Abian terpaku menatap layar ponselnya. Notifikasi itu menghantam dadanya seperti gelombang lama yang datang kembali membawa serpihan masa lalu yang belum selesai.
Jemarinya mengepal, dadanya sesak. Bingung. Bimbang. Terikat dan terjerat di antara kewajiban sebagai seorang anak dan perasaan yang mulai mengusik batinnya. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar hotel pengantin yang sunyi. Hana tidak ada. Ia bahkan belum kembali sejak pergi diam-diam tadi—masih mengenakan gaun pengantin yang seharusnya menjadi saksi malam pertama mereka sebagai pasangan sah. Abian duduk di ujung ranjang, kepalanya menunduk dalam. “Harusnya aku menjelaskan semuanya… sebelum semua ini terjadi.” Ia tahu, Hana mungkin membaca notifikasi itu. Itu cukup untuk membuat siapa pun merasa diabaikan—terutama perempuan yang baru saja ia nikahi, meski hanya atas nama kontrak. Tapi kenapa hatinya seberat ini? Bukankah dulu, saat menyusun rencana pertunangan palsu itu, ia mengira tak akan ada yang terluka? Ternyata dia salah besar. Abian menyetir sendiri. Membelah jalanan malam yang lengang. Langkahnya menuju satu tempat: rumah kedua orang tuanya. Ia berharap Hana memilih pulang ke sana—tempat yang kini juga menjadi rumah barunya. Namun ketika ia tiba, jawaban Adrian di depan pintu membuat jantungnya kian terpuruk. “Nyonya Hana belum terlihat, Tuan Muda,” jawab Adrian sopan. Abian menghela napas. Rasa sesak makin menyesakkan dada. Dari dalam, langkah Tania terdengar tergesa. Ia langsung menyambut anaknya dengan wajah tegang, diikuti Devan yang berdiri dengan ekspresi penuh tanya. “Abian? Kamu dari hotel?” tanya Tania. “Mana Hana?” Abian hanya menunduk. “Dia pergi, Bu.” “Pergi?” Tania mengangkat alis. “Kalian bertengkar?” Devan ikut bicara. “Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa dia pergi begitu saja?” Abian menarik napas panjang. “Dia… membaca sesuatu. Dan aku belum sempat menjelaskan. Aku tak bermaksud menyakitinya.” Tania menyipitkan mata, lalu memandang tajam ke arah putranya. “Jangan bilang ini ada hubungannya dengan perempuan itu, Abian…” “Felia,” desis Devan. Abian diam. Wajahnya menyimpan kepedihan. Ia tak tahu bagaimana menjawab. Segalanya menjadi rumit. “Kau memang belum mencintai Hana,” Tania melanjutkan, nada suaranya melembut tapi kecewa. “Tapi kau tidak buta untuk tidak melihat, bahwa dia sedang belajar mencintaimu.” Devan menepuk pundak anaknya. “Jangan biarkan bayangan masa lalu merusak hal baik yang baru dimulai.” “Aku hanya ingin menjalankan kewajibanku… sebagai anak. Karena kalian menyukai Hana. Karena dia juga butuh bantuan untuk ibunya,” jawab Abian pelan. “Tapi aku… aku tak tahu apa yang aku rasakan sekarang.” Tania memutar tubuhnya gelisah. “Hana bukan hanya ‘perempuan yang butuh bantuan’. Dia wanita yang kuat, yang memilih mempertahankan pernikahan ini meski tahu kamu belum bisa sepenuhnya menerima dia.” Abian menunduk. Ia tahu ibunya benar. Tapi kenapa semuanya menjadi serumit ini, saat perasaannya mulai berubah? Tiba-tiba, ponsel Abian kembali bergetar. Bukan dari Felia tapi dari dokter rumah sakit tempat ibunya Hana menjalani pengobatan. Ia membaca layar. Wajahnya langsung berubah tegang. “Rumah sakit,” gumamnya. “Ini soal Calista.” Tania langsung menghentikan langkahnya. Devan mendekat. “Ada apa dengan Calista?” Abian membaca pesan itu pelan, suaranya berat. “Ibu Nyonya Hana… kondisinya kritis. Mereka minta keluarga segera datang.” Wajah