"Ferdy?" Lila mengenali pria itu. Bahkan bangkit dari tempat duduknya.
Ferdy pun spontan memeluknya, begitu juga dengan Lila, ia langsung membalasnya bahkan sempat cium pipi kanan dan kiri pria yang dianggap asing itu. Rey yang merasa tak nyaman dengan perlakuan istrinya terhadap pria yang ada di hadapannya itu pun mengerutkan dahinya, raganya turut berdiri dan langsung memisahkan keduanya. "Apa-apaan ini main pelak peluk aja!" ketus Rey. Lila terkekeh. "Maaf, Rey, ini sepupu aku, Ferdy, kamu belum kenal ya? Maklum, dia ini lama di kampung halaman, baru kali ini menginjakkan kakinya ke Jakarta," jelas Lila. "Kamu nggak pernah cerita punya sepupu laki-laki sepantaran," timpal Rey. "Emang nggak pernah cerita, kan Ferdy ini tinggalnya di kampung, sedangkan aku juga ketemu dia cuma di hari lebaran aja pas mudik," jawab Lila. "Tapi dari dulu kamu nggak pernah foto bareng dia!" tambah Rey lagi. "Udah ya, jangan berantem, maaf Mas Rey, saya ini beda kampung juga dengan Mbak Lila, kami ketemu di hari lebaran, itu pun cuma beberapa hari, jarang foto bareng, kampung saya di Magelang, sedangkan Mbak Lila di seberang, jadi memang beda, dan tidak terlalu dekat juga," terang Ferdy. Lalu Rey mengangguk dan mempersilakan Ferdy untuk duduk bersama dengan mereka. Ferdy dan Lila pun menceritakan bagaimana mereka mulai dekat, yaitu setahun kebelakang yang kebetulan Ferdy ditugaskan oleh kedua orang tuanya untuk memantau Lila dan ibunya setelah sang papa meninggal dunia, jadi ia bolak balik antara Magelang dan Kalimantan. Pertemuan itu diakhiri dengan saling bertukar alamat apartemen, dan ternyata apartemen mereka berdekatan. ------- Lila duduk di sebuah bangku panjang di tepi jendela cafe favoritnya, menikmati aroma kopi yang baru diseduh. Sore itu, suasana kota terasa hangat meskipun angin mulai berhembus pelan, membawa udara segar yang menenangkan. Ia sedang menunggu suaminya, yang sedang mengurus sesuatu di kantor. Sambil menunggu, Lila membuka ponselnya dan melihat-lihat foto-foto lama di galeri, sampai matanya tertuju pada sebuah foto lama yang memperlihatkan dirinya bersama sepupunya, Ferdy. Lila dan Ferdy belakangan sangat dekat, hampir seperti saudara kandung. Namun, beberapa bulan ini mereka jarang berkomunikasi karena Ferdy pindah ke luar kota untuk bekerja dan membangun hidupnya sendiri. "Mbak Lila?" sapa pria itu dengan nada sedikit ragu namun penuh haru. Lila terkejut. "Ferdy? Kamu ke sini lagi?" Ia segera berdiri dan memeluk sepupunya dengan erat. "Ya. Kemarin nggak enak mau ngobrol lama, akhirnya tadi aku ikuti kamu dari belakang." Ferdy membalas pelukan itu dengan hangat. Mereka duduk dan saling bertukar cerita. Percakapan mereka mengalir dengan hangat. Ferdy bercerita tentang pekerjaannya sebagai konsultan IT di kota yang baru, tentang tantangan dan kesuksesan yang ia raih, juga tentang kerinduannya pada keluarga dan masa kecil yang penuh kenangan manis. Waktu berlalu cepat tanpa terasa. Namun, setelah obrolan yang hangat itu, Ferdy tiba-tiba mengeluarkan sebuah permintaan yang membuat suasana berubah sedikit serius. "Mbak Lila... aku ada permintaan," kata Ferdy sambil menatap wajah sepupunya dengan sungguh-sungguh. "Aku sedang mendalami beberapa pekerjaan di kota ini. Pekerjaan semakin berat, dan aku merasa sendirian. Aku berpikir, apakah aku boleh tinggal di rumah ibu kamu untuk sementara waktu? Biar Tante nggak kesepian juga, Om kamu udah balik kan ke Kalimantan?" Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan oleh Ferdy pada Lila. Lila terdiam sejenak. Ia tahu bahwa rumah ibunya tidak jauh dari apartemen mereka, dan memang rumah itu cukup besar untuk menampung satu orang lagi. "Aku mengerti, Ferdy," ujar Lila pelan. "Aku harus bicara dulu dengan Mama. Tapi aku yakin dia pasti tidak akan keberatan kalau kamu hanya tinggal sementara." Rey menimpali, "Kalau memang kamu butuh bantuan, kami juga siap membantu. Tapi yang penting, kita bicarakan dulu semuanya dengan Mama." Tiba-tiba saja Rey muncul dari arah belakang mengejutkan mereka berdua. "Rey, maaf, aku nggak sengaja ketemu Ferdy di sini," Lila langsung klarifikasi. Ia khawatir menyakiti hati Rey. Rey mengangguk sambil tersenyum. "Maaf ya, aku jadi merepotkan kalian, kalau gitu, aku tidak jadi minta tinggal di rumah Mbak Lila," kata Ferdy. "Nggak apa-apa, Mama pasti tidak keberatan," jawab Lila. Kemudian ia meraih ponselnya dan menghubungi mamanya yang kini tinggal di rumah Lila sendirian. --- Beberapa hari kemudian, Lila dan Rey mengantar Ferdy ke rumah mamanya. Saat itu, mamanya Lila sedang duduk di ruang tamu, menyulam kain. Lila segera mengutarakan permintaan Ferdy dengan hati-hati. "Ma, Ferdy ingin tinggal sementara di rumah. Dia sedang ada masalah dan butuh tempat untuk berteduh," kata Lila. Mamanya Lila menatap Ferdy lama-lama. "Kalau begitu, aku tidak keberatan. Kita keluarga, tidak enak rasanya menolak. Tapi kamu harus janji akan menjaga jarak terhadap Lila dan Rey, karena kalian ini hanya sepupu, ingat ya, tidak boleh terlalu dekat!" Ferdy mengangguk sungguh-sungguh. "Tante, aku janji." Dua jari Ferdy seolah mengikat. Mereka pun sepakat, dan Ferdy mulai tinggal di rumah itu. Kehadiran Ferdy membawa suasana baru yang menyenangkan. --- Hari-hari berlalu, dan kebersamaan mereka semakin erat. Lila, Rey, dan Ferdy sering menghabiskan waktu bersama di cafe, atau sekadar jalan-jalan santai di taman kota. "Paket dari siapa ini?" tanya Lila pada Rey. "Aku nggak pesan apa-apa," jawab Rey. Lila menautkan kedua alisnya. Kemudian membuka sebuah paket yang tanpa nama, tapi bertuliskan penerima adalah Lila. "Astaga!" Lila terkejut ketika melihat isi paket tersebut hanya kardus kosong yang berisi bercak darah. Kemudian ia membaca satu kalimat menyeramkan di sebuah kertas kecil. "Ini awal kehancuran kamu!" Rey langsung membuang paket tersebut dan membawa Lila masuk ke kamar. Lila duduk dengan detak jantung tak beraturan. Ia benar-benar terkejut. "Apa ini ulah April?" tanya Lila. Rey terdiam. Ia sudah janji tidak ingin menyakiti hati Lila, jadi ia tidak mau menyebut nama mantannya itu. "Hm, aku tidak tahu, tapi nanti aku cari tahu ya," timpal Rey. Lila menoleh. "Tidak perlu, nanti kamu ingat dia lagi, aku sudah janji pada kedua orang tuamu untuk membantu anaknya melupakan wanita yang bernama April, sekarang kamu sudah lupa, masa iya aku ingatkan lagi," cegah Lila. "Terus gimana kita tahu siapa yang kirim paket tadi?" tanya Rey. "Ya udah