar. "Ughh ... Sial!" umpat Arya sembari memegangi kepalanya. Kiria menggunakan kesempatan itu untuk mendorong Arya. Setelah lolos dari pelukan sang atasan, dia langsung berdiri di dekat pintu. Namun, gadis itu malah mendengar obrolan para pengawal. "Baru pertama kali Pak Arya tidak menolak wanita." "Benar juga, biasanya, meskipun diberi obat, tetap bisa mengusir para wanita yang mendekat." "Bukannya tadi juga begitu? Partner bisnis bawakan wanita, tapi diusir semua." "Apa Pak Arya menyukai Bu Kiria-" Deheman dan pelototan Kiria menghentikan obrolan para pengawal. Gadis itu sempat-sempatnya menceramahi mereka agar bersikap profesional. Para pengawal yang tadi bergosip pun meminta maaf. "Kami minta maaf, Bu. Ini pertama kalinya Pak Arya bersikap seperti itu. Jadi ...." "Mau pertama kali atau bukan, tetap tidak pantas kalian seperti itu. Pak Arya hanya hilang kendali karena kita terlambat memberikan penawar. Jangan berpikir macam-macam!" tegas Kiria. Meskipun terlihat begitu profesional, sebenarnya Kiria hanya tak terima dikatakan disukai Arya. Membayangkannya saja sudah tak masuk akal. Makhluk sedingin es itu jatuh cinta kepadanya? Wanita-wanita supermodel saja diempaskan oleh Arya, apalagi Kiria si penggila kerja yang sangat tidak modis, terkadang bau asam sulfat pula. Sementara itu, kesadaran Arya perlahan pulih. Obat penawar mulai meredakan efek afrodisiaka. Dia memegangi kepalanya beberapa saat, lalu mengalihkan pandangan ke pintu. Kiria tampak asyik mengobrol dengan para pengawal, membuat Arya mendelik tajam. "Bu Kiria, tolong kemari!" perintahnya. Kiria seketika menghentikan obrolan. Dia melirik Arya takut-takut. "Bapak sudah beneran sadar?" "Iya, cepat kemari!" Kiria tampak masih ragu. Setelah sang atasan mendelik tajam, barulah dia benar-benar mendekat. Namun, Kiria tetap berdiri dan menjaga jarak. "Duduklah!" Kiria duduk sembari melirik dengan sorot mata cemas. DIa juga tetap menjaga jarak. Tatapan tajam mata elang membuatnya berkali-kali menelan ludah. Sedikit saja Arya bergerak, Kiria akan bergeser menjauh. "Kenapa kamu menatap saya seperti itu? Memangnya saya binatang buas yang hendak menerkam." "Tadi, kan, Bapak mau menerkam saya." Kiria memukul mulutnya sendiri. Bisa-bisanya dia keceplosan. Arya menghela napas berat. Wajah dinginnya terlihat lebih sinis, membuat rasa ingin mencakar muka orang menguat dalam hati Kiria. "Itu karena kamu sangat lamban. Kondisi saya seharusnya tidak seburuk itu jika kamu datang tepat waktu." Kiria mengumpat dalam hati. Bukannya minta maaf hampir melecehkan, atasannya itu malah menyalahkan. Meskipun Kiria memang juga ada kesalahan, tapi semua itu terjadi karena ada insiden tak terduga. "Ya, saya terpisah tadi dengan pengawal karena ada keributan di lantai satu. Saya, kan, tidak pernah ke tempat seperti ini, jadinya tersesat, Pak," cerocos Kiria. Dia tentu sedikit berkilah. Gadis itu tak mau sang atasan tahu keterlambatannya karena ada masalah pribadi. Bisa habis Kiria kena semprot. Mungkin karena kasihan, pimpinan pengawal masuk dan ikut menjelaskan, "Ini juga kesalahan kami, Pak, tadi Bu Kiria sampai salah ruangan dan hampir dipukuli orang." Arya seketika