Tania seketika pucat pasi. Devan mengangkat alis. “Kamu tahu sesuatu, Tania?” Tania menatap suaminya, terdiam. Di balik sorot matanya, ada ketakutan lama yang mungkin akan segera terungkap… *** Hana duduk sendiri di ruang tunggu rumah sakit, masih mengenakan gaun pengantin. Wajahnya yang biasanya tenang kini kusut, menyimpan banyak luka. Matanya bengkak, tapi ia tak punya tenaga untuk menangis lebih banyak. Tadi malam seharusnya menjadi malam paling bahagia, tetapi justru menjadi malam pelariannya. Ia hanya ingin satu hal saat itu. pulang. Menenangkan diri di sisi ibunya, satu-satunya orang yang selalu memeluknya tanpa menghakimi. Tapi yang ia temui bukan ketenangan. Melainkan ambulan. Tangisan tetangga. Dan tubuh ibunya yang tak sadarkan diri di atas tandu. “Bu... kau janji sudah sembuh…” batinnya memohon, kosong, menggenggam erat jari-jari Calista yang kini terbaring lemah di ruang ICU. Hana mengalihkan pandangan ke arah dokter yang baru keluar dari ruang perawatan. Ia berdiri cepat, menghampiri. “Dokter! Bagaimana kondisi ibu saya?” Dokter itu terlihat lelah. “Kami telah melakukan tindakan secepat mungkin. Tapi... kami mendeteksi adanya komplikasi serius pada ginjal dan jantung. Sebenarnya ini tidak terjadi tiba-tiba. Ada trauma emosi berat yang memperparah kondisinya.” “Trauma...?” Hana mengernyit. Dokter hanya mengangguk dan pergi sebelum bisa menjelaskan lebih lanjut. Hana menggigit bibir. Ia menatap ke ruang ICU dari balik kaca. Apa yang sebenarnya terjadi pada ibu? Padahal tadi pagi mereka masih berbicara. Calista bahkan sempat tersenyum ketika pamit pada Hana setelah resepsi pernikahan selesai. Tiba-tiba, langkah kaki terdengar tergesa di belakang. Suara Adrian. “Nyonya Hana…” Hana menoleh cepat. Di belakang Adrian, muncul sosok yang membuat jantungnya nyaris berhenti. Abian. Keduanya saling bertatapan. Dingin. Kaku. Luka yang belum sempat mengering. “Aku ke sini... karena dapat kabar tentang ibumu,” ucap Abian pelan. “Terima kasih. Tapi sekarang... aku tidak ingin membicarakan hal lain,” sahut Hana datar. “Aku minta maaf soal semalam.” Hana menatapnya tajam. “Sudahlah. Aku tahu posisiku. Aku hanya ‘istri karena kontrak’, bukan orang yang pantas marah karena suaminya mendapat pesan dari perempuan lain.” Abian mendekat. “Hana, dengarkan—” “Aku sedang lelah, Abian!” seru Hana pelan namun tajam. “Biarkan aku sendiri.” Abian terdiam. Tapi ia tahu, ini bukan saatnya menyerah. Ia duduk tak jauh dari Hana. Menemani dalam diam. Tak lama kemudian, Tania dan Devan muncul di rumah sakit. Wajah Tania terlihat shock melihat Hana duduk lemah, masih dalam balutan gaun pengantin yang kusut dan ternoda. “Hana... kenapa kau belum ganti baju?” Tania menghampiri. Hana bangkit perlahan. “Maaf... saya terburu-buru. Ibu saya... mendadak drop.” Tania mengangguk perlahan, menatap Hana dalam-dalam. Sekilas, sorot mata itu bukan lagi tatapan sinis seperti dulu. Ada ketakutan. Rasa bersalah. Sesuatu yang tak biasa. Devan mendekat ke arah kaca ruang ICU. Melihat Calista yang terbaring dengan alat bantu napas. “Sudah berapa lama dia seperti ini?” tanya Devan lirih. “Semalaman,” jawab Hana. Tania menahan napas. Wajahnya pucat. Tangan gemetar. Hana memperhatikan gerak-gerik ibu mertuanya. “Ada yang Ibu tahu tentang kondisi Ibu saya?” Tania menunduk, mencoba menyembunyikan air matanya. Tapi tidak berhasil. Ia menarik napas panjang dan mundur beberapa langkah. “Dia... tidak seharusnya