Abian duduk membisu di ruang kerja ayahnya. Pagi itu, suasana rumah keluarga Adiyaksa sedikit lebih tenang dibanding malam sebelumnya yang nyaris meledak karena masa lalu yang menyeruak tanpa aba-aba. Tania kini duduk bersandar di sofa, mengenakan gaun berwarna pastel lembut. Wajahnya masih menyisakan kelelahan emosional, tapi matanya tak lagi menyala penuh dendam.
Devan menyuguhkan teh untuk istrinya sebelum ia duduk di samping Abian. “Kita harus bicara,” ujar pria paruh baya itu. Abian mengangguk pelan. “Tentang pertunanganku dengan Hana?” Tania menarik napas panjang sebelum menjawab. “Tentang pernikahan kalian.” Alis Abian terangkat. “Pernikahan? Kita belum bertunangan secara resmi. Lagipula ini hanya—” “Awalnya hanya sandiwara, ya, aku tahu,” sela Tania lembut namun tegas. “Tapi kamu sudah dewasa, Abian. Kami sudah lama menunggu kamu membawa pulang seseorang. Dan saat kamu akhirnya memilih, meskipun pura-pura, ternyata gadis itu... bukan orang yang buruk.” Devan menimpali, “Ibumu sudah membuka hati. Aku juga. Setelah semalam, kami menyadari... mungkin Hana memang bukan pilihan yang salah.” Abian berdiri dari kursinya, berjalan pelan ke jendela dan menatap ke taman belakang. Ia mengingat wajah Hana yang terluka ketika pergi malam itu. “Tapi dia terluka. Karena kalian. Karena aku juga. Dia tak pantas dipaksa dalam pernikahan semacam ini.” “Kami tidak memaksa,” ujar Tania. “Kami hanya... meminta. Jika kau bersedia, setelah pertunangan malam ini, segera jadikan dia istrimu yang sah. Bukan karena kontrak. Tapi karena pilihanmu.” Abian diam lama. Pilihan? Kata itu menghantam dadanya. Di satu sisi, Hana adalah gadis yang mampu membuat orang tuanya luluh, gadis yang tidak pernah ia duga akan membuatnya merasa nyaman. Namun di sisi lain, hatinya masih terikat oleh janji dan kenangan masa lalu. Janji yang diucapkan Felia sebelum pergi ke luar negeri. Janji untuk kembali dan menikah dengannya. Ia masih menunggu. Selama bertahun-tahun. Meskipun hatinya mulai ragu, masih ada satu sudut kecil dalam jiwanya yang percaya Felia akan kembali padanya. Bahwa kisah mereka belum selesai. “Bagaimana bisa aku menikahi Hana, sementara hatiku belum bisa lepas dari masa lalu?” gumam Abian pelan, hampir tak terdengar. Tania menatap putranya, menyadari bahwa luka itu belum benar-benar sembuh. Namun waktu tak akan menunggu. Dan gadis sebaik Hana mungkin tak akan bertahan jika terus disakiti. Suara pintu diketuk. Adrian muncul dari balik daun pintu. “Tuan muda, acara pertunangan malam ini sudah siap. Gaun untuk Nona Hana juga telah dikirim ke apartemennya.” Abian mengangguk. “Baik. Pastikan dia datang.” Adrian menunduk hormat. “Seperti biasa, saya akan menjemputnya.” Tania menatap putranya. “Tolong jangan buat dia menangis lagi, Abian.” Abian tidak menjawab. Tapi sorot matanya menyiratkan bahwa dirinya berada di persimpangan: antara merelakan masa lalu, atau mempertahankan janji yang belum tentu ditepati. Malam pun tiba. Cahaya lampu kristal menghiasi ballroom keluarga Adiyaksa. Para tamu penting telah berkumpul. Semua mata tertuju pada pasangan di tengah ruangan. Abian berdiri gagah dalam setelan jas hitamnya. Namun matanya sibuk mencari satu sosok. Hana. Di mana dia? Lalu... sorotan lampu mengikuti langkah seorang perempuan bergaun merah marun elegan. Hana Delia muncul di ambang pintu dengan tatapan bingung sekaligus memukau. Ia tampak menawan, meski langkahnya terasa ragu. Abian terpaku. Napasnya tercekat sesaat. Semua berdiri memberi tepuk tangan, termasuk Tania dan Devan. Acara berlangsung dengan lancar. Senyum-senyum canggung di antara keduanya perlahan mencair dalam pelukan para tamu dan keluarganya. Meski hubungan