Zyan dan Zahra sontak menoleh ke arah datangnya suara. Seketika wajah pria itu berubah tidak senang kala melihat sosok yang menyapanya. Seorang pria bermata sipit mendekati mereka.“Ternyata kamu sedang bersenang-senang dengan sekretarismu karena itu tidak ikut meeting tadi siang,” lontar Aswin.Zyan mengepalkan tangannya. “Aku tadi meninjau proyek,” ucapnya.Pria bermata sipit itu tersenyum menyeringai. “Meninjau proyek lalu berlanjut ke hotel dan belanja ya,” ucapnya.“Itu bukan urusanmu, Win!” tukas Zyan dengan kedua tangan yang makin mengepal dan wajah memerah.Aswin bukannya takut melihat Zyan yang tampak emosi, dia malah tertawa. “Oke, aku tidak akan mengganggu waktu kalian. Jangan lupa kasih tahu aku kalau kamu sudah bosan dengan sekretarismu itu!” Pria bermata sipit itu mengatakan kalimat terakhir dengan suara pelan.“Jangan pernah bermimpi mendapatkan Zahra! Dia sudah jadi istriku sekarang.” Zyan harus bersikap tegas agar Aswin tidak menggoda Zahra lagi. Dia terpaksa mengakui
“Pak Zyan, sedang bercanda ‘kan?” Zahra memandang pria yang duduk di samping kanannya itu.Zyan mengerling sekilas pada istrinya. “Aku serius. Kenapa kamu menganggapnya bercanda?”“Bukankah pernikahan kita ini hanya pernikahan kontrak, Pak?” tukas Zahra.Pria berparas tampan itu menyengguk. “Iya. Kenapa memangnya?”“Saya rasa kita tidak perlu sampai dalam tahap saling mengerti dan memahami, Pak. Toh setelah satu tahun kita berpisah.” Zahra mengungkapkan pendapatnya.“Tetap perlu, Ra. Kontrak kita ‘kan satu tahun. Apa masuk akal selama itu kamu sampai tidak tahu apa pun soal aku? Begitu juga aku tidak tahu apa pun soal kamu? Setidaknya kita menunjukkan pada keluarga kalau hubungan kita seperti suami istri pada umumnya,” ujar Zyan.“Minimal kamu tahu apa makanan kesukaanku, aku juga tahu makanan kesukaanmu,” imbuhnya.“Kalau begitu makanan kesukaan Pak Zyan apa?” tanya Zahra. Selama jadi sekretaris pria itu, menu makanan yang diinginkan oleh Zyan selalu berbeda. Tidak hanya itu-itu saja
Zahra menelan saliva begitu mendengar tantangan dari pria yang sudah menghalalkannya itu. Apalagi tatapan Zyan sangat tajam padanya. Sangat menusuk sanubarinya. “Buk—bukti apa, Pak?” Akhirnya dia bisa bersuara meskipun dengan terbata-bata.“Bukti kalau badanku lebih bagus dari Faisal,” jawab Zyan tanpa mengalihkan pandangan dari gadis yang duduk di hadapannya itu.Gadis yang mengenakan stelan blazer itu kembali menelan ludah. Zahra bingung kenapa Zyan sampai menganggap omongannya serius dan ingin membuktikannya. Apa itu berarti dia harus melihat Zyan bertelanjang dada seperti saat pria itu selesai mandi? Apa kabar jantungnya nanti? Bisa-bisa tidak sampai setahun dia sudah mati terkena serangan jantung karena setiap hari disuguhi pemandangan tubuh atletis suaminya. Sebagai wanita normal, siapa yang tidak tertarik melihat badan pria yang terbentuk dengan indah.“Memangnya Pak Zyan mau membuktikan dengan apa?” tanyanya kemudian.“Kamu harus melihat badanku dan menyentuhnya untuk membukti
Sama seperti istrinya, Zyan pun tak kalah terkejut. Namun pria itu lekas menguasai diri.“Itu kapan-kapan Zahra belinya sama Mama atau Saffa saja. Dia sudah keburu capek tadi.” Zyan beralasan seperti itu agar tidak mendapat amukan dari mamanya. Padahal aslinya dia tidak memikirkan hal tersebut, apalagi Zahra.“Gimana sih kok belinya malah sama mama atau Saffa? Yang akan melihat Zahra memakainya ‘kan kamu. Harusnya pergi sama kamu dong. Kamu pilih yang sesuai sama seleramu.” Tanggapan Rania sungguh di luar prediksi Zahra dan Zyan.“Ya, Ma. Kapan-kapan kami pergi ke mal lagi buat beli yang mama sebutkan tadi.” Zyan bahkan enggan menyebut pakaian yang tidak layak disebut pakaian karena bahannya yang transparan dan kalau dipakai menunjukkan apa yang ada di balik kainnya. Itu sama saja tidak berpakaian ‘kan? Pria itu tidak habis pikir kenapa ada pakaian seperti itu di dunia ini?“Kok kapan-kapan sih? Kalian itu pengantin baru, harusnya lebih bersemangat mencoba hal-hal baru. Mama yakin kam