seperti ini...” “Tania?” Devan menatap istrinya, bingung. Tania menatap suaminya, lalu Hana. Ia ingin bicara. Tapi tenggorokannya tercekat. “Ada yang ingin Ibu sampaikan?” tanya Hana pelan. Suasana hening. Tegang. Tania akhirnya berkata, “Aku... aku dulu bersalah pada Calista. Aku pernah mengira suamiku berselingkuh dengannya. Aku pernah menyakiti hatinya tanpa bukti. Dan mungkin... aku juga ikut membuat dia sakit secara batin.” Hana terkejut. Ia tidak pernah menyangka akan mendengar pengakuan semacam itu. “Tapi kami hanya sahabat, Hana,” ujar Devan cepat, menekankan. “Aku tidak pernah berpaling dari Tania. Tapi di malam saat putraku lahir... aku memang berada dalam mobil bersama Calista niat kami ingin ke rumah sakit menemui Tania, karena dia mengalami kecelakaan kecil. Aku mengantarnya ke rumah sakit lain sebelum ke rumah sakit tempat Tania dirawat. Dan itu... itu salahku karena tidak memberi kabar.” “Dan karena itu, aku menyimpan curiga bertahun-tahun,” gumam Tania lirih. “Aku menyalahkan Calista... meski dia tidak bersalah. Dan sekarang, aku takut... aku takut terlambat.” Tangis Tania pecah. Hana hanya berdiri membeku. Air matanya mengalir. Luka lama yang tak pernah ia mengerti kini terbuka. Beberapa menit kemudian, dokter kembali keluar. “Kami butuh persetujuan keluarga. Keadaan ibu Anda memburuk. Kami akan pindahkan beliau ke ruang intensif darurat untuk tindakan khusus. Tapi... kami tidak bisa menjamin hasilnya.” Hana mengangguk cepat. “Lakukan yang terbaik, Dokter.” Abian menatap Hana dari sisi. Ingin menguatkan, tapi ia tahu Hana belum siap menerima dirinya kembali. Saat petugas membawa Calista ke ruang tindakan, Tania mendekat pada Hana. “Jika kau mengizinkan... bolehkah aku menunggu bersamamu?” tanya Tania dengan nada tulus. Hana menatapnya lama. Lalu mengangguk pelan. “Terima kasih... Ibu.” Satu jam kemudian, Hana kembali ke ruang tunggu. Tak ada kabar dari dokter. Ia gelisah. Ponselnya berdering. Nomor tidak dikenal. “Halo?” “Hana Adelia?” suara seorang perempuan asing di seberang. “Iya. Siapa ini?” “Aku ingin bertemu denganmu. Ini soal Abian... dan anak kandungnya.” Deg. Wajah Hana mendadak pucat. “Apa maksudmu? Siapa kamu?” “Aku hanya akan bicara jika kamu menemuiku. Datanglah besok pagi ke taman belakang rumah sakit. Jangan ajak siapa pun. Ini menyangkut Anak Kandung Abian.” Klik. Telepon terputus. Hana berdiri gemetar. Napasnya memburu. Anak kandung Abian...? Apa maksudnya...?Mobil hitam itu masih terparkir di sisi kanan halaman rumah sakit. Dari balik kaca yang sedikit terbuka, sepasang mata mengamati pintu masuk ruang IGD dengan tajam. Perempuan itu adalah Felia. Ia tak segera turun, seolah menimbang apakah kehadirannya akan memperkeruh suasana atau justru membuka jalan untuk menjelaskan segalanya.Di dalam rumah sakit, kabar meninggalnya Calista menyebar cepat. Para perawat dan dokter yang merawatnya hanya bisa menunduk penuh penyesalan. Beberapa orang dari staf rumah sakit memberi ucapan belasungkawa singkat pada Hana yang masih berdiri membeku di depan ruang ICU. Tangisnya sudah kering, tetapi matanya tetap kosong.Langkah kaki cepat terdengar dari ujung lorong. Abian datang dengan tergesa, diikuti kedua orang tuanya, Tania dan Devan Adiyaksa. Wajah mereka tegang, napas terengah.“Hana!” panggil Tania. “Kami baru dengar soal ibumu... Kami sangat menyesal.”Abian langsung menghampiri Hana yang tak bergerak sedikit pun dari tempatnya.“Hana... aku.
