Share

Remuk Redam diterjang Badai

Author: Agus Irawan
last update Last Updated: 2025-05-17 03:51:09

Abian terpaku menatap layar ponselnya. Notifikasi itu menghantam dadanya seperti gelombang lama yang datang kembali membawa serpihan masa lalu yang belum selesai.

Jemarinya mengepal, dadanya sesak.

Bingung. Bimbang. Terikat dan terjerat di antara kewajiban sebagai seorang anak dan perasaan yang mulai mengusik batinnya.

Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar hotel pengantin yang sunyi. Hana tidak ada. Ia bahkan belum kembali sejak pergi diam-diam tadi—masih mengenakan gaun pengantin yang seharusnya menjadi saksi malam pertama mereka sebagai pasangan sah.

Abian duduk di ujung ranjang, kepalanya menunduk dalam. “Harusnya aku menjelaskan semuanya… sebelum semua ini terjadi.”

Ia tahu, Hana mungkin membaca notifikasi itu. Itu cukup untuk membuat siapa pun merasa diabaikan—terutama perempuan yang baru saja ia nikahi, meski hanya atas nama kontrak.

Tapi kenapa hatinya seberat ini?

Bukankah dulu, saat menyusun rencana pertunangan palsu itu, ia mengira tak akan ada yang terluka?

Ternyata dia salah besar.

Abian menyetir sendiri. Membelah jalanan malam yang lengang. Langkahnya menuju satu tempat: rumah kedua orang tuanya. Ia berharap Hana memilih pulang ke sana—tempat yang kini juga menjadi rumah barunya.

Namun ketika ia tiba, jawaban Adrian di depan pintu membuat jantungnya kian terpuruk.

“Nyonya Hana belum terlihat, Tuan Muda,” jawab Adrian sopan.

Abian menghela napas. Rasa sesak makin menyesakkan dada.

Dari dalam, langkah Tania terdengar tergesa. Ia langsung menyambut anaknya dengan wajah tegang, diikuti Devan yang berdiri dengan ekspresi penuh tanya.

“Abian? Kamu dari hotel?” tanya Tania. “Mana Hana?”

Abian hanya menunduk. “Dia pergi, Bu.”

“Pergi?” Tania mengangkat alis. “Kalian bertengkar?”

Devan ikut bicara. “Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa dia pergi begitu saja?”

Abian menarik napas panjang. “Dia… membaca sesuatu. Dan aku belum sempat menjelaskan. Aku tak bermaksud menyakitinya.”

Tania menyipitkan mata, lalu memandang tajam ke arah putranya. “Jangan bilang ini ada hubungannya dengan perempuan itu, Abian…”

“Felia,” desis Devan.

Abian diam. Wajahnya menyimpan kepedihan. Ia tak tahu bagaimana menjawab. Segalanya menjadi rumit.

“Kau memang belum mencintai Hana,” Tania melanjutkan, nada suaranya melembut tapi kecewa. “Tapi kau tidak buta untuk tidak melihat, bahwa dia sedang belajar mencintaimu.”

Devan menepuk pundak anaknya. “Jangan biarkan bayangan masa lalu merusak hal baik yang baru dimulai.”

“Aku hanya ingin menjalankan kewajibanku… sebagai anak. Karena kalian menyukai Hana. Karena dia juga butuh bantuan untuk ibunya,” jawab Abian pelan. “Tapi aku… aku tak tahu apa yang aku rasakan sekarang.”

Tania memutar tubuhnya gelisah. “Hana bukan hanya ‘perempuan yang butuh bantuan’. Dia wanita yang kuat, yang memilih mempertahankan pernikahan ini meski tahu kamu belum bisa sepenuhnya menerima dia.”

Abian menunduk. Ia tahu ibunya benar.

Tapi kenapa semuanya menjadi serumit ini, saat perasaannya mulai berubah?