lupain aja, anggap nggak pernah terjadi, tapi aku minta kita pindah dari sini, aku mau tinggal sama Mama ya," pinta Lila. Rey terdiam. Kemudian mengangguk. ______ Lalu di seberang sana ada seorang perempuan menutup ponselnya dengan senyum indahnya. "Bagus, cara pertama, langsung berhasil, tunggu cara selanjutnya. Lila, kamu aman, tapi tidak akan tenang!" Tawa lepas menggelegar dari suara perempuan feminin berambut coklat. Bersambung"Nggak bisa dihubungi, nggak aktif," ucap Rey."Aku juga udah sering nyoba, emang nggak aktif," timpal Lila putus asa.Rey duduk kembali dengan pandangan kosong menatap layar ponselnya. Matanya menelusuri setiap digit nomor yang telah ia simpan, namun yang muncul hanya satu pesan singkat, “Nomor yang Anda tuju tidak aktif.” Hatinya berdebar tak menentu. Ia baru saja mencoba menghubungi Ferdy lagi, sepupunya Lila yang pernah ketahuan menerornya.Lila ke arah dapur, ia menuangkan teh ke cangkir, lalu masuk ke ruang tamu kembali dengan membawa secangkir teh hangat. Ia duduk di samping Rey dan meletakkan cangkir itu di meja kecil. “Masih coba menghubungi Ferdy, ya?” tanyanya dengan suara lembut.Rey mengangguk pelan, lalu menatap mata Lila. “Iya, tapi nomornya masih nggak aktif. Aku nggak tahu harus gimana.”Lila menatap Rey dengan penuh perhatian. “Kamu merasa ada sesuatu yang disembunyikan Ferdy lagi, ya?”“Ya,” jawab Rey tegas. “Ferdy ini problematik.”------Rey memutuskan untuk pergi
“Kenapa kamu datang sekarang?” tanya Lila dengan suara bergetar.Raka menatap mereka dalam-dalam. “Karena ada sesuatu yang belum selesai. Sesuatu yang akan mengubah hidup kalian.”Ketegangan memenuhi ruangan itu. Rey menggenggam tangan Lila erat-erat, siap menghadapi apa pun yang akan datang.Namun tiba-tiba perawat lain datang dengan beberapa petugas keamanan. “Pak Raka, kami harus minta Anda ikut ke ruang lain untuk diperiksa lebih lanjut.”Raka tersenyum samar, “Kalau begitu, sampai ketemu lagi, Lila, Rey.”Dengan langkah tenang, ia mengikuti petugas keluar ruangan, meninggalkan Lila dan Rey dalam kebingungan dan kecemasan.Hari itu, mereka tahu bahwa masa lalu yang sudah lama mereka kubur belum benar-benar pergi. Tapi kali ini, mereka berjanji untuk menghadapi semuanya bersama, apapun yang terjadi.-------Nama itu, Raka, menggema di benaknya. Dulu, saat SMA, nama itu bukan sesuatu yang mencolok. Biasa saja. Raka bukan tipe populer, bukan pula anak bermasalah. Dia ada, tapi nyaris
Suster dan petugas yang melihat kondisi April langsung bergegas menghampirinya. Mereka meminta Lila untuk tidak melanjutkan pertanyaannya dan membiarkan April istirahat.Akhirnya Lila dan Rey pulang dengan tangan kosong. Sebab, kondisi kejiwaan April semakin parah.-------Sejak itu, malam ketika Lila dan Rey memutuskan untuk terakhir kalinya menyebut nama April dan Ferdy. Sejak saat itu pula, tidak ada lagi suara aneh di malam hari. Tidak ada lagi bayangan hitam di sudut mata, tidak ada lagi teror yang menyerang keluarga Lila dan Rey. Semua itu lenyap, seperti kabut pagi yang tersapu sinar matahari.Lila duduk di beranda rumahnya, menyesap teh hangat sambil memandangi halaman yang mulai ditumbuhi rerumputan segar. Rey datang membawa dua pot kecil tanaman lavender yang baru dibelinya dari pasar pagi.“Buat di jendela kamar ya, biar makin harum,” kata Rey sambil tersenyum.Lila mengangguk. Senyumnya masih hati-hati, tapi sudah jauh lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Mereka tahu, mer
