“Hai, Cantik,” sapa seorang pria bermata sipit saat Zahra baru keluar dari toilet wanita. Pria itu berdiri menyandar di dinding luar toilet dengan senyum menyeringai dan tatapan menggoda.
“Pak Aswin!?” seru Zahra terkejut melihat sosok rekan bisnis bosnya di sana.
“Lama banget di toiletnya. Aku pikir kamu tidur di dalam,” ucap pria yang dipanggil Aswin itu sambil berjalan mendekati Zahra.
“Mau apa Bapak ke sini? Toilet pria di sebelah sana, Pak!” Zahra menunjuk ke arah di belakang pria itu.
“Siapa yang mau ke toilet? Aku ke sini sengaja menunggumu, Cantik.” Aswin mulai melancarkan rayuan.
“Ke-kenapa menunggu saya? Bukannya pembicaraan dengan Pak Zyan sudah selesai?” cecar Zahra setengah gugup. Gadis berhijab itu mulai bersikap waspada karena tak ada orang selain mereka di sana.
“Pembicaraanku dengan Zyan memang sudah selesai. Aku di sini karena ingin bicara secara pribadi denganmu.” Pria yang lebih tua itu mendekatkan wajahnya pada Zahra.
Zahra sontak melangkah mundur. Menjauhkan wajahnya. “Maaf, Pak. Saya rasa tidak ada yang perlu kita bicarakan apalagi soal pribadi. Permisi, saya mau kembali ke dalam. Pak Zyan pasti sudah menunggu saya.”
Gadis itu hendak beranjak, tapi segera dihalangi oleh rekan bosnya itu. Saat Zahra bergerak ke kiri, Aswin mengikuti, begitu juga saat ke arah sebaliknya. “Pak, tolong jangan menghalangi jalan saya,” pintanya dengan suara gemetar sekaligus geram.
“Buat apa buru-buru? Kita bisa bersenang-senang dulu di sini.” Aswin kembali mendekat membuat gadis itu terus mundur sampai akhirnya membentur dinding.
“Jangan macam-macam atau saya akan berteriak!” ancam Zahra yang sudah terpojok. Wajahnya terlihat pias.
Bukannya takut, lawan bicaranya itu malah tertawa. “Coba saja teriak! Tidak akan ada yang mendengar teriakanmu,” tantangnya dengan seringai licik.
Letak toilet itu memang di belakang restoran dan tak banyak yang berlalu-lalang di sana. Tempat yang agak tertutup dan sepi, semakin melancarkan aksi Aswin untuk mendekati sekretaris Zyan itu.
“To—” Aswin membekap mulut Zahra saat gadis itu akan berteriak minta tolong.
"Diam atau kamu akan menyesal!"
Ancaman itu seketika membuat Zahra terdiam. Tubuhnya gemetar karena takut, tak berani bersuara.
"Kamu tidak usah sok jual mahal! Aku akan memberi apa pun yang kamu inginkan plus investasi besar di proyek Zyan," ucap Aswin setengah berbisik di dekat telinganya, membuat Zahra merinding ketakutan.
Gadis itu menggeleng, lidahnya terasa kelu hingga tak bisa bersuara.
Aswin menurunkan tangannya dari mulut gadis itu dan berdecak. "Ck, kamu tidak mau? Yang benar saja! Aku tahu kamu tidak sealim penampilanmu. Kamu tidak jauh beda seperti wanita lain yang suka berpakaian seksi dan terbuka. Bilang saja berapa pengusaha lain memberimu uang setiap kali tidur? Aku akan memberimu dua kali bahkan tiga kali lipatnya!" ucapnya pongah.
"Saya memang seorang sekretaris, tapi saya bukan pelacur! Silakan Bapak cari wanita lain yang bersedia tidur dengan Bapak!" tegasnya dengan mata memerah menahan tangis.
Aswin malah tersenyum mengejek. "Halah, nggak usah sok suci! Aku tahu tipe wanita seperti kamu ini awalnya pura-pura nolak, tapi kalau harga sudah cocok juga bakal mau dibawa ke mana saja. Banyak wanita yang penampilannya tertutup seperti kamu, tapi diam-diam open BO!"
Zahra sudah muak mendengar ucapan tidak sopan pria itu. Perasaannya campur aduk, jantungnya berdebar kencang dan badannya gemetar. Namun dia mengumpulkan keberanian dan menginjak kaki Aswin sekuat tenaga.
"Argh!" Pria itu berteriak kesakitan. "Heh, sekretaris belagu! Aku bisa saja menarik investasiku sekarang kalau kamu bersikap tidak sopan!" Aswin mulai mengeluarkan ancamannya. Matanya nyalang menatap Zahra karena tak terima ditolak oleh gadis berhijab itu.