Tiba-tiba, ponsel Abian kembali bergetar. Bukan dari Felia tapi dari dokter rumah sakit tempat ibunya Hana menjalani pengobatan.

Ia membaca layar. Wajahnya langsung berubah tegang.

“Rumah sakit,” gumamnya. “Ini soal Calista.”

Tania langsung menghentikan langkahnya.

Devan mendekat. “Ada apa dengan Calista?”

Abian membaca pesan itu pelan, suaranya berat. “Ibu Nyonya Hana… kondisinya kritis. Mereka minta keluarga segera datang.”

Wajah Tania seketika pucat pasi.

Devan mengangkat alis. “Kamu tahu sesuatu, Tania?”

Tania menatap suaminya, terdiam. Di balik sorot matanya, ada ketakutan lama yang mungkin akan segera terungkap…

***

Hana duduk sendiri di ruang tunggu rumah sakit, masih mengenakan gaun pengantin. Wajahnya yang biasanya tenang kini kusut, menyimpan banyak luka. Matanya bengkak, tapi ia tak punya tenaga untuk menangis lebih banyak. Tadi malam seharusnya menjadi malam paling bahagia, tetapi justru menjadi malam pelariannya. Ia hanya ingin satu hal saat itu. pulang. Menenangkan diri di sisi ibunya, satu-satunya orang yang selalu memeluknya tanpa menghakimi.

Tapi yang ia temui bukan ketenangan. Melainkan ambulan. Tangisan tetangga. Dan tubuh ibunya yang tak sadarkan diri di atas tandu.

“Bu... kau janji sudah sembuh…” batinnya memohon, kosong, menggenggam erat jari-jari Calista yang kini terbaring lemah di ruang ICU.

Hana mengalihkan pandangan ke arah dokter yang baru keluar dari ruang perawatan. Ia berdiri cepat, menghampiri.

“Dokter! Bagaimana kondisi ibu saya?”

Dokter itu terlihat lelah. “Kami telah melakukan tindakan secepat mungkin. Tapi... kami mendeteksi adanya komplikasi serius pada ginjal dan jantung. Sebenarnya ini tidak terjadi tiba-tiba. Ada trauma emosi berat yang memperparah kondisinya.”

“Trauma...?” Hana mengernyit.

Dokter hanya mengangguk dan pergi sebelum bisa menjelaskan lebih lanjut.

Hana menggigit bibir. Ia menatap ke ruang ICU dari balik kaca. Apa yang sebenarnya terjadi pada ibu? Padahal tadi pagi mereka masih berbicara. Calista bahkan sempat tersenyum ketika pamit pada Hana setelah resepsi pernikahan selesai.

Tiba-tiba, langkah kaki terdengar tergesa di belakang. Suara Adrian.

“Nyonya Hana…”

Hana menoleh cepat. Di belakang Adrian, muncul sosok yang membuat jantungnya nyaris berhenti. Abian.

Keduanya saling bertatapan. Dingin. Kaku. Luka yang belum sempat mengering.

“Aku ke sini... karena dapat kabar tentang ibumu,” ucap Abian pelan.

“Terima kasih. Tapi sekarang... aku tidak ingin membicarakan hal lain,” sahut Hana datar.

“Aku minta maaf soal semalam.”

Hana menatapnya tajam. “Sudahlah. Aku tahu posisiku. Aku hanya ‘istri karena kontrak’, bukan orang yang pantas marah karena suaminya mendapat pesan dari perempuan lain.”

Abian mendekat. “Hana, dengarkan—”

“Aku sedang lelah, Abian!” seru Hana pelan namun tajam. “Biarkan aku sendiri.”

Abian terdiam. Tapi ia tahu, ini bukan saatnya menyerah. Ia duduk tak jauh dari Hana. Menemani dalam diam.

Tak lama kemudian, Tania dan Devan muncul di rumah sakit. Wajah Tania terlihat shock melihat Hana duduk lemah, masih dalam balutan gaun pengantin yang kusut dan ternoda.

