Share

Bertemu Kedua Orang Tua Abian

Author: Agus Irawan
last update Last Updated: 2025-05-17 02:03:01

Udara pagi masih menyisakan dingin lembut saat Hana membuka matanya. Di lorong rumah sakit yang sunyi, tubuhnya kaku karena semalaman duduk tanpa sandaran. Kepalanya berat, matanya sembab karena tangis yang tak sempat ia tumpahkan semalam.

Ibunya, Calista, masih terbaring lemah di ruang ICU. Operasi ginjal yang dijalani semalam dinyatakan berhasil oleh dokter, namun hingga pagi ini, Calista belum juga sadarkan diri. Selang oksigen menutupi wajah pucat itu, dan monitor terus berbunyi lembut mengiringi denyut jantungnya.

Hana menatap ibunya melalui kaca pembatas. Jari-jarinya menyentuh permukaan dingin itu, seolah berharap bisa menyentuh ibunya secara langsung. Tapi yang ada hanya perasaan getir, berselimut cemas dan berselimut rasa bersalah.

Ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan singkat muncul di layar.

"Berhenti menatap masa lalu. Mulai pukul sembilan, kamu resmi memainkan peran. Aku sudah kirim orang untuk menjemputmu."

Belum sempat ia membalas, sebuah suara memanggil pelan.

"Hana Adelia?"

Hana menoleh dan menemukan Adrian Martadinata berdiri tak jauh darinya. Dengan jas rapi dan ekspresi serius, pria itu tampak seperti utusan resmi dari sebuah misi besar. Dan memang, dalam hidup Hana, tak pernah ada misi sebesar ini.

"Ikut saya. Hari ini kita harus bersiap menemui orang tua Tuan Abian."

Tanpa banyak bicara, Hana mengangguk dan berjalan mengikuti Adrian. Dalam pikirannya, satu pertanyaan terus berputar. Apakah ini semua benar-benar keputusan terbaik?

Satu jam kemudian, Hana duduk di kursi salon mewah. Tempat itu lebih mirip galeri seni daripada salon biasa. Cermin-cermin besar, lampu-lampu putih yang menyilaukan, dan para pekerja dengan seragam hitam elegan menyambutnya seolah ia benar-benar calon menantu dari seorang konglomerat.

"Siapa dia?" bisik seorang penata rambut saat Adrian menyebutkan nama Hana. "Kata Bos, calon istrinya Abian Adiyaksa," jawab penata rambut itu singkat. "Serius? Bukannya Abian masih menunggu cewek luar negerinya itu?"

Desas-desus mulai mengalir, tapi Hana hanya diam. Ia terlalu lelah untuk peduli.

Wajahnya dirias dengan penuh keahlian. Eyeliner mempertegas tatapannya, blush on membingkai pipinya, dan rambutnya dikeringkan dan dikeriting ringan. Saat gaun satin biru langit dikenakan padanya, Hana tak bisa mengenali dirinya sendiri di cermin.

"Kamu tidak terlihat buruk," komentar Abian saat Hana masuk ke mobil mewah yang menunggunya.

Hana hanya menunduk. Mobil itu melaju pelan menuju mansion keluarga Adiyaksa.

"Ingat, Hana," suara Abian terdengar dingin, "Ini permainan. Kamu akan berperan sebagai perempuan pilihanku. Jangan berbuat kesalahan. Jangan buat aku terlihat bodoh di depan mereka."

"Aku mengerti," jawab Hana pelan.

Gerbang mansion keluarga Adiyaksa terbuka otomatis. Mobil berhenti di halaman luas yang dipenuhi bunga dan rumput hijau rapi. Bangunan megah berdiri dengan anggun, tampak seperti istana dari dongeng. Hana menarik napas panjang.

Pintu utama dibuka oleh pelayan, dan Abian menggandeng tangan Hana masuk ke dalam. Di ruang tamu yang luas dan terang, dua sosok elegan telah menunggu. Devan Adiyaksa dan istrinya, Tania.