Langit siang mulai mendung. Udara di rumah sakit semakin dingin, seolah menyesuaikan diri dengan suasana hati Hana yang terus diliputi awan kelabu. Sejak kemarin, ia belum sempat benar-benar beristirahat. Matanya sembab, dan tubuhnya mulai letih, tapi pikirannya tak berhenti berputar.Calista masih terbaring di ruang ICU. Kondisinya belum stabil. Dokter tak banyak berkata, hanya menyuruh Hana banyak berdoa dan bersiap untuk kemungkinan terburuk.Abian sempat datang pagi tadi. Tapi kehadirannya hanya menambah sesak di dada Hana. Tatapan pria itu menyimpan kegelisahan dan rasa bersalah, tapi Hana belum bisa membicarakan apa pun padanya. Ia hanya meminta Abian pulang untuk menenangkan diri. Meski begitu, hatinya sendiri tak kunjung tenang.Baru saja ia hendak berdiri dari kursi tunggu di lorong ICU, suara pelan dari arah lift membuatnya menoleh. Suara roda berderit, menyertai langkah seorang perawat yang mendorong kursi roda.Di atas kursi itu, duduk seorang wanita setengah baya deng
Suara mesin di ruang ICU berdengung pelan, seperti alunan nada tak kasatmata yang menghantam relung hati Hana. Di balik kaca tebal, tubuh Calista terbaring lemah, penuh dengan kabel dan selang yang menempel di berbagai sisi tubuhnya. Napasnya naik-turun melalui ventilator. Lampu-lampu monitor berkedip seirama dengan detak jantungnya yang lemah.Hana berdiri diam, membeku. Dunia di sekitarnya seperti berhenti. Matanya merah, tubuhnya gemetar. Ia tak tahu harus menangis atau berteriak. Semuanya terasa terlalu berat, terlalu mendadak, terlalu sakit.Setelah bertahun-tahun hanya hidup berdua, kini ibunya berada di antara hidup dan mati. Dan di saat yang sama, pernikahannya bersama Abian baru saja diguncang oleh satu kenyataan besar, kemunculan Felia, dan seorang anak kecil bernama Alena.“Apa aku... pantas bahagia di atas semua ini?” gumamnya lirih. Suaranya hampir tak terdengar, tenggelam oleh suara mesin-mesin medis.Pintu ruang tunggu terbuka pelan.Abian muncul, wajahnya masih d
Pagi itu, udara masih dingin menyapu dedaunan basah oleh embun. Taman kecil di belakang rumah sakit belum sepenuhnya ramai. Hanya ada satu-dua pengunjung yang duduk di bangku taman, menikmati ketenangan pagi.Hana datang dengan langkah hati-hati. Wajahnya masih menyimpan sisa-sisa kecemasan malam tadi. Sementara ibunya masih dirawat di ruang intensif. Ia belum sadar, dan kini, Hana datang menuruti telepon dari orang asing yang memberitahunya soal masa lalu Abian.Jantungnya berdegup tak karuan.Matanya menyapu taman. Tak ada siapa pun yang mencurigakan. Sampai matanya tertuju pada seorang wanita berpenampilan elegan, berdiri di bawah pohon besar, mengenakan mantel krem dengan syal biru lembut melilit lehernya.Di sebelah wanita itu, berdiri seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun, mengenakan gaun putih bermotif bunga. Gadis kecil itu memegang tangan wanita itu erat sambil memeluk boneka.Hana melangkah pelan, ragu.Wanita itu menoleh dan tersenyum tipis. Sorot matanya
Abian terpaku menatap layar ponselnya. Notifikasi itu menghantam dadanya seperti gelombang lama yang datang kembali membawa serpihan masa lalu yang belum selesai. Jemarinya mengepal, dadanya sesak. Bingung. Bimbang. Terikat dan terjerat di antara kewajiban sebagai seorang anak dan perasaan yang mulai mengusik batinnya. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar hotel pengantin yang sunyi. Hana tidak ada. Ia bahkan belum kembali sejak pergi diam-diam tadi—masih mengenakan gaun pengantin yang seharusnya menjadi saksi malam pertama mereka sebagai pasangan sah. Abian duduk di ujung ranjang, kepalanya menunduk dalam. “Harusnya aku menjelaskan semuanya… sebelum semua ini terjadi.” Ia tahu, Hana mungkin membaca notifikasi itu. Itu cukup untuk membuat siapa pun merasa diabaikan—terutama perempuan yang baru saja ia nikahi, meski hanya atas nama kontrak. Tapi kenapa hatinya seberat ini? Bukankah dulu, saat menyusun rencana pertunangan palsu itu, ia mengira tak akan ada yang terluka? Terny
Abian duduk membisu di ruang kerja ayahnya. Pagi itu, suasana rumah keluarga Adiyaksa sedikit lebih tenang dibanding malam sebelumnya yang nyaris meledak karena masa lalu yang menyeruak tanpa aba-aba. Tania kini duduk bersandar di sofa, mengenakan gaun berwarna pastel lembut. Wajahnya masih menyisakan kelelahan emosional, tapi matanya tak lagi menyala penuh dendam. Devan menyuguhkan teh untuk istrinya sebelum ia duduk di samping Abian. “Kita harus bicara,” ujar pria paruh baya itu. Abian mengangguk pelan. “Tentang pertunanganku dengan Hana?” Tania menarik napas panjang sebelum menjawab. “Tentang pernikahan kalian.” Alis Abian terangkat. “Pernikahan? Kita belum bertunangan secara resmi. Lagipula ini hanya—” “Awalnya hanya sandiwara, ya, aku tahu,” sela Tania lembut namun tegas. “Tapi kamu sudah dewasa, Abian. Kami sudah lama menunggu kamu membawa pulang seseorang. Dan saat kamu akhirnya memilih, meskipun pura-pura, ternyata gadis itu... bukan orang yang buruk.” Devan menimp