“Hana... kenapa kau belum ganti baju?” Tania menghampiri.

Hana bangkit perlahan. “Maaf... saya terburu-buru. Ibu saya... mendadak drop.”

Tania mengangguk perlahan, menatap Hana dalam-dalam. Sekilas, sorot mata itu bukan lagi tatapan sinis seperti dulu. Ada ketakutan. Rasa bersalah. Sesuatu yang tak biasa.

Devan mendekat ke arah kaca ruang ICU. Melihat Calista yang terbaring dengan alat bantu napas.

“Sudah berapa lama dia seperti ini?” tanya Devan lirih.

“Semalaman,” jawab Hana.

Tania menahan napas. Wajahnya pucat. Tangan gemetar.

Hana memperhatikan gerak-gerik ibu mertuanya. “Ada yang Ibu tahu tentang kondisi Ibu saya?”

Tania menunduk, mencoba menyembunyikan air matanya. Tapi tidak berhasil. Ia menarik napas panjang dan mundur beberapa langkah.

“Dia... tidak seharusnya seperti ini...”

“Tania?” Devan menatap istrinya, bingung.

Tania menatap suaminya, lalu Hana. Ia ingin bicara. Tapi tenggorokannya tercekat.

“Ada yang ingin Ibu sampaikan?” tanya Hana pelan.

Suasana hening. Tegang.

Tania akhirnya berkata, “Aku... aku dulu bersalah pada Calista. Aku pernah mengira suamiku berselingkuh dengannya. Aku pernah menyakiti hatinya tanpa bukti. Dan mungkin... aku juga ikut membuat dia sakit secara batin.”

Hana terkejut. Ia tidak pernah menyangka akan mendengar pengakuan semacam itu.

“Tapi kami hanya sahabat, Hana,” ujar Devan cepat, menekankan. “Aku tidak pernah berpaling dari Tania. Tapi di malam saat putraku lahir... aku memang berada dalam mobil bersama Calista niat kami ingin ke rumah sakit menemui Tania, karena dia mengalami kecelakaan kecil. Aku mengantarnya ke rumah sakit lain sebelum ke rumah sakit tempat Tania dirawat. Dan itu... itu salahku karena tidak memberi kabar.”

“Dan karena itu, aku menyimpan curiga bertahun-tahun,” gumam Tania lirih. “Aku menyalahkan Calista... meski dia tidak bersalah. Dan sekarang, aku takut... aku takut terlambat.”

Tangis Tania pecah. Hana hanya berdiri membeku. Air matanya mengalir. Luka lama yang tak pernah ia mengerti kini terbuka.

Beberapa menit kemudian, dokter kembali keluar.

“Kami butuh persetujuan keluarga. Keadaan ibu Anda memburuk. Kami akan pindahkan beliau ke ruang intensif darurat untuk tindakan khusus. Tapi... kami tidak bisa menjamin hasilnya.”

Hana mengangguk cepat. “Lakukan yang terbaik, Dokter.”

Abian menatap Hana dari sisi. Ingin menguatkan, tapi ia tahu Hana belum siap menerima dirinya kembali.

Saat petugas membawa Calista ke ruang tindakan, Tania mendekat pada Hana.

“Jika kau mengizinkan... bolehkah aku menunggu bersamamu?” tanya Tania dengan nada tulus.

Hana menatapnya lama. Lalu mengangguk pelan. “Terima kasih... Ibu.”

Satu jam kemudian, Hana kembali ke ruang tunggu. Tak ada kabar dari dokter. Ia gelisah. Ponselnya berdering.

Nomor tidak dikenal.

“Halo?”

“Hana Adelia?” suara seorang perempuan asing di seberang.

“Iya. Siapa ini?”

“Aku ingin bertemu denganmu. Ini soal Abian... dan anak kandungnya.”

Deg.

Wajah Hana mendadak pucat.

“Apa maksudmu? Siapa kamu?”