"Bukan saya yang tidak sopan, tapi Bapak yang sudah melecehkan saya!" tukas Zahra tegas, mulai berani melawan pria itu meskipun sekujur tubuhnya terasa kebas.
“Melecehkan katamu? Memangnya aku mencium atau menyentuhmu? Ah, jangan-jangan itu kode biar aku melakukannya?" Aswin terkekeh-kekeh. "Baiklah kalau itu yang kamu inginkan!”
Pria itu menyeringai licik sambil memegang kedua bahu gadis itu agar tidak bergerak. Zahra bisa merasakan embusan napas pria itu mengenai wajahnya.
Zahra memberontak, tapi tenaganya kalah kuat. “Lepaskan saya, Pak! Saya bukan pela—"
“Apa yang kamu lakukan pada sekretarisku?” Sebuah suara bariton dari arah samping berhasil membuat Aswin menjauhkan wajahnya dari Zahra.
“Pak Zyan—” suara Zahra tercekat. Namun dia seketika merasa lega melihat kedatangan bosnya itu.
“Jauhkan tangan kotormu darinya,” ujar Zyan dengan suara tenang, tapi aura dingin menguar begitu tajam, membuat Aswin mendengkus dan melepaskan Zahra dengan kasar.
Setelah terlepas, Zahra langsung bersembunyi di belakang punggung tegap bosnya. Dia mencengkeram sisi jas Zyan, mencari perlindungan.
"Sekretarismu ini jual mahal banget, Yan. Aku cuma mau ajak dia bersenang-senang," lontar Aswin santai.
Rahang Zyan mengeras mendengar ucapan rekan bisnisnya itu. Tatapan matanya menghunus tajam. Nada suaranya masih terdengar tenang tapi mematikan ketika berkata, "Bersenang-senang? Kamu sudah salah memilih orang."
Aswin tertawa meremehkan. "Salah pilih orang? Kenapa? Apa karena kamu juga menidurinya, makanya tidak mau Zahra tidur dengan orang lain?"
"Memangnya kenapa kalau aku tidur dengan sekretarisku? Ada masalah?" tantang Zyan, membuat Zahra seketika menegang.
Gadis itu hendak mengucapkan sesuatu, tapi Zyan kembali bersuara.
"Aku tidak suka ada yang menyentuh milikku," tegasnya sambil menarik Zahra agar berdiri di sampingnya lalu merangkul pinggang sekretarisnya itu posesif.
"Pak—" Zahra hendak melayangkan protes tapi dipotong oleh Zyan.
"Tidak apa-apa orang tahu hubungan kita, Sayang. Yang penting kamu tidak diganggu lagi." Zyan memberi kode pada Zahra lewat tatapan mata agar sekretarisnya itu mengikuti permainannya.
Aswin pun bertepuk tangan sambil tertawa sinis. "Hah! Sudah kuduga kalau dia bukan wanita baik-baik seperti tampilan luarnya. Ternyata dia sudah bermain dengan bosnya sendiri.”
Sindiran itu sungguh membuat harga diri Zahra terinjak-injak. Dia mengepalkan tangan dengan kuat, ingin membela diri.
Namun, usapan lembut pada pinggangnya membuat gadis itu terpaku. Dia mendongak dan bertemu tatap dengan Zyan yang menggeleng samar, membuat Zahra mengurungkan niatnya untuk membalas ucapan Aswin.
“Baiklah, aku tidak akan menggodanya lagi. Tapi kalau kamu sudah bosan dengannya, kabari aku ya. Aku mau menerima sekretarismu itu meskipun dia bekasmu," seloroh Aswin ringan.
Pria itu berjalan mendekat, lalu berdiri di dekat Zyan yang masih menatapnya tajam. Aswin lantas berkata dengan setengah berbisik. "Aku selalu penasaran dengan wanita yang berpakaian tertutup. Biasanya orang sepertinya akan liar di atas ranjang," katanya sambil menyeringai, menatap Zahra dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Selamat bersenang-senang!" ujar Aswin, menepuk pundak Zyan sebelum berlalu dari sana.
Zahra baru bisa menghela napas lega setelah pria bermata sipit itu tidak kelihatan lagi. Namun, belum sempat mengucapkan sepatah kata pada bosnya itu, sebuah suara yang sangat familier terdengar dari arah belakang, membuat Zahra dan Zyan membatu.
"Jadi kalian diam-diam pacaran dan sudah tidur bersama?"
