Udara pagi masih menyisakan dingin lembut saat Hana membuka matanya. Di lorong rumah sakit yang sunyi, tubuhnya kaku karena semalaman duduk tanpa sandaran. Kepalanya berat, matanya sembab karena tangis yang tak sempat ia tumpahkan semalam.
Ibunya, Calista, masih terbaring lemah di ruang ICU. Operasi ginjal yang dijalani semalam dinyatakan berhasil oleh dokter, namun hingga pagi ini, Calista belum juga sadarkan diri. Selang oksigen menutupi wajah pucat itu, dan monitor terus berbunyi lembut mengiringi denyut jantungnya. Hana menatap ibunya melalui kaca pembatas. Jari-jarinya menyentuh permukaan dingin itu, seolah berharap bisa menyentuh ibunya secara langsung. Tapi yang ada hanya perasaan getir, berselimut cemas dan berselimut rasa bersalah. Ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan singkat muncul di layar. "Berhenti menatap masa lalu. Mulai pukul sembilan, kamu resmi memainkan peran. Aku sudah kirim orang untuk menjemputmu." Belum sempat ia membalas, sebuah suara memanggil pelan. "Hana Adelia?" Hana menoleh dan menemukan Adrian Martadinata berdiri tak jauh darinya. Dengan jas rapi dan ekspresi serius, pria itu tampak seperti utusan resmi dari sebuah misi besar. Dan memang, dalam hidup Hana, tak pernah ada misi sebesar ini. "Ikut saya. Hari ini kita harus bersiap menemui orang tua Tuan Abian." Tanpa banyak bicara, Hana mengangguk dan berjalan mengikuti Adrian. Dalam pikirannya, satu pertanyaan terus berputar. Apakah ini semua benar-benar keputusan terbaik? Satu jam kemudian, Hana duduk di kursi salon mewah. Tempat itu lebih mirip galeri seni daripada salon biasa. Cermin-cermin besar, lampu-lampu putih yang menyilaukan, dan para pekerja dengan seragam hitam elegan menyambutnya seolah ia benar-benar calon menantu dari seorang konglomerat. "Siapa dia?" bisik seorang penata rambut saat Adrian menyebutkan nama Hana. "Kata Bos, calon istrinya Abian Adiyaksa," jawab penata rambut itu singkat. "Serius? Bukannya Abian masih menunggu cewek luar negerinya itu?" Desas-desus mulai mengalir, tapi Hana hanya diam. Ia terlalu lelah untuk peduli. Wajahnya dirias dengan penuh keahlian. Eyeliner mempertegas tatapannya, blush on membingkai pipinya, dan rambutnya dikeringkan dan dikeriting ringan. Saat gaun satin biru langit dikenakan padanya, Hana tak bisa mengenali dirinya sendiri di cermin. "Kamu tidak terlihat buruk," komentar Abian saat Hana masuk ke mobil mewah yang menunggunya. Hana hanya menunduk. Mobil itu melaju pelan menuju mansion keluarga Adiyaksa. "Ingat, Hana," suara Abian terdengar dingin, "Ini permainan. Kamu akan berperan sebagai perempuan pilihanku. Jangan berbuat kesalahan. Jangan buat aku terlihat bodoh di depan mereka." "Aku mengerti," jawab Hana pelan. Gerbang mansion keluarga Adiyaksa terbuka otomatis. Mobil berhenti di halaman luas yang dipenuhi bunga dan rumput hijau rapi. Bangunan megah berdiri dengan anggun, tampak seperti istana dari dongeng. Hana menarik napas panjang. Pintu utama dibuka oleh pelayan, dan Abian menggandeng tangan Hana masuk ke dalam. Di ruang tamu yang luas dan terang, dua sosok elegan telah menunggu. Devan Adiyaksa dan istrinya, Tania. "Akhirnya, anak ini membawa perempuan juga," ucap Devan, suaranya berat tapi hangat. Tania melangkah lebih maju. Saat matanya bertemu dengan wajah Hana, ekspresi ramah itu berubah. Sekilas. Sangat cepat. Tapi cukup untuk membuat Hana merasakan ketegangan yang aneh. Tania menatap lekat-lekat. Seolah sedang