Zahra menoleh pada pria yang duduk di ujung tempat tidur yang ada sebelah kirinya. “Kalau Pak Zyan saja tidak bisa menolak, apa saya bisa, Pak?” Gadis itu juga terlihat gelisah dan juga lelah. “Apa kita akan melakukannya?” Zyan pun menoleh pada sekretarisnya itu hingga pandangan mereka bertemu. “Melakukan apa, Pak?” tanya Zahra. Zyan mengerutkan kening. “Ya, bulan madu. Memangnya mau melakukan apa lagi?” “Oh,” sahut gadis berhijab itu. “Pasti kamu memikirkan hal lain ‘kan?” Tatapan Zyan jadi memicing pada Zahra. Sekretaris Zyan itu menggeleng berulang kali. “Demi Allah saya tidak memikirkan apa pun, Pak,” akunya. Badannya terlalu lelah, hingga otaknya pun sudah tidak bisa diajak berpikir. Inginnya hanya segera mandi dan tidur. Bahkan untuk membereskan tas belanja yang berjejer di lantai kamar saja rasanya malas sekali. Pria berparas tampan itu menatap lekat wajah wanita yang sudah dihalalkannya itu. Raut kelelahan memang tampak jelas. Badannya juga terlihat lesu. Namun itu tak m
Zyan memandang gadis yang sedang menata pakaian itu tanpa berkedip. Baru kali ini dia melihat sekretaris yang juga istrinya itu tanpa mengenakan hijab. Rambut hitam sebahu Zahra membuat penampilannya terlihat berbeda. Ada desir dalam dada kala memandangnya.Kaki jenjang itu terpaku di tempatnya berdiri dan enggan beranjak. Bahkan netranya pun tak mau mengalihkan pandangan. Tatapannya terus tertuju pada sosok sang istri.Selesai menata semua pakaian ke dalam lemari, Zahra merapikan semua tas belanja dengan melipat dan menempatkannya di sudut yang kosong. Setelah itu dia membalikkan badan. Betapa terkejutnya gadis itu kala melihat Zyan sedang berdiri menatapnya dari pintu masuk walk-in closet. Gegas gadis itu membalikkan badan dan mengenakan hijab instannya. Sesudah merasa rapi, dia kembali menghadap pria yang sudah menjadi suaminya itu."Apa yang Pak Zyan lakukan di situ?" tanya Zahra dengan canggung."Aku tadi mau mengeringkan rambut, tapi ternyata kamu ada di sini,” jawab Zyan yang j
Zahra pun menolehkan kepala ke sebelah kiri. Dia terkejut karena wajah Zyan begitu dekat dengannya hingga embusan napas pria yang sudah menghalalkannya itu bisa dirasakannya. Untuk sesaat gadis itu mengagumi ketampanan pria yang ada di depan matanya. Dia tak pernah sedekat ini dengan Zyan meskipun setiap hari bekerja bersama.“Apa wajahku ini sangat tampan sampai kamu terus melihatnya.” Tiba-tiba saja Zyan bicara dan membuka matanya.Pastinya Zahra sangat terkejut. Gadis itu seketika mengalihkan pandangan. Wajahnya langsung memerah karena malu ketahuan sedang memandangi suaminya.“Siapa yang melihat Bapak? Jangan ge er! Saya itu mau membangunkan Pak Zyan karena tangan Bapak sudah menindih tubuh saya,” kilah Zahra sambil menunjuk tangan milik pria itu.“Oh, maaf. Aku ga sengaja.” Zyan pun menarik tangannya. Tentu saja dia berpura-pura tidak sengaja melakukannya. Padahal memang ingin tidur sambil memeluk gadis itu.“Masa sih ga sengaja bisa berturut-turut selama tiga hari, Pak? Padahal
“Ra, nanti sore kamu temani aku meeting. Setelah itu kita langsung pergi membeli pesanan Mama.” Zyan memberi tahu sekretaris yang juga istrinya itu ketika mereka sedang makan siang di ruangannya.Zahra menyengguk. “Iya, Pak. Apa ada yang perlu saya siapkan untuk meeting?”“Nanti aku beri tahu setelah makan siang. Yang jelas proposal untuk proyek baru,” jawab Zyan.“Baik, Pak.” Gadis itu melanjutkan lagi makannya.“Mama sudah kirim daftar barang yang harus dibeli?” tanya Zyan beberapa saat kemudian.“Sudah, Pak. Tidak banyak kok hanya perlengkapan pribadi yang memang harus disiapkan kalau mau bepergian,” jawab Zahra.CEO itu menghela napas panjang. “Aku pikir barang yang penting banget.”“Ya penting, ga penting sih, Pak. Ibaratnya kita sedia payung sebelum hujan. Kaya obat-obatan pribadi, sunblock, losion anti nyamuk, jas hujan, charger, powerbank. Seringkali hal-hal seperti itu tidak diperhatikan. Bagaimana kalau tiba-tiba kita di sana pusing, terus ga bisa sembuh cuma dengan tidur. M