Zyan lekas menarik tangannya dari pinggang Zahra. CEO dan sekretarisnya itu pun langsung membalikkan badan dan terkejut melihat sosok wanita paruh baya yang berdiri dengan wajah yang sulit diartikan. Zyan menggeleng. “Bukan begitu, Ma,” sanggah pria itu sambil menatap Rania, ibunya.Wanita berhijab dan berpenampilan anggun itu mengerutkan kening. “Tidak benar maksudmu? Pendengaran mama masih bagus, Zy. Kamu jangan menyangkal!”Pria tampan itu mendengkus. “Mama salah paham.”Rania semakin mengernyit. “Salah paham?”“Nanti aku jelaskan, Ma,” ujar Zyan, bersiap untuk beranjak dari sana. "Zahra, ayo."“Mama mau dengar penjelasanmu sekarang!” tegas Rania.“Aku harus kembali ke kantor, Ma. Nanti malam saja,” lontar Zyan sambil menghela napas. “Mama ingin bicara dengan kalian sekarang, Zyan. Masalah ini lebih penting daripada arisan mama atau pekerjaanmu. Kita pulang sekarang!”“Tapi masih ada kerjaan yang harus—"“Buat apa punya asisten kalau semua pekerjaan kamu handle sendiri?!” tukas R
“Aku tidak akan menikah dengan Zahra, Ma!” Zyan langsung melayangkan protes pada Rania. Tidak terima dengan keputusan sepihak wanita yang sudah melahirkannya itu. “Papa tidak pernah mendidik kamu jadi pria yang tidak bertanggung jawab, Zyan! Kalau berani berbuat, kamu harus bertanggung jawab!” Prabu yang sejak awal diam, akhirnya berbicara. Zyan sontak memandang Prabu dengan tatapan protes. “Pa, aku tidak melakukan apa pun. Untuk apa aku bertanggung jawab? Aku mengatakan soal pacar dan tidur itu hanya untuk melindungi Zahra dari Aswin,” jelasnya untuk membela diri. Dia berharap sang papa lebih bijak dari mamanya. “Tidak ada salahnya kamu menikah, Zy. Papa setuju dengan Mama, sudah saatnya kamu berhenti bermain-main. Lagian apa yang kamu dapat dengan sering berganti-ganti pacar? Bangga karena sudah meniduri banyak wanita?” Prabu menatap tajam putra sulungnya itu.Zyan mengusap wajah lalu menyugar rambutnya. Dia merasa gusar. Niat baiknya untuk membantu Zahra malah menjadi bumerang u
Zahra diam, tak langsung menanggapi pertanyaan Zyan. Gadis itu juga mengalihkan pandangan ke depan. Dia tak habis pikir dengan apa yang dilontarkan oleh bosnya itu. Pernikahan kontrak? Seperti di novel-novel yang sering dia baca saja.“Kenapa diam? Kamu tidak setuju?” Zyan menaikkan sebelah alisnya seraya menoleh pada sekretarisnya.“Menikah itu ikatan yang suci, Pak. Perjanjian dengan Allah, tidak hanya dengan manusia. Kita tidak boleh mempermainkannya,” sergah Zahra. Menolak dengan tegas ide gila CEO di tempatnya bekerja itu.Rahang Zyan mengetat, tidak sependapat dengan jawaban sang sekretaris. “Terus maumu apa? Kita benar-benar menikah?” timpalnya dengan kesal.“Sama seperti jawaban saya tadi. Saya tidak mau menikah dengan Bapak,” tegas Zahra. Meskipun berhutang budi pada Zyan, dia tetap tidak mau mengorbankan masa depannya demi ambisi sang bos.Pria berusia 32 tahun itu mengembuskan napas kasar. Bagaimanapun dia harus menikah dengan Zahra agar tidak kehilangan warisan. Karena itu
Binsar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia memindai Zyan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pria yang lebih muda darinya itu mempunyai paras tampan. Pakaian dan aksesori yang melekat di tubuh tegap Zyan, semuanya tampak berkelas dan mahal. Membuat pria bertubuh tambun itu jadi kurang percaya diri karena kekayaan pria yang mengaku sebagai calon suami Zahra itu pasti jauh di atasnya. “Hei, Anak Muda. Jangan mengaku-aku. Lagian kamu tidak akan bisa menikahi gadis itu karena dia sudah setuju jadi penebus utang ayahnya,” ucapnya dengan pongah. Binsar juga tidak mau menyambut uluran tangan Zyan. Meskipun dalam hal apa pun kalah dari Zyan, dia tidak mau mengakuinya. Rentenir itu tetap mempertahankan wibawanya. Zyan pun menarik tangannya lalu tersenyum sinis. “Anda sedang berkhayal? Zahra tidak pernah setuju menikah dengan Anda.” “Dia tadi akan mengatakannya, tapi kamu tiba-tiba datang dan memotong ucapannya,” sergah Binsar yang tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Pria bertu