mendelik. Tangannya mengepal kuat. Pimpinan pengawal menunduk dengan khidmat. Dia hanya pasrah mendapatkan teguran keras dari sang bos. Kiria diam-diam mencibir. "Dipukuli apanya? Aku yang memukuli teman-teman Aldino yang berengsek itu," gerutunya dalam hati. "Lain kali, kamu harus menjaga orang saya dengan benar! Jika sampai terjadi lagi, jangan harap kamu bisa melihat matahari lagi!" "Siap, Pak!" Kiria segera menyela, "Tidak seburuk itu, kok, Pak. Saya juga tadi enggak kalah sama pria-pria itu. Lagipula, saya heran kenapa Bapak meminta saya mengantarkan obat? Pengawal Bapak yang mengambilkan juga bisa, 'kan?" Arya mendelik. "Saat masuk ruangan ini pertama kali, apa yang kamu lakukan?" "Menutup lagi pintunya, udara di ruangan tercemar." Kiria seketika menepuk kening. Ternyata, Arya juga memiliki penciuman sensitif. Dia menyadari perngharum ruangan mengandung obat, sehingga melarang pengawal masuk. Kiria bergidik membayangkan jika para pengawal itu terkena pengaruh obat bersama-sama. Suara Arya berubah sedikit lebih lembut. "Saya tahu kamu sangat cerdas dan pasti bisa mengatasi situasinya." "Terima kasih pujiannya, Pak." Tring! Notifikasi muncul di layar ponsel Kiria. Sejumlah uang masuk di rekening pribadinya. Arya mengancingkan kemejanya, juga menyugar rambut agar kembali rapi. "Bonus dari saya," jelasnya. "Terima kasih banyak, Pak." Kiria melirik arloji di pergelangan tangannyanya. "Sudah selarut ini. Kalau Bapak sudah baik-baik saja, saya permisi dulu, ya, Pak." Kiria bangkit dari sofa. Dia membungkukkan badan, lalu bebalik. Baru saja berjalan beberapa langkah, tangan kokoh itu mengenggam pergelangan tangannya. "Saya antar kamu pulang." "Tidak perlu repot-repot, Pak. Saya mau balik ke perusahaan, masih ada data yang belum selesai." Arya mendelik. "Masih bekerja? Selarut ini? Saya akan antar pulang! Ini perintah!" Oleh karena tak ingin semakin lama bersama aatasan galak, Kiria pun mengiayakan. Dia juga mengirimkan pesan kepada Arlita untuk menunda beberapa pengujian. Sementara itu, Arya bangkit dari sofa dengan elegan. Bahkan kibasan jasnya saja sudah terlihat seperti pemeran utama pria kaya di drama-drama. Mereka keluar dari ruangan beriringan. Meskipun Arya memintanya berjalan berdampingan, Kiria tetap memilih berada di belakang atasan. Perdebatan terjadi lagi saat mereka hendak memasuki mobil. "Kenapa kamu mau masuk di situ?" tegur Arya saat Kiria membuka pintu di sebelah supir. "Masa saya di samping Bapak!" jerit Kiria dalam hati. "Duduk di sebelah saya. Di depan itu tempat Sandi." "Baik, Pak." Akhirnya, Kiria mengalah. Sepanjang perjalanan, jantungnya terus berdegub kencang. Rasa takut bercampur dengan rasa gugup karena pesona sang presiden direktur yang entah kenapa semakin terpancar saat sedekat itu. Kiria bahkan pura-pura tertidur agar tak perlu berbincang. Ketukan di dahi membuat Kiria membuka mata. Ternyata, mereka sudah sampai. Kiria kembali berterima kasih, lalu keluar dari mobil. Dia menunggu hingga Porsche milik Arya menghilang dari pandangan, barulah masuk sembari mengucapkan salam dan disambut sebuah pelukan hangat. "What's up? Nenek memelukku? Enggak salah nih?" gumam Kiria