Share

Bab 2

Zyan lekas menarik tangannya dari pinggang Zahra. CEO dan sekretarisnya itu pun langsung membalikkan badan dan terkejut melihat sosok wanita paruh baya yang berdiri dengan wajah yang sulit diartikan. 

Zyan menggeleng. “Bukan begitu, Ma,” sanggah pria itu sambil menatap Rania, ibunya.

Wanita berhijab dan berpenampilan anggun itu mengerutkan kening. “Tidak benar maksudmu? Pendengaran mama masih bagus, Zy. Kamu jangan menyangkal!”

Pria tampan itu mendengkus. “Mama salah paham.”

Rania semakin mengernyit. “Salah paham?”

“Nanti aku jelaskan, Ma,” ujar Zyan, bersiap untuk beranjak dari sana. "Zahra, ayo."

“Mama mau dengar penjelasanmu sekarang!” tegas Rania.

“Aku harus kembali ke kantor, Ma. Nanti malam saja,” lontar Zyan sambil menghela napas. 

“Mama ingin bicara dengan kalian sekarang, Zyan. Masalah ini lebih penting daripada arisan mama atau pekerjaanmu. Kita pulang sekarang!”

“Tapi masih ada kerjaan yang harus—"

“Buat apa punya asisten kalau semua pekerjaan kamu handle sendiri?!” tukas Rania. “Apa perlu mama yang telepon Faisal untuk menggantikan pekerjaanmu?” Wanita itu menatap tajam putranya.

Rania jelas tak mau dibantah. Wanita paruh baya itu memang selalu tegas dan tak mudah dibujuk bisa sudah memutuskan sesuatu.

Zyan menyerah. Ia lantas mengambil gawai lalu melakukan panggilan. “Fai, aku dan Zahra belum bisa ke kantor. Kamu handle semua sampai aku kembali,” ucapnya pada sang asisten begitu panggilan tersebut dijawab. Dia memutuskan ikut Rania sebelum mamanya melakukan sesuatu yang pasti tak akan disukainya.

Zyan mengakhiri panggilan lalu memasukkan gawai ke saku dalam jasnya. Pria berparas rupawan itu kemudian memandang ibunya yang tersenyum puas, merasa senang dengan apa yang diputuskan oleh putra sulungnya.

“Bagus! Zahra ikut sama mama sebagai jaminan supaya kamu tidak kabur,” putus wanita paruh baya itu.

“Zahra sama aku, Ma. Ada pekerjaan yang harus aku bahas dengannya.” 

Rania menghela napas panjang. “Awas kalau kamu berani kabur, Zy! Mama coret kamu dari kartu keluarga dan daftar ahli waris!” ancamnya.

Zyan mendengkus lalu mengajak Zahra pergi bersamanya. 

“Pak, bagaimana ini? Bu Rania malah salah paham. Padahal Pak Zyan hanya menolong saya dari Pak Aswin,” keluh Zahra saat mereka dalam perjalanan menuju kediaman keluarga Darmawangsa.

Gadis itu terlihat gelisah sekaligus merasa bersalah. Kalau Zyan tak membelanya, tak akan mungkin akan ada kejadian itu. Baru kali ini Zahra merasa sangat menyesal karena tak mau belajar bela diri. Coba kalau bisa bela diri, dia bisa melindungi dirinya sendiri dan melawan pria bermata sipit itu.

“Aku yang akan jelaskan. Kamu cukup diam dan tak perlu bicara kalau tidak ditanya,” kata Zyan datar. “Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Y-ya?" Zahra tampak bingung selama beberapa saat. 

"Apa yang dilakukan Aswin?” ulang Zyan.

Zahra tampak ragu-ragu. Apakah Zyan bertanya karena khawatir atau hanya untuk mengantisipasi agar tidak ada kejadian seperti itu lagi di masa mendatang?

Namun, Zahra memilih untuk menceritakan semuanya pada Zyan tanpa apa yang ditutupi.

Pegangan pria tampan itu pada kemudi tampak mengencang. Ekspresi wajahnya mengeras setelah mendengar cerita dari gadis di samping kirinya.