"Nanti aku ingat ya, sekarang kita istirahat dulu," ucap Lila yang sudah mencoba mengingat-ingat namun belum menemukan apa yang sebenarnya menjadi ambisi Ferdy untuk membalas dendam.Rey pun mengangguk tanda bersedia. Keduanya mencoba melupakan apa yang terjadi hari ini dan kemarin. Yang terpenting, Ferdy bilang teror dihentikan untuk sementara waktu.-------Lila duduk di sofa ruang tamu, tangannya menggenggam secangkir teh hangat. Di depannya, Rey, suaminya, menatap penuh perhatian. Pagi itu, di bawah lampu yang sudah padam, Lila merasa waktu tepat untuk membuka cerita yang baru diingatnya semalam."Rey," kata Lila dengan suara lembut, "Aku ingin cerita sesuatu tentang keluargaku, tentang ayahku, Ferdy."Rey mengangguk, memberi isyarat agar Lila melanjutkan. Wajahnya serius, seolah tahu cerita ini penting."Kamu sudah ingat ya?" tanya Rey.Lila gantian mengangguk."Dulu, waktu ayahku meninggal, aku baru sadar sesuatu yang aku lupakan selama ini," Lila mulai bercerita. "Orang tuanya
"Saya bicara sesungguhnya, bahkan saya ini adalah orang bayaran April yang disuruh membunuh kedua orang tuanya Ferdy," terangnya.Rey dan Lila saling beradu pandang, mereka mencerna ucapan pria itu."Terus kenapa kamu meneror saya?" tanya Lila."Disuruh April," jawabnya."Nggak mungkin, April pernah ke sini untuk kerjasama dengan kami, dia malah ingin membantu menemukan siapa yang meneror kami," jawab Lila.Hening, mereka menghentikan sebentar dan memilih menjauh dari pria itu.Hujan turun deras malam itu. Kilatan petir sesekali menerangi langit kota. Rey berdiri menatap pria yang terikat di hadapannya. Pria itu mengenakan jaket kulit hitam yang kini basah dan kotor, wajahnya penuh lebam, namun tatapannya tetap tajam, penuh kebencian."Siapa yang menyuruhmu meneror kami?" tanya Rey untuk kesekian kalinya, suaranya tenang namun dingin.Pria itu mengerang, tapi tidak menjawab. Dari balik bayangan, Lila menatap dengan wajah cemas. Teror yang mereka alami selama beberapa minggu terakhir b
"Kamu pergi aja! Aku malas!" April mendorong tubuh Lila. Namun, wanita yang tengah hamil itu tetap bersikeras mendekati April.April duduk di tepi tempat tidur, menatap ke luar jendela rumah sakit. Hujan deras membasahi kota, membuat lampu-lampu jalanan berpendar samar. Suara gemericik air seakan menambah sunyi yang sudah lama bersarang di hatinya. April menghela napas dalam. Ini saat yang paling tepat untuk membuka semua yang selama ini ia pendam. Tapi, ia masih takut dengan nama Ferdy.Air mata mulai menggenang di mata April. "Sebenarnya, selama ini aku hidup dalam ketakutan. Aku takut banget sama Ferdy."Mendengar nama itu, Lila terdiam. Tapi Lila penasaran dengan keterangan April. Meski kondisinya saat ini tengah mengalami gangguan jiwa, tapi Lila yakin bahwa April menyimpan sesuatu yang besar."Apa benar, kamu yang telah membunuh kedua orang tuanya Ferdy?" Lila memulai buka pertanyaan yang bersarang di kepalanya.April menoleh sambil menarik napas, mencoba menenangkan diri. Ia h