mereka belum sepenuhnya lepas dari rasa sungkan, setidaknya malam itu berjalan tanpa hambatan. Hari-hari menjelang pernikahan pun tiba. Gaun putih Hana sudah disiapkan, undangan sudah tersebar, dan persiapan hampir sempurna. Abian menjalani semuanya dengan diam, mencoba mengabaikan bisikan kecil dalam hatinya yang masih bertanya, "Apakah Felia akan kembali?" Namun ia tak pernah menyampaikan keraguannya pada siapa pun. Termasuk pada Hana. Hari pernikahan pun digelar dengan megah. Hana tampak memesona dalam balutan gaun putihnya. Abian berdiri di sampingnya, tersenyum meski hatinya belum sepenuhnya tenang. Upacara berjalan khidmat. Satu demi satu doa dipanjatkan. Janji suci diucapkan. Hana kini resmi menjadi istri Abian Adiyaksa. Namun tepat di malam pertama mereka sebagai pasangan sah, sebuah pesan masuk ke ponsel Abian. Sebuah nama terpampang jelas di layar. [Felia] Ponsel itu masih tergeletak di meja nakas, tepat di samping tempat tidur pengantin yang masih rapi. Hana belum menyentuhnya, tapi matanya tak lepas dari layar yang beberapa menit lalu menampilkan satu notifikasi itu. Pesan yang seolah menampar seluruh harapannya pada malam pertama pernikahannya. “Aku sudah berada di bandara, aku ingin kamu jemput aku, Abian...” – Felia Hana menelan ludah. Dingin. Tangannya gemetar. Tapi ia mencoba tetap tenang. Abian sedang di kamar mandi, air mengalir, suaranya samar dari balik pintu. Tapi ketenangan Hana tinggal di ambang, menunggu runtuh kapan saja. Kenapa sekarang? Kenapa di malam ini? Di malam saat aku resmi jadi istrimu, Abian... kenapa dia kembali? Batin Hana berteriak, tapi bibirnya tetap terkunci. Ia bangkit perlahan dari tempat tidur. Mengenakan selimut tebal menutupi gaun tidur tipis yang tadi ia pakai demi tampil cantik malam ini. Malam yang harusnya menjadi awal. Namun kini terasa seperti akhir. “Apa ini semua hanya peran? Apa hatimu memang belum pernah kuseret masuk ke dalam hubungan ini, Abian?” Pintu kamar mandi berderit. Abian keluar dengan rambut basah, mengenakan piyama abu-abu. Wajahnya terlihat kaget saat melihat Hana berdiri membelakanginya, menatap jendela. “Kenapa kamu belum tidur?” tanyanya, berusaha santai. Hana menoleh perlahan, sorot matanya tajam tapi rapuh. “Fel... Felia mengirim pesan.” Abian membeku. Hana melanjutkan dengan suara yang nyaris tak terdengar, “Dia sudah di bandara. Dia ingin kamu jemput.” Abian tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke arah ponselnya yang masih terbuka. Notifikasi itu nyata. “Aku tanya sekali, Abian...” Hana menahan napas. “Apa kamu masih mencintainya?” Abian membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. Hana tertawa lirih, miris. “Aku tahu jawabannya dari matamu...” “Ada apa dengan hatimu, Hana?” Batin itu datang lagi, menghantam seperti gelombang yang tak bisa ia lawan. Ia melangkah ke luar kamar, berjalan dengan tubuh lemas meski langkahnya tegas. Abian memanggil, “Hana, tunggu...” Tapi Hana hanya menjawab dalam hati. “Aku butuh waktu. Untuk tahu... apakah aku bisa terus bertahan sebagai istrimu. Atau aku hanya bayangan dari wanita yang kau tunggu selama ini.” Hana berlari. Gaun putih panjang itu menyeret debu dan dedaunan sepanjang trotoar. Tumit tingginya ia copot entah sejak kapan, kini hanya kaki telanjangnya yang menginjak dinginnya malam. Napasnya berat, matanya masih berkaca-kaca, dan hatinya tak berhenti berdebat dengan dirinya sendiri. "Aku hanya butuh Ibu... hanya Ibu yang bisa tenangkan aku malam ini..." batinnya merintih dalam diam. Mobilnya ia tinggalkan di jalan besar. Jalanan kompleks terlalu padat, penuh orang berdiri dan berbisik. Lampu ambulans menyala merah—berputar seperti isyarat bahaya yang