Mag-log inLila langsung lari ke kamar mandi setelah mendengar nama April terngiang lagi di telinganya. Di depan kaca, ia memandangi wajahnya sendiri. Ada bulir air mata menetes di pipi.
"Kata ibu, aku nggak boleh egois, aku bersedia menikah dengan Rey karena ingin membantunya melupakan April," ucap Lila menenangkan dirinya sendiri. Lila menyeka airmata sambil menghela napas. Ketukan pintu pun terdengar. Ya, Rey merasa bersalah dan berusaha membujuk istrinya meski ia sedikit ragu mampu meluluhkan hati Lila. "Lila, maaf ya," ucap Rey dari balik pintu. Setidaknya ia berani bertanggung jawab atas kata-kata yang melukai hati Lila. Dengan mata sembab, Lila pun keluar. "Aku nggak marah," jawab Lila tertunduk. Tangan Rey meraih pundak Lila, lalu memeluknya. "Maafin aku, astaga, aku telah melukai hati kamu untuk ke sekian kalinya," kata Rey terus mendekap Lila. Akhirnya mereka pun berusaha melupakan kejadian yang tak diinginkan keduanya itu. *** Lila memang menaruh harapan lebih terhadap hati Rey, tapi Lila sendiri tahu bahwa Rey pernah sangat mencintai April. Jadi, ia harus menerima resiko saat menjadi istri dari seorang pria yang masa lalunya belum selesai. "Boleh nggak aku kasih ultimatum ke kamu kalau nyebut nama April lagi?" tanya Lila. "Maksudnya menghukum aku?" tanya Rey balik. Lila mengangguk. "Jangan berat-berat ya hukumannya, kalau cuma dihukum disuruh berdiri sambil pegang telinga, aku sanggup, tapi kalau dihukum dengan cara dicuekin kamu, kayaknya aku nggak sanggup," ungkap Rey. "Ah bohong, masa kamu nggak sanggup dicuekin aku? Sedangkan dulu sewaktu aku pergi dari kehidupan kamu, tak sedikitpun ada kabar yang kudengar kamu mencari keberadaanku," jawab Lila. "Hm, dibahas masalah itu, kamu kan pergi juga tanpa meninggalkan bekas, semua sosmed dihapus, aku kehilangan komunikasi, bingung harus apa, untung ada April pada saat itu," terang Rey kembali membuat mata Lila membelalak. Ini sudah bukan pertama kalinya Rey menyebut nama April di hadapan Lila, padahal ia sudah memilih Lila sebagai pendamping hidupnya. Awalnya, Lila sabar, tapi kali ini, ia mulai geram. "Terima kasih," ketus Lila sambil bangkit dari duduknya. Ia pun bergegas pindah menjauh dari Rey. Lila duduk di sudut ruang tamu dengan wajah cemberut. Matanya berkaca-kaca, tapi dia menolak untuk menangis. Rasa kecewa dan marah menguasai hatinya. Selama ini, dia berusaha percaya pada suaminya, Rey, namun setiap kali Rey menyebut nama April, mantan pacarnya dulu, hatinya terasa seperti disayat. Rey memang bukan orang yang mudah melupakan masa lalu. Kadang dia tak sengaja menyebut April saat mereka berbicara, atau membandingkan sesuatu dengan apa yang pernah dia alami dulu bersama April. Lila tahu, ini bukan karena Rey sengaja menyakitinya, tapi tetap saja, itu membuatnya merasa seperti dia hanya pengganti. "Kenapa kamu terus ingat dia? Kenapa aku nggak pernah bisa menggantikan posisinya di hatimu?" Lila akhirnya meledak pada suatu malam saat mereka duduk berdua di meja makan. Rey menunduk, wajahnya terlihat sangat sedih. "Lila, aku nggak pernah bermaksud menyakitimu. April adalah bagian dari masa laluku, tapi kamu adalah masa depanku. Aku berjanji akan lebih berhati-hati," jawabnya dengan suara pelan. Lila terdiam. "Baru aja tadi kamu bilang maaf, belum ada hitungan jam, mancing emosi lagi!" kata Lila kasar. "Maaf, sekali lagi maaf, bantu aku, Lila, cuma