mencoba mengingat sesuatu. Wajah ini... pikir Tania. Hana tersenyum kecil, menunduk sopan. "Namamu Hana, ya? Ceritakan sedikit tentang dirimu, sayang," ujar Tania, suaranya terdengar datar. "Saya bekerja di butik, Tante. Ibu saya penjahit. Kami tinggal di pinggir kota." "Ayahmu?" "Sudah lama meninggal, Tante." Devan tampak tersentuh, sedangkan Tania masih menatap Hana dengan sorot mata curiga yang samar. Suasana makan malam pun dimulai. Makanan-makanan mewah tersaji di meja panjang, tapi Hana nyaris tak menyentuh apa pun. Ia terlalu gugup. Devan mulai tampak menyukai Hana. Ia tertawa pelan mendengar Hana bercerita tentang butik dan kesibukannya menjahit bersama sang ibu. Tapi Tania tetap diam, sesekali hanya mencuri pandang. Setelah makan malam, semua beranjak ke ruang keluarga. Hana berpamitan sebentar untuk ke kamar kecil. Saat ia berjalan menuju lorong, suara langkah lain dari belakang mengikutinya, dan benar saja itu adalah Tania yang masih penasaran pada Hana. "Tunggu sebentar," ujar Tania. Suaranya pelan, tapi tegas. Hana berbalik, gugup. "Iya, Tante?" Tania berdiri di depannya. Matanya menatap tajam. "Beberapa malam lalu, di rumah sakit. Kamu menangis di lorong depan ruang operasi. Benar?" Hana terkejut. "Iya... waktu itu... ibu saya sedang dioperasi." "Siapa nama ibumu?" Hana terdiam. Suara Tania meninggi. "Jawab aku, Hana." "Namanya... Calista," ucap Hana akhirnya. Mata Tania membelalak. Tubuhnya mundur setengah langkah. Napasnya tercekat. "Kamu... putri Calista?" Hana mengangguk pelan. Tania memalingkan wajah, tubuhnya bergetar. Wajah pucat itu menyiratkan ketakutan lama yang muncul kembali. "Kenapa... harus kamu...?" Saat itu, suara langkah terdengar. Devan muncul dari balik dinding. "Apa maksudmu, Tania? Calista...?" Ketiganya saling bertatapan, diam, tegang dan suasana canggung sangat kentara. "Tidak, tidak... Devan kamu salah dengar, tidak ada yang menyebut nama Calista di sini. Lagi pula ini sudah bertahun-tahun, kamu selalu saja mengingat perempuan selingkuhanmu itu!" kata Tania dengan nada tinggi. Hana tercengang. Kata-kata itu menusuknya. Selingkuhan? Devan menggeleng cepat. "Aku tidak pernah selingkuh darimu... sejak awal kamu tahu kalau kita ini sahabat, tidak salah kalau Calista pergi. Kamu selalu saja seperti ini, Tania!" Tania mengibas tangannya ke udara, air matanya mulai berjatuhan. "Kamu salahin aku? Devan, bagaimana aku tidak curiga sama kamu dan Calista. Di malam di saat aku dilarikan ke rumah sakit bertaruh nyawa melahirkan putramu. Kamu di mana? Bersama Calista! Untung ada Eren yang memberitahu aku kalau kamu semobil pada saat itu, padahal aku di rumah sakit bertaruh nyawa, Devan!" Hana berdiri mematung. Suasana menjadi sangat tegang. Suara detik jam terdengar seperti gendang perang yang menunggu letupan besar. *** Keributan di ujung lorong membuat Abian yang semula tengah berbincang dengan Adrian di ruang kerja, segera berdiri. Suara-suara tinggi dan ketegangan itu terlalu keras untuk diabaikan. Ia keluar dari ruangannya dan mengikuti arah suara hingga sampai di area ruang tamu. Di sana, ia melihat Tania menangis, dengan Devan berdiri di hadapannya, wajah penuh amarah dan kekecewaan. Di sisi lain, Hana tampak kaku, berdiri mematung dengan mata membelalak, seperti baru saja disambar petir. Abian berjalan cepat mendekat. Sorot matanya tajam dan penuh tanya. “Apa yang terjadi di sini?” Tak ada yang langsung menjawab. “Apakah aku tidak cukup jelas mengatakan