“Aku hanya akan bicara jika kamu menemuiku. Datanglah besok pagi ke taman belakang rumah sakit. Jangan ajak siapa pun. Ini menyangkut Anak Kandung Abian.”

Klik.

Telepon terputus.

Hana berdiri gemetar. Napasnya memburu.

Anak kandung Abian...? Apa maksudnya...?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Ancaman yang Nyata

    Hana memandangi surat misterius di tangannya. Surat itu dikirim tanpa nama, tanpa alamat pengirim, dan tanpa jejak elektronik. Namun yang paling mengganggunya adalah foto tua hitam putih yang jelas menunjukkan ibunya Calista di masa muda. Garis tinta merah menyilang wajahnya, seolah menjadi peringatan… atau ancaman. “Ini bukan hanya tentang kita lagi,” gumam Hana sambil duduk di ruang kerja rumahnya. Abian masuk, membawa secangkir teh. “Kamu belum istirahat?” Hana menyerahkan surat itu. “Seseorang mengingatkan kita… bahwa cerita Mama belum selesai.” Abian membaca isinya, matanya menajam. “Akar dari kehancuranmu belum dicabut... Ini bukan ucapan acak. Ini ditulis oleh orang yang tahu terlalu dalam tentang masa lalu keluargamu.” “Dan itu berarti... bukan Mira. Tapi seseorang yang mengenal Mama sejak dulu,” bisik Hana. Abian mengangguk. “Kita harus menyelidiki. Dari awal. Dari tempat Mama pernah tinggal, sekolah, dan semua lingkaran sosialnya.” Sementara di rumah yang sudah

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Pengkhianat Paman

    Abian membanting map itu ke meja kerjanya. Suara kerasnya menggema, membuat Hana yang sedang mengatur dokumen hak asuh Alena terkejut. “Ada apa?” tanya Hana cepat, melangkah untuk menenangkan suaminya. Lalu Abian menatapnya, matanya merah karena emosi yang ditahan. Ia mengangkat selembar dokumen dari laporan investigasi internasional yang baru saja ia terima tertulis jelas di sana. Nama Reno Adiyaksa, pamannya. Adik dari Devan Adiyaksa. Tercatat melakukan transfer dana melalui rekening penampung milik Mira sejak dua tahun terakhir. Hana menatap wajah muram Abian, tanpa bisa berkata-kata. “Paman Reno...” gumamnya. Abian mengangguk. “Dia… dia selama ini bermain di belakang kita, menusuk keluarganya sendiri demi membantu Mira. Bahkan menggunakan perusahaan cangkang untuk memuluskan aliran dana ke luar negeri. Ini bukan cuma pengkhianatan biasa, Han. Ini... pengkhianatan dalam keharmonisan keluarga kita.” Sementara di rumahnya, Reno duduk di balkon rumah mewahnya, menyeruput kopi s

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Hadirnya Saksi

    Suasana ruang rapat di kantor pengacara keluarga Adiyaksa sangat tenang pagi itu. Tapi ketegangan tidak bisa disembunyikan. Di ujung meja, duduk seorang pria berusia awal empat puluhan. Wajahnya tirus, kulitnya pucat, dan tangannya gemetar ketika ia menandatangani dokumen perlindungan saksi.Namanya adalah Rendra Surya mantan teknisi laboratorium rumah sakit tempat hasil tes DNA Alena yang dulu dimanipulasi.“Terima kasih sudah datang,” ucap seorang pengacara keluarga Adiyaksa, yang bernama Ibu Melani.Rendra mengangguk kaku. “Saya... sudah lama ingin bicara. Tapi saya takut. Mira bukan orang sembarangan. Dia tahu cara membuat orang seperti saya hilang tanpa jejak.”Abian duduk di samping pengacara, mencatat setiap kalimat Rendra. Di seberang, Felia hadir sebagai bentuk pengakuan bahwa dia bersedia menjadi saksi melawan ibunya.“Beritahu kami dari awal,” kata Felia pelan.Rendra menarik napas panjang. “Empat tahun lalu, saya menerima amplop berisi uang dari seseorang yang mewakili Mir