menyesakkan dada. Langkah Hana melambat. Nafasnya tercekat. "Apa ini? Kenapa ramai sekali? Bukankah... Ibu sudah sembuh? Bukankah operasi kemarin berhasil?" Tangan Hana bergetar saat mendorong tubuh orang-orang yang menghalangi pandangannya. "Permisi... saya anaknya... saya anak Bu Calista!" serunya panik. Seorang tetangga, menahan pundaknya. Wajah wanita paruh baya itu basah oleh air mata. "Hana... ibu kamu tadi ditemukan tidak sadarkan diri, sejak kepulangannya dari pernikahan kamu... katanya sempat pusing, dan saat ia akan masuk kerumah tiba-tiba dia jatuh. Kami sudah mencoba menelpon kamu tapi kamu tidak mengangkat telepon." Ia baru sadar kalau ia meninggalkan ponselnya. Hana melangkah gontai menuju pintu ambulans yang terbuka. Dua paramedis tengah memasang oksigen dan mengatur infus di tubuh sang ibu, yang tampak lemas dan tak bergerak. “Ibu…” suara Hana pecah. Mereka segera menutup pintu ambulans. “Kami harus segera bawa ke rumah sakit, tekanan darah dan ginjalnya drop parah.” Tanpa pikir panjang, Hana masuk ke dalam ambulans, masih dalam balutan gaun pengantin. Tangannya menggenggam tangan ibunya yang dingin. “Ibu... bangun, aku... aku sudah menikah, Bu. Tapi aku... aku bingung. Aku butuh Ibu...” Tak ada jawaban. Hanya suara mesin ambulans dan napas berat ibunya di balik masker oksigen. Tiba-tiba Calista kejang, dan membuat Hana semakin panik.Hana memandangi surat misterius di tangannya. Surat itu dikirim tanpa nama, tanpa alamat pengirim, dan tanpa jejak elektronik. Namun yang paling mengganggunya adalah foto tua hitam putih yang jelas menunjukkan ibunya Calista di masa muda. Garis tinta merah menyilang wajahnya, seolah menjadi peringatan… atau ancaman. “Ini bukan hanya tentang kita lagi,” gumam Hana sambil duduk di ruang kerja rumahnya. Abian masuk, membawa secangkir teh. “Kamu belum istirahat?” Hana menyerahkan surat itu. “Seseorang mengingatkan kita… bahwa cerita Mama belum selesai.” Abian membaca isinya, matanya menajam. “Akar dari kehancuranmu belum dicabut... Ini bukan ucapan acak. Ini ditulis oleh orang yang tahu terlalu dalam tentang masa lalu keluargamu.” “Dan itu berarti... bukan Mira. Tapi seseorang yang mengenal Mama sejak dulu,” bisik Hana. Abian mengangguk. “Kita harus menyelidiki. Dari awal. Dari tempat Mama pernah tinggal, sekolah, dan semua lingkaran sosialnya.” Sementara di rumah yang sudah
Abian membanting map itu ke meja kerjanya. Suara kerasnya menggema, membuat Hana yang sedang mengatur dokumen hak asuh Alena terkejut. “Ada apa?” tanya Hana cepat, melangkah untuk menenangkan suaminya. Lalu Abian menatapnya, matanya merah karena emosi yang ditahan. Ia mengangkat selembar dokumen dari laporan investigasi internasional yang baru saja ia terima tertulis jelas di sana. Nama Reno Adiyaksa, pamannya. Adik dari Devan Adiyaksa. Tercatat melakukan transfer dana melalui rekening penampung milik Mira sejak dua tahun terakhir. Hana menatap wajah muram Abian, tanpa bisa berkata-kata. “Paman Reno...” gumamnya. Abian mengangguk. “Dia… dia selama ini bermain di belakang kita, menusuk keluarganya sendiri demi membantu Mira. Bahkan menggunakan perusahaan cangkang untuk memuluskan aliran dana ke luar negeri. Ini bukan cuma pengkhianatan biasa, Han. Ini... pengkhianatan dalam keharmonisan keluarga kita.” Sementara di rumahnya, Reno duduk di balkon rumah mewahnya, menyeruput kopi s