"Akhirnya, anak ini membawa perempuan juga," ucap Devan, suaranya berat tapi hangat.

Tania melangkah lebih maju. Saat matanya bertemu dengan wajah Hana, ekspresi ramah itu berubah. Sekilas. Sangat cepat. Tapi cukup untuk membuat Hana merasakan ketegangan yang aneh.

Tania menatap lekat-lekat. Seolah sedang mencoba mengingat sesuatu.

Wajah ini... pikir Tania.

Hana tersenyum kecil, menunduk sopan.

"Namamu Hana, ya? Ceritakan sedikit tentang dirimu, sayang," ujar Tania, suaranya terdengar datar.

"Saya bekerja di butik, Tante. Ibu saya penjahit. Kami tinggal di pinggir kota."

"Ayahmu?"

"Sudah lama meninggal, Tante."

Devan tampak tersentuh, sedangkan Tania masih menatap Hana dengan sorot mata curiga yang samar. Suasana makan malam pun dimulai. Makanan-makanan mewah tersaji di meja panjang, tapi Hana nyaris tak menyentuh apa pun. Ia terlalu gugup.

Devan mulai tampak menyukai Hana. Ia tertawa pelan mendengar Hana bercerita tentang butik dan kesibukannya menjahit bersama sang ibu. Tapi Tania tetap diam, sesekali hanya mencuri pandang.

Setelah makan malam, semua beranjak ke ruang keluarga. Hana berpamitan sebentar untuk ke kamar kecil. Saat ia berjalan menuju lorong, suara langkah lain dari belakang mengikutinya, dan benar saja itu adalah Tania yang masih penasaran pada Hana.

"Tunggu sebentar," ujar Tania. Suaranya pelan, tapi tegas.

Hana berbalik, gugup. "Iya, Tante?"

Tania berdiri di depannya. Matanya menatap tajam.

"Beberapa malam lalu, di rumah sakit. Kamu menangis di lorong depan ruang operasi. Benar?"

Hana terkejut. "Iya... waktu itu... ibu saya sedang dioperasi."

"Siapa nama ibumu?"

Hana terdiam. Suara Tania meninggi.

"Jawab aku, Hana."

"Namanya... Calista," ucap Hana akhirnya.

Mata Tania membelalak. Tubuhnya mundur setengah langkah. Napasnya tercekat.

"Kamu... putri Calista?"

Hana mengangguk pelan.

Tania memalingkan wajah, tubuhnya bergetar. Wajah pucat itu menyiratkan ketakutan lama yang muncul kembali.

"Kenapa... harus kamu...?"

Saat itu, suara langkah terdengar. Devan muncul dari balik dinding.

"Apa maksudmu, Tania? Calista...?"

Ketiganya saling bertatapan, diam, tegang dan suasana canggung sangat kentara.

"Tidak, tidak... Devan kamu salah dengar, tidak ada yang menyebut nama Calista di sini. Lagi pula ini sudah bertahun-tahun, kamu selalu saja mengingat perempuan selingkuhanmu itu!" kata Tania dengan nada tinggi.

Hana tercengang. Kata-kata itu menusuknya. Selingkuhan?

Devan menggeleng cepat. "Aku tidak pernah selingkuh darimu... sejak awal kamu tahu kalau kita ini sahabat, tidak salah kalau Calista pergi. Kamu selalu saja seperti ini, Tania!"

Tania mengibas tangannya ke udara, air matanya mulai berjatuhan.

"Kamu salahin aku? Devan, bagaimana aku tidak curiga sama kamu dan Calista. Di malam di saat aku dilarikan ke rumah sakit bertaruh nyawa melahirkan putramu. Kamu di mana? Bersama Calista! Untung ada Eren yang memberitahu aku kalau kamu semobil pada saat itu, padahal aku di rumah sakit bertaruh nyawa, Devan!"