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Keteguhan Hana

    Ruang keluarga pagi itu dipenuhi keheningan yang berat. Televisi menyala menayangkan ulang laporan berita pagi tentang skandal lama antara Calista dan Tania. Gambar-gambar diedit dengan framing yang menyudutkan. Komentator berita bahkan menyiratkan kemungkinan manipulasi warisan yang melibatkan Hana secara tidak langsung. Hana duduk sambil memeluk perutnya yang kini mulai membesar, bahkan ibunya telah tiada pun masih saja diberitakan miring, mental Hana kali ini di hajar habis-habisan, Abian berdiri di belakang kursinya menatap layar dengan wajah tegang, ia tentu sangat mengkhawatirkan kondisi Hana apalagi saat ini dalam kondisi hamil. Sementara Felia berdiri di sisi ruangan lain, menatap semua ini dengan rasa bersalah yang menyesakkan. “Aku tidak tahu dia akan sejauh ini, Mama benar-benar keterlaluan.” gumamnya. Tania datang dengan langkah tenang. Namun, wajahnya jelas menunjukkan luka, bukan hanya karena tuduhan yang disebar, tapi karena luka masa lalu yang kini dibuka lebar-le

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Bayang-Bayang Masa Lalu

    Foto yang ditemukan di rumah tua itu kini berada di tangan Tania. Ia menatapnya lama dan dalam diam. Wajah Calista, sahabat masa mudanya menatap lembut dari balik foto usang. Di sebelahnya, tampak Hana kecil berdiri di pangkuan Calista. Dan dirinya, Tania muda, berdiri di pinggir foto, setengah tersenyum, Tania mengenang masa itu sebelum sala paham antara dirinya dengan Calista terjadi, sehingga tidak bertegur sapa selama itu, hingga Hana dan Abian Dewasa, dan dipertemukan dalam ketidak sengajaan.Hana duduk di seberangnya, diam-diam memerhatikan perubahan raut wajah ibu mertuanya itu.“Apa Mama merindukan Mama Calista?” tanya Hana akhirnya, pelan tapi penuh tekanan.Tania meletakkan foto itu di pangkuannya, lalu mengangguk pelan.“Ya. Aku merindukan Calista dulu seperti saudara. Kami tumbuh bersama, kuliah bersama… sampai satu ketika, jalan kami terpisah karena… laki-laki yang sama.”Hana tertegun. “Abian bukankah putra dari Papa Devan...?”“Bukan,” potong Tania cepat. “Tapi aku me

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Kabur Lagi

    Asap dari ledakan kecil di belakang taman belum sepenuhnya menghilang. Para tamu berteriak dan berhamburan. Anak-anak dibawa menjauh oleh guru dan orang tua. Di antara keributan itu, Hana berusaha tetap tenang sambil memeluk Alena dengan erat.Hana segera bergegas memeluk Alena yang dalam ketakutan, ia berbisik lirih menenangkan. “Tenang sayang… Mama di sini,” Tania mengarahkan staf rumah untuk segera mengevakuasi para tamu ke dalam gedung utama. Sementara Abian dan dua polisi sipil langsung bergerak ke titik ledakan, namun seperti yang sudah diduga sosok Olivia atau Mira telah pergi sejak tadi.Abian menekan telepon genggamnya, berbicara cepat dengan salah satu kontak intelijen pribadi.b“Aku mau semua pintu keluar, pelabuhan, jalur udara pribadi, dan terminal dipantau. Dia pakai identitas Olivia. Tapi sekarang dia mungkin sudah berganti lagi. Ini bukan upaya penangkapan biasa tapi ini darurat.”Felia berdiri diam di dekat jendela, matanya menatap kosong ke halaman yang mulai sunyi.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status