Suasana ruang rapat di kantor pengacara keluarga Adiyaksa sangat tenang pagi itu. Tapi ketegangan tidak bisa disembunyikan. Di ujung meja, duduk seorang pria berusia awal empat puluhan. Wajahnya tirus, kulitnya pucat, dan tangannya gemetar ketika ia menandatangani dokumen perlindungan saksi.Namanya adalah Rendra Surya mantan teknisi laboratorium rumah sakit tempat hasil tes DNA Alena yang dulu dimanipulasi.“Terima kasih sudah datang,” ucap seorang pengacara keluarga Adiyaksa, yang bernama Ibu Melani.Rendra mengangguk kaku. “Saya... sudah lama ingin bicara. Tapi saya takut. Mira bukan orang sembarangan. Dia tahu cara membuat orang seperti saya hilang tanpa jejak.”Abian duduk di samping pengacara, mencatat setiap kalimat Rendra. Di seberang, Felia hadir sebagai bentuk pengakuan bahwa dia bersedia menjadi saksi melawan ibunya.“Beritahu kami dari awal,” kata Felia pelan.Rendra menarik napas panjang. “Empat tahun lalu, saya menerima amplop berisi uang dari seseorang yang mewakili Mir
Ruang keluarga pagi itu dipenuhi keheningan yang berat. Televisi menyala menayangkan ulang laporan berita pagi tentang skandal lama antara Calista dan Tania. Gambar-gambar diedit dengan framing yang menyudutkan. Komentator berita bahkan menyiratkan kemungkinan manipulasi warisan yang melibatkan Hana secara tidak langsung. Hana duduk sambil memeluk perutnya yang kini mulai membesar, bahkan ibunya telah tiada pun masih saja diberitakan miring, mental Hana kali ini di hajar habis-habisan, Abian berdiri di belakang kursinya menatap layar dengan wajah tegang, ia tentu sangat mengkhawatirkan kondisi Hana apalagi saat ini dalam kondisi hamil. Sementara Felia berdiri di sisi ruangan lain, menatap semua ini dengan rasa bersalah yang menyesakkan. “Aku tidak tahu dia akan sejauh ini, Mama benar-benar keterlaluan.” gumamnya. Tania datang dengan langkah tenang. Namun, wajahnya jelas menunjukkan luka, bukan hanya karena tuduhan yang disebar, tapi karena luka masa lalu yang kini dibuka lebar-le
Foto yang ditemukan di rumah tua itu kini berada di tangan Tania. Ia menatapnya lama dan dalam diam. Wajah Calista, sahabat masa mudanya menatap lembut dari balik foto usang. Di sebelahnya, tampak Hana kecil berdiri di pangkuan Calista. Dan dirinya, Tania muda, berdiri di pinggir foto, setengah tersenyum, Tania mengenang masa itu sebelum sala paham antara dirinya dengan Calista terjadi, sehingga tidak bertegur sapa selama itu, hingga Hana dan Abian Dewasa, dan dipertemukan dalam ketidak sengajaan.Hana duduk di seberangnya, diam-diam memerhatikan perubahan raut wajah ibu mertuanya itu.“Apa Mama merindukan Mama Calista?” tanya Hana akhirnya, pelan tapi penuh tekanan.Tania meletakkan foto itu di pangkuannya, lalu mengangguk pelan.“Ya. Aku merindukan Calista dulu seperti saudara. Kami tumbuh bersama, kuliah bersama… sampai satu ketika, jalan kami terpisah karena… laki-laki yang sama.”Hana tertegun. “Abian bukankah putra dari Papa Devan...?”“Bukan,” potong Tania cepat. “Tapi aku me
Asap dari ledakan kecil di belakang taman belum sepenuhnya menghilang. Para tamu berteriak dan berhamburan. Anak-anak dibawa menjauh oleh guru dan orang tua. Di antara keributan itu, Hana berusaha tetap tenang sambil memeluk Alena dengan erat.Hana segera bergegas memeluk Alena yang dalam ketakutan, ia berbisik lirih menenangkan. “Tenang sayang… Mama di sini,” Tania mengarahkan staf rumah untuk segera mengevakuasi para tamu ke dalam gedung utama. Sementara Abian dan dua polisi sipil langsung bergerak ke titik ledakan, namun seperti yang sudah diduga sosok Olivia atau Mira telah pergi sejak tadi.Abian menekan telepon genggamnya, berbicara cepat dengan salah satu kontak intelijen pribadi.b“Aku mau semua pintu keluar, pelabuhan, jalur udara pribadi, dan terminal dipantau. Dia pakai identitas Olivia. Tapi sekarang dia mungkin sudah berganti lagi. Ini bukan upaya penangkapan biasa tapi ini darurat.”Felia berdiri diam di dekat jendela, matanya menatap kosong ke halaman yang mulai sunyi.