kamu yang bisa membantuku untuk melupakannya," timpal Rey. "Percayalah, aku mulai sayang padamu, bukan sekedar teman dekat seperti dulu, tapi cinta pun sudah mulai tumbuh," bujuk Rey. Lila mulai luluh kembali. Namun, kata-kata itu belum cukup. Lila masih saja merasa tersisih. Dia merasa Rey belum benar-benar bisa melepaskan bayangan April, dan itu membuatnya ragu akan cinta suaminya. --- Beberapa hari berlalu, Lila masih bersikap dingin dan menghindari Rey. Mereka jarang berbicara dan suasana rumah jadi tegang. Melihat hal itu, ibu Lila, yang masih berada di Jakarta, dan tinggal tak jauh dari apartemen mereka, datang berkunjung. Melihat putrinya yang murung, sang ibu duduk di samping Lila. "Nak, kenapa kamu kayak gitu terus? Cerita sama Mama," katanya lembut. Lila menghela napas panjang. "Ma, aku nggak tahan. Rey masih aja terus ingat mantannya, April. Aku merasa nggak dihargai. Seperti aku ini cuma pelengkap, bukan yang utama di hatinya." Sang ibu tersenyum kecil, lalu menggenggam tangan Lila. "Kalau kamu terus marah dan ngambek, itu nggak menyelesaikan apa-apa, Nak. Justru kamu harus coba membantu Rey. Bantu dia untuk benar-benar melupakan April dan fokus sama kamu." Lila menatap ibunya bingung. "Tapi bagaimana caranya, Ma? Aku nggak tahu harus mulai dari mana." "Sini Mama bisikin," bisik sang ibu. --- Malam itu, Lila duduk termenung. Kata-kata ibunya terngiang-ngiang di telinganya. Membantu Rey melupakan April? Bukannya itu malah merugikan dirinya sendiri? Tapi kalau dia terus menolak, hubungan mereka bisa semakin retak. Dia memutuskan untuk memulai dari hal kecil. Keesokan harinya, Lila mengajak Rey jalan-jalan ke taman. Mereka duduk di bangku yang sama, mengingat kembali kenangan indah yang pernah mereka buat bersama sewaktu SMA. "Aku tahu aku sering salah, Rey. Aku salah karena marah dan nggak sabar. Tapi aku juga ingin kamu tahu, aku nggak mau terus-terusan hidup di bayang-bayang masa lalumu," kata Lila lirih. Rey menggenggam tangan Lila erat. "Maafkan aku, Lila. Aku berjanji akan coba lebih fokus sama kamu. Aku juga ingin melupakan April, tapi aku butuh waktu dan dukunganmu." Lila tersenyum tipis. "Kalau begitu, kita coba sama-sama, ya? Aku akan bantu kamu untuk benar-benar melupakan dia." Rey tersenyum. --- Hari-hari berikutnya, Lila dan Rey mulai membangun kembali hubungan mereka dengan lebih sadar. Mereka menghabiskan waktu bersama lebih sering, mencoba berbagai kegiatan baru agar kenangan dengan April benar-benar bisa tergantikan. Itulah cara yang diberikan oleh sang ibu untuk pelan-pelan membantu Rey melupakan April. Lila juga mulai terbuka tentang perasaannya, tanpa harus memendam rasa kecewa. Rey pun berusaha lebih peka dan berhati-hati dalam berkata-kata. Suatu sore, saat mereka duduk di balkon rumah sambil menikmati kopi, Rey berkata, "Lila, aku benar-benar berterima kasih kamu mau memberikan kesempatan lagi. Aku janji, aku akan jadi suami yang lebih baik." Lila menatap Rey dengan mata berbinar. "Aku percaya kamu, Rey. Aku juga mau kita jalani semuanya dengan hati yang lebih terbuka." Keduanya pun semakin dekat, bahkan bibir Rey mulai tak sabar mendekati manisnya senyum Lila yang berada di hadapannya. Keduanya melakukan aktivitas sebagai suami istri yang sesungguhnya setelah beberapa hari dilewatkan. "Jangan di sini, pindah ke kamar aja," bisik Lila ketika bibir Rey tak bisa