dalam hati. "Nia, akhirnya kamu pulang. Nenek cemas." Belum sempat Kiria menyahut, Mira, sang nenek sudah mendorongnya dengan kasar. Wanita tua itu langsung mencerocos dengan segala omelan dan sedikit makian. Kiria hanya bisa pasrah "Cuih! Dikira Nia yang pulang, ternyata si anak sial!" Kiria seketika terbelalak. "Nia? Nia belum pulang?" ***["Maaf, aku tidak bisa menemuimu hari ini. Aku mendadak harus ke Paris. Kita buat janji lagi lain kali."] Begitulah pesan dari Bram. Arya memilih tidak membalas. Dia mendengkus lalu memblokir nomor Bram dan menghapus semua pesan yang ada. Drrtt drrttPonsel Kiria kembali bergetar. Tulisan Bos Rese memanggil tertera di layar. Arya seketika mengerutkan kening. Makhluk mana lagi di perusahaan yang berani menganggu istrinya? "Halo," ketus Arya setelah menerima panggilan. "Arya, kenapa malah kamu yang kesal? Harusnya aku yang kesal. Kamu salah bawa hapeku!" omel suara familiar dari seberang sana. Arya seketika tersedak. Dia memang menukar ponsel dengan Kiria agar Bram tak terhubung langsung dengan sang istri. Namun, Arya tentu tak menyangka Kiria masih belum mengubah nama kontaknya dari sebelum menikah. "Iya, maaf, aku tadi salah bawa, tapi kenapa nama kontakku di hapemu Bos Rese?" protes Arya. "Dulu, kan, kamu memang rese, Arya," sahut Kiria tanpa rasa bersalah. "Tapi diubahlah, k
Wajah Arya seketika merah padam. Tangan kirinya mengepal kuat. Sementara tangan kanan mencengkeram ponsel Kiria, hampir saja memecahkan layarnya. Arya mengatur napas sejenak. Amarahnya perlahan mereda. Dia tahu sebesar apa cinta Kiria meskipun sang istri kadang terkesan cuek. Sebuah pengkhianatan terasa mustahil. "Apa mungkin Raka pakai nomor baru?" gumam Arya sambil mengelus dagu. "Tidak, gaya tulisannya berbeda, yang ini terkesan jadul."Arya merenung sejenak. Dia melirik pintu kamar mandi. Kiria masih belum keluar dari sana. Sementara orang tua dan adiknya sudah tak lagi berdebat, hanya mengobrol santai. Arya menatap tajam lagi dua pesan masuk di layar ponsel. Dia mendengkus kasar. Setelah mendinginkan pikiran, Arya memutuskan membalas pesan. ["Maaf, ini dengan siapa?"]Pesan baru kembali masuk. ["Ini Bram."]Arya mengerutkan kening. Dia mencoba mengingat-ingat nama tersebut. Namun, tak ada satu pun kenalan mereka bernama Bram. Arya tersentak saat pesan dari Bram kembali masuk
"Opa, aku tidak menyangka seseorang secerdas Opa percaya dengan tahayul murahan seperti itu," sindir Arya. "Arya! Kamu masih bisa bersikap santai setelah apa yang terjadi pada mamamu? Kamu dibutakan wanita ini!" bentak Baskoro sambil menunjuk-nunjuk wajah Kiria. Arya lagi-lagi menghela napas berat. Dia sengaja berdiri di depan Kiria. Sikap tegasnya menunjukkan pada sang kakek dan dua orang licik itu bahwa melindungi sang istri adalah prioritasnya. Arya bahkan rela melepaskan semuanya termasuk status sebagai penerus Keluarga Wijaya demi Kiria. "Arya! Kamu benar-benar menjadi budak cinta yang tol–""Aku bukan bucin tolol, Opa!" potong Arya. "Kejadian yang menimpa Mama sudah kuselidiki dengan jelas. Kecelakaan itu disengaja. Aku sudah menangkap supir yang mencoba menabrak Mama. Dia mengaku dibayar seseorang."Abimana seketika mengepalkan tangan. Tatapannya begitu tajam, seolah bisa membunuh seseorang. Suasana pun berubah mencekam. Sosok tenang dan bijak sepertinya terbakar amarah tent