Hana berdiri mematung. Suasana menjadi sangat tegang. Suara detik jam terdengar seperti gendang perang yang menunggu letupan besar.

***

Keributan di ujung lorong membuat Abian yang semula tengah berbincang dengan Adrian di ruang kerja, segera berdiri. Suara-suara tinggi dan ketegangan itu terlalu keras untuk diabaikan. Ia keluar dari ruangannya dan mengikuti arah suara hingga sampai di area ruang tamu.

Di sana, ia melihat Tania menangis, dengan Devan berdiri di hadapannya, wajah penuh amarah dan kekecewaan. Di sisi lain, Hana tampak kaku, berdiri mematung dengan mata membelalak, seperti baru saja disambar petir.

Abian berjalan cepat mendekat. Sorot matanya tajam dan penuh tanya. “Apa yang terjadi di sini?”

Tak ada yang langsung menjawab.

“Apakah aku tidak cukup jelas mengatakan bahwa kita tidak membutuhkan drama di dalam rumah ini?” Suaranya dingin dan berwibawa. Pandangannya jatuh tepat pada Hana. “Kau... Kau yang memulai semua ini?”

Hana menggeleng pelan, bibirnya bergetar. “Aku tidak—aku hanya menjawab pertanyaan Tante Tania.”

“Dengan menyebut nama Calista?” tukas Tania, cepat. “Kau pikir aku tak akan mengenali wajah anak dari wanita itu?”

Abian mengernyit. “Calista? Ibu Hana?”

Devan mendesah panjang, suaranya lebih tenang dari sebelumnya. “Jika memang Hana Anak dari Calista, berarti kau sudah tahu lama Calista berada di kota ini?.”

Abian memandangi Hana lama. Wajah perempuan itu tampak bersih dari kebohongan. Tapi ia juga bukan orang yang suka percaya begitu saja. “Kau tahu siapa Calista sebelum masuk dalam kesepakatan ini?”

“Aku... aku tidak tahu apa-apa tentang masa lalu kalian,” jawab Hana dengan suara tertahan. “Aku hanya ingin menyelamatkan ibuku.”

Tania melangkah maju, jari telunjuknya menuding Hana. “Kamu harusnya tidak bertemu Abian, dan tidak membawa kenangan yang harusnya sudah mati, Abian. Bagaimana bisa kau berpikir menjadikannya istri—bahkan pura-pura sekalipun?”

“Aku yang meminta dia ikut sandiwara ini,” potong Abian cepat. Tatapannya menusuk tajam ke arah ibunya. “Dan aku tidak tahu masa lalu kalian. Tapi kalau memang ibu masih punya dendam, jangan lampiaskan pada orang lain yang tidak tahu apa-apa.”

Tania tampak terkejut mendengar ketegasan putranya. Tapi ia juga tak sanggup menjawab. Air matanya mulai jatuh satu per satu.

Devan memegangi bahu istrinya. “Tania, sudah cukup. Kita sudah tua. Jangan lagi hidup dalam luka lama. Calista... dia bukan seperti yang kamu pikirkan.”

Tania menggeleng. “Tapi kamu tetap ada di mobil yang sama dengannya di malam aku nyaris mati saat melahirkan anakmu!”

Devan menghela napas. “Karena dia yang memberitahuku kalau kamu akan melahirkan putra kita, aku terjebak macet di jalanan saat akan menemuimu di Rumah Sakit.”

Tania terisak. “Kenapa kamu tidak bilang dari awal?”

“Karena kamu tidak pernah mau dengar.”

Suasana menjadi hening. Hana menunduk, merasa menjadi beban di tengah badai rumah tangga pasangan itu. Tapi sebelum ia bisa bergerak, sebuah suara memecah keheningan.

“Jadi ini semua karena aku?”

Abian menatap Hana tajam. “Kau menjadi sumber keributan ini. Dan itu baru permulaan.”