dihadang olehnya. --- Waktu berlalu, dan perlahan tapi pasti, bayang-bayang April mulai memudar dari benak Rey. Hubungan mereka menjadi lebih kuat, dan Lila merasa hatinya tak lagi diganggu oleh kecemburuan. Suatu hari, Rey mengajak Lila ke sebuah restoran. Di sana, dia memberikan sebuah cincin kecil. "Ini untuk kamu, sebagai simbol bahwa kamu adalah satu-satunya yang aku cintai sekarang dan selamanya." Lila menangis bahagia. "Aku juga mencintaimu, Rey." Namun, di satu sisi kebahagiaan mereka, ada seorang laki-laki datang menghampiri keduanya. "Akhirnya kita ketemu di sini," ucap seorang pria bertubuh tinggi dengan tatapan tajam ke arah Lila. Lila menautkan kedua alisnya. Ia merasa tidak asing dengan wajah pria yang ada di hadapannya. Bersambung"Udah, Rey, jangan mikir macam-macam, sekarang kita ngopi yuk di cafe, ngobrol antara lelaki!" ajak Raka.Rey terdiam, matanya menuju tempat Lila duduk manis. Kemudian kerlingan mata Lila menandakan izin untuk Rey."Baiklah, aku siap-siap dulu," timpal Rey.Mereka pergi berdua dengan menggunakan mobil. Semuanya berjalan seperti biasa, ngobrol dan bercanda.Namun, Rey mulai merasa ada yang ganjil ketika Raka tidak berbelok ke jalan menuju kafe yang mereka bicarakan. Sebaliknya, Raka memacu mobilnya ke arah pinggiran kota dan agak sepi."Raka, kita mau ke mana, sih? Ini bukan jalan ke kafe yang lo bilang," tanya Rey, sedikit cemas. Ia menoleh ke luar jendela, jalanan semakin gelap dan lengang.Raka tersenyum, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. "Tenang, Rey. Tempatnya lebih bagus dari kafe biasa. Sedikit jauh memang, tapi kamu pasti suka suasananya."Rey mencoba menepis firasat buruknya. Mungkin Raka ingin memberinya kejutan. Ia kembali menyandarkan diri di jok, meskipun kecemasan
“Aku bertemu dengan Ferdy dan April,” ujar Rey nyaris berbisik."Apa mereka menyakiti kamu lagi?" tanya Lila penasaran. Kemudian Lila meletakkan bayi mereka yang sudah tertidur."Aku boleh duduk dekat kamu? Di samping kamu persis," kata Rey.Lila yang baru saja melahirkan itu spontan memeluknya.Rey membalas pelukan itu erat-erat. Ia mencari kata-kata, tapi tenggorokannya tercekat. Sudah bertahun-tahun ia menyimpan rahasia, luka lama yang ia tutupi rapat-rapat, bahkan dari Lila, belahan jiwanya. Malam ini, tirai itu harus dibuka. Ternyata sebenarnya Rey sudah mengetahui perbuatan Ferdy terhadap keluarga sang istri, tapi ia berusaha menutupi karena khawatir Ferdy tambah dendam pada Lila.“Aku… aku harus memberitahumu sesuatu, Sayang,” kata Rey, suaranya sedikit bergetar. Ia menarik kursi di meja makan dan duduk, tangannya mengacak-acak rambutnya sendiri. "Ferdy yang telah merencanakan kecelakaan pada ibumu," terang Rey.Lila segera menyadari keseriusan situasi. Ia duduk di seberang Rey
"Lila!" Rey membangunkan istrinya karena mengigau seperti orang ketakutan.Ternyata Lila ketiduran, ia bermimpi didatangi oleh April. Dalam mimpinya ia sangat ketakutan, Rey pun spontan memeluknya."Hidup macam apa ini, Rey? Berawal dari ingin membantu kamu melupakan wanita yang sangat kamu cintai, kini malah aku yang tersiksa," keluh Lila sambil menutup wajahnya.Rey mengelus rambut sang istri."Maafin aku ya, hidupmu jadi berantakan gara-gara aku," kata Rey menenangkan.Lila pun menangis terharu."Maafin aku, Rey, jadi ngeluh, harusnya nggak boleh gitu," timpal Lila. Ia membalas pelukan sang suami.Mungkin ini takdir, mungkin juga mereka dipersatukan karena memiliki musuh yang sama, meski Lila tidak menikah dengan Rey pun Ferdy akan tetap memusuhinya karena masalah keluarga.-------Beberapa bulan kemudian, di mana ketenangan sudah mulai dirasakan oleh Lila dan Rey, mereka benar-benar sudah tidak lagi mengalami gangguan dari orang yang sering menerornya.Saat itu, udara malam Semara