Arya menatap tajam Kiria. “Jangan-jangan kamu makan pedas lagi, ya? Sudah tahu ada mag kenapa masih bandel?” omelnya.“Aish! Siapa yang makan pedas? Sudah seminggu ini aku tidak makan pedas,” gerutu Kiria.Arya menatap penuh selidik. Tampaknya, dia masih belum percaya. Kiria memang pernah mencuri-curi kesempatan memakan hidangan pedas dan harus menderita berhari-hari akibat penyakit mag yang kambuh.“Hei, aku bicara jujur.”“Benarkah? Lalu kenapa tiba-tiba mual-mual?”Kiria terdiam sejenak. Dia benar-benar tidak memakan makanan pedas. Pekerjaan di laboraorium juga sudah tidak terlalu ketat dan mengharuskan bergadang. Jadi, Kiria jelas juga bukan masuk angin.“Hmm kenapa ya? Mag kambuh bukan, masuk angin juga bukan.” Kiria tak sengaja melihat kalender di nakas. “Kalau dipikir-pikir, yang terakhir sudah dua bulan lalu. Jangan-jangan aku ....”Kiria seketika bangkit dari kasur. Dia menarik laci nakas dan mengeluarkan kantong plastik hitam. Arya hanya bisa terbengong-bengong saat sang ist
Bram membuka mata perlahan. Dia mengerutkan kening. Sebelumnya, Bram masih berada di apartemen. Namun, pria itu kini berada di padang rumput menghijau. Dia mencoba mengedarkan pandangan, hingga sosok wanita yang dicintainya tertangkap pandangan.Wanita itu tengah duduk di tikar piknik. Aneka makanan terhidang di hadapannya. Saat Bram bertemu pandang, dia tersenyum dan menatap penuh cinta, membuat jantung bertalu. Namun, Bram masih termangu, belum bisa memercayai penglihatannya.“Apakah ini mimpi?” gumam Bram."Papa! Papa! Kenapa diam? Ayo kejar aku, Papa!" Suara riang anak kecil membuyarkan lamunan Bram. Dia mengalihkan pandangan. Gadis kecil berkucir kuda tampak cemberut di antara tangai bunga matahari. Bocah yang berwajah mirip dengan wanita yang dicintainya itu melambaikan tangan dengan tak sabaran."Papa! Papa! Ayo!" desak si gadis kecil.Bram tak lagi peduli jika yang dilihatnya mimpi atau bukan. Dia hanya ingin menikmati ini selama mungkin, keluarga kecilnya yang bahagia. Bram
Bram memijat kening yang berdenyut hebat. Rasa panas terasa membakar tubuh. Berkali-kali Bram mengumpat pada aktris lawan mainnya di film terbaru.Wanita itu sudah lama menaruh hati pada Bram. Sebenarnya, aktris-aktris lain juga memendam rasa. Namun mereka tak cukup nekat memaksa naik ke tempat tidur Bram dengan jebakan obat. “Pak Bram, beristirahatlah dulu di sini. Saya akan mencarikan obat penawar dulu,” tutur asistennya sembari membantu Bram berbaring di tempat tidur kamar hotel dengan hati-hati.Waktu sudah cukup lama berlalu, asistennya tak jua kembali. Bram menggeram, mencengkeram sprei. Rasanya dia akan mati dalam beberapa menit lagi. Ketika terdengar suara pintu dibuka, Bram refleks berdiri. Dia sedikit oleng. Namun, tetap melangkah cepat ke arah pintu.Suara pintu yang ditutup terdengar. Satu sosok melangkah dengan sempoyongan ke arah Bram. Mereka bertabrakan, sehingga sosok itu jatuh ke pelukan Bram.“Tolong, aku haus sekali,” keluh sosok yang ternyata seorang gadis muda d