Wajah Hana memucat. Hatinya remuk. Ia sadar, dirinya mulai terseret dalam pusaran masa lalu yang tak ia pahami. Dan mungkin... belum ada jalan keluar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Ancaman yang Nyata

    Hana memandangi surat misterius di tangannya. Surat itu dikirim tanpa nama, tanpa alamat pengirim, dan tanpa jejak elektronik. Namun yang paling mengganggunya adalah foto tua hitam putih yang jelas menunjukkan ibunya Calista di masa muda. Garis tinta merah menyilang wajahnya, seolah menjadi peringatan… atau ancaman. “Ini bukan hanya tentang kita lagi,” gumam Hana sambil duduk di ruang kerja rumahnya. Abian masuk, membawa secangkir teh. “Kamu belum istirahat?” Hana menyerahkan surat itu. “Seseorang mengingatkan kita… bahwa cerita Mama belum selesai.” Abian membaca isinya, matanya menajam. “Akar dari kehancuranmu belum dicabut... Ini bukan ucapan acak. Ini ditulis oleh orang yang tahu terlalu dalam tentang masa lalu keluargamu.” “Dan itu berarti... bukan Mira. Tapi seseorang yang mengenal Mama sejak dulu,” bisik Hana. Abian mengangguk. “Kita harus menyelidiki. Dari awal. Dari tempat Mama pernah tinggal, sekolah, dan semua lingkaran sosialnya.” Sementara di rumah yang sudah

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Pengkhianat Paman

    Abian membanting map itu ke meja kerjanya. Suara kerasnya menggema, membuat Hana yang sedang mengatur dokumen hak asuh Alena terkejut. “Ada apa?” tanya Hana cepat, melangkah untuk menenangkan suaminya. Lalu Abian menatapnya, matanya merah karena emosi yang ditahan. Ia mengangkat selembar dokumen dari laporan investigasi internasional yang baru saja ia terima tertulis jelas di sana. Nama Reno Adiyaksa, pamannya. Adik dari Devan Adiyaksa. Tercatat melakukan transfer dana melalui rekening penampung milik Mira sejak dua tahun terakhir. Hana menatap wajah muram Abian, tanpa bisa berkata-kata. “Paman Reno...” gumamnya. Abian mengangguk. “Dia… dia selama ini bermain di belakang kita, menusuk keluarganya sendiri demi membantu Mira. Bahkan menggunakan perusahaan cangkang untuk memuluskan aliran dana ke luar negeri. Ini bukan cuma pengkhianatan biasa, Han. Ini... pengkhianatan dalam keharmonisan keluarga kita.” Sementara di rumahnya, Reno duduk di balkon rumah mewahnya, menyeruput kopi s

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Hadirnya Saksi

    Suasana ruang rapat di kantor pengacara keluarga Adiyaksa sangat tenang pagi itu. Tapi ketegangan tidak bisa disembunyikan. Di ujung meja, duduk seorang pria berusia awal empat puluhan. Wajahnya tirus, kulitnya pucat, dan tangannya gemetar ketika ia menandatangani dokumen perlindungan saksi.Namanya adalah Rendra Surya mantan teknisi laboratorium rumah sakit tempat hasil tes DNA Alena yang dulu dimanipulasi.“Terima kasih sudah datang,” ucap seorang pengacara keluarga Adiyaksa, yang bernama Ibu Melani.Rendra mengangguk kaku. “Saya... sudah lama ingin bicara. Tapi saya takut. Mira bukan orang sembarangan. Dia tahu cara membuat orang seperti saya hilang tanpa jejak.”Abian duduk di samping pengacara, mencatat setiap kalimat Rendra. Di seberang, Felia hadir sebagai bentuk pengakuan bahwa dia bersedia menjadi saksi melawan ibunya.“Beritahu kami dari awal,” kata Felia pelan.Rendra menarik napas panjang. “Empat tahun lalu, saya menerima amplop berisi uang dari seseorang yang mewakili Mir