"Nggak ada, Lila sayangku, kita aman di sini, yang jagain juga kompeten, mereka orang pilihan papa," kata Rey meyakinkan.Lila tersenyum.Padahal sebelumnya, beberapa hari lalu ada yang mengirimkan paket berisi teror, namun para bodyguard sudah mengamankan lebih dulu dan hanya melaporkan pada Rey, mereka sangat menjaga kondisi kehamilan Lila."Sebaiknya kita periksakan kehamilan kamu, kita harus rutin meski sudah pindah ke Semarang, aku ada dokter spesialis kandungan rekomended di daerah sini," ungkap Rey.Lila pun setuju dengan usul suaminya itu.________Lila memegang erat tangan Rey saat mereka melangkah masuk ke lobi rumah sakit di Semarang itu. Udara pagi yang cerah menyambut mereka, dan di dalam hati keduanya, ada gelombang kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ini adalah hari yang sangat mereka nantikan—hari pemeriksaan kandungan Lila yang kedua puluh delapan minggu. Janin di dalam rahimnya tumbuh dengan baik, dan mereka berdua tak sabar ingin mendengar kabar bai
"Aku rasa ini bukan April," terang Rey mencoba menenangkan Lila."Tapi chatnya menunjukkan rasa sakit hati," timpal Lila."Nggak mungkin orang yang sakit hati sudah lama, tiba-tiba chat mengungkit kembali, kan kita juga udah tahu tentang perasaan dia, feelingku bukan April," ungkap Rey.Lila terdiam. "Ya udah kamu blok aja nomornya!" suruh Lila.Rey pun mengindahkan perintah sang istri.Tidak lama kemudian, bodyguard mengetuk pintu, Rey pun menemui mereka. Keduanya menanyakan perihal pindah lokasi yang telah direncanakan, mereka tidak tinggal di hotel lagi."Bapak udah selesai mengemasi barang-barangnya? Biar saya bantu jika belum selesai," kata salah satunya."Sudah, tinggal angkut," timpal Rey. "Tapi, apa kalian sudah pastikan tempat tersebut aman untuk istri saya? Rumahnya ber AC kan?" Pertanyaan Rey membuat para bodyguard tersenyum."Tentu, Pak, kami jamin aman dan nyaman untuk Bu Lila," jawabnya sambil mengangguk."Ya udah, bawakan tas kami ke mobil yang kalian sewa!" perintah Re
Perjalanan ke Semarang juga bukan tujuan awal. Mereka mengubah haluan, yang tadinya mau menenangkan diri ke arah Bandung saja, tapi berbelok ke arah Jawa Tengah. Itu pun tujuan awalnya adalah bentuk "pembebasan" dari pengawasan orang yang entah belum diketahui. Namun, kini keberadaan Raka mulai terasa mengganggu. Pesan-pesannya tidak berhenti bahkan setelah Rey hanya membalas seadanya atau mengabaikannya sepenuhnya. Bahkan malam sebelumnya, Raka mengirim pesan kembali."Rey, bales lah, ini tentang kerjaan kok, kita kan ada kerja sama," tulis Raka kembali. Padahal pesan sebelumnya juga tidak dibalas oleh Rey."Aku ingat, Raka pernah bilang dia bisa 'lacak siapa pun dari hape-nya'," kata Rey pada Lila.Lila tampak terkejut. “Kamu pikir, dia pakai itu sekarang?”“Mungkin. Kalau dia benar-benar pasang sesuatu ke aku... atau, bisa jadi, dia nyuruh orang buat ngawasin aku.”Lila langsung menggenggam tangan Rey. “Kita harus cari tahu.”______Malam itu, di kamar penginapan kecil mereka di S