Zahra langsung mengiakan tanpa berpikir lagi. Dia mengajak Zyan keluar agar pembicaraan mereka tidak didengar ayah dan ibunya. Keduanya pergi setelah berpamitan pada Maryam, ibu Zahra.“Sebelum membahas soal perjanjian, saya ingin tahu kenapa Pak Zyan tiba-tiba kembali ke rumah saya?” tanya Zahra saat mobil mewah yang mereka naiki sudah melaju di jalanan.“Untuk bertemu orang tuamu,” sahut Zyan tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.Jawaban dari bosnya itu membuat Zahra mengernyit. “Untuk apa?”“Memberi tahu kalau nanti malam Papa dan Mama akan melamar kamu.” Wajah Zyan sangat datar untuk seseorang yang ingin berniat melamar wanita.“Walaupun saya tidak setuju menikah, Pak Zyan tetap akan melamar?” Zahra memandang wajah pria yang duduk di belakang kemudi itu.“Itu urusanmu sama Papa dan Mama. Aku hanya menyampaikan pesan mereka saja,” jawab Zyan tanpa beban. Pria itu la
Zahra menelan ludah mendengar pertanyaan Zyan. Gadis itu jadi semakin gugup karena bosnya malah berdiri menghadap ke arahnya hingga semakin tampak jelas otot-otot yang terbentuk di bagian atas tubuh pria itu. “Bukan begitu, Pak. Saya hanya merasa kurang nyaman karena tidak terbiasa,” ucapnya dengan terbata-bata.“Kalau begitu mulai dibiasakan,” tukas Zyan tanpa mengindahkan permintaan sang sekretaris yang sekarang sudah resmi menjadi istrinya.Karena Zyan tetap akan memakai pakaiannya di dalam kamar, Zahra memutuskan masuk ke kamar mandi. Lebih baik mengalah daripada dia jadi canggung sendiri. Gadis itu sebenarnya ingin mandi sekalian. Namun karena belum membawa baju ganti, dia memutuskan duduk di atas toilet sambil menunggu Zyan selesai berpakaian.“Zahra,” panggil Zyan sambil mengetuk pintu kamar mandi.“Ya, Pak,” sahut Zahra tanpa membuka pintu. Dia takut bosnya belum selesai berpakaian.“Aku
“Bunny, kamu melamun?” Suara Mila berhasil membuat Zyan kembali ke alam nyata. Dia tersenyum tipis pada kekasihnya itu.“Aku sedang berpikir apa yang akan aku lakukan kalau kamu tidak di sini,” kilah Zyan untuk menutupi apa yang sebenarnya tadi dia pikirkan. Sementara ini, Zyan memutuskan menutupi pernikahannya dengan Zahra dari Mila. Toh, pernikahan mereka hanya sementara dan tak banyak yang tahu. Jadi, Mila pun tak akan tahu selama tak ada yang memberi tahu.“Daripada memikirkan soal itu lebih baik kita melakukan hal yang menyenangkan, Bunny. I miss your touch.” Mila memandang Zyan dengan tatapan menggoda. Dia menangkup wajah sang kekasih dengan kedua tangan lalu menautkan bibir mereka. Ciuman yang semula pelan itu jadi semakin intens dan membuat kedua tangan mereka bergerak, menyentuh apa pun yang ingin disentuh.***Zahra baru saja berpakaian saat bel kamar hotel berbunyi. Dia beranjak menuju pintu dan meli
Zyan mondar-mandir di balkon apartemen Mila dengan gawai di samping telinga. Setelah membaca pesan dari Zahra kalau kedua keluarga mendatangi kamar hotel mereka, dia merasa gelisah sekaligus penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Karenanya pria berwajah rupawan itu menghubungi sekretaris yang juga istrinya. Namun sayangnya, setelah beberapa kali melakukan panggilan, tak ada satu pun yang dijawab oleh Zahra."Apa dia sedang di kamar mandi? Kenapa teleponku tidak diangkat?" gumam Zyan dengan kening mengerut.CEO muda itu kemudian menghubungi asistennya. Berbeda dengan Zahra, panggilan pada Faisal itu langsung dijawab."Apa Papa atau Mama telepon kamu?" tanya Zyan tanpa basa-basi begitu sang asisten menjawab panggilannya."Tidak, Pak. Apa ada masalah?" sahut Faisal dari seberang telepon.Zyan menghela napas lega setelah mendengar jawaban asistennya. "Tidak ada. Ingat, Fai! Kalau Papa dan Mama tanya soal aku, kamu jawab seperti yang aku katakan tadi," pesannya."Baik, Pak. Apa ada