"Okey, deal ya, tapi jangan sekarang, itu terlalu terburu-buru dan membuat mereka curiga," ucap Ferdy."Kenapa kamu yang atur? Kalau aku mau cepat, gimana?" tantang April."Terserah, perintah kamu yang mana yang aku tolak? Tapi, rata-rata gagal," timpal Ferdy, ucapannya membuat April tidak bisa berkata-kata lagi.April terdiam, matanya berputar seolah tengah berpikir. "Baiklah, kali ini aku ikuti permainan kamu."---Ferdy duduk di bangku taman, menatap April yang tampak gelisah di depannya. Mereka baru saja bertemu setelah beberapa waktu, dan suasana di antara mereka cukup tegang."April," kata Ferdy pelan. "Aku tahu kamu sangat ingin dekat dengan Rey dan Lila, tapi aku rasa kita harus sabar dulu."April mengerutkan dahi. "Maksudmu?"Beberapa orang yang melihat ketegangan mereka pun menyorot keduanya. April dan Ferdy merasa jadi pusat perhatian karena nada bicara mereka yang sangat tinggi.Ferdy pun meminta April untuk duduk di sebelahnya. Ia tidak mau jadi pusat perhatian, jadi volu
Sementara itu, Lila tidak bisa memejamkan matanya, meski sudah pindah kamar dan tidur bersama sang mama, Lila gusar, seakan-akan tahu bahwa suaminya dalam kondisi tidak baik-baik saja.Lila berdiri di dekat jendela, ia menggenggam ponsel miliknya, Lila coba hubungi Rey, tapi tidak ada jawaban. Kemudian, dengan penuh kekhawatiran, Lila menghubungi sopirnya."Maaf, Bu, tadi kata satpam, bapak sudah pulang bawa mobil sendirian," jawab sopirnya setelah dihubungi Lila. Lila tidak berkomentar apa-apa, dengan cepat ia menghubungi mertuanya untuk meminta bantuan.-----April menatap Rey yang duduk di kursi penumpang dengan mata setengah terpejam. Jalanan malam itu sepi, hanya suara gesekan ban di aspal dan desahan napas Rey yang menjadi latar belakang dalam keheningan mobil. Ia memutar setir dengan hati-hati, menyusuri jalanan kota yang mulai lengang.Rey, laki-laki dengan sorot mata tajam yang biasanya penuh percaya diri, kini tampak begitu tenang… atau lebih tepatnya, tak berdaya. Obat yan
Lila menatap sekeliling rumah lamanya dengan perasaan campur aduk. Setelah berbulan-bulan menjalani hidup penuh tekanan dan ketakutan, akhirnya ia bisa kembali ke rumah bersama sang mama. Rumah itu tampak sama seperti dulu, dengan dinding putih yang sedikit mengelupas dan taman kecil yang mulai dipenuhi rerumputan liar. Namun yang berbeda kali ini adalah, Lila kembali dengan harapan baru, harapan untuk menemukan ketenangan yang beberapa hari ini hilang dari hidupnya.Sang mama menyambutnya dengan pelukan hangat. "Nak, mama senang kamu kembali. Rumah ini selalu menjadi tempat yang tepat untukmu," kata sang mama sambil mengusap rambut Lila lembut.Lila tersenyum kecil. Rasanya seperti bisa bernapas lega untuk pertama kalinya setelah sekian lama hidup dalam bayang-bayang teror yang tak kunjung reda. "Mama sudah tahu ceritanya?" tanya Lila."Iya, tahu dari Ferdy," jawabnya.Lila mengernyit. Sebab, ia merasa heran, kenapa Ferdy bisa tahu tentang hal ini."Lila, mama sudah berpikir," suara
"Ferdy?" Lila mengenali pria itu. Bahkan bangkit dari tempat duduknya. Ferdy pun spontan memeluknya, begitu juga dengan Lila, ia langsung membalasnya bahkan sempat cium pipi kanan dan kiri pria yang dianggap asing itu.Rey yang merasa tak nyaman dengan perlakuan istrinya terhadap pria yang ada di hadapannya itu pun mengerutkan dahinya, raganya turut berdiri dan langsung memisahkan keduanya."Apa-apaan ini main pelak peluk aja!" ketus Rey.Lila terkekeh."Maaf, Rey, ini sepupu aku, Ferdy, kamu belum kenal ya? Maklum, dia ini lama di kampung halaman, baru kali ini menginjakkan kakinya ke Jakarta," jelas Lila."Kamu nggak pernah cerita punya sepupu laki-laki sepantaran," timpal Rey."Emang nggak pernah cerita, kan Ferdy ini tinggalnya di kampung, sedangkan aku juga ketemu dia cuma di hari lebaran aja pas mudik," jawab Lila."Tapi dari dulu kamu nggak pernah foto bareng dia!" tambah Rey lagi."Udah ya, jangan berantem, maaf Mas Rey, saya ini beda kampung juga dengan Mbak Lila, kami ketem
Lila langsung lari ke kamar mandi setelah mendengar nama April terngiang lagi di telinganya. Di depan kaca, ia memandangi wajahnya sendiri. Ada bulir air mata menetes di pipi. "Kata ibu, aku nggak boleh egois, aku bersedia menikah dengan Rey karena ingin membantunya melupakan April," ucap Lila menenangkan dirinya sendiri. Lila menyeka airmata sambil menghela napas. Ketukan pintu pun terdengar. Ya, Rey merasa bersalah dan berusaha membujuk istrinya meski ia sedikit ragu mampu meluluhkan hati Lila. "Lila, maaf ya," ucap Rey dari balik pintu. Setidaknya ia berani bertanggung jawab atas kata-kata yang melukai hati Lila. Dengan mata sembab, Lila pun keluar. "Aku nggak marah," jawab Lila tertunduk. Tangan Rey meraih pundak Lila, lalu memeluknya. "Maafin aku, astaga, aku telah melukai hati kamu untuk ke sekian kalinya," kata Rey terus mendekap Lila. Akhirnya mereka pun berusaha melupakan kejadian yang tak diinginkan keduanya itu. *** Lila memang menaruh harapan lebih terha
"Apa ada April di dalam?" tanya Lila pada Rey.Rey terdiam.Kemudian Lila melangkahkan kakinya dengan cepat menuju kamar apartemennya. Di pikiran Lila sudah sangat buruk, ia terbayang wajah April yang tengah duduk di kasur Rey. Namun, ternyata itu hanya khayalan Lila saja.Lila menghela napas berat. Namun, mendadak matanya tertuju pada satu laptop yang berada di meja kerja Rey. Lila melangkahkan kakinya dan duduk di kursi yang tersedia. Di belakang Lila, ada Rey yang menyusul dan spontan memegang tangan Lila. "Jangan percaya itu, Lila," kata Rey seolah tahu bahwa Lila tengah membuka satu video.Lila menoleh dengan mata sinis. Kemudian menghempaskan tangan Rey yang sempat mencegah Lila."Apa ini, Rey?"Lila bertanya sambil terus memutar video tersebut. Dadanya terasa sesak saat melihat suaminya ternyata pernah melakukan hal yang tidak diperbolehkan sebelum mengikat pernikahan. Ya, video tersebut adalah video sepasang kekasih yang tengah bercinta berdurasi sepuluh menit.Tangan Lila me