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Keteguhan Hana

    Ruang keluarga pagi itu dipenuhi keheningan yang berat. Televisi menyala menayangkan ulang laporan berita pagi tentang skandal lama antara Calista dan Tania. Gambar-gambar diedit dengan framing yang menyudutkan. Komentator berita bahkan menyiratkan kemungkinan manipulasi warisan yang melibatkan Hana secara tidak langsung. Hana duduk sambil memeluk perutnya yang kini mulai membesar, bahkan ibunya telah tiada pun masih saja diberitakan miring, mental Hana kali ini di hajar habis-habisan, Abian berdiri di belakang kursinya menatap layar dengan wajah tegang, ia tentu sangat mengkhawatirkan kondisi Hana apalagi saat ini dalam kondisi hamil. Sementara Felia berdiri di sisi ruangan lain, menatap semua ini dengan rasa bersalah yang menyesakkan. “Aku tidak tahu dia akan sejauh ini, Mama benar-benar keterlaluan.” gumamnya. Tania datang dengan langkah tenang. Namun, wajahnya jelas menunjukkan luka, bukan hanya karena tuduhan yang disebar, tapi karena luka masa lalu yang kini dibuka lebar-le

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Bayang-Bayang Masa Lalu

    Foto yang ditemukan di rumah tua itu kini berada di tangan Tania. Ia menatapnya lama dan dalam diam. Wajah Calista, sahabat masa mudanya menatap lembut dari balik foto usang. Di sebelahnya, tampak Hana kecil berdiri di pangkuan Calista. Dan dirinya, Tania muda, berdiri di pinggir foto, setengah tersenyum, Tania mengenang masa itu sebelum sala paham antara dirinya dengan Calista terjadi, sehingga tidak bertegur sapa selama itu, hingga Hana dan Abian Dewasa, dan dipertemukan dalam ketidak sengajaan.Hana duduk di seberangnya, diam-diam memerhatikan perubahan raut wajah ibu mertuanya itu.“Apa Mama merindukan Mama Calista?” tanya Hana akhirnya, pelan tapi penuh tekanan.Tania meletakkan foto itu di pangkuannya, lalu mengangguk pelan.“Ya. Aku merindukan Calista dulu seperti saudara. Kami tumbuh bersama, kuliah bersama… sampai satu ketika, jalan kami terpisah karena… laki-laki yang sama.”Hana tertegun. “Abian bukankah putra dari Papa Devan...?”“Bukan,” potong Tania cepat. “Tapi aku me

  • Dari Tunangan Pura-pura, Jadi Istri Kesayangan sang Tuan   Kabur Lagi

    Asap dari ledakan kecil di belakang taman belum sepenuhnya menghilang. Para tamu berteriak dan berhamburan. Anak-anak dibawa menjauh oleh guru dan orang tua. Di antara keributan itu, Hana berusaha tetap tenang sambil memeluk Alena dengan erat.Hana segera bergegas memeluk Alena yang dalam ketakutan, ia berbisik lirih menenangkan. “Tenang sayang… Mama di sini,” Tania mengarahkan staf rumah untuk segera mengevakuasi para tamu ke dalam gedung utama. Sementara Abian dan dua polisi sipil langsung bergerak ke titik ledakan, namun seperti yang sudah diduga sosok Olivia atau Mira telah pergi sejak tadi.Abian menekan telepon genggamnya, berbicara cepat dengan salah satu kontak intelijen pribadi.b“Aku mau semua pintu keluar, pelabuhan, jalur udara pribadi, dan terminal dipantau. Dia pakai identitas Olivia. Tapi sekarang dia mungkin sudah berganti lagi. Ini bukan upaya penangkapan biasa tapi ini darurat.”Felia berdiri diam di dekat jendela, matanya menatap kosong ke halaman yang mulai sunyi.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status