Meskipun selama ini Zyan sering berganti-ganti pacar yang penampilannya seksi dan terbuka, tapi dia sangat menghargai Zahra. Tidak pernah sekalipun Zyan bersikap kurang ajar pada sekretarisnya itu. Dia justru respek pada Zahra yang tetap berhijab meskipun menjadi sekretaris yang lekat dengan image seksi dan menjadi simpanan bos.

“Tapi setelah apa yang Pak Zyan lakukan tadi, saya rasa sekarang Pak Aswin tidak akan mengganggu saya lagi. Terima kasih karena sudah membantu saya, Pak,” cakap Zahra seraya tersenyum tulus pada bosnya.

Zyan hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara, masih dengan ekspresi yang sama.

Tak lama kemudian, mereka tiba di kediaman Darmawangsa.

Zyan dan Zahra masing-masing duduk di sofa single yang menghadap ke arah Rania dan Prabu, orang tua Zyan, yang duduk berdampingan di sofa panjang ruang tamu.

Rania membuka pembicaraan dengan menceritakan apa yang dia dengar di depan toilet pada suaminya. “Pa, mereka berdua ini sudah berbuat zina. Sebaiknya segera kita nikahkan saja. Jangan sampai Zahra hamil duluan karena ulah anak kita!” adunya dengan berapi-api. 

“Mama salah paham, Pa. Aku mengatakan itu untuk melindungi Zahra yang terus digoda Aswin. Aku dan Zahra tidak ada hubungan apa-apa,” jelas Zyan dengan tenang seraya memandang kedua orang tuanya bergantian.

“Mama tidak percaya, Zy. Pasti kamu mengatakan itu untuk menghindar dari pernikahan ‘kan? Umurmu itu sudah 32 tahun, sudah saatnya menikah dan memberi kami cucu!” tukas Rania.

“Aku tidak bohong, Ma,” sanggah Zyan. “Sebagai pimpinan, aku hanya melindungi karyawanku. Kalau tidak percaya, tanya saja sama Zahra.” Zyan menoleh ke samping kanan di mana sekretarisnya duduk.

Zahra yang sejak tadi menunduk, akhirnya mengangkat kepala. Gadis itu memberanikan diri memandang kedua orang tua Zyan. “Be-benar apa yang dikatakan Pak Zyan, Pak, Bu. Tadi saya digoda Pak Aswin di depan toilet. Alhamdulillah Pak Zyan terus datang menolong saya. Kalau tidak entah apa yang akan terjadi,” jelasnya agak terbata.

“Hubungan saya dan Pak Zyan benar-benar hanya hubungan profesional antara pimpinan dan sekretaris. Tidak lebih dari itu, Pak, Bu,” sambung gadis itu.

Rania memandang lekat Zahra. “Pasti kamu sudah diarahkan Zyan untuk bicara seperti itu saat di jalan tadi ‘kan? Sudahlah, Zahra, sebaiknya kamu menikah saja dengan Zyan untuk menjaga kehormatanmu. Nanti kalau sampai kamu hamil duluan, bukan hanya kamu yang jadi bahan omongan orang, tapi nama baik keluarga Darmawangsa juga akan tercemar. Meskipun saya kecewa kalian sudah melakukan zina, tapi saya tetap menerimamu sebagai menantu.”

 Zahra menelan saliva. Dia tidak tahu harus menjawab bagaimana. Pemikiran Rania terlalu jauh, sangat melenceng dari apa yang dibayangkannya tadi saat di jalan.

“Ma, aku dan Zahra tidak pacaran!” tegas Zyan. “Kami juga tidak pernah berzina!” sambungnya.

Pria itu terlihat sangat frustrasi karena Rania tak percaya dan malah menuduh mereka yang tidak-tidak.

“Sudah saatnya kamu berhenti bermain-main dengan wanita. Mama senang pacarmu yang sekarang berhijab, tidak seperti pacar-pacarmu yang pakaiannya selalu kurang bahan itu. Pokoknya mama mau kamu secepatnya menikah dengan Zahra. Titik!” 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
nah looohhh . nikah aja gpp
goodnovel comment avatar
Paulina Nurhadiati Petrus
nah loh ini mah mau dinikahin si zyan dan zahra
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status