bahwa kita tidak membutuhkan drama di dalam rumah ini?” Suaranya dingin dan berwibawa. Pandangannya jatuh tepat pada Hana. “Kau... Kau yang memulai semua ini?” Hana menggeleng pelan, bibirnya bergetar. “Aku tidak—aku hanya menjawab pertanyaan Tante Tania.” “Dengan menyebut nama Calista?” tukas Tania, cepat. “Kau pikir aku tak akan mengenali wajah anak dari wanita itu?” Abian mengernyit. “Calista? Ibu Hana?” Devan mendesah panjang, suaranya lebih tenang dari sebelumnya. “Jika memang Hana Anak dari Calista, berarti kau sudah tahu lama Calista berada di kota ini?.” Abian memandangi Hana lama. Wajah perempuan itu tampak bersih dari kebohongan. Tapi ia juga bukan orang yang suka percaya begitu saja. “Kau tahu siapa Calista sebelum masuk dalam kesepakatan ini?” “Aku... aku tidak tahu apa-apa tentang masa lalu kalian,” jawab Hana dengan suara tertahan. “Aku hanya ingin menyelamatkan ibuku.” Tania melangkah maju, jari telunjuknya menuding Hana. “Kamu harusnya tidak bertemu Abian, dan tidak membawa kenangan yang harusnya sudah mati, Abian. Bagaimana bisa kau berpikir menjadikannya istri—bahkan pura-pura sekalipun?” “Aku yang meminta dia ikut sandiwara ini,” potong Abian cepat. Tatapannya menusuk tajam ke arah ibunya. “Dan aku tidak tahu masa lalu kalian. Tapi kalau memang ibu masih punya dendam, jangan lampiaskan pada orang lain yang tidak tahu apa-apa.” Tania tampak terkejut mendengar ketegasan putranya. Tapi ia juga tak sanggup menjawab. Air matanya mulai jatuh satu per satu. Devan memegangi bahu istrinya. “Tania, sudah cukup. Kita sudah tua. Jangan lagi hidup dalam luka lama. Calista... dia bukan seperti yang kamu pikirkan.” Tania menggeleng. “Tapi kamu tetap ada di mobil yang sama dengannya di malam aku nyaris mati saat melahirkan anakmu!” Devan menghela napas. “Karena dia yang memberitahuku kalau kamu akan melahirkan putra kita, aku terjebak macet di jalanan saat akan menemuimu di Rumah Sakit.” Tania terisak. “Kenapa kamu tidak bilang dari awal?” “Karena kamu tidak pernah mau dengar.” Suasana menjadi hening. Hana menunduk, merasa menjadi beban di tengah badai rumah tangga pasangan itu. Tapi sebelum ia bisa bergerak, sebuah suara memecah keheningan. “Jadi ini semua karena aku?” Abian menatap Hana tajam. “Kau menjadi sumber keributan ini. Dan itu baru permulaan.” Wajah Hana memucat. Hatinya remuk. Ia sadar, dirinya mulai terseret dalam pusaran masa lalu yang tak ia pahami. Dan mungkin... belum ada jalan keluar.Mobil hitam itu masih terparkir di sisi kanan halaman rumah sakit. Dari balik kaca yang sedikit terbuka, sepasang mata mengamati pintu masuk ruang IGD dengan tajam. Perempuan itu adalah Felia. Ia tak segera turun, seolah menimbang apakah kehadirannya akan memperkeruh suasana atau justru membuka jalan untuk menjelaskan segalanya.Di dalam rumah sakit, kabar meninggalnya Calista menyebar cepat. Para perawat dan dokter yang merawatnya hanya bisa menunduk penuh penyesalan. Beberapa orang dari staf rumah sakit memberi ucapan belasungkawa singkat pada Hana yang masih berdiri membeku di depan ruang ICU. Tangisnya sudah kering, tetapi matanya tetap kosong.Langkah kaki cepat terdengar dari ujung lorong. Abian datang dengan tergesa, diikuti kedua orang tuanya, Tania dan Devan Adiyaksa. Wajah mereka tegang, napas terengah.“Hana!” panggil Tania. “Kami baru dengar soal ibumu... Kami sangat menyesal.”Abian langsung menghampiri Hana yang tak bergerak sedikit pun dari tempatnya.“Hana... aku.
Langit siang mulai mendung. Udara di rumah sakit semakin dingin, seolah menyesuaikan diri dengan suasana hati Hana yang terus diliputi awan kelabu. Sejak kemarin, ia belum sempat benar-benar beristirahat. Matanya sembab, dan tubuhnya mulai letih, tapi pikirannya tak berhenti berputar.Calista masih terbaring di ruang ICU. Kondisinya belum stabil. Dokter tak banyak berkata, hanya menyuruh Hana banyak berdoa dan bersiap untuk kemungkinan terburuk.Abian sempat datang pagi tadi. Tapi kehadirannya hanya menambah sesak di dada Hana. Tatapan pria itu menyimpan kegelisahan dan rasa bersalah, tapi Hana belum bisa membicarakan apa pun padanya. Ia hanya meminta Abian pulang untuk menenangkan diri. Meski begitu, hatinya sendiri tak kunjung tenang.Baru saja ia hendak berdiri dari kursi tunggu di lorong ICU, suara pelan dari arah lift membuatnya menoleh. Suara roda berderit, menyertai langkah seorang perawat yang mendorong kursi roda.Di atas kursi itu, duduk seorang wanita setengah baya deng
Suara mesin di ruang ICU berdengung pelan, seperti alunan nada tak kasatmata yang menghantam relung hati Hana. Di balik kaca tebal, tubuh Calista terbaring lemah, penuh dengan kabel dan selang yang menempel di berbagai sisi tubuhnya. Napasnya naik-turun melalui ventilator. Lampu-lampu monitor berkedip seirama dengan detak jantungnya yang lemah.Hana berdiri diam, membeku. Dunia di sekitarnya seperti berhenti. Matanya merah, tubuhnya gemetar. Ia tak tahu harus menangis atau berteriak. Semuanya terasa terlalu berat, terlalu mendadak, terlalu sakit.Setelah bertahun-tahun hanya hidup berdua, kini ibunya berada di antara hidup dan mati. Dan di saat yang sama, pernikahannya bersama Abian baru saja diguncang oleh satu kenyataan besar, kemunculan Felia, dan seorang anak kecil bernama Alena.“Apa aku... pantas bahagia di atas semua ini?” gumamnya lirih. Suaranya hampir tak terdengar, tenggelam oleh suara mesin-mesin medis.Pintu ruang tunggu terbuka pelan.Abian muncul, wajahnya masih d
Pagi itu, udara masih dingin menyapu dedaunan basah oleh embun. Taman kecil di belakang rumah sakit belum sepenuhnya ramai. Hanya ada satu-dua pengunjung yang duduk di bangku taman, menikmati ketenangan pagi.Hana datang dengan langkah hati-hati. Wajahnya masih menyimpan sisa-sisa kecemasan malam tadi. Sementara ibunya masih dirawat di ruang intensif. Ia belum sadar, dan kini, Hana datang menuruti telepon dari orang asing yang memberitahunya soal masa lalu Abian.Jantungnya berdegup tak karuan.Matanya menyapu taman. Tak ada siapa pun yang mencurigakan. Sampai matanya tertuju pada seorang wanita berpenampilan elegan, berdiri di bawah pohon besar, mengenakan mantel krem dengan syal biru lembut melilit lehernya.Di sebelah wanita itu, berdiri seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun, mengenakan gaun putih bermotif bunga. Gadis kecil itu memegang tangan wanita itu erat sambil memeluk boneka.Hana melangkah pelan, ragu.Wanita itu menoleh dan tersenyum tipis. Sorot matanya
Abian terpaku menatap layar ponselnya. Notifikasi itu menghantam dadanya seperti gelombang lama yang datang kembali membawa serpihan masa lalu yang belum selesai. Jemarinya mengepal, dadanya sesak. Bingung. Bimbang. Terikat dan terjerat di antara kewajiban sebagai seorang anak dan perasaan yang mulai mengusik batinnya. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar hotel pengantin yang sunyi. Hana tidak ada. Ia bahkan belum kembali sejak pergi diam-diam tadi—masih mengenakan gaun pengantin yang seharusnya menjadi saksi malam pertama mereka sebagai pasangan sah. Abian duduk di ujung ranjang, kepalanya menunduk dalam. “Harusnya aku menjelaskan semuanya… sebelum semua ini terjadi.” Ia tahu, Hana mungkin membaca notifikasi itu. Itu cukup untuk membuat siapa pun merasa diabaikan—terutama perempuan yang baru saja ia nikahi, meski hanya atas nama kontrak. Tapi kenapa hatinya seberat ini? Bukankah dulu, saat menyusun rencana pertunangan palsu itu, ia mengira tak akan ada yang terluka? Terny
Abian duduk membisu di ruang kerja ayahnya. Pagi itu, suasana rumah keluarga Adiyaksa sedikit lebih tenang dibanding malam sebelumnya yang nyaris meledak karena masa lalu yang menyeruak tanpa aba-aba. Tania kini duduk bersandar di sofa, mengenakan gaun berwarna pastel lembut. Wajahnya masih menyisakan kelelahan emosional, tapi matanya tak lagi menyala penuh dendam. Devan menyuguhkan teh untuk istrinya sebelum ia duduk di samping Abian. “Kita harus bicara,” ujar pria paruh baya itu. Abian mengangguk pelan. “Tentang pertunanganku dengan Hana?” Tania menarik napas panjang sebelum menjawab. “Tentang pernikahan kalian.” Alis Abian terangkat. “Pernikahan? Kita belum bertunangan secara resmi. Lagipula ini hanya—” “Awalnya hanya sandiwara, ya, aku tahu,” sela Tania lembut namun tegas. “Tapi kamu sudah dewasa, Abian. Kami sudah lama menunggu kamu membawa pulang seseorang. Dan saat kamu akhirnya memilih, meskipun pura-pura, ternyata gadis itu... bukan orang yang buruk.” Devan menimp